© angstgoddess003

oiginal story: angst goddess 003 . live journal / 16471 . h t m l

(hilangkan spasi)

.


.

Baekhyun POV

Aku sangat, sangat membenci kamar ini. Rasanya seperti berada di neraka.

Aku tidak bermaksud untuk memelodramatisir suasana. Tapi, ini fakta. Di siang hari yang cerah, aku masih bisa bertahan di sini. Tapi saat ini, tengah malam, aku sama sekali tidak tahan. Suasana menjadi sangat gelap, sunyi, mencekik, dan pojok ruangan seperti tersembunyi.

Aku bisa merasakan ketakutan yang akrab di sekelilingku dan panik sudah merambat naik ke dadaku saat membuka pintu. Aku bahkan tidak bisa merasakan sedikit kenyamanan dari cahaya bulan purnama malam ini, karena terhalang awan tebal yang selalu menyelimuti kota ini, dan juga karena rumah Keluarga Park yang menjulang tinggi di luar jendelaku.

Bibi Irene dan Luhan telah berusaha keras untuk menata kamar ini untukku. Aku merasa bersalah saat menjangkau dengan hati-hati tas yang berada di lantai, di samping pintu, dan berlari ke dapur.

Di dapur inilah aku biasanya menghabiskan malamku sejak pindah ke sini, ke Bucheon, seminggu yang lalu. Ruangan dapur terasa hangat dan terbuka. Selalu cerah, dan penuh kenangan yang menyenangkan. Tidak pernah ada hal yang mengerikan terjadi padaku di dapur. Semenjak aku tiba di sini, aku selalu memasak.

Pada awalnya, Bibi Irene sedikit kesal karena harus menyerahkan tugas dapurnya pada seorang gadis berumur 17 tahun, tapi Bibi Irene akhirnya menyerah, setelah melihat betapa aku sangat menikmati tugas ini. Dan Bibi Irene sangat jarang melihatku bisa menikmati apapun.

Jadi, aku sudah membuat rutinitas untuk menghabiskan malamku di sini: memanggang kue, memasak, dan mengerjakan PR... aku melakukan apapun yang bisa kulakukan kecuali tidur di kamar gelap itu. Semua orang di Seoul menyebut kebiasaanku ini insomnia.

Aku sudah mendapat ceramah dari dokter dan tenaga profesional lainnya, mereka semua khusus dilatih dan dididik secara formal untuk menjaga "kesejahteraan"-ku menjadi "prioritas utama" mereka. Aku sudah mencoba obat tidur dan terapi agar bisa tidur delapan jam setiap malam.

Tentu saja, mereka tidak akan pernah benar-benar mengerti. Ini bukan tentang aku yang tidak bisa tidur, tapi ini tentang aku yang tidak mau tidur. Aku selalu tertidur selama 10 menit di siang hari, walaupun aku sudah berusaha keras untuk mencegahnya. Mencegah agar tidak tertidur itu cukup sulit, dan aku lebih memilih untuk berjalan lesu di bawah awan tebal, daripada harus bermimpi.

Mimpiku selalu penuh dengan pukulan dan suara cabikan, jeritan dan persembunyian, memar dan air mata, dan monster yang bersembunyi di dalam lemariku, yang mengulur-ulur waktunya. Dan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mimpi terburukku yang selalu datang kemudian. Aku selalu bermimpi tentang ibuku, Heechul. Tubuhnya yang dingin dan lemah terlentang di sofa dalam genangan darahnya sendiri. Dan matanya...

Aku tersentak dari lamunanku dan mulai menyibukan diri dengan mengerjakan PR Bahasa Inggris sambil menunggu kueku selesai dipanggang. Aku menggunakan resep baru. Aku selalu memanggang kue baru setiap malam selama seminggu terakhir ini. Aku menganggap ini sebagai kebiasaan baruku.

Saat aku tinggal di panti asuhan, di Seoul, dulu aku bisa memasak banyak makanan di malam hari dan anak-anak laki-laki lain selalu memakannya sebelum makananku dingin. Tapi, Luhan dan Bibi Irene tidak bisa mengakomodasi kebiasaanku memasak makanan lain di malam hari. Jadi, aku memutuskan untuk memasak kue. Mereka selalu menikmati resep kreatifku dan namanya.

Untungnya, mereka tidak pernah mempertanyakan kebiasaan anehku di tengah malam. Mereka terlalu senang saat aku akhirnya menyerah dan pindah ke sini dengan mereka. Mereka tidak pernah memaksaku menjawab rasa penasaran mereka. Bibi Irene memohon padaku untuk datang ke sini tahun lalu, saat ibuku meninggal, tapi aku bilang "tidak". Aku tidak ingin mereka ikut merasakan aura gelapku dan harus berhadapan dengan perilaku yang tertutup, aku benci harus membebani mereka. Namun, di sinilah aku sekarang, pikirku pahit.

