Baekhyun terbangun di ranjangnya tepat pukul sepuluh pagi dengan perasaan yang lebih baik dari kemarin dan kepala yang ringan seolah separuh bebannya terangkat. Aneh, karena hal pertama yang ia ingat adalah Kai. Saat ia menoleh, Rilakuma besar pemberian pria itu tampak tergeletak di sebelahnya seakan-akan benda itulah yang menjaganya semalaman tadi.

"Kai benar, pelukannya benar-benar ajaib." Baekhyun tersenyum kecil lalu mengubur wajahnya di dada boneka lembut tersebut. Ia sempat terpikir akan Kai yang terkadang memperlakukannya sinis seperti seorang musuh, namun penuh kelembutan dan perhatian di sisi lain. Setelah menghabiskan sekitar lima menit untuk memenuhi otaknya dengan pikiran-pikiran tentang Kai, sekarang Park Chanyeol menyusup masuk ke kepalanya tiba-tiba.

"Hah, hari ini aku harus tidur dengan Chanyeol ternyata," gumamnya lagi. "Bisakah aku tidak usah datang saja?"

Tok. Tok. Tok.

Tentu saja Baekhyun tidak bisa mangkir dari kewajibannya bersetubuh dengan sang mantan kekasih. Karena saat ia membuka pintu, Chanyeol-lah yang ia dapati di sana padahal biasanya lelaki itu menyuruh Kai yang datang untuk menjemput Baekhyun.

"Baekhyuna—Hei, tunggu!"

Chanyeol kebingungan. Bukannya membalas senyuman yang telah ia berikan semanis mungkin, Byun Baekhyun malah berlari masuk secara tiba-tiba setelah mata mereka bertatapan sebentar.

"Kenapa dia itu?" Chanyeol ikut masuk kemudian mengunci pintu dari dalam. "Baekhyuna?"

Di dalam kamar mandi, Baekhyun tengah mencuci wajah kemudian menyikat giginya secepat mungkin. Ia tidak menduga yang datang adalah Chanyeol, tentu saja ia tidak ingin lelaki itu melihat wajah baru bangun tidurnya yang berantakan. Apalagi setelah yang terjadi kemarin, ada sedikit rasa tidak siap untuk bertemu Chanyeol secepat ini. Namun, bukankah ia sudah dibayar? Itu artinya, siap tidak siap Baekhyun harus selalu memberikan yang terbaik untuk Chanyeol.

"Baekhyuna? Apa kau sedang mandi?"

Chanyeol mengetuk pintu itu berulang kali, berharap mendapat jawaban dari seseorang yang bersembunyi di baliknya. "Tidak usah mandi saja. Aku lebih suka aroma tubuhmu yang asli, bukan aroma sabun."

Masih tidak ada jawaban.

"Baekhyuna? Byun Baek—"

"Ini masih jam sepuluh lewat beberapa menit dan kau ingin menyetubuhiku sekarang? Kau serius, Park Chanyeol?" Pintu tiba-tiba terbuka dan memperlihatkan Baekhyun yang sudah lebih rapi daripada tadi. Wajahnya tampak sedikit cemberut. Bukannya ia mau menolak Chanyeol, hanya saja, ini masih terlalu pagi untuk melakukan seks yang menyakitkan itu. Namun pagi, siang, malam tidak ada bedanya, bukan? Seks itu akan tetap terasa sakit tak peduli kapan mereka melakukannya.

"Dan kau yakin mau melakukannya di rumahku? Aku bahkan tidak yakin ranjangku kuat untuk menahan tubuh kita berdua."

Chanyeol menelengkan kepala dan membiarkan Baekhyun mengatakan apa saja yang ia mau. Pandangannya menyusuri wajah itu lekat-lekat. Mata yang membengkak, hidung yang memerah, suara yang sedikit sengau—Chanyeol tahu Baekhyun melewati malamnya dengan tangisan. Dia yakin, alasan dari lelaki itu menangis adalah pasti karena dirinya.

"Siapa bilang aku datang kemari untuk menidurimu? Dengar, aku sangat takut saat kau tiba-tiba pergi tadi malam, tapi Kai mengabari kalau dia telah mengantarmu dengan selamat sampai ke rumah. Karena itulah aku datang dan ingin—"

"Ingin apa? Meniduriku, bukan?"

