Regrets
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Story by Mel
.
Cerita ini diilhami dari banyak kisah sebelumnya, maaf bila banyak kesamaan – mohon tidak di-flame :)
Please enjoy
.
.
Haneda Airport
Mata rubi membaca sekilas e-tiket pesawat yang ditampilkan pada smartphone, kelas eksekutif dan letak kursi terbaik telah dipilihkan oleh sekretarisnya beberapa hari yang lalu. Penerbangan masih dua jam lagi, kali ini ia harus menghadiri meeting di Seoul. Inspeksi rutin yang sudah terjadwal dalam agendanya, saat ini ia akan melakukan pemantauan roda bisnis perusahaannya di ibukota negeri ginseng itu.
Kakinya melangkah menuju executive lounge, sebuah ruang tunggu dengan fasilitas sofa nyaman dan hidangan ringan lezat tersaji di sana, hanya dengan menunjukkan kartu platinum miliknya, untuk menunggu sebelum keberangkatan. Koper kecil beroda empat disisinya sedikit berderit diseret si empunya. Langkah tenang melewati souvernir shops yang berjajar menawarkan benda-benda khas negaranya, sederet gerai menawarkan barang-barang original tanpa dikenai pajak, terpampang tulisan 'duty free' pada masing-masing fasadnya, juga banyak cafe penyedia makanan dan minuman, baik franchise maupun lokal.
Wajah tampannya tampak angkuh, aura wibawa melekat jelas, walaupun tampak acuh, matanya menyapu semua pemandangan yang terpampang di depannya. Alis eksekutif muda bersurai crimson itu sedikit berkerut ketika di sebuah kafe yang menyediakan smoking area, retina rubi itu menangkap sosok yang dikenalnya.
Diantara jari tengah dan telunjuk terapit sebatang sigaret putih. Mengenakan polo shirt putih tulang dipadu jeans biru muda sangat cocok membalut sesosok tubuh mungil. Sementara sebuah buku terbuka di meja, ia tengah menyesap segelas minuman dingin melalui sedotan berwarna merah.
Jari lentik menjentikkan abu pada asbak porselen, kemudian menghisapnya dengan nikmat, kepulan asap kelabu tipis keluar dari bibir mungil sewarna coral. Pemandangan yang cantik dimata rubi.
Wajah rupawan itu tersenyum saat berbincang dengan seseorang di depannya, lalu tertawa membuat pipinya sedikit merona . Gestur tubuh yang sangat luwes. Aura manis tetapi juga dewasa memancar dari tubuh mungilnya.
Pria muda itu tidak dapat melihat secara jelas dengan siapa pemuda mungil bersurai biru muda berbicara, karena duduk orang itu membelakangi dinding kaca, pembatas koridor di dalam bandara dengan kafe itu. Ada sorot tidak suka membias pada iris rubi.
Mata lebar berwarna biru bening melirik jarum putih jam bulat biru dongker di dinding cafe, mematikan sigaret pada asbak yang baru setengah batang dihisap. Lengan putihnya memasukkan buku ke dalam ransel, lalu keduanya beranjak. Mereka masih saja berbincang, terlihat santai dan sangat akrab.
Kedua pemuda, bukan, mereka adalah pria muda berusia pertengahan duapuluh tahunan. Sama-sama berparas tenang dan tentu saja tampan. Banyak mata yang menatapnya, atau sedikitnya melirik mereka. Rasa kagum terpancar dari berpasang mata, melihat dua mahluk Tuhan yang sempurna.
Iris rubi semakin menyorot tajam tidak suka, ketika tangan sang rekan menyampir di bahu mungil Kuroko Tetsuya - pria mungil bersurai biru muda itu.
Langkah keduanya menuju gate A-7, penerbangan internasional.
Melalui papan informasi yang menyajikan sederet daftar kode penerbangan dan destinasi, pria bersurai crimson - Akashi Seijuurou mengetahui kemana tujuan keduanya, Schiphol – Amsterdam, Belanda. Matanya masih terus mengikuti kedua sosok itu.
Saat memasuki pintu kaca yang otomatis terbuka pada gate A-7, tiba-tiba Kuroko Tetsuya memutar kepalanya, mata biru langit yang indah itu menatapnya, hanya dua detik, Akashi Seijuurou terkesiap, nafasnya tercekat. Tapi sosok itu seolah tidak mengenalinya. Tidak peduli. Ia melangkah masih tetap dalam rangkulan seorang pria muda berambut abu keperakan. Tak ada perubahan dalam gesturnya, masih saja tenang seperti tidak melihat apa-apa.