Aku membiarkan mereka merasa menang karena keputusanku untuk pindah ke sini dari panti asuhan di Seoul, tapi sebenarnya, aku sudah tidak bisa tinggal di sana lagi. Ada terlalu banyak orang. Terlalu banyak anak laki-laki berdesakan denganku di sebuah ruangan kecil. Aku sering panik, dan itu sangat melelahkan. Lelah membuatku kesulitan untuk tetap terjaga.

Aku tidak suka anak laki-laki, dan aku benci pria. Mereka membuatku takut karena ulah Kyuhyun. Ini tidak rasional, aku tahu itu. Tidak semua laki-laki yang berada di luar sana mencoba untuk membunuhku. Bahkan, sekalipun aku ingin berusaha untuk bersikap biasa pada laki-laki, tapi pikiran dan tubuhku otomatis bereaksi, dan aku tidak bisa menghentikan reaksi ini.

Psikolog lamaku bilang ini ada kaitannya dengan mekanismeku dalam mempertahankan diri dan kecemasan yang berlebihan atau apapun itu. Aku tidak peduli mereka menyebutnya apa, aku benci perasaan itu. Tidak pernah bisa mendekati lawan jenis tanpa merasa nyaman dan panik adalah hal yang paling merugikan saat berada di panti asuhan. Dan tiba-tiba saja, prospek untuk hidup bersama dua orang wanita terdengar sangat menarik. Mungkin Bibi Irene dan Luhan memang menang.

Dan ternyata, Bucheon jauh lebih baik dari apa yang kupikiranku. Ini sebuah kota kecil dan kuno. Aku tidak bisa bilang aku akan bahagia berada di sini, karena aku tidak akan pernah merasa bahagia di manapun berada. Sudah terlalu banyak hal yang kulihat. Tapi, Bucheon bisa membawaku beberapa langkah lebih dekat menuju kebahagiaan daripada Seoul, jadi aku tidak bisa menyesali keputusanku.

DING!

Aku melompat kaget, dan menjatuhkan pensilku. Itu suara dari timer oven yang menandakan kueku sudah matang.

Kendalikan dirimu, Baekhyun. Astaga.

Aku menunggu kueku dingin sebelum mulai menghias kue yang berbentuk seperti orang-orangan kecil ini.

Setelah semua kostum orang-orangan kecil ini selesai, aku mengambil tiga bungkus plastik, Ziplock dan menggunakan spidolku untuk menulis nama kue di tiap label persegi panjang bewarna putih. Gingerbread Zombies—Kue Jahe Zombie. Sepertinya nama ini benar-benar pas dengan keadaanku yang seperti zombie hari ini, dan mungkin juga besok hari, seperti keadaanku dari berbulan-bulan yang lalu.

Lima jam, empat cangkir kopi, dan dua makalah Bahasa Inggris kemudian, aku sudah selesai membuat sarapan dan berpakaian untuk sekolah, aku mengenakan hoodie hitamku yang biasa dan celana jeans, dan rambut panjangku yang aneh ini tergerai di bawahnya.

Bibi Irene sudah bergegas keluar untuk berangkat kerja, Gingerbread Zombie sudah berada di tangannya, dan Bibi tersenyum kecut saat melihat nama kreasi terbaruku. Luhan tiba di dapur untuk sarapan dalam keadaan segar seperti biasa, dan rambut sebahunya yang berkilauan dikepang rapi. Dia memancarkan aura positif. Itu membuatku ingin muntah.

Sikapnya selalu ceria dan bersemangat. Sepupuku, Luhan, sedikit lebih tinggi daripada aku. Usia kami hanya terpaut satu bulan, dan ibu kami bersaudara. Namun, selain berbagi gen, sifat kami sangat bertolak belakang.

Dia populer di sekolah dan bisa berteman dengan siapa saja. Aku secara alami menjauh dari semua orang. Dia up-to-date dengan tren fashion terbaru. Aku selalu pergi keluar dengan memakai pakaian yang sama sekali tidak menarik perhatian. Dia penggembira dan anggun. Aku introvert dan canggung.

Mengerti, kan, maksudku?

"Selamat pagi! Mmm, daging asap dan telur! Apa itu waffle? Dengan blueberry?! "dia berceloteh dan meluncur ke salah satu kursi di meja makan. Kakinya berayun-ayun di kursi seperti balita yang berusia tujuh belas tahun. "Oh, Tuhan, Baekhyun, berat badanku akan terus naik saat kau berada di sini. Apa ada sirup? Mungkin aku harus diet besok..."