"Bukan."

"Kalau bukan itu, lalu untuk apa? Tadi kau bilang aku tidak usah mandi saja dan—"

"Dan kau pasti berpikiran aku akan langsung menyeretmu ke ranjang lalu menyerangmu habis-habisan, benar kan?"

Chanyeol rindu. Ia rindu berdebat dengan Baekhyun tanpa dibarengi keinginan untuk menyakiti pria di hadapannya itu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali mereka terlibat perdebatan kecil seperti ini karena yang biasa ia lakukan adalah memaki dan menyumpahi Baekhyun dengan kurang ajarnya.

"Memangnya siapa yang berpikiran seperti itu? Aku tidak!"

"Kau iya! Awalnya aku memang tidak berniat menidurimu, tapi—" Baekhyun setengah mendelik saat mendapati Chanyeol memandangi tubuhnya dari atas sampai bawah. "—tidakkah kau merasa piyamamu ini kekecilan?"

Piyama? Baekhyun tidak ingat kapan ia mengganti pakaiannya menjadi piyama dan ia baru sadar setelah mendengar perkataan Chanyeol barusan—oh, pasti ini pekerjaan Kai yang seenaknya membongkar lemari pakaiannya dan mengambil apa saja yang tertangkap matanya untuk pertama kali.

Apakah itu artinya—

—Kai jugalah yang memakaikan benda itu di tubuh Baekhyun setelah melucuti kaos dan jins yang tadi malam ia kenakan?

"Pahamu sampai kelihatan—"

"Yak!"

Fokus Baekhyun terpecah antara Chanyeol yang dengan seenaknya mengelus paha depannya yang tak bisa ditutupi celana pendek piyama tersebut dan Kai yang kemungkinan besar tadi malam juga sudah melihat tubuhnya tanpa izin.

Benarkah Kai hanya melihat saja atau jangan-jangan lelaki itu juga menyempatkan diri untuk menyentuhnya sedikit?

"Sedang memikirkan apa, hm?"

Baekhyun tersentak dan mundur sedikit saat Chanyeol maju selangkah untuk menghimpitnya ke dinding. "Apapun yang kupikirkan, itu sama sekali bukan urusanmu! Tenang saja, yang jelas bukan kau yang sedang ada di pikiranku!"

"Benarkah?"

"Memangnya apa untungnya aku berbohong?" Baekhyun menepis tangan Chanyeol yang menyentuh pinggangnya, berkelit ke samping sedikit kemudian kabur menuju kamar.

"Hah, kenapa aku baru sadar kalau dia itu galak sekali?" gerutu Chanyeol lalu sesaat kemudian ia mengikuti Baekhyun dari belakang. "Padahal dia dulu begitu lembut dan manis."

"Kalau kau ingin bersetubuh sekarang, maka cepatlah! Aku ada urusan nanti sore dan tidak bisa melayanimu seharian!"

Chanyeol menaikkan sebelah alis tebalnya, "Urusan apa?"

"Urusanku bukanlah urusanmu, Park Chanyeol! Kau lupa yang kukatakan padamu tadi malam?"

Selama sepersekian detik, sorot mata yang Baekhyun beri untuknya berhasil membuat batin Chanyeol mencelos. "Aku sudah bilang sebaiknya kita tidak mencampuri urusan masing-masing! Kau membayarku, aku memberimu bayi—cukup sampai disitu."

Ucapan itu memaksa Chanyeol untuk menarik nafas berat.

"Aku bukannya ingin mencampuri urusanmu, Baekhyuna. Baiklah, aku tak memaksamu untuk memberitahu apapun padaku kalau itu membuatmu tidak suka."

"Baguslah, memang itu yang kuinginkan!"

Baekhyun menatap Chanyeol sinis sebelum akhirnya mulai mempreteli kancing piyamanya sendiri. "Aku hanya perlu telanjang lalu menungging, bukan? Kuharap kau masih ingat janjimu untuk tidak melakukannya dengan kasar!"

