Help Me, Please!

.

Naruto © Masashi Kishimoto || This story © AkaiLoveAoi

T rated || Yaoi/BL || Alternative Universe

Warn: typos, OOC

A SasuNaru Story

.

Uzumaki Naruto. Status: Lajang. Mencari: Penghasilan. Uchiha Sasuke. Status: Duda. Mencari: Asisten Rumah Tangga. Oh, sebuah kebetulan? "Kurasa tidak,".


Bagian 1: Lamaran


.

.

Musim dingin, pertengahan Desember, Tokyo.

.

.

.

Suara yang keluar dari pemanas air elektrik seakan menjadi suara yang merajai ruang yang minim penerangan itu—selain suara helaan napas yang sedari tadi terus menerus dikeluarkan oleh seorang laki-laki yang sedang menyeduh makanan sejuta manusia—ramen instan—dengan air panas. Tak sampai semenit setelah ia menuang air panas, jarinya dengan cekatan menyobek bungkus bumbu dan menaburkannya dalam cup mie yang ia seduh. Dibawanya ramen itu ke area kasur dan ia menaruhnya di atas nakas, sedang dirinya sibuk menggulung diri dengan selimut putih kusam yang tidak begitu tebal.

Samar, ada sedikit bunyi gigi yang bergemelatuk karena menahan hawa dingin. Tentu saja—karena pemanas ruangan itu tidak dinyalakan. "Karena kalau aku nyalakan—entah berapa tagihan yang nanti akan muncul dalam rekening ku,". Laki-laki itu memutuskan untuk menganggap bahwa ia tidak pernah mempunyai heater, ia akan bertahan walau hanya memiliki selimut sebagai modalnya.

"Oh—sudah empat menit," soraknya girang. Tangannya muncul dari lipatan selimut yang menggulungnya hingga atas kepala. Semerbak aroma ramen instan seketika memenuhi hidung, sangat menggoda perut yang keroncongan. Namun dirinya diam sebentar, kedua telapaknya menempel pada permukaan gelas, mencari kehangatan. "Inilah alasan mengapa aku cinta ramen," ujarnya sambil tersenyum-senyum. "Selamat makan!" kali ini ia bergumam lebih pelan.

Ia makan dengan sumpit kayu, melahap untaian ramen yang terlihat begitu enak bagi dirinya. Bahkan hingga kuahnya tandas tak bersisa. Sejenak, ia merasakan perutnya penuh. "Gochisousama," ia meletakan ramen cup yang telah kosong itu di tempat sampah. "Hah…" ia kemudian mendudukan diri di kasur, bersama selimut putih yang tadi ia gunakan untuk berlindung dari hawa dingin fuyu tahun ini.

"Ah—sial,". Ada ucapan pelan yang terdengar. Di tengah kegiatannya berkemul, pemuda yang dipanggil Naruto itu rupanya masih sempat-sempatnya mengumpat. "Sudah lewat seminggu…" kata-kata meluncur begitu saja dari mulutnya. Ia bicara dengan mata menatap plafon dan tangan tetap memeluk diri. "Kalau seperti ini terus—aku bisa mati," lanjutnya sambil menghela napas.

Naruto Uzumaki. 25 tahun. Saat ini sedang dilanda kebingungan sebesar alam semesta—oke, itu berlebihan—ia sedang mengalami yang namanya gundah gulana. Pikirannya luntang-lantung tak karuan, sama seperti nasibnya yang kini tidak jelas bagaimana karena Naruto baru saja kehilangan mata pencahariannya kurang lebih seminggu lalu.

Hari itu, salju turun dengan intensitas ringan, namun tetap saja harus membuatnya memakai mantel tebal. Naruto datang ke tempat ia bekerja seperti biasa, sebuah toko penjahit pakaian yang berada di salah satu kawasan pertokoan. Tetapi ketika ia memasuki ruangan pekerja, para staf tengah menggosipkan sesuatu yang ternyata bukan sekadar rumor. Toko itu ternyata gulung tikar, Naruto tidak yakin alasan mana yang menjadi penyebab toko itu merugi begitu banyak—sehingga para pekerja terpaksa dirumahkan.

Termasuk dirinya. Hari itu, para pekerja mengemasi barang-barang mereka dan pergi menjauh dari toko setelah sacchou membagikan pesangon. Ia masih ingat bagaimana wajah pemilik toko itu, sama tidak relanya seperti Naruto yang kehilangan sumber penghasilannya.

