Bagian ke-3A: Destinasi magis; ide yang direalisasi serta jawaban dari sebuah teka-teki.

[ 3-A/3 ]


Baekhyun bukanlah santa klaus. Yang mengabdikan diri menjawab dan mengabulkan semua permintaan anak-anak dari seluruh penjuru dunia. Ia adalah seorang penulis fiksi yang kebetulan saja harus memenuhi permintaan seseorang; asistennya, babunya, demi ide ajaib yang sudah ia tawarkan. Ini semata-mata adalah bentuk balas budi, tidak lebih, tidak kurang. Baekhyun memenuhi kewajibannya sebagai manusia yang sah, yang patutnya mengerti apa itu hukum give and take.

Sekali lagi, itu hanya bentuk balas budi.

Demi Manchester dan segala keborjuisannya. Mengapa Chanyeol memilih desa gay sebagai tempat yang ia datangi? Ada banyak petak-petak kecil dalam peta Manchester yang lebih bisa dinikmati. Bukan berarti Baekhyun tidak pernah mengunjungi desa gay. Tentu, pernah. Dua sampai tiga kali diwaktu luang, ketika ia butuh seseorang untuk menjadi pereda sakit kepala dan pelampiasan nafsu birahi. Ketika ia butuh berteriak sekencang mungkin sambil menikmati hentakan jantan dan agresif pada bagian bawahnya. Homoseksual mancunian sebenarnya patut diacungi jempol, kalau boleh diberi rating.

Desa gay Manchester adalah wisata sesama jenis yang dilegalkan negara, meski sebenarnya Inggris tidak benar-benar melegalkan LGBTQ. Setiap negara adidaya agaknya memiliki desa gay-nya masing-masing. Baekhyun tidak tahu untuk kawasan yang lain, New York atau Brazil misalnya. Yang katanya pelayanannya super wah dan mewah, baik tempat maupun personalnya. Bagi Baekhyun, yang setingkat Manchester saja sudah bisa diberi peringkat lima bintang.

"Sebenarnya, apa yang kau pikirkan? Kenapa ingin mengunjungi desa gay?"

Mereka masih di dalam apartemen, hendak keluar menuju destinasi utama. Chanyeol masih memasang sepatu. Lelaki itu berpakaian cukup tebal, hampir menenggelamkan tubuhnya yang tinggi besar. Baekhyun berdiri di sisi pintu, mengetuk pantofelnya berulang kali.

"Kau tahu, aku homoseksual. Setidaknya berada di kawasan orang-orang yang serupa denganku membuatku nyaman. Baik dalam hal bergerak atau bernapas."

"Di lingkungan normal?"

"Mirip seperti burung dalam sangkar. Aku merasa seperti dikungkung, leherku dicekik."

Baekhyun mendecih. Ujung bibirnya bergerak ke bawah. "Kau berlebihan." Ia memutar kunci, pintu terbuka. "Cepatlah."

Mungkin tidak banyak orang yang tahu tentang desa gay yang akan mereka kunjungi. Karena memang topiknya amat sensitif. Padahal desa gay tidak diragukan lagi merupakan area yang ramai pengunjung dilihat dari banyaknya kelab yang berpusat di jalan Canal. 'Jalan Anal' kata orang-orang sekitar biasa menyebutnya.

Sepanjang jalannya dibangun hotel, kafe, kelab, bar, tempat perbelanjaan, tidak jauh berbeda dengan pusat area tertentu lainnya, hanya saja lebih banyaknya didatangi oleh kaum belok. Tapi meski dinamakan desa gay, bukan berarti para heteroseksual tidak boleh bertandang, justru para mancunian di sini amat ramah dan tidak mengkotak-kotakkan seksualitas pengunjung.

Chanyeol adalah satu-satunya yang paling merasa takjub. Sebagai seseorang yang tidak terlalu lama tinggal dan menjelajah Manchester, tentu ia bersikap layaknya turis. Baekhyun berjalan di belakangnya, dengan kedua tangan tersembunyi di balik saku mantel. Sesekali tertawa melihat tingkah orang yang berjalan bersamanya. Lucu sekali jalan-jalan bersama pendatang kampungan.

Mereka berangkat sore hari, hampir menuju petang. Baekhyun bahkan harus menggunakan kacamata hitam di tengah kemewahan bangunan-bangunan yang dipetak dan diselipi jingganya matahari. Selama itu Chanyeol melenggakkan lehernya meniti setiap inti keindahan jalanan Manchester.

"Sekarang aku mengerti mengapa kau betah berada di negeri orang, Baekhyun."

Baekhyun tersentak mendengarnya. Ia hampir tidak bisa berkata apa-apa. "Hmm, ya. Tidak juga. Ya."

Chanyeol terkekeh. "Mana yang benar?"

Baekhyun menuntun perjalanan menuju sebuah kafe sederhana di pinggir jalan. Masih belum banyak pengunjung ke luar-masuk pintu. Papan penanda besinya dibubuhi ukiran eksentrik serta lampu neon meliuk layaknya anak ular berwarna merah muda menyala yang membentuk nama identitas kafe. Denting lonceng terdengar ketika pintu terbuka, lantas Chanyeol membungkuk mengucapkan permisi dalam bahasa Inggris. Seseorang menghadang Baekhyun.

"Welcome, Baekhyun! Nice to see you again, Liebling."

Chanyeol yang berada di belakang Baekhyun mengerdip bingung, Baekhyun cepat menjawab dengan bahasa yang sama.

"Hei, Dennis. You look great."

Lelaki tinggi besar yang diperkenalkan dengan nama Dennis itu tersenyum lebar. Ia meraih tangan Baekhyun, mengecup punggungnya dan menyisakan suara kecupan yang dibuat-buat.

"Hari ini pun kau tampak indah. Luangkan waktumu untukku malam ini, Byun Baekhyun."

Baekhyun menarik tangannya kembali, terbaca rasa jengah dalam mimiknya. "Terima kasih, Dennis. Tapi aku tidak bisa."

Ekspresi Dennis menggelap. "Ada apa? Kita sudah lama tidak bertemu, Liebling. Aku rindu pada—o-oh, siapa laki-laki ini? Teman kencanmu yang baru?" Matanya menyipit tajam pada eksistensi Chanyeol yang berdiri di belakang Baekhyun tanpa di perhatikan selama beberapa menit. Merasa diancam, Chanyeol menaikkan sedikit dagunya.

