A/N:

Hai ... hai ... bagian 2 sudah hadir nih.

Oh ya, rencananya Nai mau bikin sequel ya untuk ff ini, hanya saja up nya tidak bisa cepat XD

Mohon pendapat dan koreksi jika ada yang tidak sesuai, termasuk typo dan kawan-kawan

Terima kasih atas reviewnya Arch Strike, elmou, 666, evanescent173, Stephen Porzingis, FVN-Hime dan Guest.

*Abaikan akun Si Hitam :v

Mohon maaf belum sempat balas satu per satu ya ^^


WARNING:

Ada pembelajaran yang bisa diambil dari cerita ini, silakan disimpulkan ^^


Seputih Salju Seperih Ikhlas

.

.

.

Disclaimer:

Naruto dan segala karakter yang saya pinjam di fic ini adalah milik Masashi Kishimoto

.

.

.

Original story and story plot by : Si Hitam

Written by : ForgetMeNot09


Bagian 2

...

Sejak malam itu, Naruto selalu menyaksikan perubahan sikap pada diri Hinata. Mulai dari wanita itu bangun pagi sekali dan pergi meninggalkannya sebelum ia terbangun. Yang ia ketahui, Hinata pergi ke dojo dan membantu adiknya menyiapkan tempat untuk berlatih. Lalu saat Naruto pulang, selalu saja wanita itu sudah tertidur di ranjang. Hinata memang tidak lupa menyiapkan makan malam untuknya, tetapi bukan itu yang Naruto butuhkan. Ia inginkan Hinata di sampingnya, mendukungnya dan menghiburnya saat ia sedang dilanda masalah seperti ini. Namun, di sisi lain, pria itu seperti merasa bersalah. Bagaimana pun ialah penyebab Hinata menjadi seperti ini. Ialah yang memicu perubahan sikap pada sang istri. Tidak seharusnya ia mengeluh dan mengambinghitamkan Hinata atas kesalahannya. Ini semua salahnya karena tidak bisa membahagiakan Hinata dan membuatnya bangga di hadapan keluarga Hyuuga.

Rasanya ingin sekali Naruto menenggelamkan diri di kubangan lumpur tak berdasar. Sungguh ia merasa malu jika sampai gagal membuat Hinata bahagia.

Malam ini, ia sengaja tidur di sofa kamar. Berbaring miring sambil menatap punggung Hinata. Alunan napas membawa punggung Hinata bergerak naik turun, iramanya begitu tenang membuat Naruto tersenyum. Dari jarak itu ia berbisik, "Selamat tidur, Hinata."

Tanpa menyadari bahwa Hinata sama sekali belum tidur. Matanya memang terpejam, tapi kesadarannya utuh. Kalau saja mata itu terbuka, bisa dipastikan air matanya telah menetes. Sebenarnya ia tidak tega memperlakukan Naruto seperti ini. Ia ingin mendukung Naruto sepenuhnya, melontarkan kalimat penuh penyemangat, memijit tubuh suaminya yang terasa pegal dan memeluknya dalam lelap.

Sayang, logikanya berpendapat lain. Ia berpikir bahwa dengan ia bertindak seperti ini akan memberikan tekanan bagi Naruto untuk berusaha keras, seperti yang dituntut oleh keluarganya. Bagaimana pun ia tidak lupa percakapan di dojo siang tadi.

.

"Seharusnya suamimu itu berusaha lebih keras lagi, Hinata."

"Kau tahu? Banyak cara bisa membuat kalian kembali kaya raya."

"Benar, kudengar di daerah perbatasan dengan Korea Utara membutuhkan senjata. Kurasa suamimu itu bisa mengambil itu sebagai peluang usaha. Berdaganglah di sana dan itu benar-benar menghasilkan kekayaan yang tidak akan ada habisnya."

Hinata terkejut. Dari percakapan itu saja jelas, bahwa keluarganya tidak mempermasalahkan apakah pekerjaan itu halal atau haram. Yang terpenting bagi mereka adalah uang yang banyak dan bisa membuat mereka kaya raya.

...

Kobe adalah ibukota Prefektur Hyogo yang terletak di wilayah Kansai tepat di sebelah barat daya Osaka. Kota ini adalah salah satu kota pertama Jepang yang membuka perdagangan kepada negara barat pada tahun 1868. Tak heran jika kota ini merupakan salah satu pelabuhan besar Jepang bersama dengan pelabuhan-pelabuhan di Yokohama, Osaka, Nagoya, Hakata, dan Tokyo.

