Menemukan diri lebih buruk meski sudah mengatur pola hidup sehat dan makan makanan bergizi, ditambah pelayan pribadi yang selalu mengawasi tidak menghentikan metabolismenya berjalan. Entah kenapa berat badannya turun begitu drastis hingga dia sendiri tidak mempercayainya.

Dalam sebulan Wonwoo kehilangan 5 kilogram berat badannya dan dia tidak menemukan alasan paling tepat kenapa hal tersebut dapat terjadi. Dia tidak sakit dan itu cukup menakjubkan padahal dirinya harus beradaptasi dengan lingkungan jepang meski dia tinggal di bangunan bergaya eropa dan menerapkan budaya itu juga di tempat tinggalnya.

Mendengus lalu tertawa. "Kau banyak berolahraga kalau begitu." Jihoon mengoloknya lalu menyimpan timbangan kembali.

Yang disinggung merotasikan mata malas, bertumpu pada tangan di atas kasur. "Awalnya menggelikan punya pelayan di usia 28 Jihoon, lama-lama aku cukup terbiasa." Kata Wonwoo.

Meliriknya sesaat. "Aku bisa mengerti itu." Dia berjinjit untuk meletakkan sesuatu di atas lemari. "Kau kembali merasa seperti anak sekolah dasar begitu?"

Wonwoo melihat Jihoon yang kepayahan, dia menghampirinya kemudian mengambil benda di tangan Jihoon meletakkannya di atas lemari tanpa usaha. "Aku merasa tua lebih awal." Selorohnya. "Tapi aku menganggapmu sebagai teman dan lama-lama perasaan aneh itu hilang."

"Bagus." Jihoon menepuk-nepuk tangannya berlanjut pada waistcoat hitamnya yang putih di beberapa tempat akibat debu. "Tapi kau tetap majikanku, jangan lupakan batasan." Terakhir kali Jihoon berkacak pinggang di hadapannya.

Wonwoo membasahi bibirnya melihat Jihoon, pria kecil itu cukup trendy dari visual. Dia libur di akhir pekan dan Wonwoo tidak perlu repot memikirkan apa yang dia lakukan seharian di hari Minggu. Senin kemarin dia datang dengan rambut pink mencolok juga paper bag berisi aksesoris. Jihoon punya kehidupannya sendiri, Wonwoo penasaran apakah dirinya memiliki kehidupan di tempat ini.


oOo

Hajimete Dewanai
Chapter 4: Mystery Past

oOo


"Jihoon, berapa berat badanmu?"

"58, kenapa?"

"Kau 2 kilogram lebih enteng daripada aku, apa kau tidak berpikir untuk menaikkan beratmu?"

Jihoon terhenti dari aktifitas membersihkan lemari bagian bawah, dia memandang sesaat Wonwoo yang sedang berbaring di kasur dari balik punggungnya. "Aku baru saja menurunkan 3 kilogram dan bukan tanpa alasan, lagipula ini berat idealku." Dia mengusik isi lemari lagi.

Jihoon dapat mendengar bunyi per ranjang yang berdecit, dia ketahui Wonwoo sudah beranjak dari kasur itu. "Kalau begitu katakan," Tiba-tiba saja bahunya ditarik sangat kuat —begitu kuatnya hingga dia tidak sempat berpikir, seseorang membalik badannya hingga punggungnya menghantam pintu lemari dengan kasar. "Apa alasannya? Kenapa kalian sangat suka menjaga standar itu?" Wonwoo berada di depannya, tubuh mereka berhimpitan dan Jihoon tidak dapat berpikir. Kepalanya penuh dan terasa sesak. Dia tidak ingat caranya melawan, sejak sebulan lalu adalah waktu di mana dia mulai membuka hati hingga dirinya begitu rapuh.

