Enchanted (c) prxmroses
SVT's Fic ; Lee Seokmin/Hong Jisoo ; bxb–Shounnen-ai
.
"Anak itu agak sinting," jelas Jihoon, memijat pelipisnya menahan malu. / Namanya Lee Seokmin, 17 tahun, dan mampu membuat Jisoo pening memikirkan kelakuan sintingnya siang itu.
Jisoo tengah memetik gitarnya dan terdiam begitu saja kala Jihoon memberi pertanda untuk berhenti, "chord-nya sedikit tidak cocok," jelasnya. Pemuda bermarga Lee itu kembali menyambar kertas lecak, mencoret chord lagu yang tengah ia kompos, mengganti huruf a dengan g. Tangannya berputar, meminta Jisoo untuk kembali memetik gitarnya, mengikuti chord yang telah ia rubah.
"Bagaimana?" Jihoon bertanya, meminta pendapat.
Senyuman di wajah Jisoo terlukis sejenak, "aku tau kau yang terbaik." Jemarinya yang panjang kembali memetik senar gitar, memainkan chord pada secarik kertas penuh dengan coretan tinta merah milik Jihoon.
"Tidak akan sebaik itu tanpa permainan gitarmu yang baik, Jisoo."
Gitar berwarna putih tulang perlahan disandarkan pada dinding, Jisoo memijat jemari kurusnya. "Aku takut gitarku justru membuat lagumu tidak laku. Maksudku– ini lagu akustik, ballad, penggemarnya cukup banyak tapi tidak sebanyak penggemar hip hop, pop, atau EDM. Sementara lagu-lagumu kemarin laku terbeli oleh agensi besar dan menjadi trending di berbagai tangga musik karena genrenya."
Sebelah alis Jihoon terangkat skeptis; pemuda itu tak lagi melanjutkan acara menyesap kopi hitamnya. "Kau meragukanku?"
"Ah– bukan, maksudku–"
"Kau meragukan dirimu sendiri," tandas Jihoon, meletakkan cangkir kopinya dengan setengah membanting. "Kau gitaris yang hebat, aku komposer yang genius. Aku berani bersumpah setelah lagu ini terjual, lagu ini akan merajai tangga musik mana pun dan mengalahkan lagu-laguku yang lain."
"Percaya diri seperti biasa," ungkap Jisoo, memaksa segaris senyuman untuk timbul pada belah bibirnya.
Jihoon mengoreksi, "Bukan percaya diri." Tangannya terulur, merapihkan kertas-kertasnya yang tersebar berantakkan pada meja. "Aku hanya mencoba untuk mengalirkan energi positif pada tubuhku. Kau paham aku orang yang mudah stres, dan satu-satunya cara terbaik untuk tetap menjaga emosi dan mentalku adalah dengan terus membagikan energi positif."
"Pelajaran spiritual baru," ujar Jisoo, setengah tertawa selagi ia membantu Jihoon merapihkan berkas di hadapannya. "Kau masih lama di sini?"
Yang lebih muda memandangi arloji yang melingkar pada pergelangan tangan kanan, memperhatikan jarum pendek yang baru saja menyentil angka dua. "Entah, aku menunggu adik sepupuku," jawab Jihoon. Ia melanjutkan, "anak itu bilang sekolahnya sedang ada acara dan akan selesai sekitaran pukul dua. Aku memintanya untuk menghampiriku ke sini– kau sudah ingin pulang?"
Jisoo tak lantas menjawab begitu telinganya tak sengaja menangkap suara bel pada pintu kafe yang berbunyi nyaring, pertanda kehadiran pengunjung baru. Ketika ia hendak membuka mulut dan memberi jawaban, ia telah menemukan Jihoon berbalik, melambaikan tangannya pada bocah SMA yang tengah kebingungan.
"Oh– adik sepupumu?"
Sebuah angukkan diberi sebagai respon, biner karamel Jisoo lantas tertuju pada pemuda dengan jas kuning terang yang membalut tubuhnya. Postur tubuhnya sangat baik untuk ukuran remaja yang bahkan belum menyentuh umur legal–ia tinggi, mungkin jauh di atas Jisoo, tubuhnya tidak gemuk namun berisi dengan baik. Ah, Jisoo sedikit iri.
"Seokmin-ah, sini," perintah Jihoon, menepuk-nepuk kursi kosong di sampingnya. Anak itu–kalau Jisoo tidak salah dengar, Seokmin namanya, menuruti Jihoon tanpa protes. Ia menarik kursi kosong, menghempaskan bokongnya di sana dan menunjukkan cengiran lepas; sepasang garis matanya membentuk lekukan bulan sabit, sedang bibirnya terbuka–menampilkan sederet gigi yang berjajar rapih.