Pelabuhan menjadi salah satu tempat yang memiliki lapangan pekerjaan paling banyak. Selain keramaian sebab kesibukan kegiatan terkait pelabuhan itu sendiri, ada juga lalu lalang kendaraan transportasi yang menghubungkan pelabuhan dengan dunia luar.

Di salah satu dermaga, berjajar beberapa mobil sedan kuning yang nomor pelatnya juga kuning lengkap dengan pengemudi berseragam. Mereka tengah menantikan penumpang. Salah satu dari mereka, tampak belum terbiasa dengan hiruk pikuk yang tercampur udara beraroma asin. Wajahnya memerah akibat paparan sinar matahari dan cuaca panas pelabuhan. Rambut kuningnya lepek oleh keringat yang dihasilkan kulit kepala.

"Ada apa Naruto?"

Naruto menoleh, teman sejawatnya sedang berdiri dengan senyuman meremehkan di bibirnya. Pria berambut cokelat berantakan itu membuang begitu saja rokok ke tanah. Naruto sebenarnya merasa gatal ingin menghardik, tetapi apa daya ia hanya penghuni baru di sini. Senioritas tetap berlaku di mana pun kau berada.

"Aku hanya merasa panas saja."

Kiba tertawa keras.

"Hahahaha ... kau harus terbiasa jika ingin betah dalam pekerjaan ini. Memang penghasilan tidak seberapa di saat-saat tertentu, tetapi di saat lain akan banyak pengguna jasa kita."

Naruto mengangguk. Dalam bayangannya saat ini adalah seorang Hinata yang tengah tersenyum padanya, menunggu kepulangannya dengan duduk manis di ruang tamu paviliun mansion Hyuuga. Di atas meja telah tersedia secangkir teh hangat dan sedikit camilan untuknya.

Pipi Naruto memerah. Membayangkan Hinata mendadak ia teringat malam pertama mereka, di mana mereka terlibat dalam aktivitas panas di atas ranjang demi menunjukkan cinta kepada pasangan. Ah, indah sekali malam itu. Bukan, bukan hanya malam itu, melainkan setiap hari yang ia lalui bersama Hinata adalah hari-hari yang indah dalam hidupnya.

Kecuali ... beberapa waktu belakangan, semua berubah. Sikap Hinata tak lagi hangat kepadanya. Tak pernah lagi ada senyuman manis untuknya. Hinata seolah bosan dengan masalah finansial yang menimpa mereka. Ya, bukan salah wanita itu. Sejak kecil Hinata memang hidup dalam keluarga istana, kemewahan berlimpah, segala yang ia mau pasti mudah ia dapatkan. Wajar jika sampai saat ini pun dia inginkan kebahagiaan dengan terpenuhinya segala materi.

Salahnya, sebagai suami tak mampu memahami kebutuhan Hinata. Salahnya sebagai pria yang mengambil alih tanggungjawab Hinata dari Hiashi tak mampu memenuhi inginnya.

Roman muka Naruto berubah sendu. Gamang menyelimuti. Penghasilan dari pengemudi taksi tidaklah sebanding dengan apa yang ia dapatkan saat memegang perusahaan. Bisa dikatakan, penghasilan ini tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan Hinata. Namun ia enggan menyerah. Setidaknya saat ini ada uang yang bisa ia berikan untuk berlanja keperluan sehari-hari. Semoga Hinata mau mengerti.

Langit di ujung mulai menampakkan senja. Putihnya kini bersemburat merah. Naruto menatap keindahan itu dengan penuh rasa syukur. Sungguh menenangkan melihat keindahan alam semacam ini. Matahari beringsut menghilang, nyalanya pun perlahan memudar, hingga langit sepenuhnya dikuasai kelam.

Beberapa pengemudi memasuki mobil mereka termasuk Naruto. Hendak mengembalikan mobil ke kantor dan bergantian dengan pengemudi lain. Kobe sebagai salah satu kota yang padat, memiliki aktivitas hampir selama 24 jam. Taksi di sini merupakan transportasi pilihan yang aman di saat kereta yang menjangkau daerah sepi sudah berhenti beroperasi.

Naruto membawa mobilnya ke kantor dan segera memarkirkannya. Setelah selesai melapor kepada atasan, ia bergegas pulang. Jam seperti ini masih ada kereta yang bisa membawanya ke stasiun dekat rumah Hyuuga. Dari stasiun itu ia hanya perlu berjalan kaki tak sampai setengah jam.

