Disclaimer : Naruto dan seluruh karakternya BUKAN punyaku. Minjem doang ini mah.
.
Naruto and The Red Stone © Vandalism27
.
Warning : Sasu(fem)Naru! OOC (ini fanfiksi, BUKAN MANGA ASLI), alur kecepetan, gak jelas, typo(s), dan segala kekurangan dan kecacatan lainnya. Kalo gak suka, NGGAK USAH CAPER :v
.
. Note : karena bahasa Naruto dan Sasuke berbeda, maka bahasa Sasuke aku tulis pakai italic. Semoga paham, ya.
.
Sinopsis : Naruto pikir, ini adalah akhir dari hidupnya, mati ditabrak truk yang melaju ke arahnya. Namun sepertinya, Tuhan berbaik hati mengijinkannya tetap hidup… di dimensi lain!
.
.
SELAMAT MEMBACA!
.
.
Naruto mengerjapkan matanya. Pria di depannya ini … berbicara menggunakan bahasa apa?
"Mm, maaf, tapi aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan," Naruto berkata lirih. Gadis itu melirik dua pria yang berdiri di depan sana, lalu menatap pria tampan di depannya lagi.
"Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti. Dari mana asalmu?"
"Hah?" kernyitan di dahi Naruto makin dalam. "Kau ini bicara apa, sih?"
"Sasuke!" Salah satu dari pria yang berdiri di depan sana berteriak. "Siapa dia?"
Pria yang dipanggil Sasuke itu menoleh ke balik punggungnya, lalu balas berteriak. "Aku tidak tahu! Bahasanya aneh," katanya.
Dua pria tadi mendekat, membuat Naruto berkeringat dingin. Gadis itu menatap ngeri pada tombak yang dibawa oleh pria berambut hitam panjang diikat satu. Dengan takut-takut, Naruto menatap pria yang wajahnya tak kalah tampan itu. Dibelakang pria itu, ada satu pria lagi yang berambut hitam cepak. Wajahnya juga tampan, walaupun tidak setampan dua pria yang lain.
"Hai, namaku Itachi. Siapa namamu, gadis kecil?"
Naruto menggerutu dalam hati. Apa mereka tidak mengerti, kalau Naruto sama sekali tidak paham bahasa yang mereka ucapkan? "Kalian ini bicara apa, sih? Aku tidak mengerti!"
Pria yang berjongkok di sebelah Naruto bersuara. "Itachi, apa sebaiknya kita bawa gadis kecil ini pulang? Dia tampak asing, bagaimana kalau dia adalah makhluk yang berbahaya?"
"Hmm …," Pria berambut panjang yang dipanggil Itachi itu menggumam. "Baiklah, kita bawa dia pulang. Kita harus bertanya pada Ayah. Gadis ini menggunakan bahasa yang aneh, aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan."
"Ada apa?" pria yang berambut cepak bertanya.
"Obito," kata Sasuke. "Kita harus membawa gadis ini pulang untuk diperiksa. Dia berbicara bahasa asing, penampilannya juga aneh. Aku tidak bisa membiarkannya berkeliaran bebas di tanah kita."
Obito tertawa kecil. "Jangan terlalu kaku, Sasuke. Gadis ini tidak tampak berbahaya. Sejujurnya, dia tampak manis," Obito berjongkok, lalu tersenyum pada Naruto yang tampak bingung. "Hai! Jangan takut, Kakak tidak berbahaya. Siapa namamu?"
Sasuke mendengus, lalu mencibir. "Kakak? Yang benar saja. Kau itu lebih pantas dipanggil paman."
"Oh, diamlah, Sasuke," balas Obito.
"Sudah, sudah. Lebih baik kita segera membawa gadis kecil ini ke hadapan Ayah," Itachi menengahi. "Gadis ini sepertinya masih kecil, usianya mungkin sekitar 10 tahunan."
"Tidak mungkin, dia sudah remaja," kata Obito sambil berdiri.
Kening Sasuke mengernyit. Ia mendongak ke atas, menatap wajah Obito. "Tahu dari mana kau?"
"Tubuhnya memang termasuk kecil dan pendek, tapi lihat dadanya," Obito menunjuk dada Naruto yang menyembul dibalik seragamnya yang terlapisi jaket. "Tidak ada anak sepuluh tahun yang memiliki dada sebesar itu. Bahkan dadanya lebih besar dari punya istriku."