"Apa yang ku lakukan…" gumaman kecil keluar dari sela bibir yang gemetar karena dingin. "Ah—maksud ku, apa yang akan ku lakukan…?" ralatnya pada diri sendiri. Naruto meringkuk ke samping, memalingkan wajah dari langit-langit kamar. Ia mengubur diri di dalam selimut. Di kepalanya berkeliaran pemikiran-pemikiran mengenai apa yang akan ia lakukan setelah ini—setelah ia kehabisan biaya hidup.

Ramen cup tadi adalah stok terakhirnya. Ia belum memiliki uang lagi untuk membeli makanan, pun untuk membayar sewa kamar dan tagihan listrik. Pekerjaan adalah hal sulit untuk dicari di zaman seperti ini—apa yang bisa dilakukan olehnya yang hanya lulusan SMA, terlebih bukan dari sekolah unggulan metropolitan? Daya saing sangat tinggi dan membuatnya ditolak bahkan saat Naruto membaca persyaratan pekerjaan. Kalau ia tidak mencari uang, bagaimana ia akan menghidupi dirinya sendiri?

Agaknya pernah ia berpikir untuk membuka usaha sendiri. Haruskah ia turut membuka usaha jahit seperti tuannya dulu? Namun—apa nantinya ia tidak akan merugi sama seperti toko tersebut? Ia belum berani bahkan untuk membayangkan rintangan yang akan ia hadapi.

Laki-laki pirang itu kemudian bangkit dari tidurnya. Tanpa melepas selimut, ia bergerak menuju nakas yang ada di samping ranjangnya. Disana ada sebuah ponsel pintar yang sedang diisi ulang dayanya. Naruto mencabut kabelnya karena daya sudah terisi penuh. "Nah—sekarang ayo cari pekerjaan," ia berniat mencari pekerjaan lewat situs daring. Ia memainkan ponselnya sebentar.

.

.

"Astaga—". Notifikasi kemudian memberitahu bahwa ia tidak memiliki paket internet. "Makasih lho," Naruto tertawa masam.

.

.

Berbalut mantel coklat tua dan celana bahan panjang, Naruto melangkah keluar dari kamar lengkap dengan syal melilit lehernya. Ia berjalan menyusuri trotoar yang tidak begitu ramai, berniat mampir ke konbini untuk membeli roti—dengan maksud terselubung ingin meminjam wi-fi. Kasir menyapanya ramah saat Naruto membawa sebungkus roti untuk dibayar. Sempat terlintas dalam pikirannya—apa ia menjadi kasir konbini saja ya?

"Ano—". "Ya?" tanya si kasir. "Kira-kira… apa tempat ini menerima karyawan lagi?" ujar Naruto memberanikan diri. Matanya curi-curi pandang kepada kasir yang tidak lepas tatap dari uang yang dibayarkan Naruto. "Maaf, sepertinya tidak, Tuan," jawabnya. "Oh… kalau begitu baiklah," Naruto memang tidak berekspetasi tinggi. Ia hanya asal bertanya tanpa mengharapkan jawaban "Oh, iya! Kami sedang butuh karyawan!" dari sang kasir. Ia hanya sekadar iseng sambil mencoba peruntungan. Maa, mungkin ia memang sedang tidak beruntung saat ini.

Si pirang duduk di salah satu bangku yang menghadap ke trotoar, perlahan jarinya membuka bungkus roti tersebut dan kemudian memakan isinya. Matanya serius memperhatikan layar ponsel yang kini sedang menampilkan laman mesin pencari. Tangannya lincah mencari situs job vacancy, dengan harapan ia menemukan pekerjaan yang dalam waktu dekat dapat menutupi pengeluarannya.

Apa yang kira-kira mampu ia lakukan sekarang? Dalam kepala ia sibuk berpikir. Mungkin menjadi cleaning service? Atau dishwasher di restoran? Naruto menenggelamkan diri di laman loker (lowongan pekerjaan)—begitu lama karena ia mencari tempat kerja yang tidak begitu jauh dari tempat ia tinggal. Tentu, untuk menghemat biaya transportasi dan tenaga.

"Eh—ini tidak begitu jauh," ucap Naruto dengan nada pelan, begitu ia menyortir data lowongan pekerjaan berdasarkan lokasi. Ia menekan lowongan itu, mencoba mencari tahu lebih jauh—dipikir-dipikir siapa tahu cocok dengan dirinya. Dibacanya loker itu baik-baik.

