Segala sesuatunya selalu terencana dengan baik dan penuh perhitungan. Hidup dengan hanya menerima aturan sudah dijalani Park Jimin sejak kecil dan Jimin tidak pernah protes atas semua aturan yang sudah ayahnya berikan untuknya.
Jimin tumbuh dibawah arahan Ayah-nya. Jimin harus begini, Jimin harus bisa seperti ini, Jimin harus bersekolah disini, Jimin harus kuliah disini, Jimin harus bertunangan dengan gadis yang ditunjuk oleh ayahnya, Jimin harus... dan banyak 'harus' yang Jimin harus patuhi. Hidupnya monoton dan membosankan.
.
.
.
And then I met You
.
.
.
"Tuan, hari ini sudah ada janji bertemu dengan nona Risu untuk makan siang bersama" Sekertasris Jimin mengingatkan kembali.
"Oh, ya" jawab Jimin sekenanya.
"Tuan, anda tidak apa?"
"Memangnya ada apa?" Jimin tersenyum pada sekertarisnya.
"Setau ku, orang yang baru saja bertunangan harusnya bahagia tuan"
"Haruskah?" Jimin bertanya, membuat bingung sekertarisnya.
"Oh, dan nanti sore tuan harus bertemu tuan Min untuk membahas kontrak kerja baru dengan perusahaannya. Sebenarnya tuan besar sudah lama meloby tuan Min, tapi baru semalam dapat tanggapan, tuan" jelas sekertarisnya.
"Harus lagi ya?" Jimin terkekeh lemah. Kata 'harus' sudah berubah makna bak kematian yang selalu mengikuti Jimin kemana pun dia pergi.
"Aku tidak memaksa anda tuan, tapi tuan besar. Jangan membuatku merasa bersalah, oke?" Luhan- sekertaris Jimin memutar matanya.
Setahun sudah Jimin menggantikan ayah nya untuk meneruskan perusahaan, sudah setahun juga Luhan berada disekeliling Jimin bak udara. Luhan jelas sudah tau kalau Jimin tertekan, tanpa harus kuliah psikolog juga sudah terlihat jelas, Park Jimin hidup dalam tuntutan.
"Maafkan aku" Jimin menegakkan tubuhnya, meregangkan ototnya yang selalu kaku.
"Baiklah, sampai bertemu nanti sore tuan. Saya akan ke kantor Min corp lebih dahulu untuk memastikan jadwal pertemuan, saya akan menunggu anda disana" Luhan undur diri.
Jimin terdiam setelah pintu ruang kerjanya tertutup dari luar. Matanya memandang tajam pada ukiran namanya yang terletak diatas meja kerja mewahnya. Miris. Cuma itu yang Jimin rasa.
Selama ini Jimin merasa tidak pernah 'hidup'. Seluruh waktunya hanya dihabiskan untuk memenuhi keinginan Ayahnya dan Jimin hanya menurut, tapi kali ini Jimin merasa sedikit ingin memberontak.
Beratus kali Jimin berpikir soal pertunangannya dan Risu yang baru berjalan dua minggu. Jujur saja, Jimin tidak memiliki perasaan apapun pada gadis keturunan Jepang itu hingga ingin membawa gadis itu ke jenjang yang lebih serius dari suatu hubungan. Sesuatu dalam diri Jimin ingin menentang, tapi Jimin tau dia tidak akan pernah bisa.
"Bisakah pernikahan terjadi tanpa cinta? Bisakah pernikahan terjadi hanya karena rasa hormat?" Jimin berguman sambil memandang cincin emas putih yang melingkar dijari manisnya. Sekali lagi merasa miris dengan hidupnya.
.
.
.
"Jim, kau melamun" Risu memegang tangan Jimin yang terletak diatas meja. Mengelus tangan Jimin dengan senyum hangat dibibirnya.
"Oh, maaf" Jimin balas tersenyum. Kemudian mengalihkan pandangannya keseluruh penjuru restoran.
"Tolong tinggalkan masalah kantormu sebentaaarr saja. Kita sedang berkencan" Risu merajuk.
Jimin tersenyum lagi.
"Aku senang kita akhirnya bertunangan" ucap Risu bahagia.
