Jeon Wonwoo, pemuda 28 tahun kelahiran Changwon. Dia telah menetap di kota tersebut bersama ibunya—Seulgi—selama yang dia ingat. Wonwoo berprofesi sebagai pengusaha. Menuju angka ke-5 tahun meneruskan bisnis dagang yang dibangun alharhum ayahnya.

Dia mapan, tampan dan sukses. Usianya terbilang muda. Seharusnya Wonwoo sudah memikul beban untuk berkeluarga di punggungnya. Itu adalah gagasan yang Seulgi suarakan setiap hari. Tetapi Wonwoo menolak dengan alasan yang cukup umum; yakni, masih betah melajang.

Namun alasan di baliknya, Wonwoo memiliki ketakutannya tersendiri.

Menilik lebih jauh ke dalam perasaannya, ada sudut di hati yang rasanya telah terisi namun tidak dapat ia jelaskan. Seperti sudah ada yang menempati celah di sana sejak bertahun-tahun yang lalu. Rasa itu muncul tepat setelah ia terbangun dari komanya. Akibat kecelakaan yang merenggut ingatannya ketika ia menempuh sekolah tinggi di Negeri Sakura.

Terkadang ia bermimpi, melihat seorang balita berlarian di sekitar mawar-mawar yang merekah. Wanginya menusuk hidung Wonwoo bahkan saat ia terbangun dari tidurnya pun bau itu masih tercium samar. Di dalam mimpinya, dia melihat balita tadi bersama seorang pria asing, namun terasa akrab bagi Wonwoo.

Khawatir memori semu itu mengganggu kelangsungan kehidupan berkeluarganya nanti, sehingga Wonwoo mempertahankan keyakinannya dengan terus mengikat status lajangnya. Wonwoo menolak kawin, meski sang ibu terus membujuknya, dan Wonwoo lagi-lagi membantah dengan alasan yang sepele.

Sebenarnya dia menunggu arti dari mimpi yang telah menggentayanginya hampir setiap malam setelah ia koma lima tahun lalu.

Dia berspekulasi mimpi itu memiliki kaitan dengan 5 tahun masa-masa kuliahnya di jepang yang terlupakan. Wonwoo yakin mimpi ini adalah awal rasa penasaran yang menggelayutinya selama bertahun-tahun. Atau, mungkin, pria yang ditemuinya di alam mimpi itu, bisa saja sebagai sosok yang tepat mengisi hari-hari Wonwoo di kemudian hari.

Wonwoo gila karena mencemaskan hal-hal yang tidak pernah ada.

Tidak ingin berharap, sayangnya ada satu ruang di memorinya mengatakan jika Wonwoo harus bertindak untuk menyelesaikan hal-hal yang mengganjal pikirannya. Tetapi, apa yang harus Wonwoo selesaikan jika dia sendiri tidak mengerti masalah apa yang menimpanya?

Wonwoo berkali-kali menceritakan hal tersebut kepada Seulgi. Dia berpikir kehidupan bahagianya ialah bersama kedua sosok yang ditemuinya di kembang tidur. Seulgi tertawa, mengejek konklusi manis dari alam mimpi Wonwoo.

"Bangunlah nak, kau seorang yang sudah dewasa masih percaya dengan cerita klise mimpi?"

Sejak itulah Wonwoo enggan membicarakan hal ini lagi kepada Seulgi. Wanita —yang merupakan entitas paling tepat dalam mengasuhnya. Rela direpotkan oleh jutaan kali kebiasaan yang tidak ada pada anak umum manapun kecuali Wonwoo. Seorang wanita karir yang usianya melebihi setengah baya, namun masih tampak elegan dan matang dalam berpikir. Orang nomor satu yang Wonwoo percaya setelah menerima kerajaan ayahnya.

Wonwoo hanya ingin seseorang menemaninya menuntaskan apa yang mengganggu pikirannya, dan Seulgi bukan orang paling tepat jika membicarakan hal-hal yang tidak terkait dengan bisnis.


•oOo•

Hajimete Dewanai
Prologue

•oOo•


"Umma!"

