Siang itu Jihoon berkunjung pada rumah Jisoo–beberapa saat kemudian, Jeonghan dan Wonwoo menyusul; meramaikan suasana rumah pemuda Hong tersebut yang hampir tak pernah menyentuh kata riuh rendah. Jisoo tidak keberatan sama sekali. Sambutannya terdengar hangat seperti biasa–bagaimana ia membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan kawan-kawannya untuk masuk dan menyapa tiap fraksi dalam rumahnya.

Perbincangan yang mengelilingi mereka hanya hal-hal random; Jisoo menyiapkan dua botol besar kola, menghangatkan dua kotak pizza bekas semalam dan menyajikan brondong jagung dengan siraman saus karamel. Terkadang Jihoon membahas mengenai lagunya yang kembali dibeli oleh salah satu label agensi besar–ia menyebutkan jika lagu yang ikut Jisoo komposeri ikut terjual dan tengah dalam proses sampai final perilisan. Atau, suasana berubah menjadi begitu tegang di kala Wonwoo mulai membuka kisah mengenai sejumlah film atau novel thriller yang baru saja ia tamatkan; dan kisah tersebut berakhir dengan Jeonghan yang melayangkan bantal pada wajah pemuda bermarga Jeon tersebut.

"Brengsek sekali kau bercerita mengenai film seru tanpa membawa kasetnya untuk ditonton bersama!" Ia memekik nyaring dan Wonwoo hanya mampu memberi lengosan malas.

Bahan percakapan mereka terus berputar pada hal-hal yang bahkan tak begitu penting untuk diperbicarakan–sampai akhirnya suasana menjadi jauh lebih serius begitu ujung mata Jihoon tanpa sengaja menangkap presensi ponsel Jisoo yang menyala, menampilkan sejumlah notifikasi kakaotalk dengan nama Seokmin yang tertera nyata.


Enchanted (c) prxmroses
SVT's Fic ; Lee Seokmin/Hong Jisoo ; bxb–Shounnen-ai


"Kau benar-benar meladeni anak itu?" Jihoon bertanya, menyesap minuman berkarbonnya setelah menelan satu potong pizza. Jeonghan, yang kebetulan beberapa hari yang lalu telah mengetahui hubungan antara Jisoo dengan adik sepupu Jihoon pelan-pelan menjelaskan pada Wonwoo; dan reaksi yang diberikan oleh pria dengan suara beratnya itu cukup unik. Guratan pada wajahnya berubah–nampak terkejut dengan konklusi akhir dari cerita Jeonghan; bahwa Jisoo ditaksir oleh seorang anak SMA yang terus mengatakan bahwa dirinya akan menikahi Jisoo.

"Bagaimana maksudmu?" Jemari Jisoo mengambil sejumlah brondong jagung, memasukannya ke dalam mulut dan mengunyahnya selagi melempar pandang pada Jihoon.

Pemuda itu nampak menghembuskan napasnya berat, "Seokmin itu sangat berisik, dan aku tahu kau bukan orang yang senang dengan hal-hal sinting seperti yang selalu Seokmin lakukan. Kupikir kau akan mengabaikannya; jangan salahkan aku jika aku terkejut melihatmu masih menggubris anak itu."

"Kurasa tidak ada bedanya saat Jisoo memberi atensi pada Seungkwan?" Wonwoo menengahi, ikut menyesap kolanya selagi menatap baik Jisoo mau pun Jihoon. "Maksudku– dua-duanya masih SMA, Jisoo hanya bersikap sebagai abang yang mengayomi adik-adiknya. Seungkwan itu super berisik; kuingatkan kalau kau lupa."

Salah satu alis Jihoon terangkat skeptikal; terjadi distorsi kecil antara perbincangan seriusnya dengan Jisoo–dan hal tersebut justru keluar dari belah bibir Jeon Wonwoo. Sudut mata Jihoon mencuri pandang dan menemukan Jisoo yang hanya terdiam di tempatnya tanpa mencoba untuk memberi penjelasan apa-apa. Napas berembus pelan, Jihoon setengah frustasi. Jisoo terlalu sulit untuk ditebak jalan pikirnya; pria itu jarang mengekspresikan apa yang hinggap pada kepalanya dan selalu berakhir dengan mulut terkunci agar masalah tidak terjadi kian pelik.

