.

© mybluesky

.


Dimulai dengan sebuah telepon. Atau, lebih tepatnya, banyak telepon.

Joonmyun dan aku sudah berpacaran selama hampir lima tahun saat aku menerima telepon itu untuk yang pertama kalinya. Telepon itu tidak lebih dari sekadar suara-suara aneh, suara napas berat seseorang, dan tiba-tiba saja terputus. Aku mencoba menelepon balik, tapi nomornya terblokir.

Telepon kedua tetap sama.

Namun, telepon ketiga terdengar lebih menarik, yang menelepon adalah seorang pria dan dia marah besar. Aku sendirian dan sedikit terguncang. Setelah sekian lama mencurigai penelepon ini adalah wanita jalang selingkuhan Joonmyun, ternyata penelepon ini adalah suami dari wanita jalang itu.

"Siapa ini?" tuntutnya marah. "Dan kenapa istriku terus-terusan meneleponmu?"

Aku menolak untuk menyerah terlebih dahulu. "Hei, tolol, kau yang meneleponku. Siapa ini?"

"Kau seorang wanita?"

"Apa pedulimu?"

"Siapa yang ada bersamamu?"

"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu sampai kau memberitahuku siapa sebenarnya kau ini."

"Kurang ajar!"

Dia menutup teleponnya, dan menelepon kembali sejam kemudian setelah dia merasa tenang. Aku hampir tidak mau mengangkat teleponnya, tapi tentu saja rasa penasaranku lebih besar dan menyuruhku mengangkatnya. Aku sudah bersiap untuk mendapat teriakan lagi dari orang asing ini, tapi ternyata dia malah meminta maaf padaku.

"Aku minta maaf," ucapnya, suaranya terdengar menderita. "Aku rasa istriku selingkuh. Aku tahu ini menyedihkan. Tagihan telepon kami menunjukan kalau nomor telepon ini sering dihubungi. Apa ada orang lain yang tinggal bersamamu?"

Seseorang memang tinggal bersamaku—Joonmyun, pacarku, kekasihku. Satu-satunya orang yang tinggal di rumah ini selama aku pergi bekerja selama dua belas—kadang-kadang empat belas—jam sehari.

Aku masih membela Joonmyun dihadapan orang ini, aku tidak mau mengaku pada orang asing ini kalau aku telah dibutakan Joonmyun. Sebenarnya, aku dan penelepon ini punya begitu banyak kesamaan yang mungkin bisa membuat kami berteman akrab. Saat aku berhadapkan dengan Joonmyun, aku menceritakan semua informasi yang kuperoleh dari penelepon tadi dan menuduhnya, dia meringkuk seperti anak kucing ketakutan. Dia menyerah dan akhirnya mengaku telah tidur dengan seorang wanita jalang selama hampir enam bulan.

Aku tidak pernah merasa sebodoh ini.

Aku juga tidak pernah merasa begitu tidak berdaya, aku keluar dari rumah dan tidak punya tempat untuk berteduh. Rumah itu miliknya, begitu juga sebagian besar fasilitas di dalamnya. Aku terpaksa tinggal bersama temanku selama sebulan saat aku berusaha mencari apartemen dan akhirnya mulai mencari rumah sakit lain di pusat kota Seoul, di pinggiran kota Seoul, dan akhirnya rumah sakit yang berjarak puluhan kilometer dari Seoul.

Aku tertarik dengan tempat kelahiranku, Gyeonggi. Aku sudah membicarakannya dengan ayahku dan dia senang bukan main. Kediaman ayahku berjarak sekitar tiga jam dari pusat kota Gyeonggi.

Aku mulai melamar di rumah sakit Gyeonggi hari berikutnya. Aku segera pulang ke rumah ayahku setelah selesai wawancara. Ayah membantuku menemukan sebuah apartemen saat Rumah Sakit Pusat Gyeonggi menawarkan pekerjaan padaku.

Itulah yang membawaku ke sini—aku berdiri di tengah-tengah lorong, dengan kantong penuh dengan pasokan infus, tabung, kain kasa dan perban, lenganku mengapit empat botol pil dan clipboard menempel erat di dadaku. Aku memakai jaket bermotif burung, Sehun suka dengan motifnya.

"Aku akan membelinya kalau jaket ini tidak terlalu girly," ucapnya sambil mengagumi motif jaketku. Suaranya terdengar sedih. "Para gadis memang sangat beruntung."

"Tidak juga," gerutuku.

"Ayo, Birdie—Burung Kecil. Ayo, kita mulai sesi infusnya."

Dan itulah asal-muasal julukan baruku.

Kami keluar ruangan dan bersiap menjalankan misi, tapi kemudian Kris bertanya apa aku ingin menunjukkan padanya bagaimana caraku memasang infus—sebagai latihan—Sehun tiba-tiba memekik kesetanan.

"Oi! Dia sudah menjadi perawat selama dua tahun—"

"Tiga tahun," koreksiku.

"Tiga tahun," ucapnya. "Dia tahu bagaimana caranya memasang infus. Jadi, jangan pernah berpikir sedikit pun untuk menipunya agar dia melakukan semua pekerjaanmu."

"Aku hanya bertanya padanya, Brengsek," balas Kris, dan dia mengacungkan jari tengahnya ke arah Sehun sebelum meninggalkan ruangan. Sehun memelototinya dan aku menahan tawa di balik tanganku.

