Disclaimer : Masasshi Kishimoto


3

Setelah melakukan persiapan sebanyak yang kubisa, aku melihat tiga monster srigala yang masih berada di pohon yang kutempati sekarang sambil mengumpulkan semua keberanian yang kupunya. Kalau aku punya pilihan, tentu saja aku tidak ingin menghadapi makhluk-makhluk itu. Tapi sayangnya, aku hampir selalu tidak pernah punya pilihan.

Dan pilihan yang kumiliki sekarang hanyalah, membasmi monster-monster srigala itu. Atau kalau setidaknya, membuat mereka mendapat cukup banyak luka sampai mereka tidak bisa mengejarku lagi. Lalu, untuk bisa membuat hal itu terjadi, aku harus turun dan melawan mereka.

Aku turn dengan pelan-pelan agar tidak membangunkan mereka yang sekarang sedang tertirdur, setelah itu aku berhenti di salah satu ranting yang cukup rendah dan menyiapkan pisau berburuku di depan badanku dan menghadapkannya ke badan salah satu monster di bawahku.

"Ok! Maju! Naruto!"

Aku melompat dan mengincar perut dari salah satu monster yang sedang tidur itu.

"Awoooooo. . . ."

Monster srigala yang langsung melolong dengan keras dan mencoba berdiri, tapi aku terus mendorong badannya ke tanah dan menekan pisau berburuku ke perutnya sekuat yang kubisa.

"Jangan ganggu akuu!"

Salah satu monster srigala lain mencoba menerkamu dari belakang, tapi aku langsung memutar badanku dan mencoba melakukan ukemi dengan badan dari monster srigal ayang pertama masih di pelukanku. Menggunakan badan monster serigala yang seakrang ada di depan badanku, aku berlindung dari serangan tadi. Dan sambil mencoba mengembalikan posisi badanku, aku memberikan tendangan dari balik prisai monster srigalaku.

"Mati kauuu!"

Makhluk itu tidak terlempar terlalu karena tendanganku, tapi hal itu sudah cukup untuk memberiku waktu untuk mengakhiri korban pertamaku. Dengan sekuat tenaga, aku melancarkan sayatan dari dalam perut si monster srigala. Membuat isi perutnya keluar kemudian berhenti bergerak untuk selamanya.

"Hah. . . ."

Aku berhasil memenangkan duel pertamaku dengan monster, tapi sayangnya aku tidak punya waktu untuk merayakannya. Sebab dua monster srigala sudah mengepungku dari depan dan belakang. Dan tidak seperti tadi, keduanya sudah ada dalam posisi siap bertarung.

Aku benar-benar ingin segera kabur dari tempat ini, hanya saja aku yakin kalau mereka tidak akan membiarkanku pergi begitu saja setelah melihat bagian dari kelompok berburu mereka dibunuh olehku.

"Maju kaliaan!"

Seakan tahu apa yang kukatan, keduanya langsung berlari ke arahku dengan tujuan untuk menerkamku. Aku sendiri, berlari ke arah salah satu monster srigala itu sambil menyiapkan pisau berburuku.

"Rasakan ini!"

Aku menghunuskan pisau berburuku ke arah leher berbulu milik monster srigala di depanku.

"Ha. . ."

Tapi dengan sigapnya, monster srigala itu mengigit, bukan telapak tanganku tapi pergelangan tanganku dengan akurat. Setelah itu, dia menarik tanganku ke samping kirinya dengan kekuatan yang membuat lenganku rasanya seperti akan putus.

Hanya saja, hal yang paling mengejutkanku bukanlah kemampuan fisik monster srigala itu tapi hal lain.

Mereka.

Lebih pintar dari yang kuduga.

Aku sengaja berteriak agar perhatian mereka dialihkan kepadaku, lalu dengan memberikan kesan agresif aku juga mencoba membuat keduanya berusaha menyerangku secepat mungkin. Setelah itu, dengan berlari ke salah satu dari mereka, aku ingin membuat keduanya menabrak satu sama lain saat ingin memburuku.

Tapi yang terjadi malah jauh dari apa yang kurenanakan.

Keduanya berhasil kupancing untuk menyerangku secara bersamaan, tapi keduanya tetap menjaga jarak satu sama lain. Selain itu, dengan terampilnya monster srigala yang sedang menggigit pergelangan tanganku ini menyingkirkanku dari jalur serangan monster srigala yang kedua.

"Ugghh. . . ."

"Ugrrrrr. . . ."

