.

© mybluesky

.


"Kau mau es lagi?"

"Tidak."

"Aku rasa kau butuh es lagi. Keningmu mengkilap karena berkeringat."

"Oh, Tuhan, Lisa. Tinggalkan aku sendiri."

"Jangan rewel, aku hanya berusaha untuk membantumu."

"Sayang..." aku merengek. "Suruh dia berhenti. Oh, Tuhan, tolong buat dia berhenti."

"Lisa," nada suara Chanyeol terdengar seperti peringatan, dia berdiri si samping kananku, dan mereka berdua berargumen pelan dan berakhir dengan Lisa menatap kami berdua dengan tajam. Aku tidak keberatan, karena setidaknya dia tidak bicara lagi.

"Aku yakin kalau Youngmi uisanim mengira Baekhyun butuh es lagi, mereka akan membawakannya es," ucap ibuku menenangkan dari seberang ruangan.

Ibu duduk di kursi kayu, dan kulitnya terlihat gelap karena terlalu sering berjemur.

"Tentu saja mereka akan membawakan Baekhyun es lagi," ujar ayahku setuju.

Ayah berdiri di dekat dinding, terlalu cemas untuk duduk, dan memeriksa arlojinya untuk yang keseribu kali. "Di mana Youngmi-ssi?" Mata ayahku memindai ruangan, seolah-olah mengharapkan Ibu Youngmi tiba-tiba keluar dari bayangan. Kemudian ayahku melihat Chanyeol. "Bukankah seharusnya dia sudah kembali sekarang?"

"Perawat akan menghubungi ibuku saat Baekhyun sudah siap," jelas Chanyeol.

"Bagaimana kalau dia tidak tiba di sini tepat waktu? Apa perawat itu tahu bagaimana caranya melahirkan bayi?"

"Ayah, semuanya aman terkendali," ucapku lelah. "Tidak perlu khawatir."

"Istri atasanku melahirkan di dalam mobil, Baekhyun. Bayinya keluar begitu saja seperti pressure cooker. Tentu saja aku khawatir."

"Donghae!" Ibuku terlihat tersinggung, "Chanyeol dan Lisa ada di sini. Mereka berdua dokter dan perawat, mereka tidak akan pernah membiarkan Baekhyun menjadi pressure cooker."

"Terima kasih, Ibu."

"Yang ingin kukatakan adalah kita harus siap sedia untuk kemungkinan terburuk," ucap Ayah mengeluarkan pendapatnya.

Ayah dan Ibu mulai bertengkar, seperti dulu, dan Lisa menggoyang-goyangkan kakinya dengan cepat di lantai, ini salah satu kebiasaannya yang membuatku jengkel setengah mati.

Chanyeol mengusap tangan dan lenganku, hati-hati menghindari infus, dan berbisik di telingaku, "Aku bisa menyuruh mereka keluar kalau kau mau."

Chanyeol sudah seperti ini sejak masa kehamilanku: dia penuh perhatian dan bijaksana, selalu memastikan kebutuhanku terpenuhi, selalu memastikan aku tidak pernah membawa barang yang terlalu berat atau berdiri terlalu lama.

Aku ingin bekerja sampai tanggal jatuh tempo, dan tidak mengindahkan protes dari Chanyeol, tapi memasuki bulan ketujuh, Ibu Youngmi memihak pada Chanyeol dan aku tidak diperbolehkan bekerja.

Ibu Youngmi tetap menjadi dokterku. Aku mencoba untuk beralih ke tempat praktek dokter lain, tapi aku selalu bermimpi dengan tempat prakteknya—air terjun yang keluar dari dinding, musik yang menenangkan, dan kopi yang nikmat—dan aku sadar aku tidak bisa berpisah dari tempat itu.

Saat aku mencoba untuk membuat janji dengan dr. Yoon, entah bagaimana caranya file-ku dipegang oleh Ibu Youngmi, aku rasa Ibu Youngmi meminta dr. Yoon untuk menjadikanku sebagai pasiennya, dan aku masih merasa canggung setiap kali dia memeriksaku.

Aku tidak sampai hati menolaknya. Terutama sejak kehamilanku, Ibu Youngmi menangis bahagia. Dia begitu bersemangat memikirkan cucunya.