"Dari statusnya saja kita sudah tahu kalau Seungkwan dan Seokmin merupakan perkara yang berbeda." Jihoon meletakkan gelas kosongnya asal pada meja, kali ini pandangannya masih lurus tertuju pada Jisoo, tajam dan interogatif; Baik Wonwoo dan Jeonghan hanya bisa berbagi iba. "Seungkwan adalah muridnya, mana mungkin Jisoo bersikap dingin dan menunjukkan terang-terangan mengenai ketidaksukaannya. Tapi Seokmin adik sepupuku; jika Jisoo terganggu, ia bebas mengutarakan ketidaknyamanannya padaku dan aku bisa memperingatkan Seokmin. Tidak ada alasan bagi Jisoo untuk berpura-pura baik dan terus meladeni Seokmin jika faktanya ia memang terganggu dengan segala kekonyolannya. Pikir kau aku tidak tahu jika Seokmin pernah diam-diam menggunakan ponselku dan menelpon Jisoo hingga tengah malam? Ia bahkan berkunjung pada pagi-pagi buta seperti orang bodoh. Mustahil jika Jisoo tidak terganggu."

"Mungkin karena dia adik sepupumu jadi ia semakin kesulitan untuk mengutarakan perasaannya sendiri." Jeonghan ikut menengahi; mencoba membantu Jisoo sebab rentetan kalimat yang keluar dari mulut Jihoon terlalu sukar untuk dimengerti dalam waktu singkat.

"Begini–" Sebelum sempat Jihoon membuka mulutnya, Jisoo sudah terlebih dahulu angkat bicara. Ia mafhum Jihoon mengkhawatirkannya; tapi sejumlah kata yang ia katakan terlalu invalid untuk diterima begitu saja oleh akal sehat Jisoo. "Sebelumnya, err, aku sama sekali tidak berpura-pura menyukai Seungkwan– aku memang terkadang benci dengan suasana ramai, tapi Seungkwan beda persoalan. Mungkin karena ia masih SMA jadi aku bisa menoleransinya; Anak itu menghidupkan suasana sehingga jam pelajaranku tidak pernah berjalan membosankan atau terlalu canggung."

Jeonghan mengangguk, disusul oleh Wonwoo. Menjadi partner kerja Jisoo membuat keduanya paham betapa dekatnya Jisoo dengan Seungkwan.

Setengah menit kemudian, Jisoo melanjutkan. "Aku memang terkejut dengan adik sepupumu yang tiba-tiba mengatakan bahwa ia akan menikahiku– oke, ini manusiawi, semua orang akan terkejut apabila diperlakukan seperti itu oleh orang asing. Tapi Seokmin tidak seburuk apa yang kau pikirkan."

Wonwoo mendengus malas. "Jihoon, Seokmin itu adik sepupumu sendiri. Bagaimana bisa kau berpikir bahwa anak itu benar-benar semenyebalkan itu bahkan melarang temanmu sendiri untuk terus meladeninya."

"Aku tidak melarangnya!" Jihoon menyergah, mendengus begitu sadar bahwa teman-temannya telah salah menangkap persepsi yang ia utarakan. "Aku mengenal Seokmin bahkan sejak anak itu masih dalam kandungan ibunya– ia sangat berisik; ditelisik dari sisi mana pun terlalu banyak kontradiksi di antara Seokmin mau pun Jisoo. Aku hanya mencoba mengatakan pada Jisoo jika ia memang tidak nyaman dengan kelakuan adik sepupuku, ia bisa mengatakannya padaku dan aku bisa memberikan Seokmin peringatan."

Segaris senyuman terulas pada wajah Jisoo; Pemuda itu lantas mengusap pundak Jihoon, menepuknya, mencoba menenangkan. "Sejauh ini Seokmin tidak menggangguku sama sekali; Ia selalu mengirimku pesan sebelum menghubungiku, memastikan terlebih dahulu apakah aku memiliki waktu kosong atau tidak. Dia sudah tujuhbelas tahun, Jihoon-ah. Kupikir ia sudah matang dalam berpikir dan memutuskan apa yang harus ia lakukan. Seokmin tahu apa yang perlu dan tidak perlu ia lakukan."

Kalimat Jisoo berakhir dengan Jihoon yang mendesah pelan selagi memijat pelipisnya; "Sepertinya aku terlalu mengkhawatirkan anak itu," desis Jihoon, tanpa sadar berhasil mengundang senyum pada wajah ketiga kawannya. "Aku tidak pernah bisa berhenti memandangnya sebagai bocah lima tahun– aku bahkan sampai melupakan fakta jika anak itu kini sudah tumbuh sebesar ini."

"Kau terlalu menyayanginya," ujar Jeonghan.

"Kau mengkhawatirkannya tapi tidak bisa mengekspresikannya dan berakhir dengan ucapan sarkastik seperti itu."

Ucapan Wonwoo lantas membuat Jihoon melayangkan bantal pada wajahnya–dua kali ia mendapat jackpot dari Jeonghan dan Jihoon; sang pemilik rumah hanya bisa tertawa renyah.