Aku sempat memotong tali yang kubawa untuk kulilitkan ke lengan bagian bawahku, sehingga meski monster ini berhasil mengigitnya taring tajamnya tidak bisa menembus kulitku. Tapi meski begitu, tekanan dari rahangnya benar-benar kuat. Kalau dibiarkan saja kurasa tulangku akan remuk.

"Aaaaa!"

Aku menjatuhkan pisau berburuku dair tangan kananku dan menangkapnya dengan tangan kiriku. Setelah itu aku langsung mencoba menyeranganya lagi, kali ini ke arah matanya.

"Arrrrggghhh. . ."

Dan sebagai reaksinya, monster ini mencoba mengangkat kaki depannya untuk menampar telapak tanganku. Hanya saja, kali ini aku berhasil beraksi lebih cepat dan menginjak telapak kaki depan dari srigala besar ini dan mencegah serangannya. Kemudian, aku mengangkat kaki kananku mencoba menyundul rahangn panjangnya dengan lututku. Tapi sekali lagi.

"Uuugghhaaa"

Monster srigala itu mengayunkan kepalanya yang masih tersangkut pada tanganku lalu dengan sekuat tenaga melemeparkanku ke arah sebuah pohon besar.

Bagaimana bisa?

Dengan bentuk tubuhnya, harusnya makhluk ini tidak bisa melihat apa yang ada di bawah rahangnya. Tapi kenapa dia bisa menghindari seranganku yang datangnya dari sebuah blindspot?

"Ughaa. . ."

Badanku menabrak pohon tadi dengan dengan kuat, membuat udara dari paru-paruku terdorong keluar karena tekanan tadi. Dan begitu momentumnya habis badanku langsung tersungkur ke depan.

Kepalaku sakit, pandanganku sedikit kabur, nafasku terasa berat, dan kesadaranku seperti bisa terbang kapan saja.

"Kuatlah Naruto"

Aku tidak bisa jatuh di sini, kalau aku kehilangan kesadaran maka nasibku akan tamat hari ini. Karena itulah, aku mencoba memaksakan diri untuk terus sadar. Lalu, dengan sisa tenaga yang kumiliki aku kembali memasang posisi siap untuk bertarung.

"Grrrrr . . . . . . ."

Kedua monster srigala tadi terus memperhatikanku dengan seksama lalu dengan hati-hati berjalan ke kanan dan kiriku mencoba mengepungku ke dalam posisi kami yang sebelumnya.

"Apa mereka?"

Bisa berkomunikasi dengan satu sama lain?

Melihat bagaimana tingkah mereka di depan satu-sama lain, bukan tidak mungkin kalau mereka bisa berkomunikasi dengan telepati mengingat aku tidak mendengar lolongan ataupun gongongan dari mulut mereka.

"Tapi dalam situasiku yang sekarang"

Mengetahui hal itu tidak akan mengubah apa yang perlu kulakukan. Atau lebih tepatnya, tidak akan bisa mengubah apa yang bisa kulakukan sekarang. Malah bisa dibilang, info itu membuat rencananku mengalahkan mereka jadi kelihat semakin sulit saja.

Dengan semua badanku yang terasa sakit ini, aku tidak bisa bergerak untuk menginisialisasi serangan lagi. Aku tidak punya kemampuan untuk tidak mempedulikan rasa sakitku dan maju menyerang musuh seperti orang gila. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu serangan dan melakukan counter di saat-saat terakhir.

Yang kesempatan berhasilnya sama seperti gacha di game mobile.

"Aku kuat! Aku hebat! Aku tak terkalahkan!"

Kebohongan yang terus-menerus diucapkan lama-kelamaan akan jadi kenyataan, adalah sesuatu yang pernah kudengar di dunia lamaku. Tentu saja aku tahu kalau hal semacam itu hanya bisa digunakan untuk membodohi masa, tapi saat ini aku sedang membutuhkan support mental untuk bisa keluar dari situasi ini.

Dan support itu aku akan terima dari manapun, meskipun hal itu dari ilusi yang kubuat sendiri.

"Huufhh. . "

Aku menarik nafas dengan pelan dan menghembuskannya dengan pelan juga untuk menenangkan jantungku. Setelah itu mengatur ulang ikata tali yang ada di tanganku sampai ke telapak tangan, kemudian aku mengeluarkan talisman pembuat api dan juga talisman untuk membuat aliran listrik dari saku bajuku dan memegangnya di tangan kiriku. Mengalirinya dengan magic. Sedangkan tangan kananku kusiapkan untuk menyerang menggunakan pisau berburuku.

