Here to Stay

Disclaimer:

Bleach © Tite Kubo


In some faraway fairy tale

The moon is unwavering

The sun does not set

And our stars, to this day

Remain uncrossed

- Anonymous


Ichigo tengah terlelap dalam tidur ketika bahu kanannya meronta kedinginan, memaksa sekujur tubuh untuk terbangun dari alam mimpi. Kedua iris hazel mengerjap perlahan-lahan. Alisnya bertautan tak nyaman, merasa ada yang hilang. Dalam gelap, jari jemari sontak menyapu halus permukaan kasur yang dilapisi selimut biru muda di sebelahnya. Kosong. Ichigo hanya menemukan ruang kecil pemisah tubuhnya dengan dinding rumah—tempat yang seharusnya berpenghuni. Seharusnya ada tubuh mungil berkulit pucat merengkuh pundaknya di sana. Semestinya ia bisa merasakan deru napas konstan yang menyapu leher dan dada, atau surai hitam panjang yang menggelitik dagunya.

Ke mana wanita cantik itu?

Menumpu tubuh bagian atas dengan siku, Ichigo menatap ke arah pintu kamar mereka. Matanya menatap pintu yang setengah terbuka, membiarkan secercah cahaya masuk menerangi lantai kayu yang berbaris rapat.

"Rukia?" ia panggil dengan suara parau. Nihil, tak ada jawaban atau pun derap langkah kaki. Telinga hanya menangkap pantulan suaranya sendiri. Jarum jam dalam lirikan sekilas menunjuk angka dua, menyatakan belum seharusnya Rukia bangkit dari selimut dan beraktivitas seperti biasa. Wanita itu terkadang keras kepala mencoba keluar dari kamar pada jam empat pagi, sedangkan Ichigo sebenarnya masih betah memeluk pinggangnya dari belakang, menenggelamkan dirinya dalam selimut. Tubuh Rukia begitu mungil, terlihat rapuh, namun hangatnya merambat hingga ke ujung kuku. Ichigo sadar bahwa sosok yang selama ini dipeluknya setiap tidur tersusun dari kepribadian yang kuat dan pemberani, terpupuk selama bertahun-tahun. Mungkin ketangguhan membuat Rukia jauh lebih hangat dibanding lapisan selimut miliknya. Atau barangkali Rukia sendiri memang cahaya.

Dan oleh karena itu, seorang Kurosaki Ichigo tak bisa kembali ke alam bawah sadar tanpa mencari tahu di mana Rukia terlebih dahulu. Cemooh saja dirinya karena terlalu mendramatisir, tapi Ichigo yakin matanya tak bisa terpejam tanpa rengkuhan dari wanita itu. Ia tak bisa tenang sebelum jari jemari lentik Rukia menyapu tulang pipinya, mengecup isyarat agar tenggelam dalam kantuk.

Pelan dirinya beringsut dari tempat tidur. Dari ambang pintu, terlihat seisi rumah gelap gulita. Hanya dua lampu luar rumah dan satu lampu taman menyala redup terhalang dinding dan kaca jendela. Ichigo berjalan mengitari seluruh ruangan di lantai dua—ruang kerja dan satu kamar tak terpakai—tapi sosok yang dicari tak terlihat. Menyusuri lorong berlapis wallpaper cokelat, langkah kaki Ichigo melambat menatap banyak pigura yang digantung sepanjang lorong. Tiga tahun menempati rumah ini tak pernah membuatnya bosan untuk sekali lagi mencermati foto yang terpampang. Begitu familiar, namun tetap menyelimutinya dengan rasa bahagia. Ichigo tak pernah merasakan kebahagiaan yang lebih intens menatap potret perjalanannya selama bertahun-tahun bersama Kuchiki Rukia—ah, nama itu sekarang bisa ia ralat menjadi Mrs. Kurosaki. Bibirnya menyimpul senyum kecil.