"Dennis, dia hanya rekan kerjaku. Jangan ganggu dia," ucap Baekhyun menengahi.

"Itu benar, Dennis. Jangan ganggu Baekhyun dan temannya!"

Kepala Chanyeol menyembul dari punggung Dennis yang lebar. Seorang laki-laki berwajah Asia—seperti dirinya—tengah menggosok buritan gelas bening dengan seragam khas seorang bartender. Ia mengerjap, Chanyeol seperti tengah menatap refleksi dirinya sendiri, yang beberapa hari lalu masih menggunakan seragam yang sama. Bedanya, pria di sana begitu lihai dan atraktif sedangkan Chanyeol seperti robot usang dan soak.

"Minseok-hyung!" Baekhyun berseru sembari mendekati meja panjang kafe. Chanyeol turut mengikuti sambil berpura-pura tidak melihat tatapan Dennis yang mengajak berperang. Baru saja ia pikir ia telah menemukan tempat untuk berdamai ternyata malah diajak berselisih.

"Baekhyun, sudah lama, ya."

"Apa kabarmu, hyung?"

Minseok meletakkan gelasnya di etalase. "Baik, tentu saja baik. Kalau kau ingin menanyakan kabar Jongdae sekaligus, dia juga baik."

"Jongdae-hyung masih sibuk bermain game, ya?" tanya Baekhyun diiringi tawa ringan.

"Kau tahu dia orangnya bagaimana. Terkadang menyebalkan, terkadang perhatian. Ah, aku tidak habis pikir kenapa bisa berakhir dengan dia." Minseok mengambil sebuah lagi gelas, "Tapi kau tahu? Minggu lalu, dia berhasil memenangkan sebuah perlombaan game online di London. Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia lakukan di London, tahu-tahu saja pulang bawa uang 500 ribu poundsterling. Kukira dia merampok bank di sana, astaga. Hampir saja mau kuceraikan."

"Cerai?"

Pertanyaan Chanyeol membuat Minseok dan Baekhyun menoleh ke arahnya bersamaan.

Minseok tersenyum, "Benar. Jongdae itu suamiku. Kenapa?"

"A-ah, tidak ada."

Baekhyun memperkenalkannya. "Minseok-hyung, dia Chanyeol. Park Chanyeol."

"Oh my, another korean." Tangan Minseok reflek menutup mulutnya. Matanya seakan mencari detail Chanyeol. Dari ujung rambut hingga sepatu yang dikenakannya. "Dia bagus, Baekhyun."

"Bukan begitu, hyung. Dia hanya asistenku."

"Asisten merangkap?"

"Tidak merangkap apa pun."

"Heh, siapa tahu. Aku hanya mengatakan opiniku, kau tahu mataku tidak pernah salah. Chanyeol cocok denganmu yang menggebu-gebu, daripada bocah yang waktu itu kau kenalkan. Err ... siapa namanya? Aku lupa-lupa ingat. Jordan? Jonathan?"

"Jongin."

"Betul, bocah yang itu." Minseok menunjuk Chanyeol dengan ibu jarinya. "But, I prefer this brat, Baekhyun."

"Oh my God, stop that. Chanyeol itu lebih tua dua tahun dariku."

"Tidak masalah." Minseok tertawa terbahak, tangannya menepuk-nepuk meja kafe. Baekhyun memalingkan wajahnya dari Chanyeol yang memilih duduk agak berjauhan. Hanya samar-samar yang lelaki itu bisa dengar, untungnya. Namun, telinganya yang merah dapat dengan jelas Chanyeol lihat.

Seseorang menepuk pundaknya.

Dennis ingin mengobrol dengan Chanyeol. Sebelum menjauh, Minseok berseru kepada Dennis agar jangan sampai terjadi baku hantam antara ia dan Chanyeol.

Chanyeol hanya diam memperhatikan punggung Baekhyun. Hingga kini lelaki itu tidak ingin balas menatapnya.


Dennis masih belum membuka mulut hingga ke menit enam mereka duduk berhadapan. Atau hingga dua cangkir alkohol telah terisi masing-masing.

"Katakan, di mana kau bertemu, Liebling?"

Chanyeol mengerjap. "Liebling? Siapa?"

"Baekhyun. Kami orang Jerman tidak menggunakan Liebe, seperti dalam kalimat Ich Liebe Dich. Secara personal, aku menggunakan Liebling. Dalam bahasa Inggris kau bisa mengartikannya dengan istilah 'darling'."

"Oh. Baekhyun. Kami bertemu secara tidak sengaja, itu saja."

Chanyeol tersenyum pahit. Ia dapat menerka seberapa jauh dan intim hubungan yang dimiliki Dennis dan Baekhyun. Bola mata Dennis berhamburan pelangi dan lambang hati ketika Baekhyun baru saja datang dan membuka pintu kafe. Entah kenangan apa yang pernah mereka buat. Munafik jika Chanyeol berpikir ia tidak ingin tahu, tentu ia ingin mengubek-ubek masa lalu Baekhyun lewat pria Jerman besar bernama Dennis ini.

"Hanya dua orang yang pernah Baekhyun kenalkan pada kami. Kau dan pria Asia lainnya bernama Kim Jongin. Persis denganmu, Jongin pun diperkenalkan sebagai rekan kerja." Dennis mendengus. "Rekan kerja apanya? Saat aku membuka pintu kamar mereka, Jongin sudah berada di atas kasur tanpa pakaian dan dua bungkus kondom."

"Lalu Baekhyun?"

"Aku tidak melihat dia saat itu. Ia pasti sudah pergi lebih dulu."

Chanyeol mengamati Dennis yang memilih menatap logo botol alkohol. Kemuramannya menimbulkan banyak tanda tanya.

"Dennis."

"Hmm?"

"Apa maksudmu mengatakan ini padaku?"

Dennis menenggak minumannya. "Kau mengerti, nak. Jangan nodai, Liebling."

"Kalau dia yang meminta?"

"Kau sudah pernah berhubungan dengannya?!" Nada suara Dennis meninggi.

"Tidak pernah."

