- Don't Like, Don't Read -

Hari ini mendung melanda kota Seoul, sehingga Jeongin berspekulasi jika akan ada hujan deras turun di kota yang baru beberapa bulan ini ia tinggali.

Ia mencoba mengingat-ingat isi di dalam lokernya, apakah dia membawa payung atau tidak pagi tadi. Namun setelah lama mengingat, Jeongin memasang wajah lesunya. Di karenakan ia tidak membawa payung karena terburu-buru saat pergi sekolah tadi.

Sebelum berangkat tadi, Jeongin sebenarnya sempat menonton tv berisikan acara berita yang menampilkan seorang reporter yang menjelaskan bahwa kota Seoul diperkirakan akan turun hujan.

Salahkan lah Minho yang menjabat sebagai teman sekaligus tetangganya, yang menjemputnya tiba-tiba.

Alasannya karena ingin buru-buru pergi ke sekolah untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang belum selasai ia kerjakan semalam.

Dan hari ini juga Minho mendadak sakit perut, karena salah makan di kantin. Dan mebuatnya ia dipulangkan lebih awal dari biasanya.

.

.

.

Ternyata ramalan cuaca tadi pagi memang benar. Terbukti dengan rintik-rintik hujan yang mulai membasahi bumi.

Jeongin hanya dapat menghela nafas.

Apa ia harus menunggu hujan reda baru bisa pulang? Tapi Jeongin tidak tau menunggu hingga kapan.

Untuk kedua kalinya Jeongin menghela nafas.

Bel sekolah berdering. Suranya bergema keseluruh penjuru kelas, membuat para siswa berhamburan keluar setelah mengucap salam kepada guru yang mengajar.

Dengan ogah-ogahan, Jeongin menenteng tas beratnya yang berisikan buku- buku tebal dengan ratusan halaman.

Jeongin sedang tidak bersemangat hari ini. Hujan pun juga tidak reda, sehingga menambah kadar semangat Jeongin makin menurun.

Jeongin berdiam diri di koridor sekolah, menunggu redanya hujan. Namun bukannya reda, hujan malah makin deras mengguyur ibukota.

Jeongin berdecak kesal.

Jujur ia takut harus menunggu sendirian di sekolah. Karena seluruh siswa sudah berhamburan dari sekolah, sehingga menyisakan ia yang menjadi penghuni sekolah satu-satunya yang masih bertahan menunggu hujan.

Beberapa menit yang lalu, Seungmin menawarinya untuk pulang bersama. Namun Jeongin tolak karena ia sangat tau jika Seungmin nantinya bukannya mengantarkan dia pulang, malah membawanya ke kediamannya. Dan jika sudah begitu, dipastikan Jeongin akan menginap di rumah Seungmin.

Jeongin hanya tidak mau merepotkan temannya tersebut.

Terbesit sebuah ide untuk berlari menerobos hujan sampai ke halte bus yang jaraknya agak lumayan jauh.

Tapi...

Tidak, tidak... Jeongin tidak mau melakukan hal gila (menerobos hujan) sehingga membuatnya sakit besok. Lagipula jika dia sakit dan tidak turun sekolah, bagaimana dengan ujian yang akan diadakan besok?

Sungguh pilihan yang tidak bijak jika harus menerobos hujan.

.

.

.

15 menit Jeongin menunggu. Namun hujan tidak sama sekali menandakan akan reda.

Jeongin merogoh saku celananya mencari ponsel miliknya. Mencoba untuk menghilangkan rasa bosan walaupun sesaat.

Asik menggeser-geser jari-jemarinya di atas layar ponselnya. Jeongin dikejutkan dengan sebuah tepukan pelan dibahu kanannya.

Setelah menolehkan kepalanya. Ia dapat melihat seorang laki-laki yang ia ketahui kakak kelasnya. Terbukti dari warna dasi yang laki-laki itu kenakan.