Jika aku punya cheat, aku bisa mengaliri talisman yang kupegang ini dengan magic dalam kuantitas abnormal dan membuatnya jadi flame thrower. Tapi sayangnya, entah itu skillku dengan magic maupun kapastias magic yang kupunya semuanya ada di bawah standar. Oleh sebab itulah aku tidak bisa membuatnya jadi sebuah senjata secara langsung, tapi meski begitu aku punya ide lain untuk menggunakannya sebagai senjata.

"Awooo. .. . ."

Keduanya maju secara bersamaan sama seperti serangan mereka yang sebelumnya, tapi tidak seperti sebelumnya. Aku hanya bisa diam di tempat dan mempersiapkan diri untuk menerima serangan mereka.

Salah satu dari mereka menyerang dari sisi kiriku, memaksaku menghindari ke kanan. Dan begitu aku sudah ada di kana, monster srigala yang satunya lagi langsung mencoba menyergapku. Aku langsung menyabetkan pisau berburuku untuk menyerang balik, tapi serangan itu bisa dengan mudah dihindari oleh makhluk itu.

Selama beberapa menit, kami terus melakukan permainan kucing dan tikus ini. Tapi tidak lama kemudian, sepertinya kedua teman main berbuluku ini merasa bosan dan memutuskan untuk mempersempiti jarak searang mereka.

Sampai saat ini, aku bisa menghindari serangan mereka karena mereka menghadapiku degan ekstra hati-hati. Bukan karena takut padaku tentunya, tapi karena takut serangan mereka menganai rekannya sendiri. Tapi kali ini, sepertinya mereka merasa sudah tidak perlu memperpanjang kegiatan berburu mereka.

Sebab mereka tahu kalau aku, pada dasarnya sudah tidak bisa melawan. Dan yang kedua, mereka sepertinya juga ingin segera pergi dari tempat ini.

Meski mereka bisa mengusir monster kelas teri ataupun hewan normal, tapi saat malam datang. Monster lainp yang mungkin lebih kuat dari mereka bisa saja datang dan berebut mangsa dengan mereka. Dan mengingat rekan mereka sudah jadi daging yang bisa jadi santapan monster lain, kesempatan monster lain datang karena sama sekali tidak bisa dibiliang kecil.

"Kebetulan sekali aku juga sudah bosan"

Atau lebih tepatnya, aku sudah merasa kalau staminaku sudah tidak kuat untuk diajak bermain-main lebih lama. Oleh sebab itulah, kalau mereka ingin cepat mengakhiri permainan ini. Aku sama sekali tidak keberatan.

"Grrrr. . . ."

Keduanya mendekatiku sambil mengeluarkan aura yang menakan dengan tujuan bukan hanya untuk mengintimidasiku, tapi juga sepertinya punya efek untuk memperkuat kemampuan fisik mereka. Hal itu bisa kulihat dari keempat kaki mereka yang sepertinya tampak sedikit lebih berotot.

Dengan begini, beradu kekuatan fisik sudah tidak mungkin lagi bisa kulakukan seperti sebelumnya. Yang artinya, jika ada satu serangan saja yang tembus maka mereka akan bisa meng K.O-ku.

"Wraaaaaaa"

Sebuah terkaman datang dari depanku. Dan terkaman itu, meski bisa kulihat dengan jelas tidak bisa kuhindari karena tubuhku yang terasa berat. Membuat tubuhku langsung tertindih monster itu. Aku langsung mencoba menghunuskan pisau berburuku ke lehernya, tapi tanganku langsung ditangkan oleh rahang besarnya.

"AAAghh. . ."

Dan kali ini, tanapa basa-basi, Makhluk itu langsung mencoba meremukan tanganku yang ada di mulutnya.

"Anjing bodooohh!"

Tangan kiriku yang masih bebas kukepalkan dengan erat, setelah itu aku melancarkan tinjuan ke arah rusuknya.

Dia melirik tangan kiriku, tapi setelah memutuskan kalau tanganku yang tidak memegang senjata sama sekali bukan ancaman baginya. Dia memutuskan untuk membiarkannya saja dan lebih fokus untuk mencoba mengunyah tangan kananku.

"Aaaaaa!"

Tinjuanku menganai ulu hati makhluk itu, hanya saja. Seperti yang sudah kuduga, pukulanku tidak punya kekuatanyang cukup bahkan untuk membuat srigala jadi-jadian itu merasakan sakit. Tapi hal itu sudah kuperhitungkan, sebab tujuan dari pukulan itu bukan untuk memberikan serangan langsung pada si monter. Tapi hanya kamuflase untukku bisa menyentuhkan slaah satu talismanku ke badannya.