"Apa kau sudah lupa padaku, Tetsuya?" batinnya. Kedua mata rubinya lekat menatap saat kedua orang itu menyerahkan boarding pass pada petugas bandara berseragam biru muda, selanjutnya mereka menghilang dibelokan tertelan jembatan tertutup serupa gua berlantai metal menuju badan pesawat, yang telah menderu dari setengah jam yang lalu, siap mengudara.
Akashi menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku dan dia sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Menetapkannya dalam hati. Terserah dengan siapapun dia sekarang aku tidak peduli, batinnya. Dagunya diangkat.
Dari Gate A-16, ia masih bisa melihat badan pesawat penerbangan terbaik Belanda berlabel Boeing 747 bermesin jet dengan dominasi warna biru muda berlogo mahkota, tengah meluncur di landasan pacu bersiap untuk tinggal landas, sesaat kemudian terbang di angkasa yang saat ini cerah. Ia meraba dadanya, seperti ada yang lepas, hilang.
"Naah! dia bukan apa-apaku lagi!" menegaskan pada dirinya sendiri.
Namun semenjak melihat Kuroko dengan orang lain saat itu, sedikit banyak telah mengganggu hidupnya yang sebelumnya tenang, bahkan ia sudah punya pengganti sosok mungil yang telah ia putuskan satu setengah tahun lalu.
Ternyata melihat orang yang pernah sangat dekat dengannya baik-baik saja, bahkan mungkin bahagia dengan orang lain, menjadikannya merasa tidak suka. "Ternyata dulu kau tidak terlalu mencintaiku, ne Tetsuya? Aku melihatmu semudah itu menggantikanku dengan orang lain!" lirih Akashi berucap.
'Tapi bukankah kau yang memutuskannya terlebih dahulu, tuan absolut?' sebuah suara terdengar dibenaknya.
"Haah, aku bosan dengannya yang selalu datar, tanpa ekspresi, tak pernah berubah." sebuah alasan disuarakan.
'Ya sudah kalau begitu, kenapa juga kau cemburu padanya?' suara sama dengan miliknya terdengar lagi.
"Aku tidak cemburu, hanya saja dengan semudah itu ia melupakan semuanya."
'hahaha lucu sekali, apa kau tidak bisa melupakannya walaupun kau sudah punya penggantinya, huh?' balas suara itu lagi.
Kuroko Tetsuya, tengah menempuh pendidikan masternya di Belanda, di Leiden University, terletak di sebuah kota yang berjarak kurang lebih 50 km dari Amsterdam. Sudah hampir satu tahun ia menempuh pendidikannya di sana. Cita-citanya menjadi master di bidang art, terutama sastra, membuatnya memilih perguruan tinggi ini.
Pagi itu Kuroko berjalan di trotoar, gedung konsulat Jepang di Amsterdam menjadi tujuannya, ada acara gathering untuk para mahasiswa Jepang yang tengah menempuh studi di Belanda, sekalian perkenalan dan sosialisasi perusahaan terkemuka dari Jepang, yang menawarkan beasiswa dan kesempatan untuk magang sebagai bentuk kepedulian akan pendidikan. Perusahaan ini mempunyai kantor cabang di Amsterdam yang dikelola oleh manajemen baru.
Di gerbang berwarna krem ia bertemu dengan pemuda berambut abu keperakan.
"Kuroko, ternyata kau datang juga." sapanya.
"Ya Mayuzumi senpai, aku sengaja datang siapa tahu bisa magang di perusahaan itu, lumayan untuk tambahan." Jawab Kuroko.
"Tapi Leiden ke Amsterdam lumayan lho jaraknya, apakah kau punya waktu untuk magang, tugasmu 'kan banyak semester ini." manik kelabu menatap biru langit di depannya. Kuroko hanya mengangkat bahu. "Hanya setengah jam menggunakan kereta dari Leiden, senpai."
Keduanya memasuki ruang pertemuan yang sudah mulai ramai, mereka merasa seperti berada di tempat asalnya, para mahasiswa berbincang dalam bahasa ibu mereka, makanan dan minuman yang dikudap pun begitu, semua berasal dari negerinya, serasa di kampung halaman. Sekitar tiga puluh orang hadir di ruangan serba guna itu, belum termasuk staf konsulat dan beberapa orang perwakilan perusahaan.