Foto-foto itu lambat laun seakan bergerak layaknya film dokumenter. Ichigo, Rukia, Chad, Keigo dan Uryuu yang tengah makan siang bersama di rooftop sekolah, Ichigo dan Rukia yang tengah berjalan berdampingan, wajah Rukia yang terlihat sangat cantik setengah berbalik beradu pandang dengan kamera, keluarga Kurosaki merayakan natal bersama. Semua hasil pemotretan nampak hidup menguar berbagai macam emosi. Beberapa bulan terakhir sebelum mereka menikah, Ichigo mengumpulkan banyak hasil foto jepretannya sendiri diam-diam. Dari empat puluh gambar, hanya lima yang ia pajang. Kelima foto itu berdiri Rukia seorang dalam lima situasi yang berbeda. Setengah adalah foto candid dan satu foto motion blur. Hatinya berdesir acap kali menyaksikan kilauan emas dari cincin yang tersemat pada jari manis sang wanita. Kemilau emas hampir dapat menyaingi kerlingan iris amethyst yang balik menatap lensa. Rukia memang tak pernah gagal terlihat mengagumkan.

Ia merasa bodoh ingin menangisi kesempurnaan hidupnya kini. Bagaimana tidak, takdir membawa Rukia padanya. Sosok shinigami yang begitu ia puja dan cintai. Kehidupan mereka saling bertautan, saling mengisi dan melengkapi, hingga pada akhirnya rasa cinta membuat Ichigo nekat ingin merenggut Rukia dari Soul Society. Kuchiki Byakuya mau tak mau harus rela melepas adik yang begitu ia sayangi. Asal Rukia bahagia, Ichigo ingat jawaban sang kakak ipar. Aku menaruh harapan tinggi padamu, Kurosaki Ichigo. Ichigo masih dan terus mengingat rasa ketidakpercayaannya saat itu. Bukan karena Byakuya memberikan restu yang diinginkan, tapi bagaimana bisa Byakuya menyiratkan keraguan padanya untuk mencintai Rukia? Tawa kecil terlepas begitu saja mengisi kediaman Kuchiki. Byakuya, lugas Ichigo berkata, Rukia yang menggerakkan seluruh hidupku.

Sebuah fakta yang agaknya membuat Byakuya terkesima. Sang kakak tak pernah tahu Kurosaki Ichigo dapat menyandingi rasa kasihnya untuk Rukia. Seorang pria ceroboh yang dengan mantap beradu pandang dengan matanya, tak pernah gentar akan kesangsian. Lambat laun Byakuya luluh. Perlahan banyak cerita tentang Rukia tersingkap—bagaimana ia menyayangi keceriaan adiknya, senang akan senyum dan tawa Rukia, keberanian dan kesetiaannya. Rasa takutku hanya satu. Byakuya menatapnya dalam-dalam. Dalam sekali lirikan, Ichigo paham. Keduanya punya kelemahan yang sama.

Suara dentingan kaca membuyarkan lamunan secara tiba-tiba. Ia lekas menuruni tangga, hendak menyalakan lampu ruang tengah. Namun kedua matanya telah terlebih dahulu menangkap figur mungil yang tengah terduduk di bay window. Rukia menyangga tubuhnya dengan bantalan sofa, bersandar pada ruang persegi enam yang lapang. Sendu ia menatap ke atas langit, seperti larut dalam pikiran mendalam. Begitu anggun postur tubuh ramping itu hingga Ichigo sempat terbata ingin memanggil. Nightgown ungu yang dikenakannya menggoda sinar purnama untuk singgah di kulit porselen yang terekspos, menampilkan Rukia bagai panorama. Seluruh tubuhnya bersinar layaknya mutiara.

"Rukia ..."

"Ah." Iris indah itu melebar beradu dengan manik kecokelatan, menyadari keberadaan Ichigo tiba-tiba. "Ada apa, Ichigo? Apa ada yang salah?"