"Urrww. .. .."

Beberapa detik kemudian, monster srigala tadi mengalami kejang dan badannya jatuh ke tanah begitu saja.

Aku sempat khawatir kalau aku tidak bisa mengalirkan listrik dari talismanku ke tubuh si monster srigala tanpa electrode, tapi sepertinya aku menang taruhan dan aliran listriknya bisa mengalir tanpa masalah. Untuk beberapa menit, harusnya makhluk ini tidak akan bisa bergerak karena aliran listrik di syarafnya terganggu.

Dengan begitu aku bisa fokus melawan monster srigala yang terakhir.

"Satu beres"

Monster srigala yang terakhir melihat ke arah rekannya dengan mata yang sepertinya mengatakan kalau dia terkejut. Tapi ekspresi itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum digantikan dengan ekspresi penuh kemarahan. Lalu, dengan cepat dia berlari ke arahku dan mencoba menabrakku dengan seluruh badannya.

Monster srigala itu punya tubuh yang besar, dan tentu saja berat yang nilainya minimal dua kali lipatku. Jika serangan itu menenaiku, bisa dijamin kalau aku akan jadi player yang tereliminasi selanjutnya.

"Bagus-bagus! anjing pintar!"

Dengan dia menyerangku seperti itu, aku akan lebih mudah melakukan counter.

"Awooooo . . ."

Aku membuka telapak tangan kiriku dan memperlihatkan talisman elektriku yang sedang aktif. Lalu, aku memegangnya mengacungkannya ke arah si monster srigala bersamaan dengan pisau berburuku.

"Graaaaa!"

"Yaaaaaaaa!"

Monster srigala tadi membuka mulutnya dengan lebar dan mengarahkannya ke leherku, sedangkan kaki depannya dia julurkan ke arah dadaku. Tentu saja, dia tidak lupa mengeluarkan cakarnya untuk menambah daya seranganya.

Sedangkan aku sendiri menguatkan kuda-kudaku, menyiapkan posisi talismanku, dan yang terakhir.

"AKU AKAN PULAAAAAAAANGGG!"

Menyentuhkan ujung dari pisau berburuku ke ujung dari talisman elektrik yang kupgang dan menariknya dengan cepat. Membuat aliran listrik dari talismanku melompat ke pisauku melwati udara. Dengan kata lain, aku membuat sebuah arc, alias busur listrik layaknya mesin las listrik di duniaku yang lama.

Aku mungkin tidak bisa membuat petir untuk menyerang musuh, tapi magic yang kupunya sudah cukup untuk membuat aliran listrik bertegangan tinggi untuk sesaat. Dan jika aku bisa menggunakan arc itu di saat yang tepat maka. . .

Aku bisa menggunakan sebagai senjata yang cukup kuat bahkan untuk melelehkan metal.

Dan jika yang jadi lawan senjataku hanyalah daging dan tulang, maaf saja tapi dia sama sekali tidak punya kesempatan untuk menang.

"Grraaaa . . . .. ."

Sebab makhluk itu tidak bisa berhenti mendadak di udara, berat tubuhnya memaksanya terus mendorong kaki depannya untuk terus maju melewati magic arc welder yang kubuat. Membuat kaki depannya menderita luka bakar yang cukup parah sampai kelihatan hampir putus.

Brugh. . .

Dengan kaki depan yang sudah tidak berguna itu, dia tidak bisa mendarat dengan baik dan akhrinya tersungkur ke tanah.

"Saatnya kau menyusul rekanmu yang lain!"

Aku memindahkan satu talismanku yang lain ke tangan kanannku dan memegangnya bersamaan dengan pisau berburuku selagi perhatiannya masih teralihkan. Kemudian begitu selesai, aku tberdiri dan langsung balik menerkamnya sambil mengarahkan pisau berburuku ke badannya. Tapi hanya satu kaki depannya saja yang terluka, dia masih bisa bergerak dengan membalik badannya. Yang diikuti dengan usahanya untuk mencaplok tangan kananku.

"Ugh. ."

Tangan kananku kembali mengunjungi mulut seekor monster srigala.

"Bodoh!"

Seakan tahu apa yang kukatakan, dia langsung melihat tangan kiriku yang mengepal dan bersiap untuk memukulnya dan mencoba menghalanginya dengan menendangkan kaki depan kirinya ke arahku.