"Aku pacaran." Ringisnya. Mendorong Wonwoo dan bahu lebar itu. "Dengan Soonyoung." Lalu menemukan cara bernapas kembali setelah Wonwoo menyisakan jarak di antara mereka. Jihoon mengusap dadanya menghela napas lega. "Sudah sebulan dan ya, aku tidak mudah didapatkan. Jangan dengarkan jika dia bercerita tentangku karena isinya mengada-ada saja."

Wonwoo tertawa dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Muka Jihoon tadi memerah malu dan sangat lucu, Wonwoo jamin dia tidak akan melupakannya hingga tua nanti. Tersenyum saja tidak pernah, bagaimana Soonyoung bisa menyukai kudis kecil ini padahal sangat keras kepala dan tempramen.

"Aku jadi merindukan Soonyoung, dan oh pasti kalian pernah make out di sini. Ayo ceritakan!"

"Apa-apaan Wonwoo, aku tidak sebar-bar itu melakukannya di tempat kerjaku."

"Tapi kau pasti pernah melakukannya di tempat kerjanya, itu artinya setiap aku bertemu dengannya di mall atau restoran. Benar begitu bukan?" Wonwoo menatapnya heboh. "Ceritakan quick sex kalian!'"

Jihoon memasang wajah datar menatap Wonwoo yang dipenuhi sikap antusias. Pria di hadapannya perlu diberi peringatan kesehatan dari pemerintahan perihal sex. Jihoon adalah pemuda penuh pengendalian diri dan pikir panjang sebelum memukul untuk menghilangkan kesadaran seseorang.

"Ayolah, aku tidak ingin membahas ini."

Wonwoo tertawa lagi hingga dia rasa perutnya seperti terbakar. Dia menatap Jihoon jengah dan itu menambah kadar humornya. Oh humor rendah itu kembali lagi.

"Bagaimana denganmu, Won?" Seloroh Jihoon, menatap Wonwoo dengan seringaian di bibirnya. "Bagaimana pergaulanmu dengan Mingyu? Setiap malamnya?"

Wonwoo menelan ludahnya gugup, menjilat bibirnya yang kering karena terlalu banyak bicara. "Kenapa kau mau tahu?"

Jihoon menyisir rambutnya ke belakang guna membebaskan dahinya dari panas. "Aku pikir kau duluan yang membicarakan ini."

Wonwoo terkekeh, merasakan antara ironi dan simpati yang menimpa hidupnya. Jujur saja dia tidak merasakan apapun dalam ikatan pernikahannya. Di setiap malam mereka(Wonwoo dan Mingyu) hanya tidur itupun jika Wonwoo sadar kalau Mingyu sudah pulang dari pekerjaannya. Tidak ada konteks romantis di sana.

Hidupnya hambar meski ada Mingyu yang begitu hebat selain dalam imajinasi liar dan ciumannya menggairahkan. Tetapi hanya sampai di sana, dia tidak merasakan kesungguhan di balik mata pria itu.

"Rrr— Totally fine." Derit Wonwoo. Meluapkan ironi hidupnya dengan membentangkan tangan lebar-lebar dan rebahan di atas kasur. Memandang langit-langit tinggi kamar bergaya eropa.

Jihoon tahu Wonwoo berbohong. Dia dapat mengenal kebiasaannya menyembunyikan kebenaran berkat bunyi geraham yang berderit dari balik bibir itu. Dia sadar jelas fakta bahwa Mingyu memang mengagumkan dalam setiap hal, tetapi dia belum pernah membayangkan Mingyu dalam konteks seksual. Hubungan tidak harmonis kedua orang itu sudah pasti menjawab pertanyaannya.

"Don't you dare to treat me differently!" Peringat Wonwoo. Menyadari jeda 5 detik yang diberikan Jihoon sebagai respon pertama jawaban dari Wonwoo yang dia lemparkan ketika Jihoon menanyakan pergaulannya dengan Mingyu tadi. Jihoon tertawa.

"Aku penasaran bagaimana rasanya."

"Apa?"

"Bercinta dengan Mingyu."