"Lusa aku akan pergi ke Jepang selama dua minggu, Soonyoung ikut menemaniku. Itu berarti selama itu Seokmin akan sendirian di rumah; Aku tidak bisa mengawasinya, dan aku pening memikirkan bagaimana anak itu tanpaku."

Jisoo tidak dapat menahan dirinya sendiri untuk tak tersenyum–Jihoon selalu mengatakan jika Jisoo merupakan orang yang sulit untuk diterka sebab ia tak banyak omong terlebih dalam menggambarkan perasaannya; Jihoon mengatakan tersebut tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri jauh lebih sulit untuk ditebak. Jihoon tak keberatan untuk mengutarakan apa pun yang melintas dalam kepalanya; tapi terkadang, apa yang ia utarakan berketerbalikan dengan apa yang seharusnya ia ucapkan. Sebagian besar terbungkus oleh kalimat super sarkastik; orang-orang perlu berpikir ekstra untuk akhirnya paham maksud asli dari ucapannya.

Dan hal tersebut termasuk dalam bagaimana ia mengkhawatirkan Seokmin–ia nampak tak bersahabat; mengatakan jika adik sepupunya itu sangat berisik, menyebalkan dan sinting. Terdengar anarkis–walau sejujurnya, Jihoon hanya mengkhawatirkan Seokmin; Pemuda itu hanya takut jika sifat hingar-bingar Seokmin justru akan mengundang orang lain untuk membencinya. Jihoon hanya takut jika selama kepergiannya nanti, sesuatu terjadi pada Seokmin. Jihoon boleh terlihat sedingin angin antartika; tapi seluruh teman-temannya mengakui jika pemuda ini memiliki hati yang hangat.

"Serahkan saja Seokmin padaku."

Dan Jisoo, lantas mengumpat dalam batinnya, ketika tanpa sadar ia mengucapkan hal tersebut di luar kendali.


"Jihoon hyung benar-benar mengatakan seperti itu?"

Jisoo bergumam sejenak, sibuk mengaduk adonan pancake selagi menempelkan bahunya pada telinga, menyelipkan ponsel di antara kepala serta bahunya. "Dia benar-benar mengatakan jika ia mengkhawatirkanmu, kau terdengar terkejut."

"Dia tidak pernah mengatakan hal-hal keju seperti itu," dengus Seokmin. Anak itu, sudah sejak sepuluh menit yang lalu menghubungi Jisoo–katanya baru pulang sekolah, jadi selagi ia menyelesaikan tugasnya, ia menelpon Jisoo yang kebetulan tengah membuat adonan pancake untuk dimasak esok pagi. Seokmin melanjutkan disela-sela suara goresan ujung pulpen yang menyapa kertas, "Makanya aku terkejut. Jihoon hyung tidak punya mulut yang manis, dia memang memuji sesekali; tapi di kasusku, tujuhbelas tahun aku hidup, ia bahkan belum pernah mengatakan hal-hal yang menyenangkan padaku. Kupikir hyung sedang mengigau saat mengatakan jika Jihoon hyung mengkhawatirkanku."

Ada kekehan ringan yang mengalun lembut dari mulut Jisoo. Pemuda itu menyandarkan ponselnya, menyalakan mode speaker begitu pundaknya mulai terasa pegal. "Jihoon sudah mengatakan soal kepergiannya ke Jepang nanti padamu?"

"Baru saja," ujar Seokmin. "Dia juga mengatakan padaku mengenai hyung yang akan mengambil hak asuhku selagi Jihoon hyung dan Soonyoung hyung menetap di Jepang selama dua minggu nanti."

Gerakan tangan Jisoo yang tengah mengaduk adonan pancake terhenti sejenak. Jisoo melipat bibirnya, mencoba tak mengeluarkan suara–cukup batinnya yang kini memberi respons mengenai keputusan yang tiba-tiba meluncur keluar begitu saja dari belah bibirnya beberapa saat yang lalu. Baiklah; Jisoo hanya mencoba untuk menjadi teman yang baik–Jihoon tengah pusing mengenai bagaimana adik sepupunya nanti menjalani hidup di kota sebesar Seoul sendirian tanpa pengawasannya mau pun Soonyoung. Jisoo sendiri mustahil menyerahkan Seokmin pada Jeonghan mau pun Wonwoo yang belum pernah bertemu dengan Seokmin secara personal–maka kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. Ia bilang, Jihoon bisa menyerahkan Seokmin padanya. Jisoo benar-benar mengatakannya.