"Syukurlah" Jimin berucap datar membuat gadis didepannya memandang bingung kearahnya.
"Jim, kau aneh." Risu menarik tangannya, menyembunyikannya dibawah meja.
"Maaf" Jimin merasa bersalah.
Makan siang berlangsung hening karena sikap Jimin yang aneh dimata Risu. Selama mengenal Jimin saat belum menjadi tunangannya, Jimin adalah pria yang hangat dan bersahabat, Jimin selalu ramah dan menyambut baik setiap kedatangan Risu ke Korea. Dan mendadak Jimin berubah bak boneka dimata Risu. Jimin-nya kosong.
Satu jam bak neraka untuk Jimin. Makanan didepannya terasa hambar dilidah dan ditambah lagi rasa bersalah yang menelan Jimin utuh. Dia tidak bisa berlaku hangat lagi pada Risu sejak pergantian status mereka yang mendadak. Jimin jelas merasa bersalah, tidak seharusnya Jimin begini. Risu jauh-jauh terbang dari Jepang bukan untuk diperlakukan dingin seperti ini.
"Aku masih ada pekerjaan. Maaf tidak bisa menemanimu" Jimin berdiri, meletakkan black card miliknya diatas meja. "Pergilah berbelanja" ucap Jimin dan berlalu tanpa menunggu respon dari Risu.
.
.
.
"Tuan sudah mempersiapkan presentasinya dengan baik kan?" Luhan bertanya was-was.
"Sudah…" jawab Jimin malas. Ini sudah ke empat kalinya Luhan bertanya.
"Tuan, kalau kita bisa memenangkan proyek pembangunan ini, kita bisa untung besar"
"Lu, kau sudah mengatakan itu sejak aku duduk disini" Jimin melirik pada proyektor yang menyala.
"Ruangan ini seperti ruangan eksekusi untukmu, tuan. Kalau tuan bisa memenangkan proyek ini, tuan besar pasti bangga sekali" ucap Luhan berapi-api.
"Memangnya sesulit itu ya meyakinkan pemilik perusahaan ini untuk bekerja sama?" Jimin mengernyit penasaran.
"Tuan, kita sudah pernah presentasi didepan pemilik perusahaan ini empat kali! Dan orang yang kita kirim dari perusahaan semuanya gagal! Tuan Min sangat sulit dipahami, bahkan yang kudengar ada beberapa perusahaan bermain curang, mencuri ide dari perusahaan lain hanya untuk bisa presentasi didepan tuan Min." Luhan berucap semangat.
"Bahkan ACE perusahaan kita juga gagal?" Jimin menaikkan alisnya takjub.
"Ga. Gal!" Luhan menekan semua ucapannya.
"Jangan berharap banyak padaku. Bagaimana bisa aku memenangkan proyek ini kalau ACE perusahaan kita saja tidak bisa" Jimin berucap panic. "Ini jebakan namanya. Kalau pemilik perusahaan ini tau kalau presiden direkturnya yang langsung turun tangan dan gagal, mau ditaruh dimana wajahku?" Jimin mengusap wajahnya kasar.
"Oprasi plastik. Gampang" usul Luhan dan mendapat pelototan dari Jimin.
Pintu ruangan untuk rapat itu terbuka. Jimin dan Luhan langsung berdiri menyambut.
Didepan pintu, tepat dibelakang seorang perempuan yang diperkirakan adalah sekertaris, berdiri seorang Namja yang sedang berjalan menunduk sambil memegang ponselnya. Wajahnya putih pucat, aura dingin dan sombong terlihat kental disekitarnya. Jimin merinding.
"Maaf aku terlambat" ucap suara berat itu. Meletakkan ponselnya diatas meja, bersebrangan dengan Jimin dan Luhan.
Saat wajahnya terangkat, Jimin merasa nafasnya mendingin. Tuan Min jelas memiliki daya pikat yang kuat dibalik tatapan dinginnya.
"Tuan Park Jimin, perkenalkan ini tuan Min Yoongi, pemilik perusahaan ini" sekertaris Yoongi memperkenalkan keduanya.