Wonwoo hampir tersedak ludahnya sendiri setelah Jihoon menyatakan itu. Dia mengusap bibirnya dengan lengan pakaian lalu menatap Jihoon yang terdiam. "Bayangkan saja." Tilik Wonwoo tanpa minat melihat wajah Jihoon. Karena dia sendiri tidak tahu.

"Pasti rasanya seperti belajar mengendarai bis." Jihoon berucap spontan. "Saat kau bahkan tidak memiliki sim A!" Mereka berdua tertawa karenanya. Menertawai kekonyolan humor rendah mereka karena sudah menjelek-jelekkan tinggi badan sang tuan rumah di sini. Tanpa sadar seseorang berdiri di ambang pintu melihat kedekatan mereka.

"Aku iri." Ucap seseorang itu. Tangannya menyender pada daun pintu menatap Jihoon dan Wonwoo bergantian. Dia melangkah memasuki kamar dengan perlahan.

Jihoon melirikkan mata sesaat. Menghela napas dan memasang wajah jutek khas miliknya. Dia bersidekap. "Aku pikir seharusnya kau menemui Wonwoo di paguyuban jam 7 nanti, Kwon Soonyoung-ssi." Ucap Jihoon.

Wonwoo memutar mata malas. Jihoon pintar sekali ber-acting.

"Apa salahnya menjemput? Aku bertanggung jawab pada muridku, Jihoon-ssi." Katanya seraya melesakkan tangan ke dalam jaket, lalu meraih kunci di sana dan menyodorkannya ke depan wajah Jihoon.

Wonwoo menatapnya tanpa minat, tertawa ringan lalu menggelengkan kepala. "Oh ayolah, kalian berciuman sajalah, aku sudah tahu semuanya." Sambil mempersilahkan dengan tangan di udara.

"Terimakasih karena merestui hubungan kami." Ucap Soonyoung, memandang Wonwoo takjub dengan mata berkaca.

Tersenyum lalu mengangguk. "Tentu saja."

Jihoon tersenyum. Dengan itu Soonyoung memeluknya. Mereka berciuman dan Wonwoo memalingkan wajahnya sesaat. "Umm, aku tidak tahan dengan drama kalian. Aku akan bersiap-siap." Dia menuruni kasur buru-buru.

Soonyoung memicingkan mata. Melihat Wonwoo yang merasa sensitif akibat ciumannya dengan Jihoon. "Jadi kasur itu ya?" Ucapnya.

Wonwoo berhenti sejenak, menatap Soonyoung lalu melontarkan ekspresi tidak paham.

"Tempat kau tidur bersama tuan besar Kim." Soonyoung memasang seringaian, Wonwoo mulai antisipasi . "Lalu melakukan seks! HAHAHAHAH!"

Wonwoo memejamkan mata kemudian berhitung sampai sepuluh. Terkadang Wonwoo menyesal telah menerima Soonyoung yang ekstrem berisik sebagai pengajarnya, tetapi dia menyukai pria itu dengan alasan yang sama. Wonwoo juga kadang kesulitan mengimbangi humornya yang suka membahas topik sensitif. "Kwon, diam!" Perintahnya.

Maka Soonyoung merapatkan bibirnya tanpa rasa menyesal sama sekali. Wonwoo dapat mendengar suara tawa yang terselip dari bibir itu. Wonwoo akan memberikan Soonyoung pelajaran nanti dengan menendang pantatnya.

"Kalian berdua sama saja." Bisiknya pada sejoli tersebut. Menuju kamar mandi lalu berganti pakaian di sana.

oOo

"Bagaimana paguyubannya?" Tanya pria kaya dari seberang, Wonwoo meneguk dari cangkir yang ditawarkan Jihoon dan berdeham.

"Lancar." Jawabnya. "Ada apa? Kenapa kau menelfon?" Wonwoo bertanya, merapatkan ponsel ke telinga karena di sekelilingnya orang-orang bicara dengan cukup lantang.