"Harusnya itu pertanyaanku." Senyumnya. "Kau baik-baik saja?" ia langkahkan kaki sedikit lebih rapat.

"Mhm. Hanya terbangun karena haus. Jadi aku pergi ke dapur, lalu singgah sebentar di sini." Pandangan Rukia kembali terpusat pada rembulan. "Tiba-tiba aku jadi bernostalgia." Surai hitamnya ia sibak ke belakang punggung, kemudian bergeser sedikit dari tempat duduk. "Sini." Telapak tangan menepuk bantalan tempat duduk, gestur agar Ichigo bersandar di sebelahnya.

"Tentang apa?" Alih-alih duduk bersebelahan, ia menempatkan diri di belakang Rukia, memaksa celah agar leluasa mengurung sang wanita dengan kedua lengan kokohnya. Rukia merengut membalas cengiran jahil Ichigo, walaupun sudah paham betul Kurosaki Ichigo memang hobi memeluknya. Yah, bukan hobi yang buruk, karena Rukia pun akhirnya bersandar santai di dadanya.

"Dulu, saat pertama kali kita bertemu. Malam itu bulan purnama." Rukia memejamkan mata, terlena dengan memori. "Sudah lama sekali kejadian itu. Waktu berlalu dengan cepat. Semuanya berubah—teman datang dan pergi. Rekan baru, ancaman baru." Helaan napas terdengar. "Kau tahu, Ichigo? Sebelum bertemu denganmu, kehidupanku begitu sulit. Aku selalu merasa putus asa. Rasa kecewa, sesal, sedih, semua bercampur menjadi satu. Terlalu melelahkan untuk berhenti sejenak dan memikirkan kembali apa yang sebenarnya kurasakan. Mungkin karena kesedihan yang berlarut-larut akhirnya membuatku mati rasa." Lengan Ichigo yang melingkari pinggang Rukia mengerat.

"Tapi ... malam itu, kita bertemu." Iris amethyst kembali terbuka. "Aku tak pernah merasakan kebahagiaan sebesar ini. Aku sungguh, sungguh bahagia." Rukia mengulum senyum ketika Ichigo mencondongkan tubuh, mengecup helai rambutnya. "Kau menyelamatkanku."

"Kau yang menyelamatkanku, Rukia." Rengkuhan di pinggang turun hingga menemukan pergelangan tangan. Ia genggam erat-erat buku jari yang mendingin, mengusap-usapnya perlahan. Terpukau menilik dua cincin emas yang serasi disandingkan bersama. "Kau mengorbankan dirimu pada orang asing. Bocah lima belas tahun yang terlalu naif. Memberinya kekuatan yang selama ini ia inginkan. Memberinya pedang untuk melindungi keluarga dan teman-temannya."

Wanita dalam dekapan diam seribu bahasa, kehilangan suara.

Ciuman pada surai hitam terselusur sampai ke pundak. "Aku mencintaimu, Rukia." Telah. Selalu. Seterusnya. "Aku benar-benar mencintaimu."

Ichigo tak bisa melihat manik ungu yang berkaca-kaca, atau rona kemerahan di pipi Rukia, tetapi ia mendengar geletar dalam suaranya. "Aku juga mencintaimu." Pelan jawaban itu terucap, hampir berbisik. Ichigo tersenyum simpul, merapatkan keduanya. Memang hangat, tetapi misi awalnya adalah membawa Rukia kembali ke dalam kamar. Akan jauh lebih hangat bila kasur dan selimut melingkupi mereka. Maka, dengan santai ia angkat tubuh Rukia, menggendongnya bak putri kerajaan—yang seketika memekik kaget, buru-buru berpegangan erat.

"H-hei! Aku bisa jatuh, tahu! Dasar bodoh!"

"Di sini dingin. Kita ke kamar saja." Ucapnya acuh tak acuh, sebelum disambar cubitan keras di dada oleh sang "putri".