"Jisoo-ya, kenalkan, dia adik sepupuku, Lee Seokmin."
Segaris senyuman terulas, Jisoo mengulurkan tangannya dan segera mendapat respon baik dari Seokmin. "Aku Hong Jisoo, teman Jihoon, satu tahun lebih tua. Senang bisa berkenalan denganmu." Tangan keduanya saling bertautan sejenak–dan begitu Jisoo mencoba untuk melepaskan tautan antara tangannya dengan tangan Seokmin, bocah SMA itu mencengkram tangannya. Ia menahan Jisoo agar tak melepas tautan tangan mereka; sebelah alis Jisoo terangkat skeptikal, tak mengerti dengan tindakan yang diambil oleh Seokmin.
"Jisoo hyung," panggil Seokmin. Mendadak, ia mendekatkan dirinya dengan yang lebih tua–mengikis jarak dengan anarkis hingga jarak di antara keduanya tak lebih dari sepuluh senti. Sebelah tangannya yang menganggur ia arahkan untuk ikut mengenggam tangan Jisoo, erat dan kuat. "Apa Jihoon hyung pernah bercerita tentang jatuh cinta pada pandangan pertama?"
Raut wajah Jisoo berubah dalam kurun waktu kurang dari sepersekon–ia terkejut, setengah kebingungan. Ujung matanya memincing, mencuri pandang pada Jihoon yang kini justru sibuk memijat pelipisnya sendiri. Sudah jelas; Jihoon bahkan tidak bisa membantunya.
"Err– jatuh cinta pada pandangan pertama?" Jisoo menggigit bibir bawahnya, tak tahu harus membalas apa. Akal berputar, mencoba mencari jawaban. "Aku hanya tahu kalau manusia hanya memerlukan waktu selama 0.2 detik untuk jatuh cinta– kau percaya yang seperti itu?"
Iris kelam Seokmin semakin berbinar–dan Jisoo semakin kebingungan, kehilangan akal; ia mengingat ucapannya sebelumnya, takut-takut jika ia baru saja melakukan sebuah kesalahan.
"Aku rasa aku baru saja jatuh cinta dengan hyung, jatuh cinta pada pandangan pertama! Jihoon hyung pernah bercerita padaku tentang itu, apa dia tidak melakukan hal yang serupa padamu?"
Jisoo menjawab dengan gelengan pasif. "Err– Seokmin, sejujurnya aku tidak benar-benar percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Aku merupakan salah satu dari sekian orang yang berpikir bahwa tidak ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama– yang ada hanya ketertarikan, dan eum– aku tidak mencoba untuk memuji diriku sendiri, tapi mungkin kau tengah menjalani fase seperti itu padaku."
Seokmin nampak menelengkan kepalanya, "Kenapa berpikir kalau jatuh cinta pada pandangan pertama itu tidak ada?"
"Ah– bukannya berpikir kalau tidak ada, aku hanya belum merasa pasti dengan itu. Tak masalah kalau kau percaya, aku rasa tidak ada larangan mengenai hal tersebut. Ini hanya perbedaan persepsi, tidak ada yang perlu dipusingkan."
"Tapi aku ingin menikahi hyung."
Bola mata Jisoo melebar–ia menelengkan kepalanya, tak mengerti dengan ucapan pemuda tersebut. Jisoo mendengar segalanya; dan ia hanya mencoba untuk sekedar memastikan, mungkin pendengarannya agak bermasalah–karena, oke, Jisoo sangat yakin Jihoon telah mendidik adik sepupunya dengan baik. Oleh sebab itu Jisoo yakin bahwa mungkin ia perlu membawa dirinya pada dokter, rasanya agak mustahil jika bocah SMA secara mendadak mengatakan jika ia ingin menikahimu.
Astaga, Jisoo bisa gila–
"Hyung tidak keberatan 'kan, jika aku ingin menikahimu?"
–tidak; Jisoo memang sudah gila. Rasanya seperti ingin menghantam kepalanya sendiri pada dinding begitu ia mendengar pernyataan tanpa dosa Seokmin.
"Seokmin-ah– sejujurnya, ah, aku bukannya keberatan hanya saja–"
"Anak itu agak sinting," ucap Jihoon, memotong kalimat terbata-bata Jisoo begitu ia sadar bahwa kawan dekatnya kini benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Jihoon masih memijat pelipis, sedikit menahan malu menyaksikan adik sepupunya yang baru saja kembali mengulangi tindakan gilanya.