Chanyeol menatap semua yang Baekhyun lakukan dengan beribu pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Beberapa waktu lalu pria yang tengah menelanjangi dirinya sendiri itu tampak tak berdaya di bawah kakinya—meronta, menangis, terisak di setiap pukulan dan hujaman yang ia beri. Waktu itu Chanyeol-lah yang memegang kendali, ia bebas melakukan apa saja pada Baekhyun demi memuaskan dendam yang ia pendam di dalam hati.

Tapi itulah hebatnya seorang Byun Baekhyun.

Ia mampu membalikkan keadaan dan sekarang Chanyeol-lah yang ada di bawah kendalinya. Lelaki itu begitu tegar, bangkit berdiri di atas kedua kakinya sendiri tak peduli seberapa hebat badai menerjang. Tak ada yang bisa membayangkan betapa besarnya beban yang ditanggung oleh pundak sempit itu. Masa kecil yang suram, ditinggalkan oleh lelaki yang ia cintai, kehilangan bayi kesayangannya, terbaring koma beberapa saat setelah melahirkan, mendapat kabar bahwa Luhan telah meninggal dan Sehun dipenjara karena dituduh telah membunuh kekasihnya itu, hidup dengan berlumur penyesalan selama bertahun-tahun hingga akhirnya dipertemukan kembali dengan Park Chanyeol—hanya Baekhyun yang bisa bertahan dari itu semua.

"Tunggu apa lagi?"

Lagi-lagi Chanyeol menghela nafas panjang.

"Aku sudah siap dan ayo kita selesaikan ini dengan cepat!"

Saat Baekhyun yang sudah tak terbalut apapun itu hendak menaiki ranjang, Chanyeol dengan cepat menahan bahunya, mengambilkan selimut lalu membungkus tubuh ringkih itu seperti kepompong.

"Yak! Apa yang kau—" Baekhyun meronta, namun kedua tangannya yang terhimpit selimut tak bisa digerakkan dengan bebas.

"Aku sudah bilang kalau aku tidak berniat menidurimu hari ini. Diamlah sebentar." Setelah itu, Park Chanyeol memeluk Baekhyun seerat yang ia bisa. Pelukan itu begitu tiba-tiba, hingga yang dipeluk tak bisa menghindar atau setidaknya menghujani Chanyeol dengan kalimat-kalimat sinis. Keduanya mendadak terdiam, seolah sedang meresepi kehangatan yang sudah lama tidak mereka dapatkan.

Atau barangkali, mereka berdua memang saling merindukan satu sama lain. Mungkin.

"Ck, kau memelukku seperti ini padahal di Jepang sana ada gadis lain yang juga menginginkan pelukanmu."

Tidak perlu bersusah-susah untuk merunduk, Chanyeol bisa membayangkan wajah cemberut Baekhyun saat kalimat itu terlontar dari mulutnya.

"Siapa gadis itu? Ah, maksudmu Sachi? Apa ibuku yang memberitahumu tentang dia?"

"Hm." Baekhyun mencoba untuk terdengar kesal padahal hatinya mulai panas saat nama itu disebutkan oleh Chanyeol sendiri. Namun untuk apa merasa panas? Bukankah wajar Chanyeol menyebutkan nama seseorang yang bakal ia nikahi sebentar lagi?

"Kau benar, mungkin Sachi juga sedang ingin kupeluk saat ini."

"Kalau begitu lepaskan aku, Park Chanyeol! Sana, pergi dan peluklah perempuan itu sepuasmu!"

"Bagaimana, ya? Tapi hari ini aku sedang tidak ingin memeluk siapapun kecuali Byun Baekhyun."

Chanyeol sungguh rindu saat-saat seperti ini, dimana Baekhyun tanpa sengaja mengeluarkan seluruh perasaannya dan tidak sadar kalau ia tengah dilanda cemburu buta. Menurutnya, Baekhyun terlihat menggemaskan kalau sedang begitu. Tapi sedetik kemudian, ia tersadar akan fakta bahwa dirinya telah tega menyiksa makhluk semenggemaskan Baekhyun hanya karena terlalu menuruti dendamnya sendiri.

"Cih, Sachi pasti akan sangat cemburu kalau ia dengar langsung apa yang baru kau katakan!"

Chanyeol tersenyum kecil, "Ya, kau benar. Sachi sangat pencemburu dan akan marah besar kalau tahu aku bermesraan dengan orang lain."