Aku hanya memutar mataku melihatnya dan menyendok telur rebus ke dalam mulutku. Aku menyayangi Luhan, tapi tidak ada yang bisa menyela ucapannya di pagi hari. Saat dia mendongak dari piIrenegnya, dia tiba-tiba berhenti bicara. Kemudian dia menatapku menggunakan "Wajah Prihatin Luhan".

Ini dia...

"Astaga, Baekhyun! Kau terlihat mengerikan! Apa kau tidak tidur sama sekali tadi malam?"

Aku meringis. Aku terlihat mengerikan... Astaga, terima kasih, Luhan atas usahamu meningkatkan kepercayaan diriku. Aku sedikit mengangkat bahu, dan terus makan.

Sambil menghela napas dalam-dalam, dan sedikit menggelengkan kepalanya, dia tidak lagi bertanya padaku.

Luhan selalu seperti ini padaku—khawatir tapi hati-hati. Dia selalu berusaha untuk membuatku terbuka padanya. Dia ingin memahamiku. Aku tahu dia ingin ikut campur seperti ini karena dia peduli, tapi aku tetap diam tentang masalahku. Aku tidak bisa menjelaskan padanya dengan benar, dan dia hanya akan semakin khawatir kalau aku mencoba untuk menjelaskannya.

.


.

Chanyeol POV

Dimana korek apiku?! Sudah tiga kali aku berputar di tengah-tengah kamar tidurku, menarik rambutku dengan frustrasi.

Aku baru saja terbangun setelah kalah dari tidur selama dua puluh menit—kalah dari mimpi burukku—dan aku benar-benar harus merokok.

Dan sekarang aku hanya punya sebungkus rokok tanpa korek api. Aku harus membersihkan kamar ini dan merapikannya. Berpikirlah, Chanyeol! Sial! Terakhir kali aku memegang korek apinya... Oh, benar! Aku membuka pintu balkon dan langsung melihat korek apiku tergeletak di atas pagar. Di sini kau rupanya, aku menyeringai.

Aku menyalakan rokok dan menghisapnya. Ahh, jauh lebih baik. Aku tidak pernah merokok di dalam kamarku. Karena asapnya akan menempel dan bau. Paman Bogum benar-benar cerdas karena memberiku kamar yang dilengkapi dengan balkon. Papi B. tahu benar bagaimana cara merawat anak angkatnya.

Dia mengadopsiku empat tahun yang lalu. Dr. Park Bogum adalah seorang pria yang berfundamental baik dan warga negara terhormat dari komunitas terbesar Bucheon. Kami jarang bertemu, tapi dia seorang dokter, dan dokter yang baik jarang di rumah. Aku tidak keberatan. Dia menyediakanku pakaian dan makanan dan jarang mengajukan pertanyaan.

Aku rasa bagi remaja berusia tujuh belas tahun, aku hidup di situasi yang ideal. Kris juga tinggal bersama kami. Dia juga salah seorang dari akuisisi Paman Bogum. Kris setahun lebih tua dariku dan dia lebih dulu tinggal di sini. Dia senang mengungkit-ungkit kenyataan itu padaku. Apa peduliku! Dia adalah anak emas Bucheon, dan semua orang ingin mencium bokongnya.

Saat Paman Bogum tidak ada di rumah, dia sangat kasar. Kami tidak pernah akur. Tidak sama sekali. Setelah setahun penuh pertempuran dan keluhan dari Paman Bogum, kami membuat kesepakatan tidak tertulis untuk saling menjauh. Lagi pula, dia juga akan pergi kuliah setahun lagi dan angkat kaki dari sini.

Aku melihat ke dalam kegelapan malam dari balkon rumah kami yang kelewat besar sambil menghisap rokok. Mimpi buruk sialan. Aku benci malam hari. Malam terasa seperti sebuah karya sastra jelek Rusia, panjang dan sangat membosankan.

Aku punya hobi dan aku bisa menghabiskan sembilan jam membuat sketsa dan mendengarkan musik. Tapi, kalau aku jujur dengan diriku sendiri—dan ini adalah hal yang sangat jarang kulakukan—ada satu hal yang paling kuinginkan di dunia ini lebih dari apa pun juga.

Tidur.

Terakhir kali aku tidur dengan baik, tidur sepanjang malam, adalah bertahun-tahun yang lalu—aku bahkan tidak ingat bagaimana rasanya. Pada awalnya Paman Bogum merasa khawatir, mungkin masih, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Aku selalu seperti ini setiap malam. Hampir tidak bisa tidur sama sekali, sekalipun aku berusaha untuk melakukannya. Aku selalu bermimpi... mimpi yang sama. Dan aku rasa tidak ada gunanya lagi untuk mencoba tidur.

Aku melemparkan puntung rokokku di tepi balkon saat tetesan hujan mulai jatuh dari langit. Setelah kembali ke dalam kamarku yang hangat dan luas dan berantakan, aku langsung menjatuhkan tubuhku di tempat tidur dan kembali melanjutkan sketsaku.