Aku kira ucapan Lisa dulu menjadi kenyataan. Setidaknya, sekarang aku tidak harus memilih antara membiarkan Ibu Youngmi atau ibuku yang ikut masuk ke ruang bersalin.

Lisa benar-benar gembira karena ini dan berseru, "Aku bilang juga apa! Membiarkan Youngmi uisanim menjadi dokter vaginamu bisa memberikan banyak keuntungan!"

Perawat datang dan meminta semua orang keluar, kecuali Chanyeol, agar dia bisa melakukan tes internal. Chanyeol memegang tanganku, menggosok buku-buku jariku dengan ibu jarinya, dan perawat mengatakan kalau aku sudah dilatasi tujuh sentimeter dan dia melirik ke kantong infus lalu berjalan meninggalkan ruangan.

Ayah Sungjin masuk bersama rombongan yang tadi, dia mengenakan baju operasi bewarna biru muda dengan topi yang serasi di kepalanya.

"Tujuh sentimeter?" ucapnya. "Kau sengaja menahan cucuku keluar kan, Baekhyun? Aku harus operasi katup jantung satu jam lagi."

"Ayah bisa datang kembali setelah Ayah selesai," ucap Chanyeol lelah, menjawab untukku.

"Apa? Dan menjadi orang terakhir untuk melihat cucu laki-laki pertamaku?"

Ayah Sungjin sudah mengasumsikan anakku laki-laki sejak kami mengumumkan kehamilan, tapi kami memutuskan untuk tidak mencari tahu apa jenis kelamin anak kami sampai dia lahir nanti. Ayah Sungjin bilang pembawaan hamilku sama dengan kehamilan Ibu Youngmi dulu saat dia hamil Chanyeol.

Ibu Youngmi tahu jenis kelamin anakku, tentu saja, tapi aku membuatnya bersumpah demi Barefoot Contessa yang dicintainya, dia tidak boleh memberitahu suaminya.

"Oh, kau yakin cucu kita laki-laki?" tanya ibuku penuh semangat.

"Tentu saja aku yakin cucu kita laki-laki," sela Ayah Sungjin keras. "Lihat betapa gendutnya Baekhyun!"

Suara terkesiap ngeri memenuhi ruangan, dan kemudian semua orang menegur Ayah Sungjin pada saat yang bersamaan. Aku hanya menggelengkan kepala, benar-benar kaget.

Beberapa hal tidak akan pernah berubah. Ayah Sungjin dan aku masih terus saling mengolok-olok, dan mencoba untuk membuat jengkel satu sama lain. Chanyeol tidak pernah mengerti ini, dia selalu mendengarkan omong kosong yang disampaikan ayahnya, mengambil penghinaan halus Ayah Sungjin dan menahannya seperti karung tinju. Tapi, aku sudah lama tahu, sikap Chanyeol itu hanya akan membuat kelakuan ayahnya bertambah parah.

Ayah Sungjin membelaku sekali. Dua tahun yang lalu, aku mendapat teguran keras dari seorang dokter, dia menuduhku tidak menjalankan perintahnya, padahal dia sendiri lupa untuk menulis di grafik pasien. Dokter itu menyalahkan semua perawat karena ketidakcakapan kami dalam bertugas dan bersikeras agar aku menghubungi supervisor dan menjelaskan padanya kenapa pasien masih belum sembuh.

Ayah Sungjin menyaksikan kejadian itu, dia menarik dokter itu ke samping, dan dokter itu kemudian meminta maaf dengan singkat dan bilang dia akan mengurus masalah ini sendiri.

Ini mungkin tidak berarti banyak bagi orang lain, tapi kebaikan kecil Ayah Sungjin membuktikan kalau dia menyukaiku. Walaupun sedikit.

Ya, mungkin sedikit.

Perasaanku juga sama padanya.

Beberapa menit kemudian, Ibu Youngmi datang dan memeriksaku dan pergi lagi untuk mengurus yang lain. Ayah Sungjin mengatakan pada perawat untuk membawakannya secangkir kopi, dan saat perawat itu menolak mentah-mentah permintaannya, Ayah Sungjin kemudian menghilang ke kantin.

Sehun dan Luhan datang setengah jam kemudian, tepat pada saat perawat datang dan menyuruh mereka semua keluar ruangan.

Dilatasiku sudah sembilan sentimeter.