Sepanjang jalan menuju rumah Hyuuga, Naruto menatap takjub pada berderet benda menarik yang terpajang di etalase toko di kanan dan kirinya. Sempat terlintas ide untuk membeli barang itu dan memberikannya pada Hinata. Hanya saja ia sadar, saat ini bukan itu yang terpenting. Saat ini lebih baik uang itu ia gunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak seperti kebutuhan sehari-harinya.

Ia memasuki gerbang mansion Hyuuga. Entah mengapa langkahnya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang memintanya untuk tidak melanjutkan perjalanan. Memintanya untuk berputar saja dan ia tidak perlu pulang.

Naruto menggeleng kuat, menyeka pikiran negatif itu dari kepalanya. Ia berjalan memasuki mansion dan menuju ke paviliun. Memasuki paviliun dengan rasa penasaran karena kondisi tempat tinggalnya itu benar-benar gelap.

"Hinata?"

Ia memanggil istrinya. Tidak ada sahutan yang ia harapkan. Perlahan ia berjalan dan meraba ke dinding, menyalakan sakelar lampu dan terus masuk menuju kamar tidurnya.

"Hinata?"

Suaranya beradu dengan derit pintu tua. Dan kamar itu pun gelap.

"Hinata?"

Tidak ada jawaban membuat Naruto mendesah kasar. Mungkinkah istrinya itu masih berada di dojo? Naruto melepaskan baju seragam dan hendak menuju kamar mandi, ketika suara ketukan pintu depan mengurungkan niatnya. Setengah berlari ia mendekati pintu dan membukanya. Di luar telah menunggu Ko, salah satu anggota keluarga cabang dari Hyuuga. Tatapan pria beberapa tahun di atasnya itu menajam, dan merunut dari ujung kepala hingga ujung kaki, kemudian tersenyum sinis seolah Naruto adalah barang menjijikkan.

Naruto mengikuti arah pandangan Ko dan bertanya dalam hati.

"Hiashi-sama memanggilmu ke aula tengah."

Sembari berkata Ko berjalan pergi meninggalkan Naruto yang kebingungan. Pikirannya sudah ingin tenang sebab ia terlalu lelah bekerja seharian, tapi kini kembali ruwet. Ia memang belum lama menjadi bagian dari Hyuuga, tetapi ia benar-benar paham. Tidak biasanya pemimpin klan memanggil seseorang terlebih anggota keluarga ke aula tengah kecuali ada hal-hal yang memang harus diselesaikan saat itu juga.

Ya Tuhan, ada apa lagi ini?

Merasa enggan membuat Hiashi dan petinggi Hyuuga lain marah, Naruto berjalan cepat mengikuti Ko. Biarlah sedikit keringat dan bau badan menempel padanya, ia tidak mau berurusan dengan Hiashi.

Di aula tengah ternyata sudah banyak orang berkumpul. Sebagian besar adalah anggota keluarga Hyuuga dan sisanya para pelayan yang sibuk ke sana kemari untuk melayani majikan mereka. Naruto bisa merasakan aura kelabu yang menaungi ruangan ini. Pun perasaan tidak enak yang menguar dari masing-masing orang yang hadir. Tatapan mereka padanya jelas menghakimi. Naruto meneguk ludah kasar. Ini mengerikan. Suasana dibuat semacam persidangan.

"Duduklah!"

Perintah mutlak dari Hiashi didengarnya. Ia berjalan maju dan duduk di tempat yang ditunjuk sang kepala Hyuuga, tepat di hadapan para petinggi klan. Di sinilah Naruto sadar, ini adalah persidangan untuknya.

"Kami dengar kau sudah mendapatkan pekerjaan."

"Be-"

"Jangan menjawab jika aku belum memintamu menjawab!"

Bentakan Hiashi menggema ke seluruh aula. Para hadirin bergidik ngeri sambil menatap kasihan pria Uzumaki itu.

"Kau bekerja sebagai sopir taksi?"

Naruto bergeming. Dalam hati mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana informasi ini bisa bocor ke telinga Hiashi? Padahal sejauh ini tak ada yang mengetahui profesi barunya itu karena memang sengaja ia sembunyikan demi menjaga keselamatan harga dirinya di hadapan keluarga sang istri.

"Jawab!"

"I-iya, Ayah."

Braaak

Hiashi menggebrak meja menyebabkan Naruto nyaris terjungkal dari posisi seizanya. Ia tak berani menatap langsung pada mata ungu pudar sang mertua.

"Kau benar-benar memalukan. Tidak pernah ada dalam sejarah Hyuuga, bagian dari keluarga ini menjadi sopir taksi."