Dia tahu, Baekhyun semakin terbakar dari dalam.

"Wah, dia juga pasti akan sangat murka kalau tahu calon suaminya berniat menghamili orang lain padahal mereka akan menikah segera!"

"Kau benar. Maka dari itu, ini rahasia kita dan jangan beritahu dia, oke?"

Chanyeol ingin sekali melihat langsung bagaimana merah padamnya wajah Baekhyun sekarang, namun sulit karena lelaki itu membenamkannya di dadanya. Saat disentuh sedikit, Chanyeol bisa merasakan pipi mantan kekasihnya itu panas—bukan karena demam, tapi bisa dipastikan akibat cemburu.

Kalau Baekhyun benar cemburu, apakah itu artinya rasa cinta itu masih ada?

"Oh, jadi Sachi sama sekali tidak tahu tentang perjanjian kita?" Baekhyun mati-matian mempertahankan suaranya agar terdengar senormal mungkin.

"Kau tampaknya tertarik sekali pada Sachi. Apa itu berarti kau sebenarnya mau tahu urusan pribadiku, hm?"

"Siapa bilang aku mau tahu!"

Chanyeol tak bisa menahan tawanya lebih lama. Dengan sekali gerakan, dia melepas pelukan mereka lalu mengangkat Baekhyun ke tempat tidur, membaringkan lelaki itu di sana lalu kembali memeluknya dengan kaki yang dibelitkan di pinggang. Baekhyun kesulitan untuk bergerak dengan posisi seperti itu, apalagi tubuhnya juga masih dibalut selimut persis seperti bayi baru lahir.

"Kau memang tidak bilang secara langsung, tapi gerak-gerik dan ekspresi wajahmu menjelaskan semuanya."

Karena tak tahu harus menyembunyikan wajah malunya dimana, Baekhyun akhirnya menjadikan dada Chanyeol sebagai pelampiasan.

"Baekhyuna—" Park Chanyeol membelitkan kakinya di pinggang ramping Baekhyun semakin erat, seolah takut lelaki itu akan kabur padahal untuk membuat mereka berada dalam posisi yang sekarang sulitnya bukan main. "—bagaimana kalau kita buat peraturan baru?"

"Maksudmu?"

"Satu rahasia untuk rahasia lainnya. Kau boleh menanyakan apa saja padaku asal kau juga menjawab semua yang kutanyakan padamu. Bagaimana?"

"Hah, itu hanya caramu untuk mau tahu semua urusanku, bukan? Kau begitu mudah dibaca, Park Chanyeol!"

Baekhyun setengah memekik saat tubuh besar Chanyeol tiba-tiba menindihnya dengan kedua siku lelaki itu yang ditumpukan di dekat pundaknya.

"Kalau iya, memangnya kenapa? Aku memang ingin tahu semua urusanmu, Byun Baekhyun. Aku ingin tahu apa saja yang sudah terjadi saat aku tidak lagi bersamamu. Aku ingin tahu semua hal yang tak pernah kau ungkapkan di hadapanku—"

Baekhyun bisa menatap dirinya sendiri di mata Chanyeol yang bersinar penuh kefrustrasian itu.

"—aku ingin tahu kenapa kita berakhir seperti ini."

"Hentikan, Park—"

"Tolong, Byun Baekhyun! Aku sedang serius dan kumohon jangan menolakku lagi!"

"Tapi itu semua tak akan merubah apapun!" balas Baekhyun dengan suara tak kalah tinggi. "Tahu lebih banyak hanya akan menyakiti kita berdua, Park Chanyeol! Aku tak ingin kau membenciku lebih dari ini kalau aku mengatakan apa yang tidak kau ketahui!"

"Memangnya apa yang tidak kuketahui?" Chanyeol melunak, terlihat jelas dari matanya yang mulai berkaca-kaca. "Apa yang kau sembunyikan dariku, Baekhyuna? Apa yang kau sembunyikan hingga kau takut aku membencimu lebih jauh lagi?"

Baekhyun terdesak. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa saat, dia menyerah.