Wonwoo membuka pintu secara kasar. Menghempaskan asal sepasang sepatu yang semula bertengger manis di kakinya. Dia melangkah dengan bar-barnya melupakan etika dan mengabaikan belasan pasang mata pekerja yang menatap ke arahnya.

"Umma!" Jeritnya lagi.

Tubuhnya panas. Keringat mengaliri abdomen. Dahinya diselimuti peluh. Kemeja yang dia pakai lepek akibat terlalu banyak bergerak dan basah akibat keringat.

"Aku tahu kau lah dalang yang mengatur pertemuanku dengan Siyeon." Dia mengetuk pintu kamar Seulgi secara kasar.

Tidak mendengar adanya sahutan. Dia menegang dalam amarah. "Wanita itu masih 21 tahun. Aku tidak peduli meskipun ayahnya pengusaha atau apapun. Pokoknya jangan campuri urusanku umma." Rengeknya lagi.

Wonwoo baru saja bertemu dengan Park Siyeon di acara makan malam yang disiapkan Seulgi sedemikian rupa. Pada awalnya dia berpikir ini hanya pertemuan formal antar pemilik perusahaan; yakni Jeon Market Intellegence dengan Park Resources. Dia mulai merasakan kejanggalan saat yang ditemuinya di restoran bukanlah Mr. Park tetapi .

Siyeon meminta Wonwoo agar mengantarkannya pulang. Dia menawarkannya untuk bertamu lalu menyapa orangtuanya. Wonwoo menerima tawaran untuk menyapa Mr. Park demi hubungan baik kolega mereka. Tetapi yang Wonwoo dapati hanyalah ruangan gelap dan Siyeon yang membuka kancing kemeja Wonwoo seenaknya. Jujur saja itu cukup mengejutkan bagi Wonwoo.

Wonwoo mundur dan menolak. Mengusap wajahnya pelan sebelum berkata, "Maaf, Siyeon-ssi, tapi aku menyukai seorang pria." Seseorang yang tidak diingatnya, atau tidak pernah ada. Atau mungkin belum pernah hadir dalam kehidupan Wonwoo.

Menampar Siyeon cukup keras. Dia heran kenapa Wonwoo—meskipun dirinya hanya dihubungi asistennya bukannya Wonwoo sendiri—mengajaknya makan malam tetapi berakhir mencampakkannya. Siyeon menyukai Wonwoo sejak pesta antar kolega karena Wonwoo adalah eksekutif paling muda juga tampan. Usaha marketnya sukses jadi materi bukan persoalan untuknya.

Melemparkan sepatu miliknya pada Wonwoo. "Homo brengsek!" Dia menyumpahi lalu Wonwoo memilih undur diri. Beranjak pulang untuk menemui dalang yang membuat malamnya kacau. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang gila memasangkan Wonwoo dengan putri-putri pengusaha kolega mereka. Wonwoo akui Seulgi cukup cerdik, tetapi Wonwoo tidak menyukai bagaimana sang ibu tidak turut empati merasakan perspektif Wonwoo.

Wonwoo tidak berpikir panjang ketika mengatakan pernyataan itu akibat dilanda panik. Siyeon bergerak tiba-tiba dan Wonwoo tidak pernah menduga akan perbuatannya. Sedikitnya Wonwoo khawatir fakta dirinya akan tersebar media. Selama ini dia mampu menutupi kesalahan tersebut. Menyukai pria. Dia tahu itu salah dan dibenci. Tetapi, apa yang lebih mendalam daripada membenci?

Setelah belasan menit menunggu, Wonwoo menghubungi penjaga rumah dan bertanya bila ibunya keluar. Setelah itu mereka menjawab tidak seorangpun kecuali pekerja—yang memiliki akses resmi—keluar ataupun masuk ke dalam bangunan tersebut. Bila sejak sore Seulgi tidak keluar maka..

Mendobrak pintu kamar Seulgi sekuat tenaga. Butuh tiga kali hentakan untuk pintu kayu jati yang berat itu dapat terbuka. Seulgi tergeletak tak sadarkan diri di salah satu sudut ranjang. Setengah tubuhnya berbaring dan pinggangnya ke bawah terkulai lemas di lantai.