"Dasar mesum!"
Naruto mencengkeram bagian depan seragamnya yang tidak tertutup jaket. Dia tak mengerti apa yang diucapkan oleh pria-pria ini, tapi dari gerakan tangannya tadi, ia tahu kalau mereka membicarakan sesuatu yang tidak baik. Untuk apa coba, pria berambut cepak itu menunjuk-nujuk dadanya?!
"A-ah, aku permisi, ya. Aku harus mencari jalan untuk pulang. Di sini bukan tempatku. Aku bahkan tidak tahu ini ada di dunia manusia atau bukan," kata Naruto.
Gadis itu berdiri, lalu membersihkan roknya yang kotor karena debu. Naruto menghela napas lega, ketika ia tak menemukan satupun luka atau rasa sakit pada tubuhnya. Itu berarti ia tidak tertabrak truk.
Pria berambut hitam yang tadinya berjongkok, kini berdiri tegak di depan Naruto. Tinggi badan Naruto hanya sebatas dada pria itu, jadi Naruto harus mendongak untuk dapat melihat wajahnya.
"Kau mau ke mana?" tanya pria itu.
"A-aku harus pulang. Rumahku di sebelah sana," jawab Naruto asal, sambil menunjuk ke balik punggungnya. Dia bahkan tidak mengerti pria itu berkata apa.
Sasuke menatap arah yang ditunjuk Naruto sekilas, lalu tatapan tajamnya mengarah kembali pada gadis manis itu. "Di sana hutan belantara yang isinya binatang buas. Kau ingin mati?"
"Iya, benar! Benar sekali! Sudah, ya. Sampai jumpa!" jawab Naruto tidak nyambung. Gadis itu merapatkan jaketnya yang tidak terkancing, lalu segera beranjak.
Naruto menghentikan langkahnya ketika Sasuke mencekal pergelangan tangannya dengan kuat. Naruto mengernyit, berusaha melepaskan cekalan tangan Sasuke. Tapi sekeras apapun dia mencoba, cekalan itu tidak mengendur sedikitpun.
"Lepaskan! Aku mau pulang!" rengek Naruto. Dia mulai takut sekarang.
"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja. Kau harus ikut kami, untuk menemui Kepala Suku karena kau sembarangan memasuki wilayah kami tanpa ijin!"
"Aku harus pulang! Aku harus masak, mengangkat jemuran, belajar matematika, pokoknya semuanya! Tolong lepaskan tanganku!" Naruto menjerit, air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Sasuke, jangan membuat anak gadis menangis, nanti kau susah mendapat jodoh," celetuk Obito.
"Diam, kau!" bentak Sasuke pada Obito.
Naruto berhenti merengek. Dia menatap Sasuke dengan tatapan tidak percaya. Pria ini baru saja membentaknya? Air mata Naruto pun mengalir dengan deras, ia mengira Sasuke membentaknya.
"Huuuuaaaaaaaa! Ayaaaaaah!"
Ketiga pria kekar itu pun panik, karena Naruto menangis seperti anak kecil yang dipaksa menikah. Padahal mereka tidak melakukan apapun pada gadis kecil itu, iya kan? Lalu mengapa gadis kecil yang manis itu menangis?
"Aduh! Kau apakan anak orang, Sasuke?!" Obito berseru panik.
"Aku tidak melakukan apa-apa!" Sasuke membela diri.
"Sudahlah, kalian jangan berteriak, nanti dia semakin takut," Itachi, sebagai satu-satunya orang yang berpikiran paling waras, mencoba untuk membuat Naruto menghentikan tangisnya. "Apa kau bisa berhenti menangis? Nanti aku akan memberikan gula-gula manis untukmu."
"Itu tidak membantu, Itachi. Dia bukan anak-anak," kata Obito dengan nada malas.
"Benarkah? Tapi dulu, ketika Sasuke menangis, dan aku menawarkan gula-gula manis, dia selalu diam."
"Kenapa kau membawa-bawa kenangan mengerikan itu, Itachi?" sahut Sasuke tidak terima. Pemuda berambut hitam itu menghela napas. Dia terpaksa melakukan ini. "Tidak ada cara lain," gumamnya.