Seokmin, setelah melakukan hal tak terduga, hanya dapat menampilkan cengirannya. Ia tak merasa bersalah barang sedikit pun–tangannya masih erat menggenggam jemari Jisoo, belum berniat melepasnya. Sedikit tidak peka jika Jisoo di hadapannya sudah setengah sadar, masih belum bisa menetralkan sejumlah pikiran yang berkecambuk pada akal juga relung hatinya.
"Ah! Tangan hyung berkeringat!"
Sadar, dengan cepat Seokmin segera melepas genggamannya dengan Jisoo. Anak itu tidak menarik wajahnya cepat-cepat–masih membiarkan jarak sepuluh senti antara keduanya berlabuh penuh kecanggungan. Seokmin mengerjap, mencuri pandang ke arah Jisoo yang mencoba untuk tetap rileks dan memasang senyuman di wajahnya.
Seokmin memandang khawatir–Jisoo yang dipandang seperti itu justru semakin pucat dan berkeringat. Ia masih belum benar-benar bisa menenangkan dirinya sendiri selepas terkejut dengan pernyataan mendadak Seokmin–oke, siapa yang tidak terkejut ketika tiba-tiba seorang bocah SMA meraih tanganmu dengan wajah berbinar dan mengatakan jika ia ingin menikahimu. Dan Jisoo, yang tidak pernah mengekspetasikan hal semacam ini untuk terjadi pada hidupnya–siang ini harus dibuat pening oleh kelakuan anak Adam yang satu ini.
Jisoo kembali ke rumah selepas Junhui, tetangganya, datang menjemput. Hanya ketidaksengajaan belaka–Junhui mengunjungi kafe yang sama dan menemukan Jisoo tengah berkumpul bersama Jihoon juga Seokmin. Pemuda berdarah China itu sempat ikut mengobrol sejenak, dan berakhir begitu ia menawarkan tumpangan pada Jisoo kala pesanan kuenya sudah datang. Jisoo tidak dapat menolak; maka ia pamit selagi menjinjing tas berisi gitarnya, tersenyum hangat pada Jihoon juga Seokmin yang masih memandanginya dengan binar terang yang memerangi iris segelap temaram.
Tak ada hal lain yang ingin Jisoo lakukan selain segera meraih handuk dan membasahi sekujur tubuhnya dengan air–ia membiarkan rintik air mengalir bersama dengan penatnya seharian ini. Isi kepalanya terasa kosong, lelahnya hari ini bagai menguar. Jisoo selalu menikmati masa-masa di mana air mengguyurnya dengan damai–seakan membawa pergi seluruh beban yang menimpa benaknya, memuarakan segalanya tanpa mengenal kata kembali.
Mengenakan kaus putih dengan penghangat ruangan yang menyala dengan baik merupakan opsi terhebat yang Jisoo miliki selepas mandi–ah, jangan lupa televisi yang menyala dan sekaleng soda ditemani semangkuk keripik jagung. Rumah selalu menjadi destinasi indah–dan Jisoo bahkan tak keberatan jika ia diharuskan untuk terus menetap di dalam rumahnya.
Begitu Jisoo sudah berbaring santai pada sofa, ponselnya berbunyi. Jisoo setengah mendengus; ia tidak suka jika ketenangannya diganggu, namun tak dapat sekedar menekan tombol reject dan mematikan ponselnya. Ada nama Jihoon di layar persegi tersebut, dan itu merupakan alasan mengapa Jisoo lantas mengangkat ponselnya.
"Ah, Jihoon-ah–"
"Jisoo hyung!"
Kening pemuda tersebut berkerut; demi Tuhan, Jisoo tidak pernah ingat jika Jihoon memiliki tipe suara yang tinggi dan melengking. Sejenak Jisoo menarik ponselnya, kembali menatap nama yang tertera pada layar–itu benar-benar Lee Jihoon.
"Halo, Jisoo hyung? Apa kau sedang sibuk? Sakit tenggorokan?"
Butuh waktu selama beberapa detik bagi Jisoo untuk menyadari suara siapa yang melengking tajam di seberang sana–sedikit familiar di telinga Jisoo; dan barulah ia sadari bahwa penelpon tersebut merupakan Seokmin. Jisoo sedikit mengulas senyum, ia menyandarkan kepalanya pada lengan sofa, masih dengan posisi ponsel yang menempel pada telinga kanannya.
"Tidak, aku hanya sedikit terkejut. Jihoon mengizinkanmu untuk menggunakan ponselnya?"