Kami berjalan ke lantai bawah untuk makan siang.

"Jangan pernah makan di ruang istirahat ini," ujar Sehun. "Para bajingan di sini tidak akan meninggalkanmu sendirian. Kau tidak akan mendapat ketenangan di sini." Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan pager kecil abu-abu lalu mengayun-ayunkannya di depanku. "Dan selalu pastikan kau mematikan ini," ucapnya sambil menekan tombol power.

"Matikan pager... aku mengerti."

"Sekarang, kau harus sangat berhati-hati memilih makanan di sini. Tidak semuanya bisa dimakan." Kami berjalan ke tempat makanan prasmanan, seorang wanita paruh baya berwajah masam menjaganya dengan tangan terlipat, dia terlihat bosan. Aku ragu dia pernah tersenyum.

"Semua yang dihidangkan di sini selalu ayam," ucap Sehun, suaranya cukup keras untuk didengar oleh wanita penjaga makanan dan semua orang yang berada di sekitar kami, tapi dia tidak gentar sedikitpun. Dia menuntunku pergi.

"Ayam goreng, ayam panggang, ayam bakar, ayam katsu, ayam cincang. Aku bersumpah demi Tuhan, bekerja di sini akan mengubahmu menjadi ayam."

Kami berhenti di depan tempat pemanggangan, di sini tersedia hamburger dan hotdog.

"Ini kadang-kadang bisa dimakan," ucap Sehun lagi sambil menunjuk potongan hamburger. "Tapi, tentu saja kau bisa memakan salad di sana kalau kau menikmati gaya hidup penuh omong kosong seperti itu."

"Baiklah," jawabku sambil mengambil sepotong hamburger. Ini tidak jauh berbeda dengan tempat terakhirku bekerja.

"Dan jangan pernah makan kentang gorengnya, kecuali kalau kau sudah melihat minyak goreng yang mereka gunakan," ucapnya memperingatkanku.

Kami membayar makanan, dan duduk. Aku tiba-tiba tersadar.

"Tahu tidak, kau ini benar-benar seorang mentor yang luar biasa," ucapku serius.

Bagi orang lain, hal ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi tidak ada orang lain yang pernah repot-repot bercerita tentang makanan atau tempat istirahat atau daftar orang-orang yang harus dihindari. Dan ini adalah informasi yang berharga.

"Tentu saja," jawabnya sombong. "Kau baru sadar?"

"Lagi pula, orang terakhir yang menjadi mentorku tidak memperbolehkanku melakukan apa-apa. Tapi, kau membiarkanku melakukan pekerjaan dan lainnya."

Sehun terlihat bingung saat dia meremas botol mayonnaise di atas rotinya. Rotinya sekarang sudah seperti kubangan mayonnaise, dia meratakannya dengan pisau plastik.

"Bagaimana bisa? Dasar tolol, karyawan baru memang seharusnya melakukan semua pekerjaan mentornya! Bagaimana mungkin ada orang yang tidak mau memanfaatkan kesempatan itu? Dasar bodoh."

Oh, aku mengerti sekarang, Sehun.

"Kau sudah bilang padaku siapa saja yang harus dihindari. Jadi, siapa saja yang aman?"

"Lisa," jawabnya sambil mengunyah hamburger. "Dia gadis yang baik dan selalu bersemangat di pagi hari. Kami kadang-kadang nongkrong sepulang kerja. Taehyung juga."

Aku menaikan sebelah alis. "Siapa Taehyung?"

"Dia seorang apoteker—salah satu dari yang terbaik. Sebagian besar dari mereka benar-benar menyebalkan. Dan Lisa jatuh cinta padanya, tapi dia tidak mau mengaku. Lisa satu-satunya orang yang akan mengunjungi apotek lima puluh kali sehari hanya untuk hal-hal kecil... seperti obat pencahar."

"Manis sekali," komentarku. Sehun menatapku tajam.

"Benar," ucapnya datar. "Obat Pencahar Romantis. Aku bisa melihat ceritanya sudah mulai difilmkan."

"Kau tahu maksudku."

Dia mengangkat bahu. "Oh, ada Kyungsoo. Dia juga baik—benar-benar pendiam, walaupun sedikit sensitif. Tapi dia tidak akan pernah mengganggumu..."

Aku mengangguk.

"Kasper. Dia seorang transporter. Dia cukup keren. Kami kadang-kadang juga nongkrong bersama."

"Apa saja yang kalian lakukan?"

"Minum soju sepulang kerja. Main..."

Aku menaikan alis. "Main?"

"Ya. Xbox..." Dia terdiam saat aku memelototinya. Aku penasaran apa Lisa juga ikut nongkrong bersama mereka saat mereka bermain Xbox.

"Kau juga harus nongkrong dengan kami. Secepatnya," ucapnya. Dia tidak menunggu responku sebelum berpindah topik. "Oh! Orang lain yang harus kau hindari adalah Soyou, sekretaris kita. Wanita itu penggosip yang lebih parah dari Perez Hilton. Jangan katakan apa-apa padanya, kecuali kalau kau ingin tampil di halaman depan surat kabar rumah sakit yang mereka edarkan sebulan sekali."

Aku mengangguk. "Soyou. Lebih parah dari Perez Hilton. Aku mengerti."