"Sebentar lagi," ucap perawat dengan gembira sambil memakai sarung tangannya.

Aku gugup dan mulutku kering, aku tidak bisa mengucapkan apapun—kecuali kalau Lisa mencoba untuk menyekop es masuk ke dalam tenggorokanku.

Aku pikir aku sudah siap untuk melahirkan, aku sudah mengambil kelas bersalin saat di perguruan tinggi dulu dan aku sudah memaksa diriku sendiri menonton adegan seorang ibu melahirkan. Tapi, pada kenyataannya, aku sama sekali tidak siap.

Setelah mereka memasangkan baju bersalin padaku, aku meraih lengan kemeja Chanyeol dan menyuruhnya untuk memberiku epidural secepat mungkin dan aku tidak peduli bagaimana cara dia bisa mendapatkannya. Aku rela membutakan mataku agar rasa sakit ini berhenti. Epidural tidak pernah terlintas di benakku sampai aku merasakan kontraksi ini dan rasanya punggungku mau patah.

Dan sekarang, setelah mereka memberiku epidural, aku hampir tidak bisa merasakan apa-apa dari bagian pinggang ke bawah dan kontraksi hanya terasa seperti tekanan yang membuatku sedikit nyeri, tiap kontraksi datang dan pergi dan semakin lama semakin sering.

Aku bisa melihat detak jantung bayiku di monitor yang terletak sedikit di atas kepalaku, detak jantungnya lebih cepat dari detak jantungku, dan aku melihat Chanyeol sering memerhatikan monitor itu, matanya membanding-bandingkan detak jantungku dengan detak jantung bayiku dan kemudian wajahnya terlihat santai, penuh keyakinan.

Aku sudah bilang pada Chanyeol dia tidak harus menyaksikan proses kelahiran anak kami—aku tidak akan tersinggung—tapi, proses melahirkan sepertinya tidak membuatnya gugup.

Dia terlihat cukup tenang menghadapi kontraksiku yang sudah dimulai sebelum air ketubanku pecah. Mungkin ini ada hubungannya dengan profesinya sebagai dokter, dan kau akan berpikir aku akan bertindak sama karena profesiku sebagai perawat, tapi membayangkan penisnya robek dan seorang bayi keluar dari sana membuat perutku mual dan pasti ingin mati. Aku hanya menduga dia akan merasakan hal yang sama denganku.

Para rombongan kembali datang, tapi hanya beberapa menit berlalu sebelum perawat menyuruh mereka keluar. Perawat memeriksaku untuk yang terakhir kalinya dan mengumumkan aku sudah siap dan menghubungi Ibu Youngmi.

Hanya dengan memikirkan apa yang akan terjadi membuatku berkeringat. Chanyeol datang membantuku, dia memberiku es tanpa aku harus memintanya, dan dia membelai rambutku untuk menenangkanku. Kalau mereka membiarkannya, dan kalau tempat tidur ini lebih lebar, aku pikir dia akan berbaring di tempat tidur bersamaku.

Selain Chanyeol, hanya ibuku yang diperbolehkan berada di dalam ruangan bersama kami. Ibu Youngmi datang dan memeriksaku lagi. Atas perintahnya, para perawat mulai membongkar tempat tidur. Kakiku dilebarkan dan lampu operasi yang bersinar lebih terang dari sinar matahari menyoroti langsung vaginaku.

Ibu Youngmi meremas tanganku sebelum kami mulai.

"Ini dia! Kau siap?" tanyanya penuh semangat, dan yang bisa kulakukan hanyalah meringis sambil mengangguk.

Ini dia.

Chanyeol memegang tanganku, dan aku mencengkeram tangannya seperti hidupku bergantung padanya. Dua orang perawat—masing-masing di setiap sisiku—kembali membuka lututku.

"Baiklah, Baekhyun. Apa kau siap? Ejan sekuat dan selama yang kau bisa."

Aku mengangguk cepat, berkonsentrasi dengan pernapasanku seperti yang Ibu Youngmi ajarkan padaku. Tari napas lewat hidung, hembuskan lewat mulut. Tarik napas lewat hidung, hembuskan lewat mu—

"Oke, sekarang, Baekhyun!"

Selain rasa tekanan di perutku, aku tidak merasakan rasa sakit yang berarti. Epidural seperti anugerah dari Tuhan. Keningku berkeringat, dan ini karena usaha yang kukeluarkan.