"Aku pikir kau belajar bahasa jepang."

"Hm," Wonwoo menggumam, menerima segelas air lagi lalu menenggak rakus. "Mada desu~" Wonwoo terkekeh, membiarkan Jihoon berbaring di pahanya.

Semua kepala menatap mereka penasaran. Wonwoo dapat rasakan seseorang menyentuh pundaknya lalu menyodorkan rokok menyala. Oh, Wonwoo yang malang tidak tahu cara menggunakan batang kanker tersebut.

Kepalanya dipenuhi kabut, pandangannya berkunang-kunang; seperti ada warna merah, jingga, hijau dan biru meledak bersamaan. Yang dia ingat dia duduk melingkar di sebuah meja bundar dalam suatu ruangan di restoran yang sudah disewa.

Kurang lebih 20 kepala berkumpul di sana dan ada 4 buah meja. Meja yang ditempatinya berisikan 4 orang saja; Soonyoung di hadapannya, Jihoon di sampingnya, dirinya, dan satu orang di sebelahnya —Wonwoo terlalu mabuk untuk mengingat namanya.

Dia menggeleng namun pria di sampingnya terus-terusan mendesaknya. Wonwoo sudah mengangkat tangan tapi orang-orang di sekitar sudah meneriaki Wonwoo untuk cepat mengambil giliran.

"Tidak akan sakit." Katanya.

Perhatian Wonwoo terditraksi oleh suara lembut pria itu. Di telinganya ada Mingyu berucap, tetapi yang nyata adalah seruan pria di sebelahnya. Pria dengan senyum menyenangkan itu. "Suamiku, aku saaangat mabuk." Wonwoo berkata. Cukup keras tetapi tidak yakin cukup untuk dapat didengar orang-orang. "Dan sebentar lagi aku akan merokok."

Tertawa lagi, sejurus kemudian dia menerima batang rokok itu lalu melesakkannya ke belah bibirnya dan menghisap kuat-kuat. Ponselnya menggema, "Kau tidak seharusnya melakukannya." Mingyu memperingatkannya. Memangnya dia bisa apa dari Jeju sana?

Wonwoo terbatuk, saat mencoba menerima asap itu masuk ke paru-parunya dia seperti merasakan rusuknya dihantam begitu kuat. Saluran pernapasannya terasa dilumuri cairan asam dan dipaksa toleran padahal sudah tahu tidak akan bisa.

Lelaki di sebelahnya tertawa, Wonwoo memandangnya takjub. Dia memiliki tulang pipi tinggi, hidung mancung dan senyum lebar menawan. Giginya rapi lalu bibirnya memiliki daya tarik. "Coba lagi." Katanya sembari menegak soju.

Ingatkan Wonwoo siapa nama orang ini, rasanya mereka sudah saling mengenalkan nama saat datang tadi. Tetapi Wonwoo terlalu tidak peduli dan asik dengan bukunya. Dia menghisap lagi, kali ini dengan panduan lelaki itu. "Pelan-pelan saja, lalu nikmati." Seraya mengusap bahu Wonwoo.

Cukup mengasyikkan lama-lama tenggelam bersama racun tembakau dan di paru-parunya seperti ada rawa. Dia memejamkan mata dan kepalanya jatuh ke belakang. Merasa seperti membangun danau buatan di dalam dadanya, bedanya itu terisi oleh gas dan bukannya air. "Kau tidak serius melakukannya." Suara Mingyu menggema lagi.

Wonwoo tertawa terbahak. Melontarkan kepalanya ke belakang sofa dengan gemuruh dari pita suaranya. Dia sudah akan menjawab dengan cara menertawakan Mingyu yang selalu berpergian entah ke mana tidak pernah ada saat dirinya butuh. Di saat Wonwoo bersenang-senang seperti ini prianya baru menghubunginya hanya untuk melarang-larangnya, suami macam apa Kim Mingyu.