"Lalu orang yang bisa kau ajak berteman berikutnya adalah Bibi Heechul. Dia benar-benar seperti bibi kami sendiri. Hanya saja, jangan pernah mengumpat di depannya. Dia benci itu." Sehun menyentuh telinga kirinya dan mengernyit seolah-olah teringat kembali kenangan yang menyakitkan.

Dia kembali menggigit hamburger-nya. "Dan tentu saja, kau tahu aku, Oh Sehun, alias pria terkeren yang pernah kau temui."

Dia mengedipkan matanya, tindakannya membuatku mual saat melihat mulutnya menganga dan memamerkan makanan yang sedang dikunyahnya.

.


.

"Jadi, apa Sehun melakukan pekerjaannya dengan baik dan membantumu?" Lisa duduk di kursi roda dan mendorongnya dengan kaki saat dia mengumpulkan clipboard grafik pasien.

"Sejauh ini sangat baik," ucapku meyakinkannya. "Aku tahu pasti siapa yang harus dihindari."

Matanya cepat menatapku. "Apa dia membicarakan yang tidak-tidak tentangku?" tanyanya curiga.

"Tidak," aku cepat-cepat meyakinkannya. "Dia bilang kau baik. Kenapa?"

Lisa sedikit rileks dan mulai bercerita. "Sehun pikir dia lucu. Dia suka mengarang-ngarang cerita tentangku dan memberitahu karyawan-karyawan baru, sampai-sampai mereka semua menghindariku seperti wabah penyakit."

Aku tersenyum geli. "Cerita seperti apa?"

"Beda-beda. Dia mengatakan pada salah seorang karyawan baru aku ini penderita skizofrenia dan bisa menyerang kapan saja, dan dia juga mengatakan padanya untuk menjauhkan puggungnya dariku, karena aku selalu menyerang punggung orang."

Aku menyeringai.

"Oh, dan dia juga mengatakan pada orang lain kalau aku dan Taeyang menjalin hubungan cinta rahasia. Maksudku, yang benar saja! Pernahkah kau memerhatikannya? Taeyang lebih pendek dariku!"

"Tidak."

"Aku bersumpah demi Tuhan. Memang tidak terlalu jelas, tapi dia benar-benar lebih pendek dariku."

Aku tidak bisa lagi menahan diri—aku tertawa keras dan menarik perhatian Soyou yang duduk beberapa meter jauhnya dari tempat kami berada.

"Kau yakin dia tidak mengatakan apa-apa tentangku?" tuntut Lisa.

"Ya, Lisa. Aku yakin."

"Kau tahu, kan, aku akan segera tahu kalau dia melakukannya?"

"Aku tahu, aku tahu."

Dia kembali mendorong kursi rodanya. Dia terlihat lelah, dan mendesah. "Kapan kita akan berhenti menulis di clipboard? Kita menghabiskan lebih banyak waktu menulis omong kosong di sini dari pada merawat pasien."

"Aku dengar bulan Juni," jawab Soyou, jelas-jelas menguping.

Lisa memutar matanya, tapi tidak merespon.

"Birdie!" Sehun tiba-tiba berteriak entah dari mana. "Hasil lab Tuan Kim baru saja keluar dan hemoglobin-nya 7,8. Maukah kau menghubungi dokternya untukku?"

Aku duduk tegak, terkejut menerima kenyataan Sehun benar-benar melakukan pekerjaannya. "Tentu saja."

Aku membuka file daftar dokter di komputer dan menelusuri nama, mencari-cari nama dr. Park.

Lisa melangkah keluar dari stasiun perawat saat aku menghubunginya. Tidak sampai lima menit kemudian, dr. Park menelepon balik.

Pelayanan para dokter di sini benar-benar sangat baik, candaku. Mereka biasanya tidak pernah menelepon balik dengan cepat.

Suaranya terdengar lembut saat bicara. Dia terdengar lelah, tapi ramah. "Ini dr. Park, aku barusan dipanggil."

"Oh, halo dr. Park, namaku Baekhyun. Aku ingin memberitahumu tentang Tuan Kim, pasienmu, di ruang 614. Pasien yang menderita pendarahan saluran pencernaan. Pengecekan hemoglobin-nya pukul dua baru saja keluar dan hasilnya 7,8."

Ada jeda di telepon kami. Sesaat, aku bertanya-tanya apa dia sudah menutupnya. Akhirnya, dia bicara. "Dan apa pesan yang kutulis?"

Suaranya tidak lagi ramah. Aku mengernyit dan buru-buru mencari grafik Tuan Kim, aku mengutuk keterampilan keperawatanku yang buruk karena tidak bersiap-siap dari tadi.

"Umm... tunggu sebentar..."

Dia tidak memberiku kesempatan untuk menemukannya.

"Kalau kau mau sedikit membaca, aku menulis pesan untuk menghubungiku kalau hemoglobin-nya berada di bawah 7,5. "

"Oh. Aku eh..."

"Terima kasih." Kata-katanya penuh sindiran, dan dia langsung menutup teleponnya.

Aku menatap telepon di tanganku, tercengang.

"Dasar bajingan," ucapku. Tiba-tiba saja, Lisa sudah berada di sebelahku. Dia mendengar ucapanku.

"Oh, maksudmu dr. Park?" tanyanya sambil tertawa. "Dia biasanya ramah, tapi sekarang mungkin sedang haid. Sehun seharusnya memperingatkanmu. Kau baik-baik saja?" Suaranya tiba-tiba terdengar khawatir.