"Ba-baiklah. Aku ikut peraturan baru yang kau buat, asalkan—"

Dia tidak tahu apakah ini hal terbaik yang bisa ia lakukan atau tidak, "—aku boleh tidak menjawab kalau aku benar-benar tidak ingin menjawabnya."

"Terima kasih, Baekhyuna. Setiap jawaban yang kau beri akan sangat berarti untukku."

Dan saat kecupan itu Chanyeol berikan di keningnya, yang Baekhyun lakukan adalah memejamkan mata tanpa berniat menolak.

"Apa peraturan barunya sudah bisa dimulai dari sekarang?" tanya Baekhyun ragu-ragu. Chanyeol mengangguk, bertanya-tanya dalam hati apakah Baekhyun sesungguhnya punya rasa penasaran yang sama besar seperti yang ia miliki.

"Kapan kau akan menikah dengan Sachi?"

"Tanggalnya masih belum ditentukan. Tapi semua itu tergantung padaku. Kalau aku bilang iya, hari ini juga kami bisa menikah dan kalau tidak, mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi selamanya."

"Kenapa? Bukankah kau mencintai Sachi?"

"Satu rahasia untuk satu rahasia, ingat?"

Baekhyun mencebik, kesal karena ia tidak bisa menahan rasa penasaran berlebih yang ia miliki terhadap Chanyeol. Ingin rasanya ia menghujani Chanyeol dengan pertanyaan, tapi itu artinya dia juga harus siap menjawab semua yang lelaki itu tanyakan untuknya.

"Giliranku sekarang. Kau bilang ada urusan nanti sore, bolehkah aku tahu urusan apa itu?"

"Aku…" Baekhyun berhenti sebentar, ragu mau memberitahu Chanyeol atau tidak. "…nanti sore mau mengunjungi putriku di rumah abu. Ini tanggal 15, dia lahir dan pergi di tanggal itu jadi aku akan datang ke sana untuk memperingatinya."

Di saat yang bersamaan, hati keduanya berdenyut sakit. Ibarat kedua orangtua yang merasakan pilu ketika mengingat anak kesayangan mereka sudah tak ada di sisi lagi.

"Sekarang giliranku, Park." Baekhyun mencoba mencairkan suasana saat dilihatnya raut wajah Chanyeol yang berubah kelam. Ia menggulingkan Chanyeol dari atas tubuhnya kemudian duduk bersila di ranjang setelah memastikan selimut itu masih menutupi tubuhnya dengan rapat.

"Masih pertanyaan yang tadi. Bukankah kau mencintai Sachi? Lalu kenapa kau bilang pernikahan kalian bisa tidak terjadi kalau kau bilang tidak?"

"Pasti kau dengar dari orang lain tentang aku yang sangat mencintai perempuan itu."

Baekhyun tidak mengerti kenapa seseorang harus memberikan ekspresi datar seperti yang Chanyeol buat padahal ia sedang membicarakan tunangannya sendiri sekarang. Kalau ia jadi Chanyeol, mungkin ia akan betah membicarakan calon pasangan hidupnya semalam suntuk tanpa henti.

"Tapi sayangnya, kau tak akan pernah mendengarkan kata-kata itu keluar dari mulutku sendiri."

Butuh beberapa saat untuk menalari maksud Chanyeol barusan tapi Baekhyun tak terlalu yakin dengan hasil pemikirannya. Apa itu artinya Chanyeol tak mencintai gadis itu? Kalau tidak cinta, lalu kenapa mereka harus bertunangan? Kenapa keluarga Park sangat membutuhkan bayi Chanyeol kalau pada kenyataannya Sachi mungkin bisa memberinya keturunan?

"Ah, begitu ternyata." Baekhyun menghela nafas panjang namun masih ada perasaan mengganjal yang ia rasakan. Diam-diam, Chanyeol tersenyum samar menyaksikan Baekhyun yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri itu.

"Boleh aku bertanya lagi?"

Baekhyun tersentak ketika suara berat Chanyeol membawanya kembali pada kenyataan, memaksanya menghentikan teori-teori tentang Sachi yang ia asumsikan sendiri di kepalanya.

"Silahkan."

"Yang kau sebut putrimu—"

Baekhyun tahu, dia baru saja membuat langkah yang salah. Harusnya ia tidak usah menyetujui usulan Chanyeol akan permainan tanya-jawab konyol itu karena seterusnya, dia akan mendapatkan pertanyaan yang dirinya sendiri sulit menjawabnya.