Sasuke mengangkat tangan kanannya, lalu menghantamkan sisi telapak tangannya ke tengkuk Naruto yang masih menangis sesenggukan. Seketika, tubuh Naruto pun melemas, dan jatuh tak sadarkan diri. Sasuke menangkap tubuh Naruto sebelum tubuh mungil itu jatuh menghantam tanah, lalu memanggulnya seperti karung beras.
"Beres. Ayo, kita pulang," katanya dengan nada datar.
Kedua pemuda yang ada disitu terdiam, bengong melihat begitu mudahnya Sasuke memukul tengkuk seorang gadis. Seandainya ibunya tahu kalau Sasuke memukul seorang gadis, wanita itu pasti mengamuk.
Pantas saja dia belum memiliki kekasih sampai sekarang!
.
.
.
Sasuke membenarkan posisi Naruto sambil mengucap salam pada orang-orang yang berpapasan dengannya. Pemuda itu sama sekali tidak kesulitan berjalan sambil memanggul seorang gadis yang tidak sadarkan diri. Terima kasih pada otot-otot tubuhnya yang terlatih.
Sasuke, Itachi dan Obito memasuki gerbang perkampungan mereka dengan langkah yang sedikit terburu. Mereka harus segera menyerahkan gadis ini pada kepala suku, yaitu Uchiha Fugaku, ayah Sasuke dan Itachi.
"Dimana Ayahku?" tanya Sasuke pada seorang pemuda yang baru saja keluar dari lumbung.
"Kepala sedang berada di rumah pertemuan, Sasuke-sama," jawab pemuda itu. Pemuda itu menatap Naruto yang sedang tertidur di atas bahu Sasuke seperti karung beras.
"Hn. Terima kasih," balas Sasuke, lalu kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan tatapan heran pemuda tadi.
Sasuke mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Setelah terdengar sahutan dari dalam, Sasuke membuka pintu lalu masuk ke dalam. Di dalam ruangan yang terbuat dari kayu itu ada sang ayah, ibu, dan seorang wanita tua yang merupakan seorang peramal handal.
Mikoto–ibu Sasuke dan Itachi berseru panik ketika melihat anak bungsunya memanggul seorang gadis yang tidak sadarkan diri. "Astaga! Anak siapa yang kau culik, Sasuke?!" seru Mikoto. Wanita cantik itu berlari ke arah Sasuke untuk memeriksa gadis yang dipanggul sang anak. "Apa dia calon menantu Ibu?"
"Aku tidak menculiknya, dan dia bukan calon menantu Ibu," kata Sasuke datar. Bisa-bisanya ibunya berpikir kalau dia menculik gadis aneh ini, bahkan menganggapnya sebagai calon menantu.
"Lalu, siapa dia? Dari suku mana?"
"Aku tidak tahu. Kami menemukannya ketika sedang berpatroli," jawab Sasuke.
"Kami?"
Sasuke mengangguk. "Iya, kami. Aku, Itachi dan Obi–" Sasuke mengerem kata-katanya ketika ia menoleh ke belakang, tapi tidak menemukan sosok kakak kandung dan kakak sepupunya. Bukankah tadi mereka ada di belakangnya?
Sasuke mengumpat dalam hati. Sial, kedua orang itu pasti meninggalkannya. Mereka pasti tidak mau berurusan dengan Fugaku, lalu meninggalkan Sasuke sendirian saat ia lengah. Sang kepala suku memang kadang-kadang bisa sangat menakutkan.
"Sasuke," suara berat sang ayah terdengar. "Kemari!"
Sasuke menghela napas tanpa suara. Ia membenarkan posisi Naruto, lalu berjalan mendekati sang ayah yang sedang duduk bersila di atas lantai. Pemuda itu kemudian meletakkan tubuh Naruto dihadapan ayahnya dengan gerakan yang terkesan hati-hati. Ya, gadis ini memang mencurigakan, tapi Sasuke tidak akan tega menyakiti seorang gadis.
"Siapa dia?" tanya Fugaku.
"Aku menemukannya saat sedang berpatroli, Ayah. Ia berada di dekat Hutan Terlarang," jelas Sasuke.
"Wah, dia cantik," puji Mikoto yang kini duduk di sebelah Fugaku. Ia mengelus pipi Naruto dengan punggung tangannya. "Kulitnya memang sedikit gelap, tetapi halus dan mulus. Oh, seandainya saja aku memiliki anak perempuan, atau minimal menantu," kata Mikoto, memberi kode keras pada anaknya.