Chanyeol langsung menyadarinya dan mengelap dahiku dengan handuk basah. Selain ketakutan yang kurasakan, aku bisa melihat kegembiraan di wajahnya dan ini menulariku, dan aku memikirkan betapa beruntungnya aku karena memilikinya dan sebentar lagi anak kami akan lahir.

Ibu Youngmi terus membimbingku, menyuruhku mengejan lagi dan lagi. Chanyeol meremas tanganku, kemudian lututku, dan kalau aku tidak terlalu sibuk mengejan, aku mungkin sudah tertawa. Ibuku berdiri tegang di dekat kepalaku, mengamati proses kelahiran dengan tenang.

Tekanan yang kualami terasa luar biasa, dan menghilang dengan cepat. Aku kemudian merasa lega dan bernapas terengah-engah. Pandanganku kabur saat semua orang mengerjakan tugasnya, dan kemudian aku melihat kilasan bayiku digendong Ibu Youngmi.

Tidak ada yang memberitahuku apa jenis kelamin bayiku dan aku ingin bertanya, tapi ada begitu banyak keributan dan kebisingan dan tiba-tiba saja aku merasa terlalu lelah untuk mengeluarkan suaraku. Bayiku menangis dan sedikit mengeluarkan suara tercekik sebelum tali pusarnya dipotong dan dibawa ke meja di seberang ruangan.

Beberapa menit kemudian, Ibu Youngmi kembali berdiri di depanku, dia bilang kami belum selesai. Dia berbicara dengan cepat, penuh tekad, membimbingku untuk mengeluarkan plasenta, proses dilakukan dengan mudah selama beberapa menit, tapi ini berhasil mengalihkan perhatianku dari apa yang terjadi di dalam ruangan ini.

Ada pads—banyak sekali pads—terselip di bawah punggungku. Kemudian tempat tidur kembali dipasang dan kakiku diluruskan kembali, dan aku ingin tahu di mana Chanyeol dan kenapa dia meninggalkanku di saat-saat rentan seperti ini. Dadaku rasanya begitu sesak, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa mengalami kehancuran, sensasi luar biasa ini membuatku merasa putus asa.

Lalu entah dari mana, bibirnya tiba-tiba mengecup bibirku, ibu jarinya menyeka keringat dari pipiku saat dia mengecupnya pelan dan bicara. "Bayi kita laki-laki, Baekhyun," bisiknya, dan kemudian Ibu Youngmi sudah berada di sisiku, memposisikan bayiku yang sudah berselimut tebal ke dalam pelukanku.

Aku tidak pernah punya banyak pengalaman dengan bayi, tapi bayiku ini terasa sangat sempurna, tubuhnya terasa sedikit tubuh hangat dan lembut dan sangat rapuh. Rambutnya hitam dan tebal, dan matanya tertutup rapat.

Beberapa saat kemudian, ruanganku kembali terisi penuh, semua orang ingin menggendong bayiku. Suasana terasa begitu sesak dan aku merasa egois; aku hanya ingin semua orang pergi, dan menikmati momen ini sendiri. Saat perawat menyuruh semua orang keluar, kecuali Chanyeol, aku kembali merasa nyaman.

Chanyeol mengecup keningku, dan saat aku menoleh dia mengecup bibirku.

Saat itu hanya ada kami dan perawat di dalam ruangan, aku merasa beruntung. Kecemasan sebelumnya yang kurasakan kini tidak berarti lagi. Untuk pertama kalinya sejak pernikahanku, aku menangis bahagia.

"Terima kasih, Tuhan, telinganya tidak lebar. Benar, kan, Baekhyun?" bisik Lisa keras, dia mencondongkan tubuhnya ke arah tempat tidurku agar aku bisa mendengar suara bisikan berikutnya dengan jelas. "Bisakah kau membayangkan telinga bayimu seperti dr. Park?"

Taehyung memukul ringan lengan Lisa, dia terperanjat mendengar pernyataan Lisa, tapi aku tidak bisa menahan senyumku. Lisa benar.

Setelah perawat menyuruh semua orang keluar dari ruangan, dia membantuku melakukan ASI pertamaku. Kemudian dia meninggalkan kami bertiga, dan tidak lama kemudian aku dipindahkan ke bangsal bersalin. Sebuah tempat tidur bayi terletak di dalam ruangan bersama kami, dan sekali lagi ruangan ini dipenuhi oleh keluarga dan teman-teman kami.