"—apakah dia adalah putriku juga?"

Chanyeol memperhatikan gelagat Baekhyun yang tiba-tiba berubah gugup. Lelaki itu bangkit dari posisi bersila kemudian turun dari ranjang dengan wajah ketakutan. Sayangnya Chanyeol tak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ia ciptakan, dia ingin mendengar jawaban itu langsung dari mulut Baekhyun saat ini juga. Sebelum Baekhyun berjalan lebih jauh, Chanyeol telah berhasil menahan pundaknya.

"Jangan menghindariku seperti seorang pengecut, Byun Baekhyun. Berbaliklah dan katakan di depan wajahku kalau dia adalah benar anak kita dan aku adalah ayahnya!"

"Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya, Park Chanyeol?" Baekhyun berbalik seperti yang Chanyeol perintahkan. "Aku sudah pernah bilang kalau dia adalah anak kita! Tapi apa? Kau tidak percaya sama sekali dengan semua yang kuucapkan!"

Lagi-lagi, Chanyeol harus menyaksikan bulir-bulir airmata itu menodai pipi Baekhyun.

"Tak ada gunanya, bukan? Jutaan kali pun aku mengatakannya padamu, kau akan selalu meragukanku! Lalu jawaban seperti apa yang sebenarnya ingin kau dengar agar kau berhenti menanyakan hal yang sama?"

Chanyeol terdiam. Baekhyun mengusap airmatanya dengan kasar, mencoba untuk berhenti menangis karena ia paling tidak suka terlihat rapuh di depan lelaki itu.

"Lihat, sudah kukatakan padamu kalau tahu lebih banyak tak akan merubah apapun."

"Aku—hanya ingin tahu—"

"Ya, dia adalah putrimu dan kau adalah ayahnya! Puas? Tapi sayangnya, rasa ingin tahumu itu tak mengubah apa-apa! Kau tak bisa membuat anak kita hidup kembali, Park Chanyeol!"

Apa lagi yang bisa kau katakan, Park? Jawaban itu telah kau dengar langsung tapi kenapa kau masih saja meragukannya?

"Kau tidak sedang berbohong, kan?"

Baekhyun tertawa sambil mengusapi pipinya yang dibanjiri airmata. "Aku berbohong? Tuan Park yang terhormat, seharusnya kau tak perlu membuang waktu menanyaiku kalau pada akhirnya kau menganggapku berbohong!"

Tak habis pikir, bagaimana mungkin Baekhyun bisa hidup dalam keraguan yang Chanyeol miliki padanya selama bertahun-tahun tanpa berubah gila?

"Lalu Sehun—kenapa waktu itu aku melihat Sehun denganmu—"

Mata berair Baekhyun berubah nyalang, "Kau hanya percaya dengan apa yang kau lihat tanpa peduli pada bagaimana cerita selengkapnya! Tak apa, Park. Percayai saja apa yang ingin kau percayai kalau itu bisa membuatmu senang!"

"Bagaimana mungkin aku bisa percaya kalau aku melihat langsung bagaimana kalian berdua berkhianat di depan mataku?!"

Baekhyun, yang menyimpan beban tak hanya kau saja, Chanyeol juga. Bukankah itu wajar kalau dia juga ikut meledak karena sudah terlalu lama menyimpan semuanya dalam hati?

"Kau menghabiskan malam dengannya lalu datang padaku setelah perutmu membesar, kau pikir aku bisa percaya?"

Rasanya Baekhyun benar-benar ingin mati saja.

"Chanyeol—" ratapnya penuh kesedihan. "—aku bersumpah tak terjadi apapun malam itu—"

"Tapi kenyataannya setelah itu kau hamil, kan? Baekhyuna, harusnya dari dulu kau bilang padaku kalau yang kau cintai sesungguhnya adalah Oh Sehun, bukan aku. Aku bisa terima kalau pada akhirnya kau lebih memilih dia. Tapi apakah kau tahu? Perbuatanmu itu tak hanya menyakitiku, Luhan juga pasti tersakiti karena kalian berdua juga mengkhianatinya!"