"Umma!" Maka Wonwoo meminta suster mereka memanggil ambulan untuk membawa Seulgi ke rumah sakit.

•oOo•

Seulgi terkena serangan jantung. Ini adalah yang ketiga kali dalam hidupnya dan merupakan yang terparah. Wonwoo tahu Seulgi sekarat dan sisa umurnya dapat dihitung jari. Tetapi dia tidak pernah menyangka hari buruk itu datang secepat ini.

Wonwoo menarik napas dalam-dalam. Menunggu Seulgi merespon terhadap genggamannya. Dia sudah tiga hari tidak sadarkan diri dan Wonwoo tiga hari pula mendekam di ruangan yang sama. Tidak sedetikpun Wonwoo melepas tautan tangan mereka.

"Dulu kau yang paling cepat ingin pergi." Wonwoo mendongak. Menarik diri dari keterpurukan. Mengabaikan dahinya yang sakit akibat terbenam di tangannya terlalu lama.

"Umma, sejak kapan kau bangun?" Wonwoo terkejut. Mendapati Seulgi yang telah sadar. Dia tampak setengah berbaring bersandar pada kepala ranjang yang telah mengangkat —mungkin dibantu perawat.

Seulgi tersenyum. Terkekeh menatap mata sipit anaknya yang membulat. Tidak seperti dia yang biasanya. "Semalam. Aku lebih memilih menunggu kau bangun."

Senyum menghiasi wajahnya. "Ahh soal bursa, sudah aku urus." Wonwoo menyeka hidung. Bisa mati kutu dia bila ketahuan ibunya—seorang yang perfeksionis—karena menangis. "Jeongchan sekarang pegang andil, dia manager yang bertanggung jawab. Kau tidak perlu khawatir karena keberadaanku di sini tidak akan berdampak apap—"

"Sst nak. Biarkan aku beristirahat." Seulgi mengusap bibir Wonwoo dengan ibu jarinya.

Terjengit melihat sikap tidak biasa ibunya. Tidak biasanya seorang Seulgi menolak membicarakan kelangsungan perusahaan yang telah dibangun mati-matian oleh suami yang dia cintai —atau ayah Wonwoo. Wonwoo menangkup tangan Seulgi lalu mengecupnya hangat.

"Pasti gagal ya?" Seulgi terkekeh.

"Apanya?" Wonwoo menyahuti. Mengerutkan satu alis melemparkan tatapan tak paham.

Ikut tersenyum dalam keheningan sampai tawa lolos dari bibirnya. "Kau dan Siyeon."

"Ah umma!" Wonwoo mendumal.

Tertawa sekali lagi. Dia adalah pribadi yang baik dan tegas. Meski selama membesarkan Wonwoo tidak sekalipun Seulgi menunjukkan sisi lemahnya, Seulgi tetap berperan sebagai ibu yang lembut untuk mendampingi Wonwoo sebagai putera. Apalagi ketika mereka bercanda.

"Tidak apa-apa Won. Aku hanya ingin kau bahagia."

Melamun selama beberapa detik. Kepalanya terasa berat dan dia siap menangis mengingat malam di mana Seulgi jatuh tak sadarkan diri. Kenapa dia tidak menerima ajakan Siyeon? Bagaimana jika malam itu adalah kesempatan terakhirnya agar keinginan Seulgi melihat Wonwoo mendapat kebahagiaannya tercapai.

Gagasan itu berputar di kepalanya. Mendapat kebahagiaan apanya?

"Umma, kalau keinginanmu begitu maka baiklah. Aku akan rrr, menikah dengan wanita pilihanmu." Deritnya sambil menggesekkan geraham. Salah satu kebiasaan Wonwoo yang Seulgi hapal jika puteranya merasa keberatan.

Memasang snyum teduh. Matanya gelap nan sayu. "Won, kau ingat mimpi yang kau ceritakan padaku 5 tahun lalu?"

Wonwoo mengangkat kepala. "Ya?" Dia mengedip berulang-ulang. "Maksudmu cerita klise dari mimpi? Yang kau bilang itu."