Tangan Dennis terlipat. "Begini. Aku sangat menyayangi Baekhyun. Saat dia pertama kali datang ke sini, dia tampak begitu rapuh dan ringkih. Dia sangat menyedihkan. Aku, Minseok, Jongdae dan Martha mengizinkannya tinggal di sini selama beberapa minggu. Kebetulan kami juga menyediakan penginapan di sebelah bangunan ini. Lalu, Baekhyun mulai terbuka dengan kami, tentang keluarganya, tentang dirinya. Pada saat itu, aku bertekad untuk menjaganya. Tapi suatu hari ia membuat keputusan yang memberatkan hatiku. Ia ingin pergi, mandiri. Ia ingin menerbitkan buku-buku. Ia akan kembali ke tempat ini dengan keadaan yang jauh lebih baik. Lalu dia kembali, dengan sosok yang berbeda. Bersama dengan seorang rekan kerja bernama, Kim Jongin."

Chanyeol ingat siapa itu Kim Jongin. Laki-laki yang datang bersama Baekhyun pada malam yang mengubah seluruh kehidupannya. Sepintas Jongin memang terlihat seperti rekan kerja pada umumnya, tapi setelah mendengar kisah Dennis, Chanyeol diminta untuk berpikir dua kali. Tidak ada bukti otentik bahwa Baekhyun memang melakukan hubungan intim dengan Jongin, tapi hanya ada ia dan lelaki itu malam itu. Siapapun akan memberi dugaan yang sama.

Dennis melanjutkan. "Tapi ia selalu beranggapan bahwa ia hidup sendirian. Berjuang di negeri orang dengan darah dan keringat sendiri. Jadi baik itu aku atau Minseok, hanyalah seseorang yang sempat singgah di waktu senggangnya. Padahal, aku ... aku sudah menganggapnya seperti anak sendiri."

Pernyataan Dennis menyentak Chanyeol. "Anak? Bukan kekasih?"

"Kekasih? Bukan, bukan. Begini-begini aku sudah berusia empat delapan dan sudah menikah. Aku dan istriku, Martha, kami tidak dikaruniai anak. Maka dari itu kami menganggap Baekhyun seperti darah daging kami sendiri." Dennis tertawa kecil. Ia menggosok cincin yang melingkar di jari manisnya dengan ibu jari, dengan tatapan hangat seorang pencinta. "Apa aku memang terlihat semuda itu? Istriku memang sering kali protes pada wajahku."

Nyaris saja Chanyeol berpikir macam-macam terhadap Dennis. Rupanya hubungan yang mereka miliki tidak lebih dari sekadar hubungan platonik antara Ayah dan Anak. Chanyeol bisa mengerti kekhawatiran Dennis sebagai seorang Ayah terhadap kehidupan anaknya, bahkan lebih khawatir dari Ayah pada umumnya.

"Maafkan aku, Dennis. Rasanya aku sudah tidak sopan."

Dennis lagi-lagi menjawab dengan tawa kecil. "Kau paham maksudku 'kan, nak Chanyeol? Aku tahu Baekhyun sudah sering berhubungan dengan laki-laki lain sebelum datang kepada kami, tapi, setidaknya ia dapat melakukan hal itu dengan orang yang tepat, dengan orang yang bisa memberinya kebahagiaan. Aku tidak melihat itu di dalam diri, Jongin."

"D-Dennis, sungguh. Aku dan Baekhyun tidak memiliki hubungan seperti yang kau pikirkan. Aku dan dia sebatas—"

"Rekan kerja, aku tahu. Tapi ingat kata-kataku ini, Chanyeol. Baekhyun itu indah dan berbahaya. Saat ini kau bisa saja berkata dengan teguh kau hanyalah rekan kerja, tapi kau tengah berhadapan dengan anggrek paling menawan di dunia, Chanyeol. Suatu waktu, kau bisa saja tergila-gila."

"Dennis."

"Aku memperingatkanmu, nak. Ini ancaman, juga nasihat."

Pikiran Chanyeol mengosong sesaat setelah Dennis memberikannya ultimatum. Ia ingin sekali menyanggah Dennis, namun Dennis seperti selalu memiliki alasan-alasan masuk akal yang membuat Chanyeol bungkam. Ia belum melihat Baekhyun seperti anggrek sebagaimana analogi Dennis. Namun, Chanyeol setuju setengahnya. Selama beberapa hari ini, ia menyadari sesuatu. Mata-mata elang yang menghampirinya dan Baekhyun, setiap kali mereka di luar. Mata-mata itu tidak hinggap padanya, namun pada Baekhyun. Mengincarnya seperti mangsa siap terkam.

Bukan hanya itu. Ia kembali teringat di malam pertama kali ia dan Baekhyun bertemu. Di kelab malam milik Paman gendutnya. Baik pria dan wanita berusaha menggapai Baekhyun malam itu. Chanyeol sendiri ternganga ketika sosok Baekhyun berada di hadapannya. Pekerjaannya sebagai bartender pemula semakin berantakan; yang tadinya hanya berupa teguran berubah menjadi musibah.

"Sepertinya kau sudah harus kembali, Minseok sedang memelototiku."

Chanyeol mengikuti arah pandang Dennis, pada bartender bernama Minseok yang tengah melotot dan Baekhyun yang sedang meminum segelas kopi. Dennis memintanya kembali duduk di sebelah Baekhyun.

"Aku dan Chanyeol akan menginap di sini selama beberapa hari."

Baru saja Chanyeol menaruh bokongnya di jok kursi, ia kembali menerima ultimatum dari orang yang berbeda. "Huh? Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Aku penulis. Aku luwes menulis di mana saja."

Tidak ada secuil pun jawaban mengucur dari bibir Chanyeol.


Chanyeol memang merasakan kebebasan berada di lingkungan yang sesuai dengan dirinya. Bertemu dengan orang-orang yang memiliki pemikiran terbuka membuatnya merasa lebih cerdas dan diakui. Eksistensinya bukan lagi sebuah aib melainkan sebagaimana ia hidup sebagai manusia.

Ia berkenalan dengan banyak orang. Ada Fionna yang mengaku seorang lesbian dan sedang mengencani seorang wanita seusia dengannya. Ada pula Ryan yang cukup rumit. Jika aku mencintai seorang laki-laki, maka aku homoseksual. Jika aku mencintai seorang wanita, maka aku heteroseksual. Ucapan Ryan tak ayal membuat Chanyeol pusing tujuh keliling. Kebanyakan dari mereka adalah kenalan Baekhyun yang secara kebetulan bertemu hari ini. Terciptalah sebuah acara reuni kecil-kecilan antara Baekhyun dengan teman-temannya.

Di teras depan kafe, Chanyeol menemukan Dennis sedang duduk santai bersama seorang wanita berambut gelombang kecoklatan. Tidak ada jarak di antara mereka, Chanyeol yakin wanita itu seseorang yang Dennis kenalkan dengan nama Martha, istrinya.