Ketika Jisoo hendak membuka mulut, suara Seokmin sudah terlebih dahulu menyergap keheningan. "Aku akan menjadi anak baik," ujarnya. "Aku tidak akan membuat kekacauan seperti yang dibayangkan oleh Jihoon hyung, hyung boleh menjamin apa pun yang terjadi nanti. Aku tidak akan pulang telat, tidak akan nakal, tidak akan menimbulkan keributan. Seungkwan dan Chan pasti sudah bercerita banyak kalau aku anak baik-baik, 'kan?"

Jisoo tergelak ringan; Seokmin selalu mampu mengundang tawa di harinya. "Janji akan menjadi anak baik?" Tanya Jisoo dan segera dibalas oleh gumaman lantang Seokmin. "Janji juga akan mendengarkan kata-kataku selagi Jihoon dan Soonyoung pergi nanti?"

"Kapan aku tidak mendengarkan hyung?"

Tanpa sadar Jisoo tersenyum, "Kau sering menjadi pembangkang." Seokmin di ujung sana mendengus tidak suka, bercanda, sebab milisekon setelahnya ia justru mengalunkan kekehan. "Kalau begitu, berhenti menungguku setiap senin malam dan rabu malam."

"Hah" Seokmin setengah tercekat. "Hyung, kalau yang itu aku tidak bisa!"

"Kenapa tidak? Katanya kau akan mendengarkanku." Jisoo tersenyum usil; Tak masalah menggoda adik sepupu Jihoon sesekali, Seokmin punya reaksi yang lucu.

"Kalau yang itu aku tidak mau mendengarkan,"

"Kenapa?"

"Karena kita tidak punya waktu lain untuk bertemu," ucap Seokmin, mengundang hening panjang sebab setelah empat sekon waktu berjalan Jisoo tak memberi reaksi apa-apa di tempatnya–ia tidak terkekeh seperti biasa, tidak juga melayangkan protes. "Aku selalu sibuk dengan sekolah, tidak bisa mengunjungi hyung. Hari libur pun tidak bisa kugunakan dengan baik, terkadang ekskul vokal meminta latihan tambahan."

Pelan, Jisoo menghembuskan napasnya di sela-sela senyuman tipis yang sedikit terukir; "Baik, baik, kau menang, Seokmin-ah," Jisoo tergelak ringan di tempatnya. "Dasar perayu ulung."

"Aku juga bisa merayu hyung agar hyung mau menikah denganku nanti."


Sebelum kepergian Jihoon ke Jepang, Jisoo beserta Jeonghan dan Wonwoo datang untuk mengantarkan kepergian mereka–ada Seokmin juga; anak itu datang menyapa dengan senyuman paling cerah dalam balutan seragam kuning terangnya dan lantas mengundang gemas kedua sohib Jisoo. Yoon Jeonghan buru-buru mengucap pucuk kepalanya; katanya, ia tidak bisa menahan diri–wajah inosen Seokmin terlalu menggetarkan hati. Tapi di ujung sekon, Jeonghan lantas menyinggung pundak Jisoo. "Aku tidak akan merebutnya, tenang saja," dan Jisoo hanya bisa membalas dengan segaris senyuman.

Soonyoung dan Wonwoo bercekcok ringan sebelum keduanya sampai di akhir waktu. Tidak ada yang terkejut–mungkin hanya Seokmin, namun di antara Jihoon, Jisoo hingga Jeonghan, ketiganya hanya mampu merotasikan sepasang bola mata mereka dengan malas. Baik Soonyoung dan Wonwoo tidak pernah bisa berdamai dengan tenang; keduanya terlalu banyak meributkan hal-hal kecil, tidak jarang terkadang Jihoon hampir membanting kepalanya sendiri pada dinding, sedikit tidak tahan dengan keributan yang mereka buat.

Ketika Jihoon dan Soonyoung pada akhirnya harus angkat kaki, Seokmin melambaikan tangannya; Ia menepuk-nepuk pundak Jihoon terlebih dahulu, memberi beberapa pesan pada kakak sepupunya tersebut. "Hyung tidak boleh sakit di sana, jaga kesehatan. Aku tidak akan jadi anak nakal, jadi hyung tidak perlu khawatir. Jisoo hyung akan menjagaku dengan baik di sini."

Gemas, Jihoon mencubit pinggang Seokmin. "Aku tidak akan segan-segan membakar komikmu kalau sampai aku mendapat aduan tidak enak dari Jisoo. Jisoo, ponselku selalu aktif. Hubungi aku jika anak ini menyusahkanmu!"