Menggambar dapat membuatku terjaga, hampir sama efeknya dengan simpanan rahasia amfetamin Papi B., dan boleh kubilang obat itu dosisnya cukup tinggi. Aku tidak mau minum obat itu sering-sering. Terkadang, aku akan mabuk bersama temanku, Sehun, tapi, tidak sering.

Aku sudah berteman dengan Oh Sehun sejak hari pertamaku di sini, saat aku mengatakan pada Lee-seonsaengnim—guru sejarah kami yang sepertinya tidak berpendidikan—untuk "urus urusanmu sendiri".

Sehun senang pelajaran sejarah. Dia satu-satunya teman yang pernah kumiliki, atau kubutuhkan di sini, di Bucheon. Saat kami bersama, kami lebih banyak diam. Kami bisa membaca gerak-gerik satu sama lain lewat penampilan dan bahasa tubuh. Ini bukan bromance atau apa pun itu istilahnya, tapi memang begitulah kami.

Walaupun Sehun selalu mendukungku, dan selalu ada untuk mendengarkan semua permasalahanku, tapi aku tetap merasa kesepian. Dia mencoba untuk memahaminya, tapi bagaimana caranya dia bisa paham? Saat dia bertanya kenapa aku selalu lelah, aku menjawabnya dengan jujur. Aku lebih suka berjalan-jalan seperti zombie daripada harus mengalami mimpi yang selalu menghantuiku.

Tentu saja, dia berpikir aku gila.

Jadi, aku tidak pernah membicarakannya lagi.

Aku sudah menyelesaikan sketsaku dan menandainya dengan namaku dan tanggal di sudut kanan bawah, lalu menutup buku sambil mendesah. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku mengetuk-ngetuk jariku di sampul kulit buku sketsaku. Oh, PR.

Aku menahan eranganku.

Sudah seminggu ini aku tidak boleh masuk sekolah karena pelanggaran disiplin ringan. Aku tidak boleh masuk sekolah selama lima hari karena merokok di halaman belakang sekolah. Wow, benar-benar hukuman yang menyenangkan, lima hari penuh kebebasan—atau kebosanan lebih tepatnya.

Aku selalu mendapat nilai bagus di sekolah. Terutama di sini, di mana aku mungkin bisa mengajar di sebagian besar kelas tambahan, bahkan saat setengah terjaga. Maksudku, aku punya sembilan jam kosong di malam hari untuk belajar dan bekerja.

Aku mulai mengerjakan PR Trigonometri. Kurang tidur membuat setiap tugas terasa lebih sulit. Kebanyakan orang tidak akan menyadari betapa pentingnya tidur untuk kesehatan, baik itu untuk mental maupun fisik. Tidak ada yang tahu lebih baik daripada aku.

Sebelum kejadian delapan tahun yang lalu, aku tidak pernah menyadari betapa pentingnya tidur malam untuk kewarasanku. Ibuku selalu bersenandung untukku setelah menyelimutiku. Tentu saja itu terjadi sebelum dia membenciku. Sebelum dia mengirimku pergi dan meninggalkanku di tangan pekerja sosial yang bergaji rendah, di lembaga kesejahteraan anak terburuk yang pernah ada.

Dia bahkan tidak bisa menatapku lagi setelah kejadian itu—tidak bisa berada di ruangan yang sama denganku. Dia bahkan tidak pernah mengucapkan selamat tinggal. Aku harap aku bisa menyalahkannya, tapi aku benar-benar tidak bisa melakukan itu.

Aku mengambil satu-satunya orang yang paling dicintainya.

Lebih daripada aku.

Bahkan sekarang, delapan tahun kemudian, aku masih bisa melihat api itu dengan jelas dalam pikiranku. Aku bisa merasakan panasnya dan mencium bau asap. Dan kalau aku tidur cukup lama, aku bisa menonton adegan sempurna saat ayahku terbaIreneg dan terbakar di lantai, berteriak meminta pertolongan yang tidak akan pernah datang. Aku mulai menggelengkan kepalaku, tidak ingin memikirkannya lebih jauh.

Setelah matahari mulai menunjukkan tanda-tanda akan naik, aku menutup bukuku dan mulai bersiap untuk pergi ke Sekolah Menengah Atas Bucheon.

Aku tidak pernah memikirkan pakaian apa yang harus kukenakan ke sekolah, biasanya aku hanya mengenakan baju kaos dan celana jeans sederhana, jaket kulit hitam favoritku, dan sepatu bot usang. Aku benar-benar tidak peduli. Satu-satunya alasan kenapa aku pergi ke sekolah adalah untuk nongkrong dengan Sehun dan mengisi waktuku. Dan juga kalau nilai rata-rataku di bawah 8,5, Papi B. akan mengambil mobilku. Semuanya sudah dipertimbangkan, dan dokter yang baik tahu bagaimana menjalankan akalnya dengan efektif.