"Jihoon hyung tidak tahu," ungkap Seokmin. Suara anak itu perlahan mulai terdengar pelan, ia tengah berbisik dan lantas mengundang tawa renyah Jisoo. "Aku tidak punya nomor hyung jadi aku menelpon dari ponsel Jihoon hyung. Jihoon hyung sedang mandi, aku pinjam sebentar, tak apa. Nanti kalau dia sudah selesai, akan buru-buru kukembalikan."
"Kenapa harus meminjam ponselnya?"
Hening sejenak dari arah Seokmin–remaja itu tak langsung menjawab, terdapat jeda sebelum akhirnya ia merespon pertanyaan Jisoo. "Karena aku tidak punya nomor hyung."
"Bukan, bukan seperti itu," Jisoo menyanggah, membelah kesalahpahaman yang baru saja ditelan mentah-mentah oleh Seokmin. "Kupikir kau bisa mengirim nomorku dari ponsel Jihoon ke ponselmu– err, atau ponsel Jihoon tidak menyediakan fitur semacam itu?"
"Ah–"
"...Kenapa? Sesuatu terjadi?"
Jisoo dapat dengan jelas mendengar tawa Seokmin; anak itu tertawa mendadak tanpa sebab dan lantas membuat Jisoo hening di tempat dengan tanda tanya pada kepalanya.
"Aku tidak memikirkan itu!" Suara Seokmin meninggi, di sini Jisoo justru was-was jika Jihoon menangkap basah anak itu tengah berurusan dengan ponselnya. "Seharusnya aku mengirim nomor hyung ke ponselku, bukan diam-diam menggunakan ponsel Jihoon hyung."
Jisoo mengukir senyum, "Kau tahu masalahmu."
"Jihoon hyung galak sekali kalau marah."
"Kalau begitu cepat kembalikan ponselnya."
Seokmin mafhum betul dengan konsekuensi gila yang ia lakukan sekarang–Jisoo bahkan sempat meringis, membayangkan bagaimana jika anak itu tertangkap basah oleh Jihoon tengah memainkan ponselnya. Gitar Jihoon bisa melayang; dan selama semalaman penuh Seokmin bisa mati sesak napas karena mendapat tekanan dari Jihoon.
Sempat berekspetasi bahwa Seokmin akan memutuskan sambungan telponnya, kini justru Jisoo mendapati suara gaduh datang dari seberang sana. Apa Jihoon menangkapnya basah-basah?
"Seokmin?"
Hati-hati, Jisoo memanggil Seokmin. Pemuda tersebut tidak membalas–suara gaduh di ujung sana terdengar semakin nyaring. Gila, Jisoo membatin gelisah. Mungkinkah ada orang jahat di sana? Perlukah Jisoo memanggil polisi dan meminta mereka untuk segera menghampiri rumah Jihoon?
"Seokmin?" Jisoo kembali memanggil, mencoba memastikan–dan tetap tak ada balasan; Pria itu bangkit dari posisi berbaringnya, jemari kurusnya menyugar helai rambut, di ujung gerakan sempat meremat surai sendiri. Jisoo gelisah, Seokmin tidak menjawab.
"Hyung, hyung!"
Suara tinggi Seokmin menyapu gendang telinga Jisoo; lantas lelaki itu memberi respon cepat, "S-sesuatu terjadi di sana? Kenapa berisik sekali?"
Kekehan renyah dari balik ponselnya merupakan hal pertama yang menyapa rasa khawatir Jisoo–pemuda yang lebih tua mengerutkan keningnya tak mengerti; mengapa harus terkekeh? Jisoo menghabiskan hampir lima menitnya untuk memikirkan bagaimana kondisi Seokmin serta Jihoon di sana–akalnya terus berputar dan dilanda akan dilema harusnya ia menghubungi polisi atau tidak; dan kini Lee Seokmin menjawabnya dengan kekehan tak berdosa?
"Tadi Jihoon hyung baru selesai mandi," lapor Seokmin. Nada bicaranya masih cerah persis seperti awal ia menelpon Jisoo–tapi kini intonasinya agak menurun, menjadi sedikit lebih rendah. Anak ini tengah berbisik.
Kalimat Seokmin sedikit menarik atensi Jisoo. Melupakan kegelisahannya beberapa sekon yang lalu. Pemuda Hong itu membenarkan duduknya, kembali membuka mulut, membalas panggilan Seokmin. "Kenapa masih menghubungiku? Kupikir seharusnya kau meletakkan ponselnya dan mulai bertingkah seakan kau tidak melakukan apa-apa?"