"Ah, ya," jawabku, berusaha mengusir kekhawatirannya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan keras dan tersenyum kecil. "Semuanya aman terkendali."

.


.

Tapi, ketidaksukaanku pada Si Dokter Tampan sudah berubah menjadi kebencian.

Satu jam setelah makan siang, aku mendengar Soyou mengobrol dengan seorang petugas berambut pirang tentang dr. Park. Mereka berbisik-bisik, gosip mengalir dari setiap kata yang mereka ucapkan, tapi aku berhasil mengumpulkan informasi tentang dr. Park punya banyak penggemar. Selain itu, ayahnya, dr. Park Senior, juga punya banyak penggemar.

Kuakui, aku penasaran dengannya. Tapi, biasanya dokter-dokter secara otomatis akan dianggap tampan karena gelar mereka. Seorang dokter yang bertampang rata-rata saja akan tiba-tiba menjadi rebutan.

Aku tidak percaya dengan ucapan mereka. Tidak sama sekali. Aku sudah bersumpah untuk tidak akan pernah lagi tertarik dengan dokter.

Meskipun demikian, itu tidak menghentikanku dari rasa penasaran.

Sekitar pukul empat sore, aku akhirnya punya kesempatan untuk melakukan analisis pasien. Aku mengumpulkan grafik pasienku di atas meja dan menyibukan diri, aku mengabaikan kenyataan Sehun belum lagi terlihat selama lebih dari satu jam. Tanpa dia ada di dekatku, suasana menjadi damai.

Aku menganalisis selama beberapa menit tanpa henti. Kemudian, aku melihat bayangan di atas meja, seseorang berdiri di hadapanku, di seberang meja. Aku secara otomatis mengangkat kepala.

Aku terkesiap.

Seorang dokter muda, mungkin berusia akhir dua puluhan, dengan rambut hitam legam dan rahang yang tajam, berdiri di depanku. Hidungnya lurus, dan bibirnya penuh.

Dia tidak melihatku, tidak menganggapku sama sekali, dia mengambil sebuah grafik pasien dan mulai membolak-balik halamannya. Aku segera memulihkan diri sebelum dia menangkap ekspresi mengangaku.

Apa ini dr. Park?

Dokter seseksi ini hanya ada di Grey's Anatomy.

Aku menurunkan tatapanku dan merasa jengkel saat teringat percakapan kami kemarin. Dia benar-benar kasar, dan mungkin dia bahkan tidak tahu akulah yang berbicara dengannya lewat telepon. Para bajingan tidak akan pernah repot-repot mengingat nama seseorang. Tapi sekarang dia di sini, menghindari percakapan dan kontak mata dan semua interaksi manusia normal lainnya.

Dia di sini, masih bersikap seperti bajingan.

Lalu tiba-tiba dia bertanya padaku. "Apa kau punya data Nyonya Im di kamar 529?"

Aku dengan cepat memandangnya dan pandanganku terkunci pada sepasang bola mata hitam tanpa ekspresi. Tapi, aku bisa melihatnya kelelahan. Suaranya terdengar lembut, mengingatkanku pada percakapan singkat kami, dan aku langsung tahu dia adalah orang yang sama.

Aku berusaha mengendalikan diri, meluruskan sedikit punggungku agar terlihat lebih percaya diri. Tapi, butuh waktu lama untuk mengeluarkan suaraku, dan aku kesal karena dia berhasil memengaruhiku seperti ini.

"Um, tidak. Kyungsoo yang merawatnya. Anda ingin saya menghubunginya?"

Dia berdiri tegak. "Ya, tolong. Maukah kau memintanya untuk menemuiku di ruangan Nyonya Im?"

Dia dengan cepat berjalan pergi tanpa menunggu jawabanku.

Aku menahan diri untuk memutar mata dan menghubungi Kyungsoo. Dia menjawab dan meyakinkanku dia sedang dalam perjalanan menuju kamar Nyonya Im.

Dengan kepergian dr. Park, aku bisa bernapas lagi.

Mereka berada di ruangan Nyonya Im selama beberapa menit. Kemudian dr. Park duduk di kursi di seberangku, dia memeriksa grafiknya dengan tenang tanpa memedulikanku. Aku tidak membiarkan hal ini menggangguku dan, sebaliknya, aku juga berfokus menghindari tatapannya.

Dia menempatkan clipboard di rak dan pergi begitu saja. Dia bahkan tidak berbasa-basi berpamitan.

Kali ini aku memutar mata. Apa sedikit sopan santun saja akan membunuh dokter ini? Perilaku sombong mereka benar-benar melelahkan.

Aku berdiri dengan gusar, dan pergi ke kamar kecil. Pintu kamar kecil di ruangan istirahat kami selalu tertutup, jadi aku mendorongnya, kalaupun ada seseorang di dalam, dia pasti akan menguncinya.

Aku melihat Kyungsoo berdiri di depan cermin dengan mata merah. Kami berdua melompat kaget dan tiba-tiba merasa canggung, aku lupa sopan santun dan menatapnya. Lima detik berlalu. Lalu aku sadar apa yang telah kulakukan.

"Astaga, Kyungsoo! Aku minta maaf!" ucapku. Aku mendengarnya mengatakan tidak apa-apa saat aku melangkah keluar dan menutup pintu.