Satu yang dapat Chanyeol simpulkan dari tempat ini: penuh cinta. Berbagai tubrukan cinta dan kasih sayang Chanyeol terima dari segala sudut. Semua orang tidak memandang seksualitasmu apa, atau latar belakangmu, atau siapa orangtuamu. Tapi bagaimana caranya kau membangun sikap dan jalinan kekerabatan terhadap orang lain menjadi modal utama mengapa orang-orang ini begitu hangat satu sama lain. Chanyeol merasakan itu terhadap dirinya sendiri, bagaimana ia begitu diapresiasi sebagai sesosok manusia.

Sementara Baekhyun tengah memutar kunci kamar mereka, Chanyeol masih bergeming memikirkan pengalaman yang ia alami hari ini. Begitu bermakna, batinnya. Tidak salah ia pergi ke kawasan ini.

"Kenapa senyam-senyum?" tanya Baekhyun lekas sembari membuka pintu kamar.

"Aku hanya memikirkan orang-orang yang ada di kafe."

"Mereka semua baik, 'kan?"

Chanyeol mengangguk penuh setuju. Ia melangkah masuk mengikuti Baekhyun.

"Dennis mengatakan apa padamu?"

"Apa?"

"Dennis. Ah, kau bisa letakkan sepatumu di samping pintu."

Chanyeol menuruti perintah Baekhyun. "Dennis ... dia hanya mengatakan beberapa hal." Ia menyembunyikan kesedihan Dennis lainnya. "Dan juga bilang untuk jangan macam-macam denganmu."

"Jangan macam-macam? Astaga." Baekhyun mendengus jengkel. "Ia kira aku anak kecil baru puber?"

"Tapi aku setuju dengannya."

"Tidak. Tidak boleh."

"Dennis bilang ...," ucapan Chanyeol mengambang, membuat Baekhyun menatapnya penuh tanya. "... Dennis bilang kau itu anggrek."

"Anggrek?"

"Yang dapat membuat siapa saja menjadi tergila-gila."

Terjadi hening seketika. Chanyeol menunduk mencari celah kabur dari tatapan Baekhyun. Ia yakin saat ini Baekhyun tengah memasang wajah keheranan dan bersiap mencelotehinya panjang-lebar.

"Jangan percaya. Dennis itu suka membual, dia memang sempat menjadi kolektor anggrek sebelum membangun kafe dan apartemen."

Chanyeol tidak menjawab. Ia biarkan tutur Baekhyun tadi masuk telinga kanan ke luar telinga kiri. Analogi Dennis memang berlebihan, tapi benar adanya. Baekhyun memiliki daya tarik yang berbeda. Secara visual, secara suara, secara fisik, ia atraktif. Keseluruhan yang ada pada dirinya mampu memikat siapa saja. Chanyeol tidak menyadari itu hingga Dennis yang mengucapkannya. Bahkan matanya, tatapan itu, Chanyeol lebih memilih menunduk daripada harus tertelan dalam rayu netra berupa manikam.

Kamar itu terlalu besar untuk diisi dua orang. Pada ruang tamu terdapat sofa besar berwarna krem lengkap dengan meja kaca yang sudah terhidang dua buah toples berisi cemilan. Di bawah meja tersusun majalah edisi terkini mulai dari majalah fesyen hingga surat kabar kriminal Manchester. Di depan itu, terdapat televisi berukuran sedang serta sebuah pemutar kaset. Sisinya berdiri dua buah salon kecil sebagai pengeras suara.

Ruang makan berada di sebelah kanan lengkap dengan dapur sederhananya. Minseok kemungkinan yang menyiapkan semua kebutuhan. Sayur dan buah sudah berada dalam kulkas. Soda dan susu pun tersusun rapi. Di atas kulkas berdiri dua buah sampanye yang diikat dengan pita merah muda. Manis sekali.

Sebelah kiri ruang tamu terdapat kamar tidur disertai kamar mandi di dalamnya. Dua buah kasur tampak begitu nyaman untuk direbahi. Di tengah-tengahnya menyala lampu tidur dengan tudung seperti kubah dan cahaya pijar menyiram di tiap sisi kasur.

"Kau bisa istirahat lebih dulu. Aku mau melanjutkan tulisanku."

Baekhyun berbelok mendekati meja di dekat jendela. Ia meraih laptop yang telah di sediakan dan memasukkan data flashdisk. Kacamata menghiasi wajah dan jari-jarinya mulai mengetik di atas papan huruf. Baekhyun berada dalam mode yang tidak bisa diganggu. Chanyeol memaklumi itu.

Ia duduk di sisi kasur, bergeming. Yang terdengar hanyalah suara ketikkan jemari Baekhyun yang tengah beradu dengan ide dan waktu. Chanyeol menatap punggung yang sedang bekerja itu, ingin sekali bertanya kiranya ada hal yang bisa Chanyeol lakukan sebagai seorang asisten. Tapi sebuah panggilan kiranya akan mengacaukan konsentrasi Baekhyun maka Chanyeol memilih bungkam dan merebah menatap langit-langit.

Paman, saat ini aku berada di kawasan yang tidak akan pernah Paman kira bisa aku datangi. Aku bersama dengan orang yang kuhancurkan buku catatannya, Tuan Byun. Ya, kami satu ruangan. Aku bertemu dengan orang-orang hebat di sini. Maaf karena telah mengacaukan semuanya. Aku akan segera bertemu dengan Paman lagi.

Dengan berakhirnya curahan hati, Chanyeol terlelap lebih dulu.

.

.

.

Chanyeol terbangun.

Pukul dua dini hari.

Matanya masih sayup-sayup ketika menatap jam dinding dan mendapati punggung itu masih tegap teguh seperti sebelum ia tertidur.

"Baekhyun?"

Tidak ada jawaban. Masih terdengar suara ketikan.

"Baekhyun, ini pukul dua malam."

Suara itu berhenti. Lantas Baekhyun ikut menatap jam dinding. Ia menghela dan melepaskan kacamata. "Lagi-lagi aku keterusan."

"Istirahatlah."

"Ya."

Cahaya dari layar laptop meredup dan menghitam. Baekhyun berdiri merengkel otot, suara patahan sendiri terdengar samar-samar. Ia melangkah ke luar menuju dapur. Chanyeol dengan keadaan masih mengantuk dan sesekali menguap, justru mengikuti.

"Mau apa?" tanya Chanyeol melihat Baekhyun membuka pintu kulkas.