Mencoba menyangkal, Seokmin buru-buru merangkul Jisoo dan melingkarkan kedua lengannya pada tubuh Jisoo–bertingkah seakan tidak ada siapa pun yang dapat merebut pemuda Hong tersebut darinya, bahkan Jihoon sekali pun. "Kalau selama dua minggu ke depan tidak ada aduan apa pun dari Jisoo hyung, hyung harus mentraktirku daging sepulang dari Jepang."

Jihoon merotasikan kedua bola matanya malas; Ia kembali mencubit pinggang Seokmin dan mengucapkan salam pada kawan-kawannya. Soonyoung dengan amat sangat manis melambaikan tangan–begitu pandangan jatuh pada Wonwoo, jari tengahnya segera mengacung mengajak ribut. Wonwoo tidak segan-segan membalas kelakuan Soonyoung dengan ikut menyumpah serapahi kelakuan temannya tersebut.

"Jadi bagaimana?"

Jeonghan membelah keheningan selepas memandang kepergian punggung Jihoon dan Soonyoung. Pandangannya mengedar, memandang Jisoo dan Wonwoo, lalu pada Seokmin yang masih permanen mengulas senyum di wajah.

Alis kanan Wonwoo terangkat, "Bagaimana apa?"

"Kita tidak bertemu di sini hanya untuk semata-mata melepas kepergian Jihoon dan Soonyoung lalu pergi dan kembali ke rumah begitu saja, 'kan?" Jeonghan melempar tatap pada ketiga entitas di sebelahnya; Wonwoo stagnan dengan ekspresi meminta penjelasan sedang Jisoo dan Seokmin hanya diam di tempat. Tidak ada respons apa-apa yang keluar dari belah bibir mereka.

"Astaga–" Jeonghan memijat pelipisnya kasar. Napas berhembus berat, tidak menyangka bahwa tak ada dari tiga presensi di sekitarnya yang memiliki pemikiran yang sama dengannya. "Jadi tidak ada yang ingin menikmati malam Seoul bersama? Besok hari libur dan kalian akan benar-benar kembali ke rumah tanpa melakukan kegiatan apa-apa?"

.

.

Pada akhirnya, tanpa meminta persetujuan apa-apa, Jeonghan menarik Wonwoo, Jisoo beserta Seokmin menuju salah satu kedai tteokbokki dekat rumah Jihoon. Sengaja memilih tempat tersebut agar Seokmin dapat segera pulang begitu selesai; Tapi faktanya selepas kepergian Jeonghan dan Wonwoo, remaja tujuhbelas tahun itu justru membawa Jisoo berkeliling. Katanya, ada banyak makanan enak di daerah dekat rumah Jihoon–Jisoo tidak menolak begitu pergelangan tangannya digenggam erat, tepatnya, ia memang tidak bisa menolak.

"Minggu depan aku dan band -ku akan tampil sebagai acara pembuka pentas seni & olahraga, dibuka untuk umum. Hyung mau datang?"

Seokmin berbicara di sela-sela kegiatannya menyantap bungeoppang. Anak itu mencuri pandang pada Jisoo yang berjalan di sebelahnya, berharap akan ada reaksi antusias yang menguar kentara pada wajah Jisoo.

"Sekolahmu punya banyak acara," canda Jisoo. Tidak heran jika Seungkwan mengatakan bahwa Seokmin dapat dengan mudah menggaet atensi sepenjuru warga sekolah–ia tergabung dalam band yang dapat selalu diandalkan untuk tampil dalam acara yang digelar oleh sekolah. Dan sekolahnya merupakan salah satu dari sekian sekolah yang aktif mengadakan acara serupa, kira-kira begitu yang Jisoo tangkap, mungkin anggota OSIS-nya kompeten dan punya segudang rancangan progam kerja yang beberapanya telah rampung disusun.

"Tenggorokanku sakit karena terus berlatih." Seokmin mengadu, dan Jisoo mafhum. Menjadi vokalis band rock jelas tidak semudah itu–tidak salah jika Jisoo sempat terkejut bahwa Seokmin tergabung dalam sebuah band rock dan mengisi posisi sebagai vokalis, walau hal tersebut cukup masuk akal untuk dijadikan alasan mengapa anak itu memiliki suara yang lantang.

"Tapi kau membeli es krim dan makanan berminyak," Jisoo mendengus pelan, mengingat jajanan yang dibeli oleh Seokmin beberapa waktu silam. Anak ini seperti tidak memiliki pantangan dalam hal makanan–ia membeli apa saja yang ia rasa enak dan mengonsumsinya tanpa henti. Mungkin ini yang dikhawatirkan oleh Jihoon; terkadang, Seokmin kehilangan kontrol atas dirinya sendiri. Ia melakukan apa saja yang dikehendaki hatinya dan mengabaikan perintah otaknya–salah satunya adalah kegiatannya menunggu Jisoo hingga larut malam, sampai pemuda itu selesai dengan pekerjaannya.