"Sepertinya dia bukan berasal dari sini, Ayah," kata Sasuke pada sang ayah, mengabaikan sang ibu yang kini sedang sibuk mengelusi wajah Naruto.
"Maksudmu?"
"Lihatlah, penampilannya tampak aneh dan tidak biasa," Sasuke meraih sejumput rambut Naruto lalu memainkannya sejenak. "Bahasanya juga terdengar asing, Ayah. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa yang dia gunakan."
Fugaku menyipitkan matanya. Jika benar apa yang dikatakan anaknya, berarti gadis ini tidak berasal dari sini, mungkin dia berasal dari pulau lain dan tersesat ketika sedang mengembara.
Fugaku memerintahkan Sasuke untuk memasukkan anak gadis ini ke penjara, tetapi Mikoto menolak dengan keras. Ia meminta pada suaminya agar Naruto dibiarkan istirahat di rumah yang saat ini sedang kosong.
Awalnya Fugaku tidak setuju, tapi Mikoto memohon dengan sangat. Ia tidak tega melihat anak gadis secantik Naruto dimasukkan ke dalam penjara. Sasuke yang tidak sampai hati melihat ibunya nyaris meneteskan air mata, ikut membantu dengan memberikan keterangan bahwa Naruto tidak membahayakan, ia tidak bisa bela diri. Bahkan melepaskan cekalan tangan Sasuke saja ia tidak bisa.
Akhirnya, mereka setuju untuk membiarkan Naruto istirahat di salah satu rumah yang saat ini kosong. Rumah Suku Konoha terbuat dari kayu yang dibentuk mengerucut ke atas, dan satu rumah biasanya diisi oleh satu keluarga. Jika anak laki-laki sudah beranjak dewasa, maka ia diharuskan tinggal terpisah dari kedua orang tuanya, sedangkan anak perempuan harus tinggal bersama keluarga sampai ia cukup umur untuk menikah, lalu tinggal bersama suaminya.
"Kalau begitu aku pamit, Ayah. Aku akan menyerahkan gadis ini pada Rin agar dia mengurusnya," kata Sasuke, lalu pamit undur diri sambil menggendong Naruto. Kali ini pemuda itu menggendong Naruto ala pengantin. Ia tidak ingin sang ibu mengomel kalau Sasuke menggendong Naruto seperti karung beras.
Sasuke harus menyerahkan Naruto pada salah satu wanita di sukunya, karena adat di sukunya melarang laki-laki berada di dalam satu ruangan bersama dengan wanita yang bukan istrinya, kecuali ada orang lain yang mengawasi.
Sepeninggal Sasuke, Fugaku, Mikoto dan Chiyo kembali melanjutkan diskusi mereka yang sempat tertunda. Fugaku mengerutkan keningnya ketika melihat Chiyo yang tampak resah.
"Apa ada yang mengganggumu, Peramal Chiyo?"
Chiyo tersentak, menatap Fugaku dengan tatapan terkejut. "Ah, maaf, saya hanya kepikiran gadis asing tadi," katanya dengan sopan.
"Memangnya kenapa dengan gadis tadi?" tanya Mikoto dengan rasa penasaran yang tinggi.
Untuk sejenak, Chiyo tampak ragu. Peramal tua itu menatap Kepala Suku dan istrinya bergantian. "Semoga, apa yang ada dalam pikiran saya tidak benar, Kepala," kata Chiyo setengah berbisik, namun masih sanggup didengar oleh kedua lawan bicaranya. "Kalau seandainya pemikiran saya benar, maka gadis asing itulah yang kita cari selama ini."
Fugaku dan Mikoto saling pandang.
"Kau serius, Peramal Chiyo?" kata Fugaku.
Chiyo mengangguk. "Saya serius. Tidak mungkin saya bermain-main dengan hal sepenting ini," katanya. Ia meremas jari-jari tangannya untuk meredakan keresahannya. "Kita harus menyembunyikan fakta ini dari siapapun. Hanya kita bertiga yang berada di ruangan ini, yang boleh mengetahui siapa gadis itu sebenarnya. Karena jika sampai ada yang tahu siapa gadis itu, maka pertumpahan darah tak akan bisa dihindari."
Mikoto mengangguk setuju. "Tapi gadis itu berwajah cantik, kalau dia berada di sini tanpa pasangan, pasti banyak klan dari suku lain yang menginginkannya untuk menjadi istri," kata Mikoto.