"Minum."

"Oh."

"Kenapa mengikutiku?"

"Tidak tahu."

Kali ini Baekhyun benar-benar dibuat heran. "Hei, kau jadi aneh setelah diajak mengobrol dengan Pak tua itu."

Chanyeol tidak langsung menyahut. Ia menyambar gelas berisi air di genggaman Baekhyun dan meminumnya dari sisi yang sama.

"Aku disadarkannya." Chanyeol menenggak lagi. "—bahwa kau menarik."

"Apanya?"

"Semuanya. Terutama ..." Chanyeol menunjuk Baekhyun. "Matamu."

Perlu keberanian yang berlebih agar bisa bertatapan dengan Baekhyun. Jakun Chanyeol turun-naik.

Baekhyun melempar pandang, pada sebuah kursi makan.

"Jangan kabur," ucap Chanyeol seketika.

"Kenapa tidak boleh?"

"Aku sedang membangun momen."

Perlahan, Baekhyun kembali menatapnya. Agak sedikit mendongak karena postur Chanyeol yang jauh di atasnya.

"Kau mau apa?" tanya Baekhyun di sela tatap.

"Tidak ada."

"Kau mau menciumku?"

"Tidak."

"Kau mau menyetubuhiku?"

"Tidak."

"Lalu kau mau apa?"

Tidak tahu. Chanyeol tidak tahu saat ini ia sedang menginginkan apa selain menatap lekat manikam di hadapannya. Baginya hal itu sudah cukup membuatnya luih.

Baekhyun menghela, ia memutuskan kontak. "Kau yang melarangku kabur, tapi kau tidak menginginkan apa-apa dariku."

"Aku ingin menatapmu."

"Tatap saja bokongku kalau begitu." Baekhyun berlalu masuk ke dalam kamar tidur.

"Baekhyun."

"Aku ingin tidur!"

Dan malam itu berakhir dengan Chanyeol yang tetap terjaga hingga keesokan pagi.


"Ada apa dengannya?"

Dennis menunjuk Chanyeol yang menelungkup wajah di atas meja. Terdengar suara dengkuran nyaring di selanya. Baekhyun mengangkat pundaknya tidak mau tahu.

"Begadang."

"Apa yang kalian lakukan?" tanya Dennis penuh telisik.

"Tidak ada! Dia saja yang tidak bisa tidur. Aku sendiri tidur seperti bayi."

Terdengar bunyi kursi bergeser. Chanyeol bangkit mengusap air liur yang ke luar dari sudut bibirnya lalu kembali menelungkup. Baekhyun menatapnya sekilas dan kembali menikmati sajian sarapan yang disediakan Minseok.

Baekhyun tidak benar-benar tidur seperti bayi tadi malam. Ia sedikit memodifikasi pernyataan agar Dennis berhenti memelototinya seperti rampok baru tangkap. Ia tahu betul sedang ditatap begitu intens oleh Chanyeol yang tetap terjaga hingga matahari menjelang. Laki-laki itu pasti punya sesuatu yang ingin ia utarakan. Baekhyun masih belum bisa mengira-ngira, sikap Chanyeol masih abu-abu. Seperti kaca mobil ditimpa hujan; buram.

Serupa dengan yang Chanyeol katakan. Bagian mata Baekhyun membuatnya tertarik dan ingin sekadar menatapnya. Chanyeol tidak tahu bahwa kata-katanya memunculkan pulau-pulau kecil dalam hati Baekhyun dan ketika ia sadar, Baekhyun langsung berusaha ingin melarikan diri. Lagi-lagi ia kabur dan menjadi pecundang.

Baekhyun tidak pandai berbohong.

Chanyeol pun tampak menarik di matanya. Laki-laki itu bertubuh bak model yang sering kali berjalan untuk merek fesyen ternama Perancis. Suaranya berat dan seksi, seringkali menyebabkan telinga dan punggungnya merinding. Tangannya besar dan jika diibaratkan mampu merauh keseluruhan wajah Baekhyun. Aromanya berbeda, Baekhyun baru menyadari setelah satu malam berada di satu ruangan dengannya. Aromanya tercium maskulin, Baekhyun tidak pandai mendeskripsikannya, tapi yang pasti harum dan mampu membuatnya menghirupnya seharian.

"Aku lapar."

Suara racauan Chanyeol yang masih tertidur membuat semua orang menaruh perhatian padanya. Minseok sudah lebih dulu terbahak sementara Dennis masih menahan tawa.

"Mari kita singkirkan Chanyeol dari sini sebelum membalik papan buka. Dia hanya akan mengganggu pelanggan yang datang."

Dennis selalu suka memberikan ultimatum sehingga semua orang menurut padanya dan mengerjakan perintahnya.

.

.

.

Sementara Chanyeol sibuk mendengkur di atas kasur, Baekhyun kembali menarikan jari-jemarinya di atas papan huruf laptop. Dalam satu malam yang singkat ia berhasil menghasilkan enam ribu kata untuk bukunya yang akan datang.

Yang belum ia pastikan apa judul untuknya kelak.

Baekhyun merealisasi ide yang dituahkan Chanyeol. Menurutnya itu menarik—layaknya Chanyeol sendiri—dan patut dikerjakan oleh tangan Baekhyun yang telaten. Kata demi kata mengucur deras seperti air terjun dalam kepalanya; belum pernah ia merasakan sensasi secerdas itu sebelumnya. Mungkin karena yang menjadi tokoh saat ini adalah dirinya dan Chanyeol.

Tidak, tidak. Baekhyun menggeleng.

Ia hanya meminjam nama. Karakter yang ia mainkan dalam kisahnya berbanding terbalik dengan dirinya, baik itu sifat dan kehidupan. Dan ketika Baekhyun sudah mencapai babak romansa, jemari Baekhyun berhenti bergerak.

Aku hanya ingin menatapmu.

Ah, Baekhyun mengutip kalimat Chanyeol dan dimasukkan ke dalam naskah. Dari Chanyeol kepada Chanyeol.

Dua karakternya tengah membangun momen, seperti yang mereka lakukan tadi malam. Baekhyun tidak ingin merusak momen itu seperti yang ia lakukan kepada Chanyeol, kisah ini tidak sama dengan dirinya. Maka Baekhyun melanjutkan kisah dan momen tadi berubah semakin kental.

"Apa mereka akan berciuman?"