Luhan. Kali ini tangisan Baekhyun tak bisa dihentikan lagi.

"A-aku tahu, Park Chanyeol. Kumohon hentikan!"

"Tidak, aku belum selesai—"

Baekhyun merasakan ujung-ujung jarinya mulai bergetar, ia perlahan menggerakkan tangan lesunya menutupi telinga berharap kalimat Chanyeol tak bisa lagi ia dengar.

"—kau lebih memilih Sehun karena tak bisa memperjuangkan hidup bersamaku, bukan? Dengan Sehun semuanya terasa lebih mudah. Kau tak perlu ditentang oleh ibunya seperti yang ibuku lakukan padamu. Kesulitan hidup membuat kalian punya banyak kesamaan namun sayangnya aku tak pernah mengerti tentang hidup susah seperti yang kalian alami. Setelah semua cinta yang kuberi untukmu, Byun Baekhyun, sesulit itukah kau tetap berada di sisiku dan berjuang bersamaku?"

"Jadi seperti itukah yang kau pikirkan tentangku, Park Chanyeol?"

"Iya! Memang seperti itulah yang kupikirkan tentangmu!"

"Tapi kau salah! Bukan aku yang tidak ingin ada untukmu, tapi kau yang pergi duluan meninggalkanku!"

"Aku pergi karena aku kecewa padamu, Byun! Lihat, sekarang pun kau masih saja membela Sehun mati-matian. Tidak bisakah kau berhenti dan membiarkan mereka hidup bahagia berdua saja? Luhan dan Sehun, tidak bisakah kau berhenti menjadi bayang-bayang dalam hubungan mereka?"

"Bayang-bayang?"

"Ya! Kumohon, Byun Baekhyun, hilangkan perasaan cintamu itu terhadap Sehun karena kau bisa merusak hubungan mereka seperti kau yang telah tega merusak hubungan kita. Sudah bertahun-tahun berlalu, kau masih juga menyimpan perasaan sialan itu untuk Sehun hingga saat ini? Tidakkah kau kasihan pada Luhan?"

Melihat mata Chanyeol yang juga berkaca-kaca, Baekhyun tiba pada sebuah kesimpulan—lelaki itu tidak sedang bercanda sekarang.

"Chanyeol, apa kau tahu? Kuharap detik ini juga aku bisa menjadi bayang-bayang seperti yang kau katakan. Tidak, kuharap aku bisa mendengar Luhan memaki dan memarahiku atas semua tuduhan yang kalian tujukan untukku," bisiknya parau.

"Aku tidak akan membantah atau melakukan pembelaan. Aku siap dengan semua caci maki dan hinaan yang mungkin akan ia beri, tapi—"

Baekhyun nyaris tersedak oleh tangisannya sendiri. Ini terlalu menyakitkan untuknya. Tidak bisakah Chanyeol berhenti dan pergi saja dari sini?

"—dia sudah tidak ada. Luhan sudah tidak ada hingga dia tak bisa lagi menghakimi semua perbuatan yang telah kulakukan."

"Apa?" Mata Chanyeol menyipit dan tanpa disadari setetes airmata menetes dari sudut pelupuknya. "Apa maksudmu Luhan sudah tidak ada? Kau mencoba membohongiku lagi, Byun?"

"Lu-Luhan sudah meninggal, Park Chanyeol. Luhan terlalu membenciku hingga ia tidak tahan tinggal di dunia ini selagi aku masih hidup."

Kali ini siapa lagi yang akan kau salahkan, Park? Kau ingin menuntut ibumu yang selama ini mengatakan kalau Luhan dan Sehun telah hidup berbahagia di luar negeri atau kau masih ingin tetap menyalahkan Baekhyun dan menuduhnya kembali berbohong? Atau dirimu—bagaimana kalau kau salahkan saja dirimu yang mempercayai semua yang Mama Park bilang tanpa menaruh curiga?

"Hah, tidak mungkin. Kau pasti berbohong. Lu-Luhan meninggal katamu?"

"Aku juga berharap semua ini hanyalah kebohongan, Park Chanyeol! Tapi apa yang bisa kulakukan kalau semuanya sudah terjadi? Kalau aku tak mempercayaiku, silahkan tanyakan sendiri pada Sehun! Pergi dan temui dia secara langsung meski aku tidak yakin dia mau keluar untuk menemuimu. Sehun ada di penjara dan dia mungkin tak akan bisa bebas sampai kapan pun!"