"Tapi hanya itu pekerjaan yang saya dapatkan, Ayah."

"Peduli setan! Kau mempermalukan kami. Apa kau lupa siapa Hyuuga? Bangsawan istana yang terhormat, dan kau sebagai orang luar yang mendadak masuk dalam keluarga ini berusaha menghancurkan nama baik kami? Benar-benar tidak bisa dimaafkan."

Umpatan berupa bisikan mengiringi amarah Hiashi. Rupanya tak hanya tetua, bahkan anggota keluarga pun ikut menyudutkan Naruto. Pria itu benar-benar merasa sakit hati. Tak ada seorang pun yang memberikan pembelaan baginya.

"Bukankah yang terpenting uang itu halal? Dan saya bisa memenuhi kebutuhan keluarga?"

Hiashi bergeming, raut wajahnya datar. Suara tawa Hizashi justru yang terdengar merendahkan.

"Dengan penghasilan seperti itu kau pikir bisa memenuhi kebutuhan keluarga?"

Ucapan Hiashi sinis. Naruto mendongak, mata birunya berusaha mencari keberadaan Hinata. Ya, di sana Hinata berada. Di belakang Hizashi ia duduk. Naruto hampir tersenyum hangat tatkala yang ia dapat justru tatapan dingin sang wanita. Hinata sendiri memperlihatkan raut muka kecewa yg sangat kentara. Naruto urung memberikan senyumannya, ekspresinya berubah sendu, ia merasa bersalah seketika. Mungkin Hinata juga merasa malu memiliki suami seorang sopir, sedangkan dia adalah putri sulung keluarga pecahlah hati Naruto berkeping-keping ketika Hinata membuang pandang.

"Cari pekerjaan lain yang lebih terhormat, Bocah!"

Sebuah perintah mutlak seorang Hyuuga Hiashi yang tak mampu lagi terbantahkan, oleh siapa pun. Naruto menunduk. Terdiam di tempat, tak peduli satu per satu dari yang hadir berlalu pergi.

...

Beberapa hari sejak kejadian itu, Naruto jarang mendapati Hinata di rumah. Pagi hari saat ia bangun, wanita itu sudah tidak ada di ranjang. Mungkin pergi ke dojo seperti biasa. Lalu malam hari saat Naruto pulang, Hinata tak pernah ada di rumah. Hanya ada makanan tersaji di meja yang dengan terpaksa Naruto sentuh. Ia sebenarnya tidak lapar, nafsu makan hilang karena ditinggal sang istri. Namun kebutuhan tubuhnya akan nutrisi memaksa pria itu mengalah, ia pun melahap masakan di atas meja.

Hambar

Segalanya terasa hambar. Senyum pria itu pun dipaksakan. Senyum yang ia maksudkan hanya untuk mensyukuri anugerah dari Tuhan atas rejeki yang diberikan padanya.

Barulah pada malam hari saat ia sudah hendak tidur, Hinata masuk ke kamar. Pun tanpa sepatah kata. Wanita itu hanya berbaring di ranjang dan tidur dengan memunggunginya. Naruto tak berani menyapa, ia hanya bisa menatap nyalang tubuh ramping itu.

Sebelum benar-benar terlelap, rangkaian peristiwa di persidangan beberapa malam lalu kembali ia putar di benaknya. Yang tak bisa ia lupakan, tatapan tajam seakan hendak menguliti dari tiap manusia Hyuuga yang diarahkan padanya. Sakit, hatinya sungguh sakit. Naluri lelakinya terusik, harga diri seakan tiada lagi.

Dan semua itu memuncak, menjadi sesak di dada, tatkala bayangan Hinata yang menatapnya dingin melintas. Tanpa sadar, air mata meleleh di sepasang pelupuknya. Tangan besar yang dulu sempat ia banggakan karena mampu melindungi orang-orang yang ia cintai, kini terkulai. Meraba dada kirinya yang terasa nyeri.

"Hinata," lirihnya.

Merasa tidak kuat dengan rasa sakit hatinya, serta terabaikan oleh orang yang sangat ia cinta, Naruto turun dari ranjang dan pergi keluar. Ia hirup udara malam yang dingin. Tak acuh jika harus berebut oksigen dengan tanaman-tanaman di sekitar paviliun. Ia rapatkan baju tidur dan melipat kedua tangan bersedekap. Netra birunya mengarah lurus pada hamparan gelita yang berhias titik-titik cahaya.

Sungguh indah ciptaan Tuhan. Akankah titik-titik kebahagiaan menghampiri hidupnya yang sekelam langit malam?