Jimin membungkuk sementara Yoongi masih berdiri tegak. Salah satu tangannya masuk kedalam saku celananya. Matanya memandang tajam bergantian pada Jimin dan Luhan.
"Senang bertemu dengan anda" sapa Jimin sopan.
Jimin berdiri kikuk karena Yoongi masih saja diam dan hanya menatap Jimin tepat dimata, Jimin merasa kakinya lemas. Entah karena ucapan Luhan barusan atau karena Yoongi menatapnya dengan intens.
"Sebut namaku" Yoongi bersuara.
Jimin terperanjat dan melirik Luhan kebingungan, meminta pertolongan.
"Park Jimin-ssi, sebut namaku" ulang Yoongi, ucapannya terdengar seperti perintah tak terbantahkan, membuat ketiga orang yang berada didalam ruangan hanya berkedip kebingungan.
"Min… Yoongi" ucap Jimin ragu.
Yoongi tersenyum miring, tanpa bicara, Yoongi mendudukan diri.
"Silahkan duduk" ucap Yoongi.
Jimin terduduk dengan tak nyaman karena Yoongi masih saja menatapnya, Jimin salah tingkah dan terlihat kikuk. Hilang sudah wibawanya sebagai pemimpin perusahaan.
"Jadi, bisa kita mulai sekarang?" Yoongi menaikkan salah satu alisnya.
Jimin bersumpah itu adalah hal paling brengsek yang Yoongi lakukan sejauh ini. Dia terlihat… panas. Jimin merasa dadanya berdebar. Ini pertama kalinya Jimin merasakan jantungnya masih berfungsi dan Jimin harus berterima kasih karena Yoongi, Jimin bisa merasakan jantungnya berdetak lagi.
Jimin melakukan presentasi dengan baik, Jimin berusaha sekuat tenaga mengabaikan Yoongi yang menatapnya penuh minat. Saat presentasi itu berakhir, Jimin menatap ragu pada Yoongi, menunggu reaksi namja pucat itu untuk mengatakan sesuatu.
"Menarik" komentar Yoongi.
"Kami sangat mengharapkan kabar baik dari anda tuan…" Jimin tersenyum sedikit lega.
"Besok malam , di restoran XX. Bawa kontrak kerjanya." Ucap Yoongi tiba-tiba.
"Ne?" Jimin menatap bingung pada Yoongi.
"Keberatan kalau kita membicarakan kontrak ini sambil makan malam?" Yoongi tersenyum dingin. Wajahnya terlihat brengsek dimata Jimin.
"Ne?" Jimin jelas-jelas kebingungan.
"Besok malam di restoran XX, saya akan memastikan tuan Park datang, Tuan Min. Terimakasih banyak" Luhan menyerobot. Meskipun terkesan tak sopan, setidaknya ini dia melakukan demi menyelamatkan proyek dengan harga fantastis.
Yoongi tersenyum puas.
"Aku menunggu." Yoongi menatap Jimin lagi setelah sempat beralih kearah Luhan. "Sangat disayangkan aku tidak bisa melihatmu lebih lama. Ku harap, besok kita bisa bicara lebih santai. Ah, hanya berdua. Itu syaratnya" Yoongi berdiri, matanya tidak lepas dari Jimin. Jelas namja pucat ini menunjukan ketertarikannya pada Jimin secara gamblang.
"Ne tuan" ucap Luhan lagi. Luhan hanya mengeram pelan saat Jimin seolah kehilangan nyawanya. Tidak seharusnya Jimin bertindak tidak sopan begitu didepan klien.
"Sampai bertemu besok malam, Park Jimin" Yoongi berjalan kearah Jimin, mengulurkan tangan dan membuat Jimin menahan nafasnya beberapa detik.
"N-ne, sampai bertemu besok malam…." Guman Jimin. Tangannya terangkat ragu untuk menyambut uluran tangan Yoongi. Saat tangan mereka bersentuhan, Jimin merasa getaran didadanya menggila.
"Namaku. Aku ingin kau mengucapkan namaku lagi" ucap Yoongi masih menahan tangan Jimin dalam genggamannya.
"Min … Yoongi" ucap Jimin gugup.
.
.
.
TBC/END?