Di sekolah Jeongin, untuk membedakan tingkat siswa, dapat di bedakan melalui warna dasi. Biru untuk tingkat 1, kuning untuk tingkat 2, dan Hijau untuk tingkat 3. Dan siswa didepannya terlihat mengenakan dasi berwarna hijau, yang berarti 2 tingkat di atas Jeongin.

"Kau belum pulang?" Siswa tersebut bertanya dengan nada ramah.

"Ah, iya sunbae." Jawab Jeongin sekenanya.

Ngomong-ngomong, laki-laki didepannya ini sungguh tampan. Wajahnya seperti orang belasteran, kulitnya pun putih bercahaya, dan jangan lupakan rambut blonde sedikit ikal yang menutupi dahinya yang membuatnya dua kali lebih tampan.

Jeongin sungguh iri dengan wajah tampan laki-laki di hadapannya. Bukannya tidak mensyukuri, Jeongin pernah beberapa kali di puji tampan oleh teman sekelasnya, tapi di barengi dengan kata imut.

Jeongin kan tidak suka dibilang imut. Dia ini tampan!

"Mau pulang bersama? Kebetulan hari ini aku membawa mobil." Tawar laki-laki tersebut.

Lamunan Jeongin buyar, dan menimbang-nimbang tawaran tersebut.

Terlintas ceramahan Minho yang ia sangat hafal, yaitu 'jangan mau ikut dengan orang yang tidak di kenal!'.

Tapi jika ia menolaknya...

"Ah maaf, kau pasti ragu. Karena tiba-tiba seseorang yang tidak dikenal mengajak pulang bersama..."

"Bu-bukan begitu sunbae!" Elak Jeongin. Walupun sebenarnya memang itu alasannya ia menimbang lama tawaran laki-laki tersebut.

"Baiklah, pertama-tama aku akan memperkenalkan diriku dulu." Laki-laki tersebut tersenyum dengan tampannya.

"Namaku Byung Bang Chan. Tingkat 3. Dan aku kapten basket, asal kau tau saja." Ia memperkenalkan diri di akhiri dengan tertawa renyah yang sangat enak didengar.

Ketua basket ternyata, pantas Jeongin pernah melihatnya bermain basket minggu kemarin saat sekolahnya melawan The Boyz High School dengan akhir skor sekolahnya lah yang memimpin.

"Ya-yang Jeong In. Tingkat 1. Salam kenal sunbae." Jeongin memperkenalkan diri dengan singkat sembari membungkuk hormat.

"Jangan terlalu formal Jeonginie. Ah, boleh aku menggilmu begitu?"

"Te-tentu saja sun-"

"Hyung. Panggil saja Hyung."

"Ah iya, Chan hyung." Jeongin menyebut nama Chan dengan kaku.

"Ayo, aku akan mengantarkanmu pulang," Tanpa persetujuan Jeongin, Chan menarik tangan kanan Jeongin untuk mengikuti dirinya menuju parkiran.

Mereka tampak sedikit basah, karena hampir 3 menit berlari dibawah guyuran hujan yang lumayan deras.

"Jeonginie, maaf kau jadi kebasahan." Chan mencoba menepuk-nepuk seragam Jeongin yang terkena hujan tadi.

"Tidak apa-apa hyung." Wajah Jeongin tampak memerah entah karena hawa dingin dari hujan, atau karena diberi perhatian lebih oleh Chan.

"Baiklah, ayo masuk." Chan mempersilahkan Jeongin memasuki mobilnya di kursi penumpang bagian depan. Dan memasangkan seatbelt kepada Jeongin.

Nafas Jeongin tercekat atas perlakuan lembut Chan terhadapnya. Padahal mereka baru kenal satu sama lain. Tapi Chan memperlakukannyanya seperti Jeongin adalah teman- ah bukan lebih tepatnya seperti adik yang sangat disayanginya.

Chan lalu menutup pintu mobilnya dan dengan buru-buru menduduki kursi kemudi. Dan menancap gas keluar dari parkiran sekolah.