"Mati kau!"

Aku membuka tangan kiriku dan memperlihatkan kalau di dalamnya tidak apa-apa.

Di saat yang sama, aku membuka telapak tangan kananku dan menjatuhkan talisman yang kupegang ke mulutnya. Lalu, menggunakan tangan kiriku yang sudah tidak jadi bahan perhatiannya aku mengambil pisau dari tangan kanannku dan menusukannya ke matanya.

"Graaaa!"

Karena rasa sakit di matanya, monster itu memebuka mulutnya dengan lebar. Yang diikuti olehku dengan menarik tangan kananku keluar dari mulutnya.

"Diam kauu!"

Aku mengubah posisi tubuhku dan menaiki tubuh monster itu lalu menenkan kedua rahangnya untuk menutup dengan sekuat tenaga. Kami berdua terus bergelut dalam posisi itu selama mungkin sekitar satu menit. Dan begitu aku bisa mendengar suara ledakan kecil layaknya petasan dari dalam rongga mulutnya, perlawanan monster itu akhirnya berhanti.

Setelah pergulatan kami berakhir, aku langsung mendatangi monster srigala yang badannya masih lumpuh oleh Taser versi magicku.

"Kau yang terakhir!"

Monster srigala itu tentu saja tidak bisa menjawab, tapi raut wajahnya seperti mengatakan kalau dia tidak ingin mati. Tatapan matanya membuatku agak merasa bersalah ingin membunuhnya, tapi sayangnya situasinya sekarang tidak memberiku pilihan lain kecuali membunuhnya.

Mereka cukup cerdas untuk berkomunikasi dengan satu sama lain, mereka bahkan cukup pintar untuk membuat strategi bertemput, dengan basisi kedua hal itu. Aku sama sekali tidak akan terkejut kalau mereka bisa mengingat wajahku dan membuat rencana untuk balas dendam di masa depan.

Oleh sebab itulah, aku tidak bisa membiarkannya hidup.

"Kalau saja kau tidak menyerangku! Mungkin aku tidak perlu melakukan ini"

Badannya yang masih kejang kelihatan lemah, jauh sekali dari penampilan mengintimidasinya yang sebelumnya. Mulut besarnya yang punya banyak taring tajampun sekarang tidak kelihatan menyeramkan ketika nafasnya tersengal dan lidahnya terjulur dengan lunglai.

Penampilannya menyedihkan, tapi aku menolak untuk merasa kasihan padanya.

"Selamat tinggal!"

Aku menusuk lehernya, dan dengan itu. Petulangaanku hari itupun berakhir.

4

Merasa sayang meninggalkan hasil buruanku, atau lebih tepatatnya mantan pemburuku. Aku memotong telinga ketiga monster srigala yang berhasil kubunuh di hutan. Dengan harapan kalau aku akan mendapatkan imbalan tambahan dari quest eksterminasi yang dipasang di guild.

Beruntungnya, harapanku yang kali ini dikabulkan dan aku mendapatkan lebih banyak uang dari yang awalanya kutargetkan. Lalu begitu aku selesai memberikan laporan ke guild, aku langsung menjemput Hinata dan menemukan kalau dia tidak kelihatan lebih buruk dari saat aku meninggalkannya.

Aku berpamitan pada guild master dan segera membawa Hinata ke tempat tabib.

Setelah membiarkan orang itu memeriksa Hinata dan memberi kami obat, dan juga melakukan negosiasi masalah harga. Aku dan Hinata pulang tepat saat suasana mulai jadi gelap. Tentu saja dengan gadis kecil itu ada di punggungku.

"Master, aku sudah merasa baikan, kau bisa menurunkanku"

"Dan membiarkanmu sakit lagi? Terima kasih banyak"

"Sudah kubilang aku sudah baikan"

"Baikan di kamusku sinonimnya bukan sembuh"

"Tapi master kelihatan masih kecapekan"

"Aku benar-benar capek"

Sejujurnya, aku ingin segera menurunkan Hinata dan segera tidur di situ juga. Perutku lapar, kakiku terasa lemas, dan badanku rasanya sakit semua.

"Kalau begiu. . ."

"Karena itulah aku tidak mau menurunkanmu"

"Kenapa?"

"Kalau kau sakitnya lama yang rugi aku juga"

Kalau dia sampai tidak sembuh-sembuh, artinya aku harus bercapek-capekan seperti ini lagi besok. Dan aku sama sekali tidak punya hobi memforsir tubuhku, aku bukan maso. Aku adalah orang yang menganut asas bersakit-sakit dahulu, bersenang kemudian. Karena itulah aku tidak keberatan sedikit susah sekarang asal besok-besoknya aku bisa lebih santai.