"Kim, aku bersenang-senang." Derunya sekali. Berkata pada ponsel demi tujuan mengejek suaminya.

"Sertakan aku kalau begitu." Balas Mingyu.

Maka Wonwoo duduk tegak kembali, memandang ke samping untuk membuka matanya. Ingin tertawa lagi tetapi pita suaranya berkhianat; ada Mingyu di sampingnya. Menatapnya lama dengan tatapan tajam itu lagi. Manik gelapnya selalu mengingatkan Wonwoo akan malam, gelap, dan berkuasa. Ponselnya jatuh tapi Wonwoo terlalu sibuk untuk terpaku dan mengabaikan.

Jihoon sudah tidak berada di pangkuannya, mungkin ke toilet entahlah. Suara Soonyoung juga sudah menghilang jadi Wonwoo berasumsi kalau pasangan itu pergi bersama.

Wonwoo melihat Mingyu. Di sini, dengan raga yang sama. Kantuk menggelayuti mata Wonwoo dia tidak memiliki daya penuh untuk tetap tersadar. Wonwoo menatap Mingyunya dengan mata sayu. Bahu mereka bersentuhan. Wonwoo meraih wajah Mingyu, mengusapnya guna merasakan kulit hangat dan gelap yang selama ini didambakannya di alam mimpi saja.

Tangannya yang lain beralih meraih lehernya, mengelusnya pelan nan sensual. Kemudian Mingyu maju perlahan, menempelkan bibir mereka dengan lumatan lembut. Lembutnya tidak bertahan lama lalu jadi kasar. Wonwoo menarik rambutnya, tangannya kini sudah menari-nari di punggung Mingyu.

Dia mundur perlahan, mundur dan mundur hingga punggungnya membentur tembok. Lalu Mingyu menyentuh dadanya, menarik kemejanya lembut kembali menciumi Wonwoo dan Wonwoo memejamkan mata.

Bibirnya terbuka Wonwoo menangkupkan wajahnya. Mingyu mengecupi lehernya dan meninggalkan bercak kupu-kupu banyak sekali. Tangan Mingyu beralih pada celana Wonwoo. Menuju satu-satunya bagian yang tidak pernah dijamah seorangpun. Dia meremasnya pelan, begitu teratur hingga Wonwoo lupa caranya berpikir.

Wonwoo mendesah, napasnya semakin berat dan rokoknya akan jatuh.

"Baiklah, kau sudah hangover." Sebelum rokok itu terjatuh, seseorang di samping Wonwoo tadi mengambil alih rokok dari tangannya lalu menyerahkan batang kanker itu kepada anggota paguyuban lainnya. Wonwoo terkesiap dan menegakkan posisinya.

Yang tadi hanya halusinasi. Wonwoo berucap pada dirinya sendiri.

Itu hanya halusinasi saja. Mingyu tidak menyukaiku dengan cara itu. Serunya lagi.

"You must to try hard to turn me on and you did." Katanya. "Aku Seokmin, pasti kau lupa."

Wonwoo masih berusaha mencerna keadaan di sekitarnya, dia menatap wajah Seokmin linglung. Teringat pada ponsel dan sedang menelepon, Wonwoo menunduk lalu mencari benda itu karena dia rasa sudah menjatuhkannya. Ah itu dia, di samping kaki meja.

"Hei! Kenapa kau tidak menjawabku?" Suara Mingyu kini benar-benar membuat sarafnya tegang. Bahunya bergetar begitu hebatnya berkat sentuhan suara Mingyu menebarkan dampak sensual bagi tubuhnya.

"N-Nanti dulu Kim, aku akan menghubungimu lagi." Wonwoo menutup telfon secara sepihak.

"Memang begitu cara kerjanya." Kata pria dengan senyum menyenangkan di sampingnya, oh ya dan katanya namanya adalah Seokmin.