Aku duduk di meja yang sama dengan tempat kami biasanya makan siang untuk menunggu, tapi tidak lama kemudian dia keluar. Matanya masih merah dan dia menghindari tatapanku.

"Aku sudah selesai," ucapnya malu-malu dengan kepala tertunduk.

"Kau baik-baik saja?" aku langsung bertanya. Aku tahu aku orang baru di sini, dan dia tidak mengenalku, tapi akan tidak sopan kalau aku berpura-pura tidak terjadi apa-apa saat aku melihatnya hampir menangis.

"Aku baik-baik saja," jawabnya, tapi air matanya kembali berlinang. "Aku hanya terlalu sensitif." Dia tertawa muram.

"Apa seseorang mengatakan hal yang tidak-tidak padamu?"

Dia menatapku tajam. "Tidak. Tidak ada apa-apa."

"Ini sepertinya bukan tidak ada apa-apa, Kyungsoo. Kau marah karena suatu hal."

Kenapa aku begitu gigih? Aku menunggunya mengucapkan "bukan urusanmu" padaku, tapi dia mendesah dan mengeringkan matanya dengan tisu.

"Dr. Park bisa bersikap bajingan," ucapnya. Umpatan terdengar asing saat keluar dari bibirnya, ini menarik perhatianku. Kyungsoo pasti benar-benar marah. Aku mengerutkan kening dan meluruskan posisi dudukku.

"Apa yang dia lakukan?" desakku.

Aku baru bekerja di sini selama dua hari dan telah melihat air mata tumpah gara-gara bajingan itu. Aku tidak pernah bisa memahami kenapa para dokter secara otomatis berpikir mereka dianugerahi gelar dewa—bersikap seperti hanya mereka sajalah yang penting, dan seorang yang manis seperti Kyungsoo bukanlah siapa-siapa.

Atau seorang sepertiku, sialan.

Dia kembali terisak. "Pasien bertanya tentang efek samping dari salah satu obat-obatan baru yang dr. Park gunakan, dan ketika dia selesai menjelaskan, aku bertanya apa kepanasan juga salah satu efek sampingnya. Si Pasien memintaku bertanya pada dr. Park sebelumnya, Baekhyun. Aku hanya ingin menyampaikan pesannya." Kyungsoo menatapku dengan putus asa, memohon padaku untuk memahaminya. "Dia berbalik melihatku dan, tepat di depan pasien dan keluarganya, dia bilang kalau ini bukan waktunya untuk kelas. Ini waktunya untuk pasien. Dia bilang aku seharusnya lebih memperhatikan kelas di sekolah keperawatan agar aku bisa tahu sendiri jawabannya."

Caranya mengucapkan kata "keperawatan" membuatku percaya dr. Park juga menyebutnya dengan cara yang sama. Wajahnya memerah saat dia mengingat kejadian yang dia alami barusan.

Aku kaget. "Kau bercanda?" tangisku. Dia juga terlihat kaget saat melihatku menangis.

"Tidak," ucapnya sedih. "Aku tidak pernah... semalu ini! Keluarga pasien bahkan meminta maaf padaku setelah dia keluar. Mereka mengatakan dia tidak punya hak untuk bersikap begitu keras padaku. Itu sangat... oh Tuhan, memalukan sekali."

Dia membuang ingus di tisunya. Untungnya, dia sudah mulai tenang.

"Yeah, dokter bajingan ada di mana-mana, Kyungsoo," ucapku dan berharap dapat sedikit menenangkannya. "Aku pernah diteriaki seorang dokter di depan pasien."

Dia menatapku khawatir. "Kenapa?"

"Karena sarung tangan yang kubawakan tidak sesuai dengan ukurannya."

"Kau serius?"

"Ya. Jadi, aku dengan sangat ramah menyuruhnya untuk jangan pernah lagi berteriak padaku. Lalu aku pergi dan tidak kembali. Perawat pengganti harus membantunya."

"Untunglah dr. Park tidak berteriak padaku," ucapnya getir. "Dia hanya berbicara padaku seolah-olah aku ini adalah orang paling bodoh sedunia."

Tidak, Kyungsoo. Orang paling bodoh sedunia adalah seorang dokter yang tidak dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi padanya. Tapi, aku tidak mengatakan itu. Aku hanya tersenyum penuh simpati.

"Jangan biarkan ini mengganggu pikiranmu, Kyungsoo. Beberapa orang memang terlahir sebagai bajingan. Itu salah mereka, bukan salahmu."

Dia terlihat tidak yakin.

"Kau pernah dengar tentang karma?" tanyaku pelan. "Tahu tidak, karma itu benar-benar ada."

Dia tersenyum terpaksa. "Terima kasih, Baekhyun." Dia memeriksa jam tangannya dan melirik pintu. "Aku benar-benar harus kembali bekerja. Terima kasih sudah mau mendengarkanku."

"Jangan khawatir," jawabku sebelum meninggalkan ruang istirahat.

.


.

Dr. Park memeriksa seorang pasienku hari ini. Aku mencoba untuk tidak terlalu berpikir tentangnya—tentang matanya, tentang rahangnya, atau tentang air mata Kyungsoo karena perlakuannya—tapi sulit untuk tidak melakukan itu.