Lantas sepercik ingatan mengejutkan dirinya. Seolah ada sebuah lampu imajiner mendadak menyala di kepala. Dan pria itu berlari masuk rumah. Diraihnya ponsel di atas meja dan dengan cepat menggeser layar sentuh untuk menemukan kontak seseorang.

Bibir kecokelatannya tersenyum saat mendapatkan nama yang ia cari. Jemarinya memencet tombol panggilan tepat ketika matanya melirik ke arah jam dinding.

"Sudah larut," gumamnya.

Tak mau mengganggu waktu istirahat temannya, Naruto segera mematikan tombol panggilan.

"Mungkin besok saja aku hubungi dia," lanjutnya ceria.

Dengan tekad baru yang tercipta di dadanya, Naruto memasuki kamar. Menaiki ranjang dan mulai merebahkan badan. Ditariknya selimut yang sebagian telah menutup tubuh Hinata. Seraya tersenyum memandang Hinata, ia berucap, "Jangan khawatir Hinata, aku akan membahagiakanmu."

...

Keesokan harinya, Naruto berangkat lebih pagi. Ia berniat mengambil shift seharian penuh untuk menaikkan bonus bulanannya. Tak mengapa sedikit lelah menghampiri, asal ia bisa membahagiakan Hinata. Asal senyum sang putri kembali tersemat, itu cukup mengganti semua lelahnya.

Semangat pantang menyerahnya membuat atasannya berdecak kagum. Namun juga merasa miris. Berkali-kali pria kuning itu mengambil shift tambahan tanpa memperhatikan kondisi fisiknya. Kadang lupa makan kadang pula lupa istirahat. Bukan hanya satu dua, tapi sudah banyak teman sejawatnya yang turut khawatir, melaporkan keadaan ini kepada atasan.

"Kau tidak istirahat dulu, Naruto?"

Naruto yang sedang menghitung bonus bulan ini di tangannya mendongak. Ia tersenyum lebar.

"Nanti saja jika semua pekerjaan saya selesai, Pak."

Kakashi, atasannya, mendesah.

"Pekerjaan tidak akan ada habisnya. Istirahatlah dulu, kau juga belum makan kan?"

Naruto menggaruk belakang kepalanya grogi.

"Saya belum lapar, Pak."

Seakan paham dengan maksud ucapan Naruto, Kakashi membuka laci meja kerjanya, mengeluarkan kotak bento dari sana dan menyodorkannya pada Naruto.

"Apa ini?"

"Makanlah," jawab Kakashi.

Naruto menggeleng.

"Kau tidak boleh menolak pemberian, itu akan menyakitiku, kau tahu?"

Ragu-ragu Naruto berpikir kemudian menatap Kakashi yang dibalas dengan anggukan meyakinkan.

"Ambillah!"

"Kau yakin, Pak?"

Kakashi mengangguk, "Hanare memasak dua porsi hari ini. Seharusnya aku makan nanti malam, tetapi karena Obito mengajakku makan di rumahnya, jadi ini untukmu saja."

"Wah ... benarkah?"

Binar di mata biru Naruto menyala senang. Ia pun menerima pemberian Kakashi. Setidaknya bukan karena kasihan Kakashi memberikan bento ini padanya. Ya, dia hanya tidak tahu jika Obito tidak pernah mengajak Kakashi makan malam.

"Besok akan kukembalikan tempatnya, Pak."

"Tak usah kau pikirkan."

Naruto berjalan kembali ke mobil. Sebelum mengemudi, ia mengecek terlebih dahulu ponselnya. Ternyata benar, ada balasan dari seseorang yang sangat ia tunggu.

"Datang saja jam 11.00 ya, tapi aku cuma punya waktu 5 menit."

Naruto melihat jam di pergelangan tangan yang menunjukkan pukul 10.45. Ia hanya punya waktu kurang dari lima belas menit untuk mencapai taman kota.

Ia membuat janji dengan seorang kawan lama. Atau lebih tepatnya kolega ketika ia masih memegang Novarese Inc. Kawannya itu sekarang sudah menjadi CEO untuk sebuah perusahaan elektronik di Kobe.

Semalam Naruto menghubunginya lewat pesan teks. Berharap kawan lamanya itu mau menemuinya dan mungkin memberikan bantuan yang ia butuhkan, pekerjaan.

Tak butuh waktu lama bagi mobil kuning itu untuk sampai di tempat tujuan. Naruto segera turun dan berlari menuju bangku taman. Di dekat bangku itu seorang pria bermabut hitam legam berdiri. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Gayanya sungguh elegan, khas petinggi perusahaan.