Setelah aku berhasil menghindari setiap kontak dengan Kris, aku berjalan keluar menuju kendaraan idamanku dan menjalankan jariku dengan ringan di atas kap mobilku. Oh, cantik sekali. Aku lihat Xi, tetanggaku, sudah berangkat ke sekolah, karena mobilnya sudah absen dari jalan masuk rumahnya. Tentu saja dia sudah pergi. Dia selalu bangun lebih awal. Aku masuk ke dalam mobil dan mulai berkendara menuju rumah Sehun untuk menjemputnya.

Dia sudah menunggu di pinggir jalan, di depan rumahnya yang sederhana dan langsung melompat ke dalam mobilku sebelum aku berhenti.

"Akhirnya kau datang juga! Jessica sudah menggangguku sepanjang pagi ini, dia terus-terusan bertanya tentang pesta yang kau adakan malam ini," ucapnya sambil memakai sabuk pengaman. Jessica adalah kakaknya.

Aku mendengus "Pesta yang kuadakan? Aku tidak pernah ingin ada pesta di rumahku. Aku akan berkelahi dengan Kris untuk membatalkan pesta ini kalau dia tidak mengancam akan melapor pada Paman Bogum tentang hukumanku dari sekolah." Aku bermalas-malasan menyandarkan kepalaku di kursi pengemudi dan mulai berkendara menuju sekolah. "Kau datang?"

Dia mendengus sambil menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan mau datang ke pesta senior yang penuh dengan orang-orang mabuk menjengkelkan dan ber-IQ jongkok."

Aku tertawa. "Sehun, kau baru saja menghina istri masa depanmu. Kau tidak akan mendapat kesempatan kalau kau terus menghina IQ orang-orang seperti Xi."

"Luhan akan datang ke tempatmu?" tanyanya, suaranya terdengar penasaran dan kecewa.

Aku mengangguk dan mengangkat sebelah alisku.

"Brengsek! Aku sudah bilang pada ibuku aku akan tinggal di rumah akhir pekan ini dan membantunya membersihkan rumah."

Dia mengerutkan keningnya dan merosot di kursi. Aku memutar mataku.

Sehun diam-diam naksir dengan tetanggaku semenjak aku mengenalnya. Aku mulai bertanya-tanya apa dia pernah punya keberanian untuk bicara dengan Xi. Aku rasa itu tidak akan terlalu sulit.

Setiap kali aku melihat Sehun menatapnya di kantin atau di lorong sekolah, aku harus menahan diriku untuk memanggil Xi dan menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

Hei, Xi, ini temanku, Sehun. Bisakah kau membantuku untuk bercinta dengannya agar dia bisa berhenti menatapmu seperti anak anjing yang hilang arah? Aku menahan tawaku.

Saat kami sampai di sekolah, aku sengaja parkir di sebelah mobil Xi. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk bajingan menyedihkan ini. Xi masih berada di mobilnya, lengannya bergerak-gerak lincah sambil berbicara penuh semangat pada seseorang yang berada di kursi penumpang.

"Oh, sial!" seru Sehun di tempat duduknya dan berbalik melihatku sambil menyeringai. "Kau melewatkan semua kejadian menarik yang dilakukan gadis baru!"

"Gadis baru?" tanyaku dengan nada bosan dan memejamkan mata.

Orang-orang di sini selalu bersemangat dengan hal-hal yang tidak penting. Aku tidak peduli.

Sehun memutar matanya saat melihat ketidakpedulianku. "Ha! Kau akan tertarik dengan yang satu ini. Gadis baru ini adalah sepupu dari Luhan, dan dia gila. Dia pindah ke rumah mereka seminggu yang lalu."

Aku mengerutkan kening. Aku punya seorang tetangga baru dan aku tidak menyadarinya. Bukan, aku punya seorang tetangga gila baru, dan aku bahkan tidak menyadarinya.

Tiba-tiba, aku merasa tertarik. Tidak bisa kupungkiri lagi, aku merasa kurang nyaman harus bertetanggaan dengan orang gila. Aku melambaikan tanganku, menyuruhnya melanjutkan ucapannya. Sehun senang melihat reaksiku dan duduk kembali sebelum bicara.

"Rabu kemarin, Jung mencoba untuk 'tebar pesona' dengan gadis itu di kelas Biologi, dan gadis itu benar-benar panik. Paniknya aneh, dia seperti mengalami gangguan emosional atau apalah. Dia mulai menangis dan gemetaran lalu berlari keluar kelas. Aku kira itu reaksi normalnya karena mungkin Jung mencoba memegang bokongnya. Tapi, saat Choi Minho mencoba untuk membantunya kemarin waktu dia tersandung, dia kembali melakukan hal yang sama," Sehun menyelesaikan ceritanya sambil mengangkat bahu.