Harus kuakui, aku tidak tahu cara memasukan perintah dasar lab ke dalam komputer rumah sakit ini. Soyou menjalankan misinya dengan mengajariku, dan aku terjebak di komputernya selama tiga puluh menit sementara dia terus mengeluh tentang sistem rumah sakit dan menunjukkan padaku apa yang harus dilakukan.

Aku tidak melihat dr. Park mendekat. Tidak, sampai Soyou secara terang-terangan menyambutnya. "Halo, dr. Park. Bagaimana kabarmu hari ini?"

Soyou terlihat hampir jatuh pingsan dari kursinya saat melihat dr. Park yang sedang mencari-cari grafik pasien, tapi kemudian dia berhenti untuk melihat Soyou. Lalu tiba-tiba matanya memandangiku.

"Aku baik-baik saja, Soyou," ucapnya sambil berpaling. Aku berkedip dan melakukan hal yang sama.

"Clipboard data siapa yang kau cari?" Soyou bertanya penuh semangat. Pelajaran komputerku telah terlupakan, dia melompat untuk membantunya. Aku berjuang untuk tidak memutar mataku.

Namun, seperti yang sudah ditakdirkan, clipboard data yang dicarinya adalah pasienku. Dan clipboard-nya ada di depanku, di bawah lenganku, seolah-olah aku melindunginya dari dr. Park. Aku tidak menyadari itu sampai Soyou menyentakannya dariku.

"Ini dia!" serunya. "Sepertinya Baekhyun menyembunyikannya darimu, dr. Park."

Aku ingin membunuh Soyou, dan bahkan sudah memikirkan tempat di mana aku akan menyembunyikan mayatnya, tapi tidak ada waktu untuk itu sekarang.

"Ini pasienmu, Baekhyun?"

Aku kaget dia tahu namaku, tapi aku menahan diri untuk tidak terkesiap dramatis.

"Ya, Tuan." Aku ingin bunuh diri karena memanggilnya Tuan. Aku benar-benar sudah kehilangan martabat yang kumiliki.

"Aku akan menemuinya sekarang."

Umm... oke. Itulah yang ingin kukatakan. Tapi, aku tidak mengatakan apa-apa. Yang kulakukan adalah mengikutinya dari belakang saat dia berjalan menyusuri lorong. Dan aku berusaha keras untuk tidak memandangi bokongnya, dia tidak mengenakan jas lab-nya hari ini dan dia terlihat sangat seksi di dalam balutan scrub.

Aku benar-benar menyukainya.

Apa! Apa yang baru saja kupikirkan?

Aku tidak suka dokter. Mereka hanyalah sekelompok kutu buku sombong yang tiba-tiba berpikir mereka adalah anugerah Tuhan bagi umat manusia.

Tapi, aku sulit membayangkan dr. Park dengan telinga uniknya sebagai seorang kutu buku, sulit membayangkannya sebagai pembaca komik dan masturbasi dengan melihat poster Putri Leia. Namun, imajinasiku mengarah ke jalan yang lebih liar.

Kami memasuki ruangan pasien, dia tersenyum dan memesona seorang wanita tua malang. Dia memiliki sopan santun saat berhadapan dengan pasien. Sebenarnya, dia juga tidak terlihat terlalu jahat. Tidak seperti waktu di telepon. Atau saat dia membuat seorang perawat manis menangis.

Mungkin ini hanya sandiwara. Sebuah tipuan.

Dia berbicara dengan pasien selama beberapa menit, dan kemudian sesuatu terjadi. Sesuatu yang benar-benar mulia.

Dia memberiku kesempatan untuk mengoreksinya. Suatu kesempatan yang sering dilewatkan oleh perawat manapun, tapi aku sangat tertarik untuk membahasnya karena... ya, ini semua untuk keselamatan pasien. Benar, kan?

Iblis di bahuku tertawa jahat.

"Aku akan mengganti obat penghilang rasa sakitmu dengan Vicodin," ucapnya. "Kau boleh mengkonsumsi 1-2 tablet setiap 4-6 jam sekali kalau kau membutuhkannya. Minta saja pada perawatmu. Kau mau meminumnya sekarang?"

Nyonya Yoon mengangguk. Aku berdeham, tapi dr. Park mengabaikanku.

"Nona, um..."

"Baekhyun," jawabku dengan suara dimanis-maniskan. Aku tahu dia akhirnya melupakan namaku. Keparat.

Dia menatapku tajam. "Baekhyun. Maukah kau mengambilkan obat untuk Nyonya Yoon?" tanyanya dingin, mengusirku dari ruangan. Nada bicaranya berbeda 180 derajat saat bicara denganku.

Tapi, aku tidak beranjak. "Aku pikir pilihan obat penghilang rasa sakitmu kurang tepat, Dokter," ucapku sambil mengumpulkan keberanian.

Oh, Tuhan. Ini bukanlah aku yang biasa, tapi sudah terlanjur untuk mundur. Ini untuk Kyungsoo. Aku hampir bisa mendengar suara serat-serat otonya ditarik.

Dia menatapku, matanya semakin gelap. "Oh? Sayang sekali, kau hanya perawat, Baekhyun. Kau tidak bisa membuat keputusan di sini."

Hanya perawat. Aku ingin menamparnya.

Suaranya begitu gelap, begitu dingin, orang lain mungkin akan bergeming mendengarnya, tapi itu hanya akan menunjukkan kelemahanku. Dan kalau ada satu kesempatan saja untuk menunjukan aku ini tidak lemah, inilah saatnya. Aku, perawat Byun Baekhyun, menegur dr. Park, suatu prestasi yang mungkin seharusnya sudah dilakukan berabad-abad yang lalu dan kemungkinan tidak akan pernah dilakukan lagi oleh semua perawat manapun.