Ini di luar dugaannya. Seulgi pernah memperingati Wonwoo untuk tidak menyinggung mimpi itu lagi. Dia ingat wajah kesakitan Seulgi akibat Wonwoo yang terus menanyakan hal yang sama. Seulgi bukan orang yang memercayai takhayul. Dia berpegang pada realita serta logika. Itu sebabnya Wonwoo begitu memercayai Seulgi dan menganggapnya sebagai sahabat.

Tidak seperti lelaki remaja di masa penghujung kebanyakan, Wonwoo–17 tahun meskipun terlepas dari pantauan ayah yang keras, keluyuran hingga malam bersama teman-temannya membuat ulah, dia tetap menghubungi sang ibu yang meski begitu tidak pernah melarang-larangnya. Seulgi juga berperan sebagai teman saat Wonwoo remaja. Dalam kondisi Komunikasi antar ayah dan anak yang buruk di dalam keluarga, ada Seulgi yang terbuka menerima masukan dari kedua sisi.

Teringat satu masa ketika dia pernah memberontak selulus SMA. Kabur dari rumah ke rumah lain dan berakhir melarikan diri ke Jepang agar tidak bertemu ayahnya. Satu hal yang paling Wonwoo hindari di masa lalu, dia tidak mau menerima warisan usaha market yang dibangun sang ayah.

Menurut Wonwoo, mimpi dan masa depan miliknya berada di tangannya sendiri, dan orangtuanya tidak dapat selalu mengekang Wonwoo karena dirinya merupakan pribadi yang memiliki suaranya sendiri. Seulgi mendukung saja tetapi tawaran ayah untuk jaminan di masa depan lebih meyakinkan. Seulgi hanya tersenyum. Jadilah Wonwoo pergi demi kebebasannya. Kisah klise seorang anak pengusaha.

Ketika dia tersadar dari koma dan melupakan seperempat masa hidupnya, Seulgi memberitakan sepeninggal ayahnya dua tahun setelah Wonwoo melakukan pelarian —di tengah masa pencariannya. Saat itulah Wonwoo mengetahui fakta bahwa Seulgi menggantikan posisi direktur dan sudah berlangsung selama 3 tahun.

Tersadar akan sisi Seulgi sebagai wanita yang kuat, penyabar dan tabah. Bahkan setelah puteranya kabur ke luar negeri dan ditinggal mati suaminya, Seulgi menjalankan bisnis ayah dan tetap menerima puteranya yang nakal kembali. Ini merubah Seulgi agaknya menjadi sedikit lebih keras, dan bertambah kadarnya di tiap-tiap waktu yang berjalan. Jadi Wonwoo bertidak inisiatif, dengan menggantikan posisi Seulgi di perusahaan.

Memahami makna belas kasih seorang ibu. Dia berjanji untuk membayar derita yang merubah sikap ibunya dengan menerima jabatan di perusahaan. Rela melupakan 5 tahun masa hidupnya yang terlupakan. Wonwoo tidak ingin egois lagi dan menumpahkan hal-hal negatif kepada Seulgi. Seulgi sudah cukup menderita dan Wonwoo tidak mau menyesalinya dengan ikut terpuruk.

"Kau bilang bertemu 2 orang ya?" Seulgi tersenyum lembut, menatap teduh puteranya yang sejajar dengan kaki. Wonwoo mengangguk. "Ceritakan kepadaku seperti apa mereka."

Tersentak. Wonwoo memosisikan badan di kursi senyaman mungkin. Seperti bocah 7 tahun yang antusias menceritakan pengalamannya di hari pertama bersekolah.

"Ada anak kecil yang lucu, dia memberikan bunga kepadaku." Wonwoo tersenyum malu-malu. "Lalu ada juga seorang pria, dia menyematkan sebatang bunga itu di telingaku." Menarik napas. "Kami berada di lingkungan taman yang indah."

"Bagaimana rupa mereka?"

"Agak kabur. Tapi sepertinya, sama-sama tampan?"

Setelah mengatakan itu tangan Wonwoo menggenggam jemari Seulgi. Seulgi turut merasakan panas yang dikonveksikan kulit Wonwoo. Wajahnya memerah dan dia tidak dapat berhenti tersenyum.