Saat itu, Xi dan penumpangnya keluar dari mobil, dan mulai berjalan menuju gedung sekolah. Aku tidak bisa melihat wajah penumpangnya karena tersembunyi di balik rambut panjang yang mengintip dari balik hoodie hitam-nya.

Aku rasa dia adalah Sepupu Gila, atau Gadis Baru. Dia menyeret kakinya dengan malas saat berjalan menuju sekolah.

Aku hendak bertanya lebih lanjut tentang ketidakstabilan mental Gadis Baru ini, tapi perhatian Sehun sekarang sudah terpaku pada Xi. Aku mendesah dan keluar dari mobil dan berjalan ke kelas.

.


.

Baekhyun POV

Luhan tidak bisa berhenti membicarakan pesta yang akan diadakan malam ini. Kami berada di dalam mobilnya yang bercat pink mencolok dan menunggu bel berbunyi sebelum pergi ke kelas.

"Pestanya akan sangat menyenangkan, Baekhyun! Pesta Kris adalah peristiwa penting di sini! Kau harus datang—semua orang akan berada di sana!" ucapnya sambil menjerit.

Itulah alasan yang membuatku tidak ingin datang. Membayangkan berada di rumah yang penuh dengan orang mabuk membuatku bergidik.

"Luhan," aku memohon pelan. "Aku mohon, jangan mengajakku ikut. Aku benar-benar merasa tidak nyaman."

Aku tidak ingin mengatakan padanya alasan sebenarnya kenapa aku tidak ingin ikut, itu akan membuatnya curiga, dan rumor yang beterbangan di sekeliling sekolah sudah cukup menarik perhatiannya tentang perilakuku.

Dia terdiam sejenak, dan aku pikir aku akhirnya memenangkan argumen ini, tapi saat aku menatapnya, aku tahu aku sudah kalah. Dia memberiku tatapan "Luhan Cemberut".

Tidak ada yang bisa menolak keinginannya kalau dia sudah memasang wajah seperti ini. Dan jujur saja, aku ingin menunjukkan padanya aku bisa bersikap normal selama satu atau dua jam, berharap ini dapat mengusir kekhawatirannya padaku untuk sementara waktu.

"Ugh! Baiklah! Aku akan pergi bersamamu dan bicara dengan Jessica selama beberapa menit, lalu aku akan pulang!" ucapku, kesal.

Dia menjerit dan mulai melonjak-lonjak di kursinya. "Kau akan lihat nanti, Baekhyun—kau akan bersenang-senang!"

Aku memutar mataku dan membuka pintu mobil saat bel berbunyi. Aku punya mantra khusus untuk berjalan menuju kelas. Naikan hoodie, tundukan kepala. Aku bahkan sudah merasa lelah dan mengantuk.

Aku mendengar suara berbisik-bisik saat aku melewati sekelompok orang. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan, karena aku sebisa mungkin menghindar dari mereka. Aku terfokus untuk kembali ke keadaan mati rasa agar dapat melewati hari-hari sekolah. Sejauh ini, aku sudah mengalami tiga episode panik berlebihan saat orang-orang menyentuhku, dan aku rasa aku sudah menjadi bahan tertawaan sekolah sekarang.

Seolah membaca pikiranku, Luhan berbisik ke telingaku.

"Aku janji aku tidak akan membiarkan siapapun mengganggumu," bisiknya dan menepuk lenganku.

Tapi, aku tidak mengucapkan apa-apa. Aku terus berjalan dengan kepala tertunduk, dan kakiku terseret-seret melawan gelombang kelelahan yang semakin meningkat di dalam diriku.

Pada saat jam istirahat makan siang tiba, aku sadar semua orang menghindariku seperti wabah penyakit. Kenyataan ini membuatku sangat lega, hampir membuatku tersenyum. Hampir. Dihindari membuat segalanya lebih baik. Mereka semua masih berbisik-bisik, tapi aku masih bisa menanganinya.

Aku tidak pernah makan makanan sekolah. Aku mengeluarkan Gingerbread Zombies dari tasku dan duduk di ujung meja, di sebelah Luhan dan di seberang Jessica, sahabat Luhan dan pacar Kris. Kris dan Jessica adalah senior kami, tapi mereka berdua dan Luhan hampir tidak dapat dipisahkan.

Aku sadar mereka bertiga adalah orang paling populer di sekolah, dan aku bisa dengan mudah mengerti alasannya. Jessica, dengan kecantikannya, Luhan, dengan antusiasmenya yang tidak terkendali dan keramahannya, dan tentu saja, Kris, seorang atlet sekolah dan semua orang ingin membuatnya terkesan. Aku dan Kris tidak bicara banyak—terutama karena dia takut aku akan panik, tapi aku dan Jessica sudah berteman.