"Aku hanya memikirkan keselamatan pasienku, dr. Park." Aku melihat Nyonya Yoon memerhatikan kami berdua dengan mata lebar. "Bukankah itu yang Anda inginkan dari kami, Nyonya Yoon?"

"Mohon pencerahannya, Baekhyun, kenapa kau berpikir pilihan obat penghilang rasa sakitku kurang tepat?"

Ini mungkin bukanlah suatu argumen terbaik di dunia. Aku hanya ingin membuatnya jengkel, itulah tujuanku sebenarnya.

"Dr. Park, Nyonya Yoon dirawat karena tulangnya retak, itulah yang menyebabkan Nyonya Yoon sering mengeluh sakit. Kita bisa saja berasumsi bahwa Nyonya Yoon akan merasa lega dengan Vicodin, tapi berdasarkan pengalamanku sebelumnya dengan tulang belakang patah dan osteoporosis, aku ragu itu akan berhasil. Kita asumsikan saja Nyonya Yoon tidak merasa lega dengan Vicodin sekarang, Nyonya Yoon akan meminta dosis maksimum sebanyak dua tablet setiap empat jam sekali, itu artinya 1.000 mg Tylenol setiap empat jam dan 6.000 mg Tylenol sehari. Bukankah dosis itu terlalu banyak untuk seorang wanita berusia delapan puluh tahun?"

Aku melakukannya—aku menegurnya di depan pasiennya—membuatnya mati kutu. Setidaknya, itulah yang kupikirkan.

Aku menantang matanya, suaraku tidak bergetar. Aku yakin, kalau tatapan bisa membunuh, aku sudah mati sekarang. Tatapannya berbisa.

Aku ingin meringkuk di sudut ruangan, tapi aku tetap berdiri tegak. Sudah terlambat sekarang.

"Baekhyun." Oh, Tuhan, caranya menyebut namaku. "Aku sudah mengatur parameternya. Tugasmulah sebagai perawat untuk memantau dan memastikan Nyonya Yoon tidak overdosis."

"Dr. Park." Benar sekali—dua orang bisa bermain di pertandingan ini. "Kau bisa membenarkan tindakanmu sepanjang hari, tapi kenyataannya adalah perawat berikutnya yang akan bertugas, akan memberi Nyonya Yoon obat penghilang rasa sakit saat Nyonya Yoon membutuhkannya. Seperti yang kau perintahkan. Dan itu akan menempatkan Nyonya Yoon dalam bahaya gagal hati."

Matanya berkedip ke arah Nyonya Yoon yang terlihat benar-benar terhibur oleh pertunjukan kami. Aku heran dia masih belum memesan semangkuk popcorn.

Lalu dr. Park kembali melihatku, tatapannya gelap dan marah. "Kita bahas di luar."

Aku segera meninggalkan ruangan, dan tidak mau repot-repot menunggunya. Aku tidak yakin berapa lama lagi aku bisa memasang muka tebal ini. Ini bukan diriku yang biasa. Tentu saja aku biasanya memang memertahankan diriku sendiri. Tapi, aku tidak pernah berperilaku seperti tadi dengan seseorang yang begitu mengintimidasi seperti dr. Park. Dan begitu seksi, jangan lupa, dia juga seksi.

Tapi, kemudian aku kembali memikirkan Kyungsoo, dan air matanya, dan aku menyadari semua yang kulakukan tadi tidak sia-sia.

Aku merasakan sebuah tangan mengapit ketat lenganku dan membalikan tubuhku. Aku bersandar di dinding, dan berhadapan dengan dr. Park yang sedang marah besar. Dia tidak melepaskan cengkeramannya, tapi aku tahu, aku bisa berteriak kalau dia bertindak macam-macam denganku.

Tapi, itu sama sekali tidak membuatku merasa lebih baik.

"Kau pikir apa yang kau lakukan?" desisnya, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajahku.

Aku waspada dan, terus terang saja, aku sedikit kesal karena dia menyentuhku seperti ini. Belum lagi aku merasa sedikit terangsang.

Apa yang salah dengan diriku? Aku cepat-cepat merenggut lenganku dari cengkramannya, jijik dengan diriku sendiri.

"Aku hanya melindungi pasienku dari kesalahan medis berbahaya," ucapku jahat.

"Ada waktu untuk membahas hal-hal itu, dan waktunya bukan di ruangan pasien. Dan yang pasti tidak di depan pasienku." Dia menjaga suaranya tetap rendah agar tidak terdengar sampai ke lorong, tapi nadanya cukup tajam untuk memotong baja.

"Yeah, dan ada juga waktu untuk mendiskusikan keluhanmu terhadap perawat kalau kau tidak suka dengan apa yang dia lakukan. Dan yang pasti tidak di depan pasien."

Dia terlihat bingung, tapi kemarahannya tidak berkurang. "Apa yang kau bicarakan?" desisnya.

"Aku bicara tentang caramu mempermalukan Kyungsoo di depan pasiennya tempo hari."

Dia tiba-tiba tersadar. "Apa yang terjadi antara aku dan perawat lain bukan urusanmu. Sebaiknya kau mengkhawatirkan dirimu sendiri, Baekhyun."