Fugaku mengusap dagunya, berpikir. "Bagaimana kalau aku menjodohkan salah satu anakku dengan gadis asing itu?" katanya, memberi usul.
"Dengan siapa? Itachi atau Sasuke?"
"Hmmm," Fugaku memejamkan matanya selama beberapa detik, lalu membukanya. "Entahlah. Aku harus melihat dulu sifat dan sikap gadis itu seperti apa, baru aku bisa memutuskan dia akan kujodohkan dengan siapa. Aku akan memantau gadis itu selama satu minggu. Bagaimana menurutmu?"
"Aku setuju. Bagaimana menurutmu, Peramal Chiyo?"
"Saya akan menyetujui apapun keputusan Kepala," jawab peramal tua itu.
Seorang asing datang ke tanah kami.
Secerah langit, seterang mentari.
Miliki kekuatan kendalikan dunia.
Akankah bawa bahagia atau petaka?
Semua tergantung kami yang merawatnya.
Fugaku menghela napas ketika ingat ramalan yang pernah didengarnya dari tetua klannya, saat ia masih kecil dulu.
Konon, akan ada seorang yang datang ke tanah mereka dengan kekuatan yang bisa mengendalikan dunia. Dia bisa saja membawa kedamaian, atau malah membawa petaka, semua tergantung dari siapa yang berhasil memiliki orang itu. Akan sangat berbahaya jika orang yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan dunia, jatuh ke tangan suku yang memiliki niat jahat.
Fugaku berdecak sambil menggelengkan kepalanya. Siapa yang menyangka, orang dalam ramalan yang kini sedang diburu oleh seluruh klan dari berbagai suku, malah datang dengan sendirinya ke klannya. Semoga saja klan lain tidak mengenali gadis itu, agar tidak terjadi pertumpahan darah di perkampungan yang dicintainya ini.
.
.
.
"Wajahnya manis, ya!"
"Iya, dadanya juga besar!"
"Lihat rambutnya, warnanya cantik sekali."
"Nghhh …," Naruto mengerang ketika mendengar bisik-bisik dan suara cekikikan wanita yang mengganggu tidur nyenyaknya. Siapa yang datang ke kamarnya pagi-pagi begini? Tidak sopan!
Gadis itu pun membuka matanya perlahan. Ia mengerjap ketika menatap atap bangunan yang tampak asing dan tidak biasa. Sejak kapan atap kamarnya terbuat dari kayu dan berbentuk mengerucut ke atas?
"Oh, lihat, dia sudah bangun!"
"Anda benar, Mikoto-san!"
Kening Naruto berkerut. Ia menoleh ke samping, menatap dua orang wanita yang kini sedang menatapnya dengan tatapan penasaran. Satu wanita berambut cokelat sebahu, sedangkan satu lagi wanita paruh baya berparas cantik.
Naruto terlonjak bangun ketika menyadari, ia sedang berada di tempat asing. Gadis itu beringsut, mundur ketakutan. "S-si-siapa kalian?!" serunya.
Kedua orang yang sedang duduk berlutut di samping tempat tidur Naruto itu saling pandang.
"Apa yang dia katakan, Rin?"
"Tidak tahu, Mikoto-san, aku tidak paham bahasanya."
Naruto menatap sekeliling ruangan ini. Ruangan ini sangat sederhana, hanya ada ranjang keras yang terbuat dari kayu, dan ada satu buah meja dan kursi di sebelah ranjang. Semua perabotan, bahkan bangunan ruangan aneh ini terbuat dari kayu yang kokoh.
"Aku ada di mana? Siapa kalian?" Naruto bertanya, membuat kedua wanita itu mengernyit bingung. Gadis berambut pirang itu mengumpat pelan, ia lupa jika kedua orang itu menggunakan bahasa yang berbeda dengannya.
Dia juga baru ingat, ia berada di tempat asing setelah insiden tertabrak truk sialan itu. Apa ini dunia mimpi? Naruto bertanya-tanya dalam hati. Tapi sepertinya bukan, ini terlalu nyata untuk ukuran mimpi.
Suara berbisik kedua wanita itu menarik Naruto dari lamunan singkatnya.