"Kau terlihat seperti apa saat itu?" Tanya Seulgi.

Wonwoo terdiam. Menatap ibunya dalam hening sebentar. "Uhhm, aku tidak tahu umma. Semua berada dari sudut pandangku." Nampak berpikir. "Tapi aku merasakan..." Wonwoo tersenyum dan sekali-kali melirik ke awan melewati jendela. "Bahagia."

Tawa Seulgi menggema seiring berjalannya cerita. Wonwoo tidak dapat menemukan respon paling tepat yang musti ia tunjukkan. Wajahnya terasa hangat.

Menatap Wonwoo teduh. "Jika itu mimpi, seharusnya kau melihat dirimu Won."

"Aku tahu. Semuanya terasa sangat nyata, makanya dulu aku selalu mempertanyakannya." Wonwoo membalas.

"Karena itu semua memang nyata."

Hening mematahkan situasi nyaman. Wonwoo mendadak mematikan senyumnya. Perkataan Seulgi membuatnya kebingungan. Dia menatap iris Seulgi dan menuntut penjelasan. "Apa maksudmu?"

"Anak itu bernama Natsu Kim, pria yang bersamanya adalah Kim Mingyu." Wajahnya masih teduh, hanya saja suara yang diluncurkannya mengalir datar.

"Tunggu, apa?" Wonwoo agak terbangun dari kursinya, menekan kepalanya yang berdenyut hebat.

"Kau kecelakaan. Tidak ada yang tahu kepalamu terbentur apa, sarafmu rusak dan mengalami trauma. Tidak ada cara untuk mengembalikan ingatanmu. Lalu aku meminta Mingyu untuk membawamu ke mari."

"Sebentar, pelan-pelan."

"Tidak semudah itu membawamu pulang. Aku menyewa jet pribadi karena mengurus banyak hal sekaligus bisnis. Visa dan kau. Aku harus mondar-mandir Korea dan Jepang. Butuh seminggu lamanya meyakinkan Mingyu untuk memberitahukan ku nama rumah sakit yang merawatmu."

"Aku memang melupakan 5 tahun masa hidupku, tapi aku tidak merasa keberatan untuk menyimpannya."

"Akibat aku yang memaksakan Mingyu untuk membawamu pulang, kau tidak mendapat perawatan yang tepat dan terapi-terapi seadanya di rumah. Aku benar-benar tidak mau kehilanganmu lagi. Aku ibu ter-egois di dunia."

"I-Itu tidak benar. Kau ibu yang menakjubkan."

"Dengan memaksakan kehendakku sendiri? Menekan kau agar melupakan kehidupanmu yang bahagia dan sudah berjalan semestinya? Aku buruk Won, aku ibu yang buruk." Satu tetes air mata lolos dari kelopaknya. Seulgi merusak wajah melanin pucatnya dengan lelehan ekskresi yang tidak butuh waktu lama menyelimuti wajahnya.

Wonwoo menelan ludahnya. "Aku, dulu bahagia? Begitu?"

"Kau dulu sempurna. Aku merusak mu. Kekuasaan membuatku lupa dan aku jadi seperti ayahmu, memperlakukan mu seperti boneka. Apa kau bahagia sekarang?" Seulgi sesegukkan, tangannya melap ingus, air mata dan liur di dagunya. "Aku menjodoh-jodohkanmu dengan banyak wanita padahal statusmu adalah suami orang, aku benar-benar ibu yang buruk."

Informasi itu merambat ke dalam otaknya seperti shinkansen (kereta api bawah tanah jepang) yang terkenal cepat. Seulgi di hadapannya menangkup wajah menangis dengan telapak tangan. Dia menyembunyikan wajahnya yang malu dan memerah.

Tidak yakin ingin merespon apa. Semua bertentangan dengan pemahamannya. Tetapi semenjak 5 tahun lalu, sesudah ia menutup masa sebagai anak berandalan itu, Wonwoo berpikir dengan perspektif luas dan terbuka. Dia bukan dirinya yang dulu —sepertinya. Yang mudah sekali tersinggung dan naik pitam. Yang menghunuskan tatapan tajam juga sikap temperamennya pada siapa saja yang tidak ia suka. Yang dengan mudahnya melayangkan tinju menuju ulu hati seseorang. Dia berpikir karakternya kini sebagai seorang dengan pembawaan yang tenang. Wonwoo bangga pada penahanan dirinya selama 5 tahun ini. Karena dia yang sekarang sungguh terbalik dengan dia yang dikenalnya semasa SMA dulu.