Suasana remang menampilkan pendar kekuningan cahaya lampu. Samar musik jazz dialunkan. Hati Wonwoo berkedut acuh dan wajah Seokmin yang langsat begitu teduh sebagai fondasi tepat dipadukan dengan gulita malam dalam ruangan dipenuhi orang-orang memadu kasih.

Wajahnya begitu tampan dan menggoda.

Tetapi tidak cukup semenggoda Mingyu.

"Dua temanmu sepertinya tidak membutuhkan rokok tadi." Ucapnya. "Dan aku kira kau datang bersama mereka jadi kupikir, aku bisa memberikan rokok itu padamu."

Pernyataan itu seperti diputar-putar oleh Seokmin tanpa makna tujuan jelas yang ingin disampaikan. Wonwoo mengernyit bingung, mic dimatikan dan sudah tidak ada yang berkaraoke. "Maksudmu apa?"

Seokmin tertawa. "Rokok tadi adalah stimulasi."

Wonwoo menatap ke sekeliling ruangan. Mereka semua berciuman, saling merangkul, berpegangan tangan, dan berpelukan. Menikmati acara yang diputar di televisi. Mereka saling bersender satu sama lain.

"Hanya itu saja. Dan aku tidak tahu dampaknya begitu besar untukmu."

"Apa maksudmu?"

Dia melemparkan pandangannya lagi. Semua orang benar-benar lelap dengan kekasih mereka.

"Kau hampir onani Wonwoo!"

Wonwoo yang baru saja memasukkan cairan dari gelas ke mulutnya tersedak panik. Seokmin mengambil gelas itu lalu meletakkannya ke atas meja. Dia menepuk-nepuk bahu Wonwoo pelan.

"Kau bercanda."

"Tidak. Kau menciumku, aku hanya diam sumpah. Tapi setelahnya kau kelewatan. Aku punya pacar."

"Dan aku punya suami."

Seokmin sudah tahu tentunya. Dia juga kenal batasan karenanya hanya menerima kecupan Wonwoo saja. Pemuda di hadapannya sudah cukup mabuk bahkan dia menyentuh dirinya sendiri tadi. Orang-orang memekik cukup kera. Seokmin menyuruh mereka untuk mengurus urusan mereka sendiri.

Keduanya saling pandang. "Apapun itu," Seokmin menaikkan bahu sesaat. "Nice to know you by the way, penahanan hormon yang hebat. Bagaimana melakukannya?" Seokmin merangkul Wonwoo keluar dari ruangan, dengan begitu mereka lolos dari tempat yang dipenuhi insan-insan memadu kasih.

Wonwoo berpikir sejenak dan tidak berniat menjawab. Dia hanya melakukannya. Spontanitas.

Di luar restoran sudah gulita dan cukup dingin. Seokmin memakaikan syal ke leher Wonwoo tanpa ada kata-kata dan diberikan. Sepatunya menyapu salju tipis di jalan. Ketika dia bicara asap mengudara lalu pudar dengan cepat.

"Kau bisa menceritakan masalahmu kepadaku." Dia mendudukkan Wonwoo dan dirinya di sebuah kursi panjang suatu taman. Wonwoo menurut lalu ikut duduk.

Wonwoo tidak yakin ingin cerita apa. Dia pria dewasa dan menyentuh dirinya sendiri di ruangan umum berisikan 20 orang dewasa lainnya karena dalam keadaan mabuk. Atau sebenarnya karena membayangkan Kim Mingyu.

Apa dirinya benar-benar menginginkan Mingyu sebesar itu? Wonwoo tidak tahu.

Yang diragukannya saat ini hanyalah keteguhan hati dan kemantapan jiwanya untuk tetap bersanding dengan Mingyu. Selama ini Wonwoo tidak menemukan sikap temperamen dalam dirinya seperti yang Mingyu ucapkan. Dia tersinggung dan berhasil membuktikan kalau dirinya terbebas dari sikap satu itu.