Gigitan terakhir bungeoppang menghabiskan setengah menit bagi Seokmin untuk mengunyah dan menelannya. "Nakal sesekali bukan masalah." Cengiran lebar terukir pada wajahnya dan Jisoo tak dapat melakukan apa-apa selain kembali mendengus. "Jadi bagaimana? Hyung akan datang?"

"Mungkin?" Jisoo menjawab dengan tanda tanya–pertanda ia masih menyimpan ragu dalam kalimatnya. "Aku tidak bisa menjanjikan sesuatu, tapi aku akan mencoba sebisaku," ujarnya. Ujung mata Jisoo dapat menangkap perubahan raut wajah yang dialami oleh Seokmin; pemuda itu jelas kecewa dan Jisoo tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari hal tersebut.

"Tidak perlu kecewa," ujar Jisoo, mengusap pucuk kepala Seokmin gemas. Perlu sedikit usaha bagi Jisoo untuk melakukannya–Lee Seokmin terpaut beberapa senti di atasnya, dan Jisoo perlu sedikit menekan ujung jari kakinya untuk sampai mengusap surai remaja tersebut. "Aku hanya tidak terbiasa membuat janji, tapi aku akan mengusahakan untuk bisa datang melihat penampilanmu."

Perubahan emosi Seokmin terjadi sebegitu cepat dan kontras–Jisoo baru saja selesai menandaskan kalimatnya dan ia lantas menemukan Seokmin tengah memandangnya dengan kedua bola mata yang berbinar terang. Sumber pencahayaan mereka hanya kelam rembulan yang terhalang kabut juga lampu jalanan yang remang–tapi Jisoo dapat menemukan iris Seokmin yang bersinar di tengah kemalam. Jisoo terkekeh renyah; kedua bola matanya saling tenggelam dan membangun sepasang garis melengkung, merepresentasikan sabit yang kala itu tengah lenyap ditelan awan.

"Aku akan meminta anak OSIS untuk menyediakan kursi spesial dan strategis untuk hyung, jadi hyung bisa melihatku dengan jelas."

Jisoo mulai merapatkan mantelnya, menghindari angin malam Seoul yang kian dingin dan menusuk hingga persendiannya. "Apa boleh yang seperti itu?" Seokmin mengangguk, merasa bahwa apa yang keluar dari mulutnya bukanlah tindakan yang salah.

"Ini pertama kalinya hyung akan melihat penampilanku, 'kan?" Pertanyaan Seokmin otomatis dibalas dengan anggukan oleh Jisoo. "Sekolahku memang sering menggelar acara, tapi jarang terbuka untuk umum. Biasanya hanya untuk murid atau wali murid terutama saat pesta perpisahan. Hyung, melihatku tampil di panggung itu sangat sulit. Jadi hyung harus memastikan untuk datang saat aku tampil sebagai pembuka acara nanti."

"Kalau begitu kau harus memberikan penampilan terbaikmu. Aku tidak mau melihatmu tampil dengan kacau. Begitu pulang nanti kau harus banyak minum air hangat."

Pemuda yang lebih tua berjalan dengan intensitas yang jauh lebih cepat–udara semakin dingin dan Jisoo tidak membawa satu pun heater pack dalam kantungnya. Seokmin di belakang tertinggal beberapa langkah. Jisoo yang terus melangkah tanpa memperhatikan sekitar, sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya–dalam sekejap membuat Seokmin paham jika pemuda itu tidak tahan dengan udara malam yang semakin dingin. Seokmin mengambil langkah lebar, menghampiri Jisoo dan menahan pergerakannya–

"Seokmin–"

...dan membawa Jisoo ke dalam pelukannya dalam sekali sentakkan. Ucapan Jisoo terpotong begitu saja begitu merasakan kedua tangan Seokmin bergerilya pada punggungnya, memberi sejumlah usapan sedangkan kini wajahnya telah tenggelam pada ceruk leher yang lebih muda. Di tengah malam yang dingin, dan Seokmin membawanya ke dalam sebuah dekapan hangat di tengah jalan, mengabaikan orang-orang yang berlomba-lomba untuk segera sampai pada rumah masing-masing dan merasakannya hangat.

"Dingin ya?"

Dalam sekejap seluruh persendian Jisoo malfungsi; syaraf-syarafnya tak bekerja dengan baik, ia hampir ambruk jika saja tangan Seokmin tidak menahannya. Remaja itu melingkarkan kedua tangannya pada punggung Jisoo; menarik pemuda Hong tersebut semakin erat dalam rengkuhannya. Jisoo tak mampu membuka suaranya sama sekali–lidahnya kelu, isi kepalanya kacau, tidak dapat tertata dengan baik.