"Aku bersembunyi," bisik Seokmin. "Tadi aku berlari ke kamarku, tapi sempat terpeleset di anak tangga, kakiku sakit."
Jisoo tidak bisa menahan tawanya; Seokmin di seberang sana terdengar ikut tertawa. "Suara gaduh tadi datang karena kau terpeleset?" Jisoo bertanya disela-sela tawanya, yang lebih muda hanya menjawab dengan gumaman singkat. Mengiyakan pertanyaan retoris Jisoo. "Olesi kakimu dengan salep agar tidak memar."
Melengos, Seokmin menjawab, "Jihoon hyung tidak pernah menyimpan obat-obat semacam itu."
Jawaban yang diberikan oleh Seokmin sama sekali tak membuat Jisoo terkejut–memang seperti itu Lee Jihoon. Bahkan anak itu sering sekali datang berkunjung ke rumah Jisoo untuk sekedar meminta obat dan kembali selepas mendapatkan apa yang ia butuhkan.
"Aku punya banyak persediaan obat di sini," ungkap Jisoo. "Jihoon selalu datang ke sini jika ia membutuhkan obat, terkadang meminta Soonyoung untuk mengambil obat yang ia butuhkan di sini. Kau juga boleh berkunjung."
Jisoo bisa merasakan aura sumringah di seberang sana–Seokmin setengah memekik, sekali lagi, terdengar suara gaduh. Disusul dengan aduhan Seokmin berserta gedebug ringan yang lantas membuat Jisoo memejamkan matanya nyeri–apalagi yang anak ini lakukan?
"Aku boleh berkunjung ke sana? Hyung tidak bercanda?"
"Kenapa aku harus bercanda?" Jisoo bertanya, penasaran.
"Karena aku orang asing untuk hyung," Seokmin menjawab, disusul dengan kekehan ringan. "Kita baru bertemu tadi siang! Memangnya hyung tidak takut denganku?"
Tanpa sadar, pemuda Hong itu tertawa menanggapi ucapan Seokmin. Sedikit tidak menyangka jika Lee Jihoon seorang pemikir berat memiliki adik sepupu dengan pola pikir yang amat sederhana– "Keluarga Jihoon juga keluargaku," simpulnya.
"Hyung!"
"Ya?"
Untuk yang kesekian kalinya, Jisoo mendengar kekehan Seokmin–dan bayang-bayang mengenai bagaimana remaja itu kini tengah menunjukkan cengiran lebarnya melintas begitu saja pada kepala Jisoo. "Aku rasa aku benar-benar jatuh cinta dengan hyung."
Ah, anak ini mulai lagi, Jisoo menghembuskan napasnya berat. "Kau sudah mengatakannya saat di kafe tadi, Seokmin-ah."
"Ingin mengatakannya lagi," Seokmin membalas tak acuh. "Hyung boleh benar-benar tidak percaya tentang jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi sekarang aku sedang jatuh cinta dengan hyung bahkan sejak pertama kali aku melihatmu," tukas Seokmin.
Di tempatnya, Jisoo hanya menggelengkan kepala tak mengerti.
Jisoo menganggap abai setiap kalimat yang keluar dari mulut Seokmin–tanpa tahu bahwa hari itu, sejak Lee Seokmin mendeklarasikan pernyataan gila kepadanya, sesuatu yang besar tengah menantinya.
Jisoo hanya belum tahu; dan eksistensi Seokmin akan membawa Jisoo pada titik di mana ia akan bertegur sapa dengan sejumlah hal yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
- To Be Continued -
A/N:
Halo? Hehe.
Makasih banyak untuk yang udah mau relain waktunya buat baca ff ini. Jadi, ya bisa dilihat, aku baru kepincut seoksoo. Bener-bener baru kepincut, terus memberanikan diri untuk nulis ff mereka. Aku masih mentah banget di seoksoo, jadi aku agak susah buat mengekspresikan karakter mereka. Aku perlu nonton beberapa variety show mereka– dan ya akhirnya memutuskan untuk ff ini, aku akan ngebangun karakter jisoo yang dewasa juga kalem, sedangkan seokmin bener-bener tipikal anak SMA yang ceria, rame, ya kayak pribadi asli dia aja. I'm literally trying to build a character of soft!seokmin.
Ngomong-ngomong, karena aku masih ga punya temen nyampah seoksoo di twitter, untuk yang main twitter, ayo follow-followan sama aku! Dan sampai jumpa di chapter selanjutnya.
twitter : prxmroses