Sehun menggendong bayiku dengan hati-hati. "Aku pikir dia terlihat seperti seorang Sehun," ucapnya sok bijaksana. "Benarkan, Segoon? Oh sial, maksudku astaga—dia membuka matanya! Dia menyukai nama pemberianku!"

Ayahku, yang mungkin satu-satunya orang yang belum pernah melihat mata bayiku terbuka, langsung berdiri dari kursinya untuk menyaksikan kejadian ini.

Kami masih belum memutuskan nama untuk bayi kami. Chanyeol dan aku masih memperdebatkan nama bayi kami, tapi pada akhirnya kami memutuskan untuk menunggu sampai kami melihat bayinya dan merasakan sebuah nama yang "cocok". Ini mungkin terdengar konyol, tapi rasanya ini benar untuk dilakukan.

Tapi, sampai sejauh ini, kami hampir tidak punya waktu untuk diri kami sendiri dan memutuskan apa nama yang cocok untuk bayi kami.

"Dia terlihat ketakutan," aku mendengar Chanyeol bicara.

"Tidak, dia terlihat gembira, Brengsek. Eh, maaf, maksudku Sialan."

"Kau juga tidak boleh mengucapkan kata itu," ucap Luhan.

"Kenapa tidak? Ini bukan kata makian."

"Itu tidak sopan. Aku tidak ingin kau bilang itu saat berada di depan anak-anak kita nanti."

Dua bulan yang lalu, Luhan bilang dia ingin mulai mencoba untuk memiliki anak setelah mereka menikah nanti. Mereka bertunangan setahun yang lalu, tepat setelah Sehun mulai bekerja sebagai praktisi perawat di sebuah klinik darurat. Tanggal pernikahan mereka jatuh pada bulan November nanti.

Aku ingat beberapa tahun yang lalu, sambil duduk di ruang tengah Sehun, Luhan bilang dia tidak ingin punya anak. Dan aku rasa saat kau bersama seseorang yang tepat, itu bisa mengubah keadaan.

Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami, dan dr. Kim—aku mulai memanggilnya Yeye lebih dari tiga tahun yang lalu, aku bahkan mengangetkan diriku sendiri saat memanggilnya seperti itu—berjalan memasuki ruangan, matanya langsung terpaku pada bayiku yang ada di pelukan Sehun.

"Maaf aku terlambat," ucapnya meminta maaf, dan dengan cepat melangkah maju untuk memelukku dan kemudian Chanyeol. "Operasiku rumit. Oh Tuhan, apa ini jagoan kecil favorit kita?" serunya, berjalan cepat ke sisi Sehun.

Suasana canggung terjadi di antara aku dan dr. Kim dalam waktu yang lama. Meskipun kami sudah berdamai, tapi menjadi teman dekat itu tidaklah mudah—dulu aku masih belum sepenuhnya percaya padanya, dan aku pikir dia merasakan kegelisahanku.

Dia terus menjaga jarak dari Chanyeol sampai akhirnya aku mengundangnya pesta BBQ di rumah Sehun. Setelah kami semua minum beberapa gelas dan benar-benar punya kesempatan untuk bicara, ketegangan sepertinya pergi dengan mudah, dinding pembatas di antara kami perlahan tapi pasti mulai runtuh.

Yeye sudah setahun berpacaran dengan seseorang sekarang, meskipun aku masih belum pasti apa mereka berdua sudah sangat serius atau tidak. Dia selalu mengelak saat ditanya apa pacarnya adalah "belahan jiwanya" atau tidak, dia hanya menjawab,"Kita lihat saja nanti."

Ternyata, dia memiliki hidup yang cukup sulit. Dia tidak dekat dengan ayahnya, yang mantan Senator, walaupun dulu Ayah Sungjin sempat bersikeras kalau Yeye dan ayahnya sangat dekat, dan ibunya meninggal saat dia berusia empat belas tahun. Dia sudah sering mengonsumsi obat antidepresan sejak berumur dua puluh empat tahun, dan ternyata obat yang jatuh di lorong bertahun-tahun lalu, yang ditemukan oleh Lisa adalah Trazadone.