"Kalau tidak ingin cerita tidak apa, ini baik untuk mabuk." Seokmin memberikan kotak jus jeruk kepada Wonwoo. Dia menyodorkan itu dari balik jaketnya.

Ketika mengambil jaket tadi Wonwoo tidak ingat Seokmin membeli satu atau memasukkannya ke sana. Mungkin Seokmin membawa itu dari rumah. "Kau mudah mabuk Seokmin?"

"Sedikit." Ujarnya. "Aku cuma suka membawanya di saat-saat genting akan meminum alkohol seperti malam ini." Terangnya kemudian.

Wonwoo mengangguk malas. Membuka kemasan kotak jus berikut menghabiskannya. Itu sedikit membantu kepalanya yang berputar-putar sehingga mengurangi kadar rasa mualnya akibat rangsangan mabuk di kepala. "Tidak dewasa."

"Tapi bijak."

Wonwoo meninju baju Seokmin pelan. Mereka tertawa sembari melanjutkan jalan. Menembus gang-gang sempit dan kembali menendang salju. Menuju satu gedung dengan template bergambar daging. "Ayo kita makan di sini." Ajaknya, Wonwoo mengangguk saja.

Mereka menaiki tangga hingga lantai 3, membuka satu pintu kaca dan melihat ruangan teduh khas restoran Jepang umumnya. Memilih meja, lalu duduk di atas bantal yang tersedia.

"Jadi, seperti apa Kim Mingyu menurutmu?"

Wonwoo masih tertawa dengan lelucon sebelumnya, tetapi topik baru ini membuatnya pusing. "Kau kenal Kim Mingyu, Seokmin?" Wonwoo mengerutkan keningnya heran.

Seokmin tertawa, sembari membalikkan daging dan meletakkannya di piring Wonwoo.

"Siapa yang tidak kenal?" Dia menatap Wonwoo dengan pandangan sejuk. Masih sibuk dengan masakan, oh jangan biarkan Wonwoo menyentuh satupun peralatan masak di sana. "Lagipula aku teman nongkrongnya, kau teman lamaku juga by the way." Katanya terang-terangan. "Heran melihatmu seperti ini, dulu kau sangat feminine." Lanjutnya.

Wonwoo meraih mangkuknya. Menelan gugup serta rasa takut yang tetiba mengudara. Bukan pertama kali seseorang yang mengaku kenal Wonwoo 5 tahun lalu di Jepang mengatakan bila dirinya di masa lalu nampak feminine.

"Kalau kau teman nongkrongnya, kenapa menanyakan Mingyu kepadaku?"

"Hanya saja, dia cukup berubah lima tahun belakangan. Paling-paling aku berkunjung kalau ada Natsu saja dan tidak pernah menemukanmu. Katanya sih kau pergi."

Benarkah? Seokmin sampai mengenal Natsu juga. Tetapi dia tidak pernah mendapati Seokmin berkunjung ke mansion. Dia teringat Natsu pernah menyebutkan nama Seokmin di meja makan dengan topik yang cukup vulgar.

"Mingyu baik-baik saja." Kata Wonwoo. Dia menatap Seokmin masih sibuk dengan masakan dan makanan. Meletakkan daging lagi ke piring Wonwoo. Menatapnya lembut, tersenyum dengan tulang pipi yang tinggi.

"Aku senang kau kembali Wonwoo hyung."

Lalu Wonwoo memakan masakan yang disediakan. Tidak berniat menertawakan lelucon manapun lagi yang Seokmin bawakan. Wonwoo cukup terpana dengan sikap lembut Seokmin meski jenaka dia cukup maskulin dan agaknya menarik.

"Atau musti ku panggil, Wonwoo noona." Katanya yang membuat Wonwoo tidak dapat menikmati makanannya lagi.

Continuer

Counts word: 2984


Kalian bisa menebak siapa karakter antagonisnya?(;

Go follow ig! mieuxsa17!
Ayo beritahu temanmu cerita ini, jangan lupa tinggalkan jejak💪💪