.

.

Dibutuhkan cepat. Asisten Rumah Tangga.—

L/P. Min 21 tahun. Dapat melakukan pekerjaan rumah tangga, jujur dan dapat dipercaya.

Hubungi: +81-349756213 (Uchiha)

.

.

Naruto menjauhkan wajahnya dari layar ponsel. Agaknya ia tertarik dengan kemudahan akses ke daerah yang dicantumkan—namun ia berpikir dua kali ketika pekerjaan yang ditawarkan adalah seorang asisten rumah tangga. Ia sama sekali belum pernah menjadi ART. Tidak usah jauh-jauh, terkadang ia masih lupa mengurus diri sendiri, bagaimana mungkin ia dapat memperhatikan orang lain? "Ugh… apa tidak ada yang—". Oh, masih ada lanjutannya ternyata.

.

.

"Kisaran gaji—". Ia kehabisan kata-kata. Speechless.

.

.

Si pirang mengerang, ingin rasanya ia menelpon orang yang menulis lowongan ini dengan segera. Demi apapun dan entah mengapa, Naruto merasa rugi kalau-kalau ia tidak mencoba melamar. Siapa tahu—ternyata hari ini dia beruntung, bukan?


Dibanding membeli pulsa di konbini tadi, Naruto lebih memilih menelpon dari telepon umum dengan uang receh yang tersisa di dompetnya. Setidaknya—ia tidak perlu mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli pulsa seluler. Ia memasukan koin dan menekan angka yang tertera di laman situs yang tadi ia akses. Tersambung—Naruto menyandar ke dinding kaca sejenak untuk menunggu panggilan diangkat.

"… Halo?". Begitu suara itu terdengar dari seberang, tubuhnya langsung berdiri tegap, saking girangnya mendapat respon. Gugup, itulah yang Naruto rasa sekarang. "Ha-halo, selamat siang. … Apa benar—ini dengan Uchiha-san?" tanyanya ragu. Oh, ia berharap tidak salah menekan nomor.

"Ya benar. Siapa ini?".

Rasa girang kian bertambah dalam diri si pirang, ia mencoba membangun imej sebaik yang ia bisa. "Saya Uzumaki Naruto, saya baru saja melihat lowongan Uchiha-san di sebuah situs. Apa… saya masih bisa melamar?". Ada jeda selama beberapa detik sebelum orang di seberang membalas, "Ah ya—jadi kau ingin bekerja pada ku?". Naruto sampai mengangguk mengiyakan, "Ya! Apa masih bisa?" ia mulai bersemangat.

"… Berikan nomor ponsel mu. Aku akan kirim alamatnya," katanya setelah diam beberapa lama. Naruto gelagapan, agak salah tingkah karena gugup. "Oh—ya, um… sebentar," kemudian ia menyebutkan digit nomornya pada orang yang ia ketahui bernama Uchiha itu.

"Kosongkan waktu mu pukul 7 malam ini,". Setelah Naruto mengucapkan banyak terima kasih pada orang itu, telepon terputus karena waktu yang ia miliki untuk menghubunginya sudah habis. Naruto nyaris lupa kalau ia menggunakan telepon umum untuk mengontak orang itu. "Ah—sial,".

Si pirang keluar dari bilik telepon umum dan melangkah kembali menuju tempat tinggalnya. Ne, seperti apa orangnya Uchiha-san itu? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Naruto—bahkan sampai si pirang mendarat di atas kasurnya lagi.

.

.

Pukul 7 malam, hujan salju ringan menyambut Naruto saat ia berjalan ke stasiun kereta.

.

.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki itu, ia mengirimkan sebuah alamat lewat pesan singkat kepada Naruto. Si pirang berangkat mengenakan pakaian yang menurutnya lumayan layak untuk direkrut sebagai ART—sebenarnya ia tidak tahu harus memakai apa karena belum pernah menjadi seorang ART sebelumnya. Hanya lewat tiga stasiun dari tempatnya tinggal, Naruto kemudian menyusuri trotoar untuk mencari tempat yang katanya tidak jauh dari stasiun tempatnya turun.