Sakit kepala itu selalu datang tiap kali Chanyeol mencoba kembali ke masa lalu. Mungkin kali ini yang paling parah. Terlalu banyak informasi yang ia dapatkan secara bersamaan membuat fisik dan mentalnya tak siap. Inikah yang terjadi selama dia tidak ada?

Chanyeol tak mengatakan apapun lagi setelahnya. Ia berjalan keluar dari rumah Baekhyun dengan langkah gontai, bahkan sepatu yang bisa melindungi kedua telapaknya dari goresan kerikil jalanan juga lupa ia kenakan. Lelaki itu terus melangkah, menabrak siapapun yang menghalangi jalannya dan membiarkan orang-orang menertawai bagaimana pria berbadan besar sepertinya berlinang airmata dalam diam.

"Luhan sudah tidak ada? Sehun juga dipenjara?"

Mata basahnya mengerjap saat menatap lampu hijau di persimpangan itu tapi kakinya malah dia hentikan di trotoar. Semuanya berpendar dan berputar-putar seperti gasing. Persis kenangan yang tiba-tiba ikut meramaikan otaknya yang telah kusut seolah ikut membantu membuat kepalanya bertambah sakit dengan penuh suka cita.

"Kenapa aku harus kehilangan semua orang yang cintai?"

Dan saat lampu itu berubah merah dan kendaraan kembali mengambil alih jalanan, Park Chanyeol melangkah gontai melewati garis-garis putih yang membentang di tengah jalan.

"Yak! Kau mau mati?!"

"Perhatikan jalanmu, Bodoh!"

Beberapa kendaraan membunyikan klakson mereka secara bersamaan, orang-orang yang berada di sisi jalan juga tak luput meneriakkan peringatan agar Chanyeol kembali. Tapi kepalanya terlalu sakit. Ia sudah tak tahan lagi. Badannya jatuh terkulai begitu saja seiring dengan sebuah mobil sedan yang mengerem mendadak dan berhenti persis setengah meter dari tempat ia jatuh tak sadarkan diri.

Kendaraan di barisan terdepan berhenti dan orang-orang mulai berkerumun karena penasaran apakah lelaki yang terlihat seperti akan bunuh diri itu telah mati atau masih hidup. Beberapa di antara mereka bernafas lega dan beberapa yang lain melontarkan makian penuh cemooh. Tidak, Park Chanyeol tidak sempat tertabrak atau mengalami luka apapun di tubuhnya. Ia hanya pingsan karena sakit kepala itu sudah tak tertahankan lagi. Tapi tidak ada yang tahu.

Baekhyun yang tengah membiarkan tubuh telanjangnya diguyur air dingin dari shower yang terus menyala di kamar mandi juga tidak tahu akan hal itu. Karena yang ia tahu hanyalah menangis dan terus menangis meski air itu perlahan membuat kulit-kulitnya mengkerut.

"Cha-Chanyeol—Chanyeol…"

Jelas saja Chanyeol tak tahu Baekhyun memanggil-manggil namanya di antara tangisan. Lelaki itu masih tak sadarkan diri dan beberapa orang tengah sibuk menggotong tubuhnya ke klinik terdekat. Kalau sudah seperti ini, siapa yang pantas dimintai pertanggungjawaban?

Chanyeol yang tengah terbaring di brankar dengan dua orang dokter yang mencoba membuatnya tersadar kembali, kah?

Baekhyun yang kini tergeletak di lantai kamar mandi dengan air yang masih mengalir di atasnya, kah?

Hm, atau mungkin Kai dan Sehun yang berada di tempat berbeda namun sama-sama tengah menatap sendu pada potret Luhan.

Tunggu. Mama Park di atas kursi PresDir yang ia duduki tampaknya baru saja menandatangani sesuatu—kontrak baru yang akan ia kirimkan untuk Baekhyun sebentar lagi. Apakah dia orang yang tepat untuk disalahkan?

Entahlah.

Tak ada yang benar-benar tahu.


Bergen, 15th of October, 2018