Gadis itu menunjuk dadanya sendiri, lalu menyebutkan namanya. "Naruto. Na-ru-to," kata Naruto sambil menunjuk-nunjuk dadanya, berusaha memberi tahu mereka bahwa ia bernama Naruto. Kemudian, ia menunjuk wanita berambut hitam panjang yang sedang berlutut di sebelah ranjang.
Wanita itu tersenyum, ia paham apa yang hendak dikatakan gadis asing itu. "Mikoto, Mi-ko-to," jawab Mikoto, sambil menunjuk dadanya. Ia menunjuk Rin yang menatap Naruto dengan bingung. "Rin."
"Mikoto, Rin?" ulang Naruto sambil menunjuk kedua wanita itu bergantian. Mikoto mengangguk ketika Naruto mengucapkan kedua nama wanita itu dengan benar. Naruto kemudian mengangguk paham. "Jadi itu nama kalian?" gumam gadis itu.
"Wah, Rin, lihat matanya, cantik sekali, ya?"
"Benar, Mikoto-san, warna matanya seperti langit saat sedang cerah."
Naruto mengabaikan kedua wanita itu. Ia menatap dirinya yang masih mengenakan seragam sekolahnya, yang kini terlihat kusut dan kotor. Naruto berdecak, ia harus segera pulang, atau ayahnya akan mengomel tanpa henti.
Gadis itu pun menuruni ranjang kayu itu. Ia mengabaikan tatapan bertanya yang dilayangkan Mikoto padanya, atau bisik-bisik Rin yang entah sedang mengatakan apa. Naruto keluar dari rumah yang menyerupai tenda itu, lalu mengamati keadaan di sekelilingnya. Sebenarnya, dia ada dimana? Semuanya tampak tradisional, seolah Naruto sedang berada di sebuah suku pedalaman yang tak tersentuh teknologi.
Naruto ingin menanyakan pada kedua wanita yang mengekorinya, ia sedang ada dimana dan bagaimana cara untuk kembali ke kota asalnya. Tetapi, alih-alih bertanya, gadis itu malah mengusap wajahnya dengan frustasi ketika ingat kedua wanita itu bahkan tidak mengerti apa yang diucapkannya.
"Kalau begini, bagaimana caranya agar aku bisa pulang?" gumam gadis itu entah pada siapa.
"Oh, kau sudah sadar rupanya," sebuah suara berat terdengar, membuat Naruto menoleh.
Kening Naruto mengernyit ketika ia menyadari, pemuda itu yang kemarin ditemuinya di padang rumput. "Siapa kau?" tanya Naruto. Gadis itu beringsut mundur, tampak takut pada sosok sang pemuda.
Pemuda itu tersenyum tipis, ia sadar kalau gadis itu takut padanya. "Aku Itachi, kita bertemu di padang rumput dekat Hutan Terlarang. Apa kau ingat wajahku?" tanya Itachi sambil menunjuk wajahnya. "Kau tidak mengerti apa yang aku ucapkan, ya?"
"Itachi," Mikoto berdiri di sebelah Itachi, lalu menepuk bahunya. "Itachi, ini Itachi," katanya sambil menepuk lengan berotot anak sulungnya.
Naruto menunjuk Itachi, lalu mengulang namanya. "Itachi?"
Mikoto mengangguk sambil tersenyum manis. Ia kembali menepuk lengan Itachi. "Ya, Itachi," katanya.
Jadi namanya Itachi, pikir Naruto dalam hati.
"Namanya Naruto, Itachi."
"Apa?"
"Nama gadis itu Naruto," ulang Mikoto. "Dia cantik, ya? Lihat, matanya seperti langit saat sedang cerah. Jangan-jangan dia anak Dewa Langit?"
"Jangan sembarangan berkata, Ibu," tegur Itachi dengan nada lembut. "Jadi, apa kata Ayah? Apa gadis itu akan dihukum karena berada di tanah kita tanpa ijin?"
Mikoto mendengus geli. "Apa gadis itu tampak berbahaya di matamu?"
Itachi memiringkan kepalanya, lalu menatap Naruto yang kini sedang menatap Mikoto dan Itachi bergantian dengan ekspresi bingung yang terlihat lucu. "Sama sekali tidak. Kalau boleh jujur, dia terlihat manis," katanya.
"Oh, kau menyukainya?" Mikoto menggoda Itachi. Pasalnya anak sulungnya ini sudah cukup umur untuk menikah, tapi dia belum juga memilih calon pasangannya.