Namun keganjilan mulai menghampiri saat si pirang sadar bahwa alamatnya mengarah ke sebuah café. Dia pikir… ia akan bekerja di sebuah rumah? (bukan seperti di café yang ada di depannya ini). Oh—atau jangan-jangan ia salah mencari alamat? Harusnya di sebelahnya atau di belakang—

brrrt, brrrt

Ponselnya bergetar saat ia dilanda kebingungan. Ah, mungkin ia harus bersyukur karena yang orang yang bernama Uchiha itu menelponnya.

"Ha-halo?". "Kau sudah sampai?". Agaknya, Naruto ragu untuk menjawab sudah sampai atau belum—namun ia memilih untuk menjawab iya. "Sudah, tapi—". "Tunggu sebentar, aku akan sampai dalam—oh, aku sudah sampai,".

Sedetik kemudian Naruto mendengar suara yang serupa berada sangat dekat dengan dirinya. Bukan dari telepon, suara itu keluar dari seorang pria yang sedikit lebih tinggi darinya, ia memakai mantel warna biru gelap dan syal hitam di lehernya dan sosok yang dimaksud tengah berdiri di depannya. Oh, apakah ia boleh mengira kalau pria itu adalah—

"Uzumaki-san?" sapa pria itu setelah ia memutuskan telepon. Naruto berkedip. "Ya—Uchiha-san?". Pria itu hanya mengangguk, mereka berdua berdiri di depan jendela café selama beberapa saat sebelum Naruto berkata, "Ah, yoroshiku, Uchiha-san," sambil membungkukan badan, si pirang mencoba menyambung obrolan. Pria itu hanya menatapnya tanpa mengeluarkan ekspresi yang berarti.

"Hei,". Naruto kembali menengadah. "Ya?". Pria itu kemudian berjalan menuju café, yang mana membuat Naruto bingung—haruskah ia mengikuti pria itu atau sebaiknya ia menunggu di luar saja?

"Teh atau susu. Mana yang enak?" tiba-tiba pria Uchiha itu bertanya. "Eh?" dan tentu saja si pirang bingung karena mendadak mendapat pertanyaan sepele seperti itu. "Jawab saja," tuntutnya tidak sabar.

"Um—susu?" tebak Naruto asal-asalan. Masih tanpa ekspresi, pria itu mentitahnya, "Tunggu disitu," dan masuk ke café, meninggalkan dirinya yang melongo karena masih gagal paham mengenai situasi yang tengah ia alami sekarang.

.

.

.

Belum reda keterkejutannya karena pria Uchiha itu membelikannya segelas susu hangat dari café, ia dikejutkan lagi dengan kendaraan roda empat milik pria itu. Tampak sangat berkelas di mata si pirang. Ia tidak tahu pasti mobil merek apa yang tengah ia tumpangi dengan calon majikannya tersebut. Yang jelas membuatnya kaget adalah—

kok mau-maunya pria itu membiarkan jelata sepertinya menumpang—terlebih duduk di sebelahnya? Ia heran bukan main!

.

.

.

"… Jadi nama mu?".

"Uzumaki Naruto, Uchiha-san,".

"... Uzumaki—ya,".

"Ano—panggil Naruto saja,".

"… Kalau begitu, Naruto,"

"... ya?".

"Panggil aku Sasuke saja,".

"Ba-Baiklah,".

"Lakukan,".

"… Sa-Sasuke-san?".

"Hm,". Dan disambung dengan kekehan kecil.

.

.

.

Sumpah, ini tidak baik untuk jantung ku.

—batin Naruto, pukul 7 lewat 34 menit. Masih dalam perjalanan menuju hunian Uchiha.


bersambung


Halo minna~ Ao kembali dengan sebuah serial baru, yang (rencananya) bakal diseriusin /digebuk warga/ oke, Ao nge-post ini karena lagi-lagi dibuang sayang. Dari pada ide berseliweran di kepala ilang gitu aja, mending dituang wkwk. Ao berusaha sebaik mungkin agar cerita ini berkesan ringan hehehe jadi mohon bantuannya ya~

Kalian bisa ninggalin review atau PM Ao, isoke kok santai aja. Siapa tahu Ao bisa improve dan ceritanya bisa lebih baik lagi, oke? Ao terbuka atas segala kritik dan saran, jadi tenang aja hehe

Cerita ini akan multichap (yaiyalah) mungkin lebih dari 5? Belum tahu juga hahaha :D Pokoknya jangan lupa komen2 di review ya! Ao tunggu~

Sankyuu

AkaiLoveAoi