"Kalau kau ingin membantu, menurut saja"

"Master. . ."

Setelah itu, Hinata mengeratkan pegangannya di badanku dan kamipun berhenti bicara satu dengan satu sama lain. Selama perjalanan, kami berdua hanya ditemani suasana sepi yang hanya hilang ketika ada serngga yang bersuara di kejauhan. Suasana sepi semacam ini dulu sering membuatku merasa kalau aku ini orang buangan, tapi sekarang. Berkat gadis kecil yang ada di punggungku, aku merasa kalau suasana sepi ini menenangkan.

"Hay Hinata, di masa depan kau ingin melakukan apa?"

"Ingin melakukan apa?"

"Ya, kau ingin jadi apa?"

Aku tidak ingin selamanya jadi adventurer, pekerjaan berbahaya ini sama sekali bukan sesuatu yang bisa dikerjakan ketika kau sudah tidak lagi fit dalam urusan fisik. Bagiku, hal itu mungkin masih kurang lebih sepuluh tahun lagi. Tapi bagi Hinata, yang berasal dari ras beast dan punya umur yang relatif lebih pendek. Masa itu akan datang lebih cepat baginya.

Dan saat itu datang, tentu saja aku tidak ingin memaksanya menemaniku melakukan pekerjaan berbahaya.

Tentu saja, kalau situasinya memungkinkan aku ingin membebaskan Hinata dari kontrak perbudakannya padaku agar dia bisa melakukan apappun yang dia mau. Dan di saat itu tiba, aku juga ingin membantunya sebisaku.

"Aku. . . tidak tahu"

"Ha?"

"Orang tuaku sudah tidak ada, dan sampai sampai beberapa bulan yang lalu semua orang bilang kalau yang perlu kulakukan hanyalah agar aku berguna untuk orang lain dan tiadk membuat masalah, kalau ditanya apa yang ingin kulakukan. . .aku tidak tahu"

"Ah. . . ."

Sepertinya aku baru saja menginjak ranjau. Hinata yang lama hidup sebagai barang dagangan sudah dilatih untuk tidak punya keinginan sendiri dan hanya menuruti apa yang diperintahkan padanya. Karena itulah, dia dijauhkan dari apapapun yang bisa jadi hobi, atau apapun yang bisa membangkitkan rasa preferensi, ataupun keinginan pribadi.

"Kau sendiri master?"

"Aku? Aku ingin punya uang banyak, berhenti jadi adventurer lalu hidup dengan santai, kemudian kalau bisa aku juga ingin pulang"

"Pulang? Jadi master bukan dari sini?"

"Um, aku berasal dari tempat yang sangat jauh"

"Jadi master ingin pulang ya. ."

Ahh, kalau tidak salah dia juga pernah bilang kalau desa tempatnya berasal sudah tidak ada karena perang, lalu dia tidak punya saudara yang cukup dekat untuk bisa dijadikan sandaran. Jika dilihat dari situ, kurasa aku dan Hinata tidak jauh berbeda.

"Kalau aku benar-benar bisa pulang dan kau masih belum tahu apa yang kau ingin lakukan, aku akan mengajakmu ikut denganku"

"Benarkah?"

"Tentu saja"

Sekali lagi, Hinata kembali mengeratkan pegangannya pada badanku.

"Ah, tapi kalau bisa, aku ingin mencari adik perempuanku dulu"

"Kau punya adik perempuan?"

"Ya, dia dua tahun lebih muda dariku"

"Kalau begitu keinginan masa depanm. . masa depan kita sudah jelas"

Pertama, bertahan hidup sebagai adeventurer. Kalau sudah punya modal beralih pekerjaan dan mengumpulkan banyak uang sambil mencari adik perempuan Hinata. Setelah itu kami akan mencari jalan pulang atau kalau tidak bisa, kami akan mencari tempat untuk menetap dan hidup dengan tenang.

Setelah kurang lebih setengah jam berjalan, akhirnya kami berdua sampai di rumah. Dan begitu aku akan membuka pintu, aku tiba-tiba ingat sesuatu.

"Hinata"

"Apa?"

"Apa membuat talisman itu menguntungkan?"

"Sepertinya begitu"

"Kalau begitu, mulai besok kita akan membuat talisman"

"Eh?"


Thanks for reading