"Sebentar lagi kita sampai ke rumahku. Jihoon hyung kemarin membeli banyak bubuk cokelat untuk diseduh."

Seokmin berucap seperti itu, namun ia tak bergerak barang seinchi dari tempatnya. Masih dalam posisi memeluk Jisoo, ia terus mengeratkan dekapannya–membawa Jisoo semakin dalam pada rengkuhannya; Dingin yang menjalar justru perlahan berganti menjadi panas. Darah berdesir hangat pada kedua belah pipi Jisoo–pemuda itu masih menenggalamkan wajahnya pada ceruk leher Seokmin, menghirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar lembut.

"Hyung bilang aku harus banyak minum air hangat; tapi kurasa mengganti air hangat dengan cokelat hangat bukan resolusi yang buruk. Jihoon hyung pernah bilang takaran cokelat hangat buatan hyung enak."

Jisoo mengangkat tanganya, meremat pelan seragam Seokmin dan berlanjut dengan memukul pelan dada remaja tersebut. "Kau memang perayu ulung, aku perlu mengadu dengan Jihoon mengenai ini."

Seokmin tertawa ringan, sedikit tidak dapat menahan diri, pemuda itu mencuri sebuah kecupan singkat pada puncak kepala Jisoo. Telapak tangannya yang lebar sudah terulur untuk mengusap surai kelam pria yang lebih tua; "Aku tidak keberatan untuk kehilangan seluruh koleksi komikku kalau bisa terus terjebak bersama hyung dengan posisi seperti ini."

.

.

.

Jisoo benar-benar berkunjung ke rumah Jihoon.

Keduanya sampai tepat ketika jarum pendek menyentil angka duabelas–terlalu larut untuk berkeliaran di jalan sendirian. Sejujurnya, Jisoo hampir melangkahkan kakinya pergi selepas menghabiskan dua gelas cokelat hangat bersama dengan Seokmin; Tapi adik sepupu Jihoon, di luar perkiraannya, jauh lebih pandai dalam urusan merayu. Anak itu membuka mulut mengenai kasus pembunuhan yang sempat terjadi beberapa hari yang lalu pada tengah malam. Ia berucap tanpa rasa bersalah sambil mencuci gelas, mengabaikan Jisoo yang telah membeku di tempatnya.

Dan ketika Jisoo memutuskan untuk menginap, pemuda Hong itu mendapati senyuman lebar terukir pada wajah Seokmin. Ia hendak berlari memeluk Jisoo dengan tangan yang masih dipenuhi oleh busa; Jisoo buru-buru memberi isyarat, mengibaskan tangannya, meminta Seokmin untuk membilas tangannya terlebih dahulu. Seperti anak anjing, Seokmin menurut.

Ini bukan kali pertama Jisoo menginap di rumah Jihoon–jauh sebelum ia mengenal Seokmin, sudah terhitung hampir puluhan kali Jisoo menginap. Ada sejumlah alasan mengapa Jisoo tanpa rasa canggung dapat mengambil ramyun atau pun cemilan dalam rumah sohibnya, membuka lemari Jihoon dan mengambil beberapa baju yang sengaja Jisoo tinggalkan untuk ia kenakan apabila ia menginap di rumah Jihoon. Jisoo merupakan salah satu dari tangan kanan Jihoon–begitulah pria itu menyebutkan orang-orang yang ia percaya.

Tidak ada yang berbeda; selain kenyataan bahwa kini Jisoo, untuk kali pertama, akan saling berbagi ruang dengan Seokmin–menetap di bawah atap yang sama selama semalaman penuh.

Ketika Jisoo membuka pintu kamar mandi selepas mengganti pakaiannya, ia sudah menemukan Seokmin dalam balutan kaus putih oblong. Ia tengah bersandar pada sofa, menyaksikan serial The Maze Runner dengan toples berisi biskuit di tangannya. Sebelah alis Jisoo terangkat skeptis, sedikit tidak percaya bahwa adik sepupu Jihoon mengikuti serial film yang ia gemari.

Tanpa mengucap sepatah kata, Jisoo segera menghempaskan bokongnya pada sofa. Lantas memfokuskan pandangannya pada adegan yang terputar pada televisi. Gerakan sontak yang diberikan oleh Jisoo otomatis menarik atensi Seokmin–pemuda Lee itu mengalihkan pandangannya, memperhatikan Jisoo yang kini telah tenggelam dalam dunianya sendiri dalam kurun waktu kurang dari satu menit.

"Ah– hyung."