"Wah ... kau benar-benar berbeda sekarang, Sasuke," sapa Naruto basa basi.

Ia hendak memberikan pelukan persahabatan pada pria itu seperti dulu yang biasa mereka lakukan ketika bertemu. Namun Sasuke justru melangkah mundur menghindarinya.

"Aku tidak punya waktu banyak, Naruto. Katakan saja apa yang kau inginkan!"

Naruto memandang tak percaya. Waktu benar-benar mampu mengubah seseorang. Atau bukan waktu melainkan ...

"Sombong sekali kau pada teman lamamu ini, Sasuke," balas Naruto dengan nada bercanda.

Sasuke hanya diam. Ekspresinya datar. Tatapan netra hitamnya menusuk.

"Baiklah, jadi aku memang sedang membutuhkan sesuatu," jawab Naruto.

"Hn."

"Apakah ada lowongan pekerjaan di perusahaanmu?"

Sasuke menatap sinis, senyumannya seringai tipis.

"Tidak ada."

"Benarkah? Untuk tenaga pengamanan pun tidak ada?"

Sasuke berbalik badan dan melangkah meninggalkan Naruto.

"Tidak ada, Naruto. Perusahaan kami sudah penuh pegawai."

Hancur sudah. Naruto memandang kepergian Sasuke dengan nanar. Ia jatuh terduduk di bangku taman. Rasanya ingin sekali ia memaki.

Dahulu, saat ia sedang berjaya dengan Novarese Inc., Sasuke pernah mendatanginya. Memohon bantuan karena perusahaan yang ia kelola di ambang kebangkrutan. Dengan senang hati Naruto memberikan bantuan sebab baginya teman adalah segalanya. Ia bantu sahabat lamanya itu untuk kembali berdiri dan menegakkan perusahaannya. Hingga hampir mengorbankan harta pribadinya.

Sekarang

Semua berbalik 180 derajat. Saat ia membutuhkan pertolongan, bungsu Uchiha itu seolah tak mengenalnya. Jangankan merasa utang budi, untuk berkawan pun rasanya tidak mau lagi.

Namun Naruto tidak mau menyerah. Ia ambil ponsel di saku bajunya dan mencari nomor kawannya yang lain dan menghubungi mereka satu per satu.

Hampir satu jam Naruto habiskan waktu di taman. Hanya untuk mengutak-atik ponselnya, menghubungi nomor kawannya, dan berbicara lewat telepon atau bahkan langsung mematikan panggilan.

Nihil

Dari sekian banyak yang ia hubungi, sebagian besar nomor mereka tidak lagi aktif. Sebagian yang lain ... mereka seolah lupa pernah berkawan. Mulai dari yang menjawab sopan, hingga yang berteriak kasar seakan tak mengenalnya.

Naruto tersenyum miris menatap layar yang berkedip-kedip. Rupanya tak ada yang benar-benar bernama teman. Semua itu hanya berupa kepentingan. Saat ia masih kaya dan terhormat dulu, banyak orang mengelu-elukannya, meminta bantuan kepadanya. Namun ketika ia jatuh, untuk sekadar mengenal pun mereka berpura-pura.

Akhirnya ia benar-benar menyerah. Sudahlah, semua masalah memang ia sendiri yang harus menyelesaikan. Tak perlu ada bantuan dari orang lain.

Naruto pergi dan kembali bekerja dengan giat.

...

"Kau terlihat lelah, Naruto."

"Begitulah."

"Aku heran, apa yang membuatmu terus-terusan memaksakan diri untuk bekerja tanpa henti?"

"Aku hanya ingin ..."

Ucapan Naruto terpotong saat angin berhembus, menerbangkan helaian kuningnya. Senyum tipis menyemat bibirnya.

"Aku hanya ingin membahagiakan istriku, Kiba."

Kiba mendengus kesal.

"Kau sudah cukup mendapatkan penghasilan bukan? Seharusnya ia bisa memanfaatkan uang itu dengan baik. Penghasilan dan bonus bulananmu cukup banyak, kau tahu?"

Naruto menggeleng. Di bawah tatapan kasihan Kiba, Naruto memejamkan mata.

"Itu belum cukup untuk membuatnya bahagia."

"Gila! Istrimu itu gila!"

Lagi, Naruto menggeleng, " Dia tidak gila, aku yang salah karena tak bisa membahagiakannya."

Hening menyapa. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dingin pun mereka abaikan.

"Apa kau punya info tentang pekerjaan lain, Kiba?"