Aku mengucapkan "halo" dengan cepat lalu mengambil buku di dalam tasku yang baru saja kupinjam dari perpustakaan. Koleksi buku lamaku sudah tidak ada, jadi aku harus puas dengan keterbatasan yang kumiliki sekarang. Tapi, walaupun buku koleksi perpustakaan di sini jelek, setidaknya buku ini bisa mengalihkan pikiranku.

Mereka tidak repot-repot mengajakku ikut dalam pembicaraan—lagi-lagi mereka membahas tentang pesta nanti malam—jadi, aku mengunyah kue dan mulai membaca sambil menundukkan kepala. Inilah yang kulakukan setiap hari: mencoba untuk menjadi seseorang yang tidak kasat mata.

Suara bel membawa perhatianku kembali ke kantin. Aku cepat-cepat memasukan bukuku ke dalam tas dan berjalan menuju kelas Biologi. Aku senang dengan kelas ini, karena aku punya meja laboratorium untuk diriku sendiri dan terkadang aku bisa tidur selama beberapa menit.

Shim-seonsaengnim tidak pernah mengatakan apa-apa karena dia tahu aku sudah pernah belajar materi pelajarannya saat aku masih sekolah di Seoul dulu.

Aku terus menunduk sampai ke kelas, berjalan sedikit lebih lambat dari biasanya. Kelelahan dengan cepat melandaku, membuat kelopak mataku terasa berat dan langkah kakiku goyah. Satu-satunya hal yang membuatku tetap terjaga adalah saat merasakan tetesan hujan yang sangat dingin membasahi hoodie dan rambutku.

Bangun! Bangun! Bangun! Aku mencaci diriku sendiri dalam hati sambil menggosok mataku dengan marah.

Setelah aku duduk di kursiku, di kelas Biologi yang hangat, aku sadar aku sebaiknya tidur selama sepuluh atau dua puluh menit. Aku terlalu memaksakan diri untuk tetap terjaga saat pelajaran Bahasa Inggris, tapi aku punya makalah yang harus diserahkan. Lebih baik kalau aku tidur di kelas ini, di sekolah, di mana lonceng akan terus-menerus menggelegar pada interval waktu tertentu.

Aku tahu aku tidak akan pernah bisa tidur cukup lama sampai aku bermimpi di sini. Aku menyilangkan lenganku di atas meja lab dan meletakkan keningku di atasnya. Aku mendengarkan suara langkah kaki orang-orang di sekitarku yang berjalan ke tempat duduk mereka, dan perlahan-lahan aku membiarkan mataku terpejam dan menyambut tidurku.

.


.

Chanyeol POV

Gadis Baru Sepupu Gila sepertinya pingsan di meja labku saat aku tiba di kelas Biologi. Jadi, sekarang aku duduk di sini sambil menatap jijik hoodie-nya yang bewarna hitam dan basah. Pasti senang sekali bisa tidur... pikirku pahit, saat aku mulai mengerjakan tugasku—bukan, tugas kami.

Aku seharusnya membangunkannya seperti seorang bajingan. Aku seharusnya menarik turun hoodie-nya langsung dari kepalanya dan mulai mengguncang tubuhnya.

Aku seharusnya bilang pada Shim-seonsaengnim kalau aku keberatan saat dia bertanya tidak apa-apa kalau pasanganku dalam mengerjakan tugas ini adalah gadis yang duduk di sampingku—tapi, aku tidak melakukannya. Aku merasa tidak enak kalau harus membangunkan seseorang yang tertidur dengan damai.

Jadi, aku menahan kejengkelan dan iri dalam hatiku dan melakukan tugas sialan ini sendiri, sambil berharap gadis ini menikmati nilai A yang akan dia dapatkan. Setelah aku selesai mengerjakan tugas, aku langsung menyesal karena mengerjakannya terlalu cepat. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk mengalihkan perhatianku agar bisa membuka mata.

Aku mulai melakukan apa yang selalu kulakukan dalam situasi ini: mata terpejam, kepala ditundukan, dan kemudian mengangkat kepalaku dengan cepat sambil kembali membuka mata. Aku melakukan ini sebanyak lima kali sebelum aku mengusap wajahku dengan keras dan menatap dengan masam sosok yang tidur di sebelah kiriku.

Sialan.

Aku bisa mendengarnya menarik napas panjang dalam keheningan kelas, dan dia mengeluarkan suara dengkuran lembut, dan aku yakin hanya akulah satu-satunya orang yang bisa mendengarnya.