"Aku tidak bisa tenang saat mengetahui temanku menangis di kamar mandi karena perbuatanmu!"

Jariku tiba-tiba menusuk-nusuk dadanya. Aku penasaran apa aku bisa mendapat masalah karena ini. Aku ingin tahu apa dia bisa mendapat masalah karena ini.

Lalu, tiba-tiba aku merasa bersalah pada Kyungsoo. Aku baru saja mengeksposnya.

"Mungkin temanmu perlu menumbuhkan keberaniannya. Dunia ini kotor, Baekhyun. Tidak semua orang akan memegang tangannya dan bersikap baik padanya."

Bajingan kelas dewa.

Sama seperti semua dokter sombong yang pernah kutemui, yang satu ini tidak ada bedanya. Dr. Park memenangkan penghargaan bajingan-paling-sok sepanjang masa. Dan aku sudah muak.

Aku menarik diri darinya, menjauh dari dinding, dan untungnya dia melangkah mundur untuk memberiku ruang. Aku mungkin akan menendang selangkangannya kalau dia tidak mundur, tidak peduli dia tampan atau tidak. Aku sudah selesai.

"Itu yang disebut dengan kemanusiaan," ucapku padanya. "Itu sebuah pengetahuan umum. Jangan bertindak seenaknya pada rekan kerjamu. Kita satu tim, Dokter. Kami bukan budakmu."

Aku kembali ke stasiun perawat, meninggalkannya yang sedang merenggut di lorong. Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan sekarang—bisakah aku duduk tenang saat dia berada di sini dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa? Dia akan kembali setiap saat untuk menyelesaikan catatan data di clipboard pasien...

Tapi, kemudian Lisa menemukanku, matanya terbelalak liar, dia langsung meraih lenganku dan menarikku pergi. Kami menyelinap ke ruang obat.

"Apa itu tadi?" tanyanya menuntut, napasnya berat dan bersemangat. Aku tidak tahu apa masalahnya.

"Apa?" tanyaku polos. Tapi, dia menatapku curiga, alisnya terangkat.

"Yang benar saja?" ucapnya lagi. "Kau serius mau menyangkal pertunjukan kecil yang baru saja kalian berdua tampilkan?"

Aku melirik ke belakangku, merasa khawatir. Tapi, pintunya tertutup dan tidak ada orang lain di sini. "Apa ada orang lain yang melihat kami tadi?" tanyaku cemas.

"Rasanya, cuma aku."

"Terima kasih, Tuhan." Aku tidak menyembunyikan napas legaku.

"Apa yang terjadi?"

Tidak ada gunanya berbohong padanya. Dan kalau ada satu orang di sini yang bisa kupercaya, Lisa adalah orangnya.

"Aku menegurnya di depan pasiennya," jelasku. Matanya melebar lucu. "Um... aku sengaja melakukannya. Hanya untuk membuatnya jengkel."

Ya, semuanya terdengar bodoh sekarang. Aku tiba-tiba merasa seperti seorang newbie tolol yang sengaja membuat dokter tampan merasa jengkel. Haruskah aku menerima penghargaan Nurse of the Year-ku sekarang atau nanti?

"Kau bercanda!" bisiknya penuh semangat. "Tapi, kenapa? Apa karena telepon itu?"

Aku menceritakan semuanya, dimulai dari Kyungsoo dan berakhir dengan semua yang dr. Park ucapkan padaku sebelum kami berpisah. Aku meninggalkan detail tentang bagaimana mulusnya kulit wajah dr. Park saat kau melihatnya dari dekat dan wangi aftershave-nya saat dia berusaha menahan diri untuk membunuhku di lorong.

Lisa tertawa keras. "Oh, Tuhan, aku sudah tidak sabar ingin memberitahu Sehun," ucapnya.

Aku terkesiap, mataku melebar panik. "Apa? Tidak, kau tidak boleh mengatakannya pada Sehun."

"Kenapa tidak?"

"Aku tidak ingin ini tersebar, Lisa. Aku bahkan belum genap seminggu bekerja di sini. Aku mohon, aku mohon, aku mohon jangan katakan pada Sehun!"

Dia mengernyit kecewa, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, aku tidak akan mengatakannya," ucapnya meyakinkanku. "Rahasiamu aman bersamaku," ucapnya sedih.

Aku menghela napas lega dan berterima kasih padanya.

Kami perlahan-lahan kembali ke stasiun perawat. Aku berusaha untuk mengulur-ulur waktuku, dan berpikir untuk bersembunyi di kamar pasien, tapi aku menolak untuk memberi dr. Park kepuasan.

Aku harap dia sudah pergi.

Tapi, saat aku keluar dari ruang obat, aku melihatnya masih berada di stasiun perawat. Dia sedang merajuk menulis di clipboard, membalik halaman dengan penuh emosi. Dia tidak melihatku sampai aku berjalan melewatinya di stasiun.

Matanya menyipit marah menatap mataku. Matanya membara, seolah-olah mengundangku untuk pertandingan ulang.

Aku melarikan diri ke ruang istirahat, berusaha untuk menenangkan napasku dan memikirkan kembali apa yang barusan terjadi.

Dr. Park memiliki kekuatan voodoo mata yang mengerikan, dan setiap sel dalam tubuhku akan mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari efeknya.

.


to be continued