Kiba mengerutkan dahinya, "Kau mau pindah pekerjaan?"

"Tidak. Aku mau mencari pekerjaan lain untuk tambahan."

Di sinilah Kiba pasrah. Tidak lagi mampu berkata-kata. Ia hanya menggerutu dalam diam.

"Ada."

...

Higashinada-ku

Kawasan yang tentu tak asing bagi Naruto. Tak ada perubahan berarti sejak ia meninggalkan tempat ini. Tadi, ia juga melewati bekas rumah tinggalnya dulu. Sepertinya pemilik yang baru adalah orang yang rajin, tanaman di taman depan terlihat rapi memagari rumah tersebut dari dunia luar. Bunga-bunga yang ia beli dulu untuk diberikan kepada Hinata, maish bertumbuh cantik. Cat rumah tidak berubah, justru semakin tampak bersih.

Naruto bangga. Kendati ia tak lagi tinggal di sana, memandang rumah itu serasa ia masih memilikinya. Kenangan bersama sang istri saat belum ada masalah yang berarti kembali berputar. Ia tersenyum. Bahagia rasanya meski hanya dengan mengingatnya.

Tak apa saat ini Hinata mungkin berubah. Ya, istrinya itu smeakin hari semakin dingin ia rasa. Kadang juga terlalu abai. Setiap ia bertanya, sering Hinata pura-pura tidak mendengar dan berlalu pergi begitu saja. Namun Naruto tidak menyerah. Suatu saat nanti ia pasti akan mengembalikan harta keluarganya dan membuat Hinata kembali sedia kala.

Keyakinan yang kuat tumbuh begitu saja di hatinya. Rasa cinta yang dalam seakan memicu dan memacu langkahnya untuk terus berusaha.

"Uzumaki-san."

Naruto menggugurkan lamunannya sendiri. Ia menatap kardus besar yang telah terisi kue ulang tahun. Bibirnya menoreh senyuman. Pekerjaan datang, yang artinya uang datang.

"Ma-maaf saya terlalu banyak melamun, Inuzuka-san."

Wanita berambut cokelat itu tersenyum, "Tidak masalah. Dan tolong panggil saya Tamaki," ujarnya lalu.

Naruto mengangguk. Ia merapikan segel kardus dan mengangkatnya ke motor.

"Di mana alamat pengantarannya?"

Tamaki tergopoh-gopoh menghampiri Naruto. Kemudian menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat.

"Ini, oh iya Uzumaki-san ..."

"Naruto," potong pria berambut kuning itu sambil menerima kertas alamat.

"Maaf, Naruto-san, apakah nanti malam juga bisa mengantar lagi?"

"Aduh, mohon maaf Tamaki. Nanti malam aku harus berkeliling."

Tamaki mengangguk paham. Naruto juga seorang sopir taksi seperti Kiba suaminya. Di sini pria itu sengaja mengambil pekerjaan untuk penghasilan tambahan.

"Tidak masalah, aku bisa mengantarnya sendiri nanti. Hati-hati di jalan."

Naruto mengangguk dan pergi. Deru redam motor yang berlalu mendapat perhatian dari Tamaki. Wanita itu merasa simpati, pria seperti Naruto yang mau bekerja keras demi membahagiakan sang istri. Tamaki mendengar kelengkapan cerita kehidupan Naruto dari Kiba dan ia merasa sedikit kasihan. Wanita serakah macam apa sebenarnya istri Naruto itu? Tega sekali melihat suaminya bekerja keras membanting tulang hingga mengabaikan kesehatannya.

"Ah sudahlah, aku tidak berhak menghakimi," ujarnya kemudian.

...

Malam ini Naruto benar-benar merasa kelelahan. Seharian menarik taksi dan sisa waktunya ia gunakan untuk menjadi pengantar kue buatan istri Kiba. Ya, Kiba menawarkan pekerjaan tambahan itu untuknya. Kebetulan usaha pembuatan kue istri Kiba sedang berkembang pesat dan mereka kekurangan orang untuk menjadi kurir pengantar. Jadilah Naruto bekerja di sana sebagai kurir.

Ia mematikan motor sebelum memasuki gerbang mansion Hyuuga . Sengaja ia lakukan sebab takut mengganggu anggota keluarga yang mungkin sudah tidur. Kemudian membawa motor itu hingga ke depan paviliun. Motor itu motor tua, Kiba meminjamkan padanya untuk keperluan mengantar kue dan mempersilakan Naruto untuk membawanya pulang atau pergi ke kantor.