"Sakit, Rukia! Diam sebentar bisa tidak sih!"

"Seenaknya saja menggendongku seperti itu!"

"Kau tidak mau di sini semalaman, kan! Makanya ke kamar saja!"

"Turunkan aku, bodoh!"

"Aku hanya—ow! Berhenti mencubitku!" langkah Ichigo oleng saat menaiki tangga terakhir, memicu teriakan panik keduanya. Beruntung, pria berambut orange itu sukses menyeimbangkan diri sebelum tubuh mereka terguling di lantai. Detik berikutnya tawa Rukia pecah mengisi hening malam. Ichigo ikut tergelak, setengah berusaha membalas cubitan dengan kecupan-kecupan kecil di sekitar hidung dan pipi Rukia yang memerah. Menghempaskan tubuh mereka secara bersamaan di atas kasur, Ichigo memerangkap sang istri dalam pelukan erat. Pekikan kecil yang berseling dengan tawa terdengar seperti alunan musik. Memori bahagia yang satu lagi akan ia kenang.

"Hei, Ichigo?" Rukia bergumam di antara bahu dan dada yang ia apit erat. Detak dua jantung yang berdekatan berdegup seirama.

"Hm?"

"Kalau kita tidak bertemu, akan seperti apa jadinya?"

Mudah Ichigo menjawab. "Hujan. Selamanya." Bibir mereka bertemu, saling memagut. Dan saat ini, semuanya sempurna.

*** FIN ***


A/N

Sejak kelas empat SD, saya amat sangat suka serial Bleach. Minat gambar saya juga timbul karena artwork Tite Kubo yang bagus banget. Saya jatuh cinta pada karakter-karakternya, terutama Kuchiki Rukia. Saya nggak pernah menyukai karakter anime/manga sebesar rasa cinta saya untuk Rukia. Rukia dan Ichigo dulu adalah kehidupan saya, karena saya benar-benar tertarik ke dalam cerita mereka.

Setelah menaruh harapan bertahun-tahun untuk IchiRuki, harapan saya kian lama hilang seiring penurunan kualitas serial Bleach. Saya mulai paham kalau serial yang saya anggap 'sempurna' nggak sesempurna itu. Makin banyak plot holes dan 'pembantaian' karakter yang punya banyak potensi dan backstory menarik. Saya pikir, "yah, mungkin ke sananya bisa membaik. Setidaknya tolong ending-nya yang proper."

Tepat pada hari ulang tahun saya di bulan Agustus, saya shock setengah mati baca chapter terakhir. Saya nggak mengada-ada, tapi saya beneran kena five stages of grief, seolah-olah kehilangan orang beneran. Tapi serius, saya memang kehilangan. Saya kehilangan semua rasa percaya saya pada Tite Kubo. Rasanya kecewa, marah, sedih (mostly marah karena ending ini ending terburuk dari cerita mana pun). Dan terlebih, saya marah karena perlakuan Kubo ke karakternya sendiri. Karakter yang jadi favorit pembacanya harus berakhir dengan perasaan kosong. Nggak ada rasa senang sama sekali. Saya sangat menyayangkan karakter sebagus Kuchiki Rukia, atau Inoue Orihime yang sama sekali nggak dapat justice apa-apa, malahan di-reduce sebagai fan service semata. Dan jangan coba-coba sebut Ishida Uryuu. Saya nggak habis pikir kenapa Bleach jadi hancur begini.

Bleach nggak pantas mengklaim Rukia. She deserves so much better.

IchiRuki pun begitu. Saya bingung mulai dari mana. Yang jelas, IchiRuki selalu punya tempat spesial sebagai absolute OTP saya. Terlalu banyak kenangan walaupun kalau diingat lagi, sekarang jadi sakit hati.

Yah. Akhir kata, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk baca curhatan saya.

All reviews are much appreciated.