"Jemput kebahagiaanmu Won." Seulgi berucap.

"Maaf, apa?"

"Aku bilang jemput kebahagiaanmu. Aku tidak tenang selama 5 tahun, selama 1.680 malam memikirkan ini. Menyembunyikan rapat-rapat fakta bahwa kau sudah menemukan konklusi kebahagiaan untukmu. Aku selalu gagal memberikan pengganti kebahagiaanmu. Aku sadar, Kim Mingyu lah orangnya."

"Tapi umma, aku di sini untukmu. Demi dirimu, ini keinginanku." Wonwoo menggenggam tangan Seulgi. "Aku bahagia bersamamu."

"Aku benar-benar sudah mendidikmu seperti ayahmu, dengan caraku." Memaksakan kehendak. Mengaturnya seperti robot. Bersikap perfeksionis. Menginginkan hasil pertama dari yang pertama. Hanya saja disertai kelembutan seorang ibu di dalamnya. Makanya Wonwoo lebih penurut dan tidak pernah memberontak lagi —dan berkat simpati kepada Seulgi juga. "Aku mohon, ini permintaan terakhirku."

"Tidak, umma." Wonwoo meremat tangan Seulgi lemas. Menggenggam jemari sang ibu. Lentik dan cantik, seperti miliknya yang pernah dimiliki Kim Mingyu juga. Kim Mingyu yang tidak dapat diingatnya.

"Aku minta maaf, aku mencintaimu." Seulgi koma lagi, kali ini selama tujuh hari. Setelah komanya itu, dia tidak pernah terbangun lagi. Seulgi meninggal akibat pembuluh darah pecah. Meninggalkan seorang anak yang mencintainya tidak peduli hal buruk yang telah dilakukan Seulgi terhadapnya.

Dalam tangisan dan satu embusan napas, Seulgi meninggalkan dunia. Ada raga yang diwariskan. Tapi percuma karena sebentar lagi akan menjadi debu. Warisan sesungguhnya adalah diri Wonwoo sendiri. Dengan itu, Wonwoo merasa kalah.

Keyakinan yang dia tambatkan kuat-kuat, akhirnya luntur akibat fakta sebenarnya yang tidak mau repot-repot dia akui mengudara juga. Jiwa ini rusak akibat ibunya, dan dia harus segera memperbaikinya.

Prologue End

Counts word: 2528


Halo! Aku datang dengan projek baru(Gila drama banget woy!). Bila peminat dari fict ini banyak maka projek ini akan dilanjutkan atau dijadikan fanbook, yang mana jika memungkinkan. Eits, aku cuma update kalau chapter berikutnya selesai ditulis jadi tidak akan ada pemogokan, bukan tergantung mood tapi tergantung motivasi dari kalian(:

Sekarang aku belajar mengendalikan mood, bukan bekerja dikendalikan mood. Jika ada yang tidak suka dengan konsep ini maka tolong dengan sangat tinggalkan komentar yang memberikan masukan positif. Sebelumnya, aku gamau ngasih kesan negatif, aku cinta banget Seulgi dan gamau membunuh karakter diaTT tapi ini sudah tuntutan cerita hiks.

Ga akan berlama-lama, paling 4 chapter selesai. Jadi aku mohon banget untuk kalian tinggalkan review positif, aku juga mengharapkan kritikan yang membangun.

Btw aku lagi nunggu comeback seventeen, konsepnya beda banget woy dari yang biasanya hiks, lebih mature gitu. Ketauan rindu debay2 Sebong. Aku lagi mabok Ikon-Love Scenario(metaforanya parah!) dan RV-Bad Boy, yang sama angkat tangan! friends, aku multi fans banget loh 5555! Aku harap kalian juga. Jadi, terimakasih atas dukungannya.