Baekhyun membola. Suara dengan intonasi berat itu hadir persis di telinga kirinya. Reflek menoleh dan bertatap muka dengan Chanyeol dan muka bangun tidurnya. Ujung hidung itu hampir saja mengenai kening Baekhyun. Lantas memundurkan diri mengambil jarak.

"Kau sudah bangun." Nada Baekhyun terdengar getir.

"Eum, ya. Rasanya aku tidur lama sekali."

"Ini pukul dua siang."

"Astaga."

Chanyeol berlalu ke luar menuju dapur. Baekhyun akhirnya dapat leluasa mengeluarkan napas yang selama ini ia tahan. Tekanan yang ia dapatkan begitu mudah meraih lehernya kemudian mencekiknya, hampir saja Baekhyun ingin mendorong Chanyeol menjauh. Ia bisa saja mati karena kehadiran lelaki itu. Entah kekuatan magis apa yang ia miliki.

Baekhyun mendengar suara kulkas yang terbuka dan tutup botol kaleng disertai suara desis buih-buih soda. Ia masih belum bisa melanjutkan ceritanya, konsentrasinya buyar begitu saja. Kata-kata yang tadinya muncul secara konsisten kini tidak lagi tampak keberadaannya. Baekhyun menghela, kacamatnya ditaruh di samping laptop.

"Kau tidak ingin melanjutkannya?" Chanyeol hadir di samping pintu, bersandar meneguk minuman soda.

"Nanti."

"Padahal kau sedang berada di bagian yang menarik. Mereka, Baekhyun dan Chanyeol, akan berciuman, 'kan?"

"Aku penulisnya. Aku yang akan memutuskan kisah mereka. Bukan kau."

"Galak sekali."

Baekhyun memicingkan matanya. "Mau apa kau sebenarnya?"

"Aku mau kau melanjutkannya. Kasihan mereka kau buat menunggu."

Dua pasang manikam itu saling beradu. Ingin sekali menendang jauh-jauh pria yang sedang bersandar itu dengan tendangan aikidonya. Ia tidak tahu apa yang harus Baekhyun lalui. Dan kini dengan seenak hati meminta Baekhyun melanjutkan ceritanya.

"Kubilang, nanti saja—"

"Tidak baik menunda pekerjaan. Sini, kutemani."

Astaga. Setiap langkah yang Chanyeol ambil memberikan efek dramatis berupa suara pijakan yang menggelegar. Semakin mendekat maka semakin menipis pula napas yang bisa Baekhyun ambil. Hingga Chanyeol berada tepat di sisinya, Baekhyun masih saja terus bergeming.

Secara ajaib kata-kata yang tadinya tertahan muncul ke permukaan, membuat Baekhyun tersadar dan jari-jarinya gatal ingin menekan huruf-huruf. Chanyeol tersenyum melihat Baekhyun yang kembali bekerja.

Lalu ia menatap layar dan membaca apa yang Baekhyun tulis. Senyumnya luntur diikuti tegukan liur.

Baekhyun begitu cekatan mengarang sebuah plot dengan suasana begitu sensual antara tokoh Chanyeol dan Baekhyun. Secepat itu Baekhyun mengetik, secepat itu pula Chanyeol menggulirkan pupilnya untuk membaca.

Sampai Baekhyun menghentikan gerakan jarinya, Chanyeol masih tidak bisa membantah bahwa ia membayangkan dirinya masuk ke dalam ketikkan kisah dan melakukan persis seperti yang dibayangkan Baekhyun.

Dadanya sesak. Giliran Chanyeol yang kesulitan meraih napas.


Mereka menamainya dengan nama Tribeca. Sebuah bar yang berlokasi di antara jalan Canal bagian Chinatown dan distrik yang penuh dengan pertunjukan teater. Mengambil gaya a la New York, memungkinkan Tribeca sebagai bar yang paling diminati pengunjung. Namanya diambil dari TriBeCa Manhattan (Triangle below canal street) dan sangat populer sejak tahun 1999. Ketiga lantainya berisi kelab malam, pertunjukan komedi, dan berbagai acara lainnya, dengan ornamen keramik dansa yang ciamik.

Minseok mengajak Baekhyun dan Chanyeol duduk santai di salah satu sudut. Langit-langitnya bermandikan lampu disko, warna yang mendominasi adalah merah, kuning, dan jingga. Sofanya terasa begitu empuk bagi bokong. Chanyeol mengitari ruangan dengan matanya, seluruh sudutnya tidak diisi hal kosong semata. Piccadilly station, teater The Palace, dan O2 Ritz dapat dengan mudah ia temukan.

"Aku tahu Baekhyun tidak terlalu senang berdansa, makanya aku menyarankan kita bersantai di sini."

Chanyeol melirik Baekhyun, lelaki itu tengah meneguk minuman jingga dan menyisakan es batunya saja.

"Kakiku sedang sakit, hyung."

Minseok mencibir. "Jangan membodohiku." Ia menunjuk Baekhyun dengan ibu jarinya dan berbicara kepada Chanyeol. "Ia pikir akan selalu ada penjahat yang akan meremas bokongnya ketika sedang berdansa. Makanya anak ini tidak pernah menginjakkan sepatunya di lantai warna-warni kelab malam."

Itu fakta yang mengejutkan. Feromon yang dikeluarkan Baekhyun memang begitu memikat, pantas banyak orang yang memperhatikan mereka bertiga saat ini. Ralat, mungkin hanya Baekhyun yang mereka nikmati atensinya. Baekhyun sebagai pusatnya saat ini, sebagai matahari, sedangkan ia dan Minseok hanyalah planet-planet yang merusak pemandangan.

"Chanyeol, kau tidak ingin minum?"

"Sedang tidak ingin."

"Jangan-jangan kau mudah mabuk, ya? Payah."

"Kau sendiri? Kau tidak minum alkohol. Kau minum sirup jeruk."

"Aku tidak pernah bilang aku senang minum alkohol."

Chanyeol memandang lekat punggung tangan Baekhyun yang tampak mengkilat setiap kali cahaya lampu singgah. Teringat akan apa yang jari-jari itu lakukan kemarin. Dengan lihai dan cekatan membuat sebuah kisah yang tidak akan dilupakan oleh orang-orang. Beralih pada dua bola indah yang kian merayunya, yang kini juga sedang menatap dirinya balik.

"Apa?" tanya Baekhyun cepat.

"Tidak ada."

"Selalu saja ada yang kausembunyikan," cibir Baekhyun.