Suara dengkuran lembutnya terdengar tenang, dalam, dan berulang, seperti lagu pengantar tidur. Dan itu membuatku semakin lelah dari biasanya. Masih ada waktu tiga puluh menit lagi sebelum kelas berakhir. Sambil menggelengkan kepala dengan marah, aku memutuskan tidak ingin lagi mendengar godaan ini. Aku mengangkat tangan dan berdeham untuk menarik perhatian Shim-seonsaengnim yang sedang sibuk menulis di mejanya.

"Ya, Park-ssi?" tanya Shim-seonsaengnim.

Aku sering meminta izin keluar terlebih dahulu saat kelas seperti ini. Shim-seonsaengnim adalah salah seorang guru yang mau memberiku izin.

"Permisi, Shim-seonsaengnim, apa boleh aku keluar dari kelas lebih dulu?" tanyaku sesopan yang kubisa. Aku harap dia tidak menyadari nada suaraku yang terdengar menyindir. Saat wajahnya terlihat tidak setuju, aku cepat-cepat menambahkan "Lagi pula, aku sudah mengerjakan tugas untuk dua orang siang ini."

Aku menganggukkan kepalaku ke arah Gadis Baru Sepupu Gila yang tertidur dan menyeringai.

Shim-seonsaengnim mendesah panjang dan mengangguk. Dia membiarkan perilaku tidak sopan gadis ini, karena alasan yang tidak kuketahui, jadi dia tidak bisa berbuat banyak dengan permintaanku.

Dengan senyum kemenangan, aku mengumpulkan barang-barangku. Saat aku hendak berdiri dari tempat dudukku, aku mendengar rengekan kecil dari gadis yang tertidur di kursi sebelahku. Aku menoleh dan melihatnya sedikit gemetaran, dia masih tidur. Aku menatapnya sebentar, aku rasa dia sedang bermimpi buruk dan aku seharusnya membangunkannya, tapi aku mengurungkan niatku.

Rasakan itu.

Aku tersenyum dalam hati.

Aku bangkit dari tempat duduk dan dengan cepat keluar ruangan, menutup pintu di belakangku. Aku tidak memedulikan teriakan keras seperti suara tercekik yang berasal dari bangunan di belakangku saat aku berjalan ke mobil.

.


.

"Aku akan pulang Minggu malam. Aku yakin kalian berdua tidak akan saling membunuh saat aku tidak ada." Paman Bogum bicara sambil berbalik dengan bingung di sekitar ruang tamu untuk yang kedua kalinya, dia menepuk-nepuk sakunya, mencoba menemukan kunci mobil. Terkadang, aku bersumpah DNA kami sama.

"Aw, ayolah Ayah, aku dan teman baikku ini?" Kris melemparkan lengan besarnya yang berkeringat di bahuku, dan aku meringis dibuatnya.

"Oh, Tuhan, Kris. Kau bau sekali, Brengsek. Mandilah sebelum Paman Bogum menguliahimu tentang manfaat deodoran," aku menyentakan lengannya dengan jijik.

Dia selalu bau setelah pulang latihan, dan aku tidak sabar untuk menghindar darinya. Tapi, Paman Bogum akan pergi beberapa hari untuk menghadiri konferensi medis di daerah timur, jadi aku harus mengantarnya pergi keluar pintu rumah seperti anak baik.

Paman Bogum menggeleng tidak setuju dan mendesah jengkel. "Aku mohon, Chanyeol. Jangan mengumpat," ucapnya sambil terus mencari-cari kunci.

Aku menyeringai, "Baiklah, Papi B."

Dia benci mendengar panggilan itu. Tapi, saat kata-kata itu keluar dari mulutku, dia juga melihat kuncinya tergeletak di sofa dan meraihnya dengan senyum penuh kemenangan. Setelah dia memegang kopernya dan berjalan melewati kami di pintu, dia berhenti melangkah dan berbalik ke arah Kris sambil mengerutkan hidungnya.

Aku mohon, kuliahi Kris tentang deodoran. Aku memohon dengan tatapanku saat tatapan Paman Bogum bertemu dengan tatapanku. Tapi, dia malah mengernyitkan alisnya dan mengerutkan keningnya padaku.

"Chanyeol, kapan terakhir kali kau tidur?" tanyanya khawatir. Aku harus menahan eranganku.

"Aku tidur semalam. Tapi, hari ini rasanya hariku sangat panjang." Ini bukan suatu kebohongan. Dia terlihat ragu sebentar, tapi akhirnya mengangguk.

"Cobalah tidur malam ini. Kau terlihat lelah," ucapnya kemudian berbalik pergi menuju pintu, tapi tiba-tiba berhenti dan menambahkan, "Kris, deodoran. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu."

Aku tertawa muram saat Paman Bogum keluar rumah, dan berjalan ke lantai atas ke kamarku untuk mempersiapkan malam panjang di depanku.

.


.


to be continued