"Jeonginie, rumahmu alamatnya dimana?" Chan bertanya sambil fokus mengemudi.

"Di blok B no. 45 hyung."

Chan menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

.

.

.

Chan memarkirkan kendaraannya tepat di depan rumah Jeongin.

"Jeonginie kita sudah sampai. Kau tidak mau keluar? Atau kau mau aku temanin sampai pintu masuk?" Goda Chan sembari tersenyum.

"Eh? Sudah sampai? Ma-maaf hyung. Aku tadi melamun," Jeongin tersenyum kikuk.

Chan terkekeh melihat Jeongin yang gelagapan.

Jeongin lalu membuka pintu mobil Chan, dan ia sungguh terkejut karena Chan mengekorinya hingga pintu masuk.

"Chan hyung mau masuk juga?" Tanya Jeongin dengan polosnya.

"Bo-"

"Jeonginie!!! Jangan membawa masuk orang asing sembarangan!"

Jeongin dan Chan terkejut dengan seruan seseorang di halaman tetangga rumah Jeongin yang bersisikan pagar kayu bercat biru.

"Minho hyung?" Heran jeongin yang melihat Minho berdiri sambil menggenggam sebuah payung.

"Minho-ah!" Seru Chan menyadari kehadiran Minho, teman seklubnya.

"Ouh, Chris! Ku kira siapa..." Minho tampak terkejut melihat Chan.

"Chris?" Jeongin menatap bingung Chan dan Minho secara bergantian.

"Ah.. Itu nama saat aku di Australia. Sebenarnya sudah ku bilang panggil saja dengan nama Korea ku. Tapi kebanyakan temanku memanggil ku dengan sebutan Chris. Karena mereka pikir namaku tampak terlihat sangat keren." Chan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Jeongin pun menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Hey, kenapa kalian bisa berduaan?" Minho menatap Jeongin dan Chan penuh selidik.

"Chan hyung hanya mengantarkan aku pulang hyung." Jeongin menatap bosan Minho yang mulai berfikir aneh.

"I see... Sudahlah Jeongin, kau masuk rumah duluan. Nanti masuk angin." Perintah Minho sambil mengibas-ngibas tangannya tanda mengusir.

"Hyung, kau mengusirku?" Jeongin berpura-pura menatap tidak percaya Minho.

"Ya, aku mengusirmu. Karena jika dibiarkan kau diluar, bisa-bisa kau jatuh sakit. Dan siapa yang mengurusmu selain aku?"

"Ne.. Araseoyo..." Jeongin pun membuka pintunya rumahnya sedikit kasar.

Sebelum benar-benar masuk, Jeongin menatap sebal Minho.

Minho hanya bisa menahan tawanya melihat bagaimana ekspresi sebal Jeongin yang sangat lucu.

Beralih dengan Chan yang sedaritadi hanya diam melihat Minho.

"Lalu..."

"Astaga aku lupa kau Chris. Sorry..." Minho nyengir melihat wajah datar Chan.

Tanpa berkata apa-apa, Chan meninggalkan Minho yang terbengong melihat Chan yang pergi.

"Dasar aneh..." Bisik Minho.

"Aku bisa mendengarnya Minho-ah..." Jawab Chan dengan nada bosan saat ingin memasuki mobilnya.

"Sorry Chan, bercanda!" Seru Minho dengan menaikan sedikit nada bicaranya.

Chan menatap sekilas Minho. Dan berlalu mengendarai mobilnya.

Sebenarnya tadi Chan sudah senang ditawari Jeongin untuk berkunjung ke rumahnya, tapi salahkanlah Minho yang malah mengganggu.

Jujur, Chan mulai menyukai Jeongin diam-diam ketika melihat Jeongin yang menonton pertandingan basket antar sekolah seminggu yang lalu.

Dan kapan lagi Chan bisa seakrab dengan calon pacarnya yang sudah lama ia idam-idamkan.