Dia bilang dia tidak lagi minum antidepresan sekarang, dan dia merasa lebih baik tanpa meminumnya.

Selama bertahun-tahun, dia mempertahankan persahabatannya dengan Ayah Sungjin, dan saat aku akhirnya bertanya padanya tentang hal itu, jawabannya membuatku kaget: "teman baik sulit untuk didapat," ucapnya sambil mengangkat bahu.

"Paman Sungjin bisa sedikit kasar, tapi dia bersikap keras dengan orang-orang yang dia pedulikan. Percaya atau tidak, dia semakin keras dengan orang yang paling dicintainya."

Aku berpikir tentang Chanyeol dan aku harap ucapannya benar.

"Siapa namanya?" Yejin bertanya pada Chanyeol.

"Bayinya suka nama Segoon," jawab Sehun langsung.

"Bayiku tidak suka nama Segoon," bantah Chanyeol.

"Kalian bisa mengikuti cara selebriti memberi nama anak mereka," canda Taehyung. "Coco, Harper, Apple..."

"Menurutku Apple nama yang manis," sela Lisa.

"Apple itu nama buah," ucap Sehun mengeluarkan pendapatnya.

"Tapi, itu juga nama anak gadis seorang artis Hollywood," jawab Lisa lagi.

"Secara pribadi, aku lebih suka nama Avocado."

"Terlalu maskulin. Aku lebih suka Mango."

"Butternut."

"Bacon."

"Filet Mignon."

"Baked Potato."

"Apa kalian sedang membicarakan nama bayi atau makan malam?" sela Ayah. "Karena aku ingin pesan Fish and Chips."

Tidak lama kemudian, bayiku mulai menangis, kemudian perawat datang dan menyuruh semua orang pergi. Malam sudah larut, mereka semua memberitahu kami mereka akan membiarkan kami beristirahat dan kembali datang berkunjung besok pagi hari.

Perawat kembali membantuku menyusui dan kemudian diam-diam meninggalkan ruangan, membiarkanku menyelesaikan tugasku sendiri. Sesaat aku menatap bayiku, aku menyentuh hidung mungilnya dengan ujung jariku, dan dia menatapku dengan tatapan mengantuk.

Chanyeol duduk di kursi, di dekat tempat tidur, diam-diam memerhatikan kami. Aku melambaikan tangan padanya dan dia berjalan mendekat dengan hati-hati, aku bergeser ke samping perlahan-lahan agar tidak mengganggu bayiku dan memberi Chanyeol ruang di tempat tidurku.

Setelah bayi kami selesai makan, aku menyerahkannya pada Chanyeol untuk membuatnya bersendawa, aku menatap Chanyeol dengan kagum saat dia menjalankan tugasnya dengan mudah dan penuh kehati-hatian.

Aku merasa lelah—rasanya aku belum tidur selama berminggu-minggu—tapi, mataku terpaku pada kejadian di sampingku, dan aku tidak mau melewatkan momen ini.

Setelah bayi kami bersendawa, dia langsung tertidur dengan damai di dalam pelukan Chanyeol.

"Aku rasa dia kekenyangan," gumam Chanyeol. Dia berbalik dan menatapku. "Kau lelah, Baekhyun? Aku bisa duduk di kursi agar kau bisa tidur."

Aku menggeleng, dan meringkuk ke dada Chanyeol. Dia memindahkan bayi kami ke lengan kanannya dan meletakkan lengan kirinya di bahuku, menarikku lebih dekat.

Aku memerhatikan bayi kami, dan kemudian, "Jesper," ucapku tiba-tiba.

"Kau bilang apa?" tanya Chanyeol pelan.

"Jesper. Aku rasa nama yang cocok untuk bayi kita adalah Jesper," ucapku lagi.

"Jesper," ucap Chanyeol dilambat-lambatkan dan menatap bayi kami. "Ya, aku rasa nama itu cocok untuknya."

Mataku rasanya semakin berat, terutama karena Chanyeol mulai mengusap lenganku dengan jari-jarinya. Kemudian dia berbalik dan mengecup keningku, lalu bibirku.

Aku memeluk erat mereka berdua, aku tidak ingin melewatkan momen apapun walaupun aku tertidur.

Ini sempurna, pikirku saat melayang akan tidur. Dan aku akan gila kalau membiarkannya pergi.

.


.

FIN