Seokmin menyapa canggung; Jisoo tiba-tiba datang dengan setelan pakaian hangatnya. Tubuh ringkihnya berbalut sweater berwarna biru muda dan celana abu-abu panjang yang melapisi sepasang tungkai kakinya. Ujung rambutnya basah, beberapa dari mereka meneteskan air yang berakhir mengalir pada belah pipi Jisoo–mungkin ia baru selesai membersihkan wajahnya. Dari sisi seberang, Seokmin dapat menjamah dalam angan bagaimana kedua bola mata Jisoo mengerjap memperhatikan tontonan dengan seksamat. Cahaya teve membanjirinya dengan sedikit tidak santai–hal tersebut menyebabkan iris amethyst-nya nampak kian muda, persis seperti lelehan karamel. Rahangnya terpahat begitu baik; ujung hidungnya yang bangir mengundang gemas.

Jisoo begitu cantik; dan Seokmin kehilangan kata-kata untuk mendeskripsikannya. Tremor menyapa sekujur tubuhnya–sinting, Seokmin gemetar kehilangan kendali hanya karena iris setenang air telaga itu perlahan mulai bertegur sapa pada iris jelaga Seokmin. Dalam bola matanya, Seokmin menemukan rasi bintang tengah menari liar–cantik sekali, setengah respirasi Seokmin malfungsi. Paru-parunya kering dan keronta; Seokmin kesulitan mengais oksigen, napasnya tersekat. Tenggorokannya panas dan sengau; jutaan frasa diam tertahan di sana. Ada jumlahan fraksi dalam diri Seokmin menggempur–meminta diri untuk pecah, melebur dalam relung dadanya.

Seokmin tidak pernah tahu jika sebegini mematikannya keindahan Hong Jisoo.

Seokmin tidak pernah tahu.

Dan malam itu Jisoo memberinya sepotong pengertian; bahwa beginilah rasanya jatuh cinta. Sepenuh jiwamu diajak melayang–pikiranmu buram, hilang arah hanya karena tatapan seringan kapas. Kepingan putaran mengenai tawa dan senyum Jisoo yang telah terekam tandas pada memori Seokmin kembali terputar, membuat pemuda itu kian pening. Bagaimana sesederhana itu mengundang geli pada sekujur perut Seokmin hanya karena membayangkan tawa ringan Jisoo yang selalu terbayang.

"Hyung–"

Malam itu Seokmin memanggil pelan nama Jisoo; berat dan sengau, akibat sensasi terbakar masih menjalar memenuhi kerongkongannya. Malam itu, Seokmin ingin Jisoo tahu bahwa ia benar-benar mencintainya.

"Ya?"

"Aku mencintai hyung."

Kedua telapak tangan Seokmin terulur, menangkup wajah Jisoo. Memperhatikan lamat-lamat bagaimana pemuda yang lebih tua kebingungan dengan tindakan yang diambil oleh Seokmin. Seokmin mulai mengikis jarak–menyisakan lima senti celah antara ujung hidungnya dengan wajah Jisoo. Aroma mint menguar mengetuk lubang hidung Seokmin, bersusulan dengan napas Jisoo yang menerpa halus wajahnya.

"A-ah– Seokmin, aku tahu. Kau sudah sering mengatakannya, sekarang apa kau bisa sedikit menjauh. Ini terlalu, err, dekat–"

Malam itu, Seokmin ingin Jisoo tahu bahwa apa yang keluar dari belah bibirnya bukan hanya sekedar candaan jenaka dari bocah SMA. Seokmin ingin Jisoo tahu, bahwa terselip keseriusan dalam setiap pernyataan yang ia ucapkan.

Seokmin ingin Jisoo tahu, bahwa Seokmin benar-benar mencintainya dengan begitu payah.

Jarak lima senti yang terbangun kembali dikikis anarkis oleh Seokmin. Sekujur tubuh Jisoo menegang, berlanjut dengan gemetar ringan akibat ketegangan emosional–bagaimana Seokmin, dengan begitu ketakutan, membanjiri sebuah kecupan hangat pada kening Jisoo. Dalam dan hangat, meninggalkan artian yang membekas tanpa lisan mau pun tulisan.

Seokmin hanya ingin Jisoo tahu;

Seokmin hanya ingin Jisoo berhenti berpikir bahwa apa yang selama ini ia lakukan hanyalah tindakan sinting seorang remaja tujuhbelas tahun yang tengah sibuk memerangi emosi dan hormonnya sendiri.


a/n : wOW HOW IS IT. aku ngerasa soft banget waktu nulis adegan seokmin nyium kening jisoo, karena, seriusan, personally rather than kissing on lips, i like kissing on forehead better. ; ; ;

Don't forget to leave some review here!