Acara dimulai, saat seorang pria muda bersurai merah memasuki ruangan. Layar dan infocus sudah dipersiapkan. Ia berdiri di depan. Beradaptasi dengan situasi ruangan yang mulai hening sekarang, ia mengedarkan pandangannya, melihat dua sosok duduk paling belakang, dua orang yang beberapa bulan lalu ia lihat di bandara Haneda. Mata biru langit dan kelabu tengah menatapnya.
Sesekali Akashi mendapati mereka sedang berbincang, wajah datar itu tersenyum ketika pria yang disampingya berbisik.
"Kau tidak akan menyapanya, hm?" bisik Mayuzumi. Kuroko hanya tersenyum.
"Kita lihat saja nanti, senpai." balasnya berbisik. Senyum manis terkembang. Senyum yang membuat hati pemimpin perusahaan itu berdenyut.
Presentasi yang dilakukan secara interaktif berlangsung satu jam, lebih banyaknya mahasiswa yang menanyakan persyaratan untuk mendapatkan beasiswa.
Tidak merasa perlu dengan itu semua, keduanya beranjak, duduk di bangku taman yang ditata dengan asri, sebuah kolam kecil dengan lampu dari batu tampak menyejukan mata, belum lagi irama air dari pancuran yang seolah berjungkat jungkit. Membuat keduanya betah. Tanaman air mengambang, menyembunyikan beberapa ekor ikan koi yang berenang tenang.
"Tetsuya..." sebuah bariton menginterupsi hisapan sigaret. Asap tipis keluar dari bibir yang pernah menjadi candunya.
"Akashi-kun, apakabar?" suaranya terdengar lembut. Iris mereka bertemu. Wajah datar Tetsuya tidak menunjukkan riak sama sekali. Datar. Tidak ada rindu. Tidak ada benci.
Pertemuan dengan Kuroko Tetsuya ternyata berdampak besar. Wajah rupawan yang kini menampakan garis-garis tegas tapi masih saja terbilang manis. Sosok mungil, serta gestur yang menawan tidak bisa ia lupakan.
"Sei, malam ini kita bisa 'kan dinner di Aragawa?" – sebuah restoran mewah di Tokyo, menawarkan kobe terbaik seantero Jepang. Suara itu terdengar manja seperti biasa. Akashi biasanya akan menyetujui ajakan dimana pun pemuda mungil itu berucap.
Tapi tidak untuk saat ini. Ia yang baru pulang dari Amsterdam merasa sedikit lelah, bukan hanya lelah fisik, batinnya pun terganggu.
"Tidak hari ini, aku lelah." Ujung mata Akashi menangkap rajukan di wajah pemuda berkulit putih bersurai pirang.
"Kita sudah sebulan tidak kencan keluar Sei!" ucapnya manja. Entah kenapa ia menjadi muak mendengar rajukan manja di telinga. 'Dulu Tetsuya tidak pernah manja seperti ini, bocah ini makin lama makin mengganggu saja.' batinnya.
"Kalau Sei tidak mau, ya sudah aku akan hang out dengan teman-temanku saja." Pemuda itu beranjak dari sofa di depan meja kerja Akashi.
"Terserah kau saja lah." Suara berat itu seolah tidak perduli. Tangan kecil meraih handle pintu, kepalanya diputar menatap kekasihnya yang sibuk dengan tumpukan berkas didepannya. Ia berharap mata rubi akan melihatnya, dan bibir itu berucap, 'jangan pergi, maafkan aku.' tapi sampai sepuluh detik kemudian tidak satu pun terjadi. Akashi Seijuurou tengah tenggelam dalam kesibukannya.
Akashi tahu, pemuda itu sedang menunggunya. Tapi saat ini ia sedang tidak dalam mood baik, sebenarnya hal ini sudah terjadi sejak beberapa bulan lalu. Ia bosan. Jenuh dengan pemuda manja yang sepertinya menggelayutinya terus.
.
.
TBC
.
.
Note:
Hi readers….
Ketemu Mel lagi…. XD
Cerita kali ini saya coba buat Tetsuya yang tegar…. (mudah-mudahan bisa… gommen kalau kurang nge-feel ~bow~)
Mudah-mudahan suka ceritanya :D
Salam,
Mel~