Chanyeol yang memutuskan kontak kali ini, tidak tahan berlama-lama dalam dunia yang diciptakan Baekhyun.

Tiba-tiba Minseok berdiri. "Aku mau menemui Jongdae dulu. Kalian tunggu di sini, ya. Tidak akan lama, aku janji."

Jongdae, atau suami dari Minseok, bekerja sebagai DJ tetap Tribeca. Setiap malam Rabu, Jumat, dan Senin, ia akan beraksi memutar piringan di atas alat listrik. Lalu musik elektronik yang khas menguar menghentak pengeras suara dan orang-orang akan mulai menggerakkan pinggul mereka. Penghasilan yang ia dapatkan sangat cukup untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Sebagai pasangan homoseksual, Minseok dan Jongdae sepakat untuk mengadopsi seorang bocah perempuan berusia dua tahun dari panti asuhan, yang mereka ubah namanya kini menjadi Kim Yvana.

Seringkali Yvana mendatangi tempat Minseok bekerja bersama Jongdae dan merusuhnya bersama-sama. Maka Dennis akan menutup kafenya lebih awal agar tidak terjadi musibah lainnya. Pekerjaan mereka hanya akan tambah repot jika buka dengan jam seperti biasa ketika Yvana datang bertandang.

Minseok menaiki tangga dan menghampiri Jongdae yang telah siap dengan headphone mengalung dari lehernya. Ia mengecup bibir Minseok singkat dan berbicara dengannya. Baekhyun yang melihat itu dari kejauhan lantas tersenyum.

"Mereka serasi sekali."

Ucapan Chanyeol menyadarkan Baekhyun, senyumnya masih belum luntur. "Ya, aku setuju."

Chanyeol mengangguk. "Apa kau tidak ingin seperti mereka?"

"Seperti apa?"

"Menikah."

"Tidak, terima kasih."

"Kau aneh."

Pernyataan itu memberikan sedikit api untuk Baekhyun. Rasanya begitu konyol mendengar hal itu dari mulut Chanyeol.

"Apa maksudmu?" Nada bertanya Baekhyun agak tinggi.

"Kau bisa lihat sendiri. Kau dikelilingi oleh orang-orang yang menjalin tali kasih secara absolut; pernikahan. Minseok dan Dennis. Mereka memiliki pasangan yang mereka bawa sampai ajal menjelang. Lalu ada aku, meski sebenarnya aku tidak bisa dikategorikan. Tapi, apa kau ingat alasanku pergi? Aku pergi karena aku akan dijodohkan, artinya akan ada pernikahan menimpaku. Seperti itu."

"Tapi hal itu tidak terjadi karena kaukabur."

"Ya, memang aku kabur—tapi, bukan itu poin yang kumaksud."

"Tidak perlu kau perjelas, aku sudah mengerti. Lalu, apa yang kau inginkan?"

Lagi-lagi, Baekhyun menanyakan hal yang tidak bisa Chanyeol jawab. Apa yang Chanyeol inginkan? Tidak tahu. Secara pasti memang tidak ada hal yang Chanyeol inginkan. Atau senyatanya ada tapi ia sendiri masih berusaha memecahkan teka-teki?

"Tidak ada."

"Seharusnya aku memang tidak bertanya."

"Apa kau tidak ingin mempertimbangkan tentang pernikahan?"

"Jangan konyol!"

Seperti kembang api yang ditembakkan, nada bicara Baekhyun menaik tinggi dan memekik. Chanyeol membola. Orang-orang yang duduk di samping mereka memandang sebentar sebelum kembali dengan aktifitas sedia kala.

Pertanyaan Chanyeol memantikkan api yang lebih besar. Wajah itu marah, Chanyeol dapat membacanya dengan nyata. Mata yang begitu indah, serupa jauhar langka, yang selalu membuat Chanyeol tenggelam berayun-ayun dalam buainya kini terpancar sebuah bara yang menyala terang. Bibirnya mengatup rapat seolah menahan semua kata makian yang ingin terucap.

"Baekhyun..."

"Aku benar-benar tidak ingin mendengar kata itu."

"Baek—"

Chanyeol tersentak ketika Baekhyun tiba-tiba berdiri dan melangkah menjauhi kerumunan pedansa. Setengah hatinya mendorong keras kakinya untuk lekas mengejar, setengah lagi menanyakan kepantasan dirinya melakukan itu. Lain hal jika ia adalah Dennis atau Minseok yang sudah mengenal Baekhyun luar-dalam. Perasaan bersalah menggelimuni, ingin rasanya meninju mulut yang berucap tidak keruan. Sekarang seluruh tubuhnya berteriak memerintah Chanyeol untuk menyusul.

Tidak berselang lama, ia bertemu dengan Minseok.

"Apa yang Baekhyun lakukan? Tadi aku lihat dia berjalan ke bagian penginapan."

"Anu ... itu ... tadi kami ada sedikit cekcok."

"Baru kutinggal sebentar kalian sudah bertengkar? Ya ampun." Minseok melipat tangannya dongkol. "Tunggu apalagi? Temui anak itu sekarang!"

Tidak dibutuhkan waktu lama untuk Chanyeol tiba di depan pintu ruangan Baekhyun bersembunyi. Ia berterima kasih pada kaki panjangnya dan seorang pelayan wanita yang dengan mudah menunjuk kamar yang ditempati seorang pria berwajah Asia. Ketika mereka berpisah, palayan wanita itu memberikan sebuah rentetan nomor, Chanyeol hanya membalasnya dengan senyuman masam. Kertas berisi nomor telepon itu berakhir menjadi gumpalan bersama sampah-sampah lainnya.

Chanyeol meraih napas dan mengeluarkannya, berulang kali melakukan hal yang sama sebelum memberanikan diri mengetuk pintu di depan dengan tulang-tulang jari. Namun, tidak ada jawaban dari usahanya. Baekhyun benar-benar menutup diri untuknya.

"Baekhyun? Aku tahu kau ada di dalam."

Tidak ada suara. Sama sekali.

"Baekhyun." Chanyeol kembali mengetuk. "Kudobrak pintu ini jika kau masih saja tidak ingin menemuiku."

"Dobrak saja kalau bisa."

Bingo.

"Aku minta maaf."

"Kuberi kau maafku."

Tidak sesederhana itu. Penyesalan Chanyeol tidak semudah itu terselesaikan.

"Kumohon Baekhyun, biarkan aku masuk."