"Jangan bercanda, Ibu, dia lebih cocok jadi adikku," balas Itachi dengan nada kesal yang kentara. Bagaimana bisa ibunya berpikir jika ia menyukai gadis kecil itu?
"Ah, Ibu kan hanya bertanya."
"Itachi! Apa yang kau lakukan di sini?! Waktunya berburu!"
Suara berat lainnya terdengar dari balik punggung Itachi. Naruto melotot horror ketika menyadari, suara yang terdengar familiar itu adalah milik pemuda yang kemarin mencekal pergelangan tangannya!
Gadis itu menenguk ludahnya susah payah ketika melihat pemuda itu menatapnya dengan tajam. Apa pemuda itu akan membunuhnya?
Naruto menghembuskan napas lega yang sedari tadi ditahannya ketika pemuda itu mengalihkan tatapan tajamnya pada Itachi.
"Waktunya berburu, kemana saja kau?" kata pemuda itu sambil menyerahkan tombak kepada Itachi.
"Maaf, maaf, aku hanya ingin menyapa Naruto yang baru sadar."
"Naruto?"
Itachi menunjuk Naruto yang berdiri kaku di belakangnya. "Nama gadis ini adalah Naruto," katanya. "Kau tidak ingin berkenalan dengannya?"
Sasuke tidak menjawab. Ia menatap Naruto dengan tatapan menyelidik, membuat rasa takut Naruto kembali muncul. Sepertinya pemuda itu membenciku, dia tidak menyukaiku, pikir Naruto dalam hati.
"Sasuke! Kau membuatnya takut!" tegur Mikoto sambil menepuk lengan berotot Sasuke dengan keras. "Tidak baik membuat seorang gadis ketakutan, apa kau tidak mengerti?! Dewa akan menghukummu jika kau membuat seorang gadis ketakutan! Kau akan sulit mendapat jodoh!"
Sasuke mengusap lengannya yang terasa panas. Ia kembali menatap Naruto dengan tatapan kesal. Dasar lemah, dipelototi sedikit saja sudah takut! kata Sasuke dalam hati. "Maaf, Ibu," kata Sasuke, nyaris seperti bisikan.
"Naruto, tolong maafkan sikap anakku ini, ya," kata Mikoto dengan nada lembut. Ia kembali menepuk lengan Sasuke, namun kali ini lebih lembut. "Sasuke. Sa-su-ke," kata Mikoto, berusaha menyampaikan pada Naruto kalau nama pemuda yang membuatnya takut bernama Sasuke.
"Sasuke?" beo Naruto. "Sasuke?" ulangnya lagi, sambil menunjuk Sasuke.
"Ya, namanya Sasuke."
"Sudahlah, Ibu, dia tidak mengerti kata-kata yang kita ucapkan," kata Sasuke. Ia menenteng busur panahnya, lalu berpamitan untuk segera pergi berburu. Kelompok berburu sudah menunggu.
Sasuke melangkahkan kakinya setelah memberikan satu tatapan tajam pada Naruto, seolah menyampaikan ancaman tanpa kata kalau Naruto berani berbuat ulah, Sasuke tak akan segan memberinya pelajaran.
Gadis berambut pirang itu mendengus, ia tidak menyangka pemuda berwajah datar itu akan membencinya. Naruto bahkan tidak tahu dimana letak kesalahannya. Bagus, aku punya musuh di tempat asing, sarkas Naruto dalam hati.
Gadis itu menghela napas panjang, lalu menatap Mikoto dan Rin. "Apa kalian tahu bagaimana cara pergi ke Tokyo?" tanya Naruto.
Naruto ingin menangis ketika Mikoto dan Rin malah memberikan tatapan bingung. Bagaimana caranya agar mereka paham apa yang ingin dikatakannya? Ternyata bahasa benar-benar penting disaat seperti ini.
Gadis itu pun menggaruk rambutnya dengan kasar hingga rambutnya menjadi kusut. "Aaaaaargh! Sial! Aku mau pulaaaaaang!" teriak Naruto frustasi.
.
.
TBC
.
.
Oh nooooo! Sasukenya nggak suka sama Naruto! Gimana ini XD
Menurut kalian, fic ini aneh gak sih? Kok menurutku rada aneh ya wkwkwk padahal aku yang bikin :p