"Untuk apa? Kau sudah minta maaf, dan aku memaafkanmu. Itu sudah cukup. Kau bisa pulang sendiri 'kan ke kafe? Nanti aku menyusul. Sampaikan maafku dengan Minseok-hyung."

"Bukan ... begitu."

Senyap kembali tiba. Chanyeol bergulat dengan dirinya sendiri saat ini. Kalimat terakhirnya terlalu pelan untuk bisa didengar Baekhyun di dalam sana. Masih tidak tercetus kata-kata, Chanyeol seperti sebuah patung yang dibiarkan berdiam lama di depan pintu kamar.

"Kau masih di luar?" tanya Baekhyun agak nyaring. Hal tersebut menyadarkan Chanyeol.

"Ya."

"Mau apa lagi?"

Mau apa lagi? Apa? Chanyeol tidak tahu dan tidak mengerti. Baekhyun memaafkannya dan itu mutlak. Tapi masih ada sesuatu yang ganjil yang Chanyeol dibuat kesusahan karenanya.

Pintu itu terbuka pelan. Walau enggan, Baekhyun hadir dengan memperlihatkan setengah tubuhnya. Ia mengintip dari sisi pintu.

"Apa maumu?" Dingin dan ketus.

Mengapa Baekhyun terus saja melantunkan pertanyaan yang sama beberapa hari terakhir ini? Hal itu membuat Chanyeol menanyakan kecerdasan kepalanya sendiri. Jawaban yang ia butuhkan belum muncul ke permukaan, masih tersangkut di dasar jurang. Apa? Apa? Kini dirinya mulai menanyakan hal yang sama.

Apa yang Chanyeol inginkan.

Chanyeol menatap Baekhyun. Memandangnya dengan saksama. Mata yang bertabur intan itu seakan berbicara sesuatu padanya; menjerat pada belantaranya. Baru Chanyeol sadari bahwa Baekhyun bukan hanya memikat pada bagian mata, namun keseluruhan dari wajahnya begitu atraktif tatkala diperhatikan lebih cermat. Sebuah karya seni yang sayangnya dibiarkan melimpah ruah dan dinikmati secara cuma-cuma.

"Chanyeol, apa yang kau inginkan?"

Karena ia tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan itu untuk ke sekian kali, maka ia mengulangi jawaban yang pernah ia ucapkan.

"Aku hanya ingin menatapmu."

Baekhyun mendengus dan mulai menutup pintu kamarnya. "Pulanglah, Chanyeol."

Tangan Chanyeol menahan pintu itu menutup. Ia membukanya lebih lebar dan akhirnya mampu menatap Baekhyun lebih leluasa.

"Baekhyun, jawaban apa yang kau inginkan dari pertanyaanmu?" Chanyeol maju setapak demi setapak hingga seluruh tubuhnya masuk ke dalam kamar. Ia tutup pintu dari arah belakang. "Kau sendiri tidak bisa menjawabnya? Tapi kau menggebu-gebu ingin jawaban dariku? Jangan egois."

Baekhyun mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam yang menghunus dadanya. Memilih rak sepatu sebagai tumbal objeknya kali ini.

"Jangan kabur lagi, Baekhyun. Kau bukan seorang pengecut."

"Tapi aku pecundang."

"Itu juga bukan."

"Lalu?"

"Bukan hakku untuk menjawabnya."

Baekhyun terkekeh. "Kenapa kita saling melempar pertanyaan? Bukankah tadi keadaan kita sedang bertengkar?"

"Lagi-lagi kau mencoba untuk melarikan diri."

Tawa Baekhyun luntur, ia benar-benar tersudut.

Chanyeol kembali mengambil langkah. Jarak yang ia bangun hanya sejauh jari telunjuk. Baekhyun terpantik. Seluruh tubuhnya lupa bernapas. Perutnya bergejolak seakan ada kawanan hewan tengah berlarian. Jemarinya sontak tremor.

Jawaban hadir dalam jarak yang tercipta. Petunjuknya mengarah pada titik yang sesuai. Sesingkat itu mereka temukan hingga baik Chanyeol dan Baekhyun mengucapkan jawaban mereka dengan saling bertumbukan.

"Aku menginginkan dirimu," tutur Chanyeol.

"Aku jatuh cinta," sahut Baekhyun.

Chanyeol yang pertama kali menutup matanya kala Baekhyun meraih wajahnya, menangkup dan menariknya turun demi pertemuan dua bibir. Tubuhnya menggigil merasakan sensasi yang amat menegangkan. Ia turut terbuai dalam momentum yang terwujud.

Baekhyun merasakan tungkainya melemas, tepat ketika lengan Chanyeol memeluknya dan menjaganya agar tidak lumpuh. Samar-samar Baekhyun temukan cahaya lampu yang terlalu silau, maka ia memutuskan untuk terus menutup kelopaknya. Ia tidak menemukan jalan ke luar dari keadaan ini, ia tidak tahu cara memadamkannya.

Chanyeol terus memeluk erat. Hampir tidak tahu cara memutuskan pergulatan yang entah siapa pertama kali memulai. Ia menekan, menekan, sampai kemudian terdengar suara merdu dari tenggorokan Baekhyun. Dapat ia rasakan dorongan dari lawannya, sebuah emosi yang tercampur-aduk. Marah, bingung, senang, mereka meluap bersama bibir yang terus membuka-mengatup. Parasan bibir Baekhyun menjadi likat hasil air liur. Sama sekali tidak membuat Chanyeol ingin berhenti berkelakar dengannya. Ia berhasil menembus tabir tinggi yang Baekhyun bangun. Ia koyak dan ia nikmati hasilnya.

Di titik itu Chanyeol ingat sesuatu.

Ini persis terjadi seperti kisah yang Baekhyun ketik dengan jari-jarinya. Di mana Baekhyun menuliskan untuk para karakternya sebuah adegan ciuman tanpa jeda.

Akurat.

.

.

.

Bersambung


a/n: Maaf atas keterlambatannya. Fanfiction ini ternyata tidak bisa berakhir di chapter ketiga. Masih ada sisa 1 chapter yang harus saya publikasi. Setidaknya bisa kita namakan chapter 3-B karena masih berkutat di lokasi yang sama. Jadi, maaf, lagi-lagi harus menunggu untuk sisa chapter terakhir :') Anu, kalau akhir dari fanfiction ini tidak sesuai dengan harapan pembaca, saya mohon maaf. Saya hanya ingin mengingatkan lebih dulu, ehe. Terima kasih sudah membaca sampai sini!