Sampai di depan paviliun, Naruto mendesah lega. Pikirannya melayang ke bak penuh air panas dan ia akan melenturkan kembali otot-otot yang kaku.

Dengan senyuman lega ia memasuki rumah.

"Aku pulang, Hinata."

Masih seperti malam-malam yang lalu, tak ada tanggapan dari Hinata. Namun sekarang pria itu sudah terbiasa. Ia tersenyum dan menyeka keringat yang meleleh di dahinya.

Seluruh bagian rumah gelap sepertinya. Naruto mengambil langkah ke kamar mandi untuk membersihkan badan.

Lagi dan lagi, langkahnya urung. Gedoran di pintu memaksanya mengalihkan perhatian. Ia putar langkah dan membuka pintu.

"Ko?"

Lagi, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Ko mengangguk.

"Hiashi-sama memanggilmu ke aula tengah."

"Bolehkah aku mandi dulu?"

Naruto mendengar Ko yang berdecak kesal, "Badanku penuh keringat," lanjutnya.

"Sebenarnya aku tidak peduli, Uzumaki-san, tapi jika aku jadi kau, aku tak akan membuat Hiashi-sama dan petinggi klan menunggu," ketus Ko.

Naruto paham. Ia pun terpaksa membatalkan niat untuk mandi dan mengekori langkah Ko menuju aula tengah.

Seperti de javu, ruangan aula telah penuh oleh manusia-manusia yang hampir seluruhnya adalah manusia yang hadir pada sidang malam sebelumnya. Aura mereka pula tak jauh berbeda. Gelap dan dingin mampu Naruto rasakan. Mungkin teman-teman di masa sekolah dulu sering mengatainya tidak peka, tetapi untuk kali ini Naruto mengerti hanya dari melihat.

"Duduk!"

Bak titah sang raja, perintah Hiashi membuat Naruto mengangguk dan duduk di tempat yang sengaja dipersiapkan untuknya, tempat yang ia duduki pada persidangan yang lalu.

"Kau masih melanjutkan pekerjaanmu?"

Anggukan Naruto menjadi jawab.

"Apa kau tidak mendengar saat aku mengatakan bahwa itu pekerjaan memalukan?"

"Saya mendengarnya, Ayah. Namun sopir taksi bukan pekerjaan haram kan?"

Hiashi berdiri cepat, mukanya memerah padam. Sementara seluruh anggota keluarga yang hadir menahan napas. Belum pernah terjadi sampai hari ini, ada yang berani membantah ucapan seorang ketua klan.

"Kau," tuding Hiashi pada Naruto, "Berani sekali membantahku."

Di sebelah Hiashi, Hizashi menepuk tangan sang kakak dan memintanya untuk tenang. Hiashi menurut dan mempersilakan Hizashi untuk berbicara.

"Uzumaki, Hyuuga adalah keluarga bangsawan. Semua orang di Jepang menghormatinya, bahkan gokudo pun menghormati kami. Sejak awal Hyuuga memang ditakdirkan hidup makmur dan kami terus berusaha menjaga itu. Sedikit saja ada hal yang berlaku di luar kebiasaan kami, tentu nama baik Hyuuga akan dipertaruhkan. Kau, sebagai pendatang di keluarga ini, seharusnya sudah mengerti."

Hizashi menjeda, menunggu tanggapan dari Naruto tapi pria itu bergeming.

"Pekerjaan sopir taksi itu tidak terhormat,"

Naruto mendongak. Hendak memprotes tapi bibirnya kelu.

"Terlalu memalukan untuk keluarga kami."

Hizashi seolah paham gejolak batin Naruto, memberikan tatapan menghunjam sedang dalam hati ia tertawa mengejek.

"Namun, jika kau memang masih ingin bertahan dalam pekerjaan itu, silakan saja."

Tentu saja ucapan kontradiktif ini mengundang tanya Naruto. Bukan Naruto terkejut, melainkan ini jelas-jelas hal yang mustahil kecuali Hizashi memiliki niat tertentu di balik ucapannya.

"Tapi kau harus tahu, Uzumaki. Hinata memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Dan rasanya tidak adil jika kau tidak bisa mencukupinya bukan? Apa kau rela istrimu merendahkan diri di hadapan orangtuanya hanya karena kau tidak becus menafkahi?"

Rentetan kalimat nan panjang bagai lesatan peluru bertubi-tubi yang diarahkan pada jantung Naruto. Memang tidak ada luka yang terlihat, tetapi nyerinya terasa. Naruto masih bertahan dalam posisinya, sebab ia tahu bukan ini puncak kesakitan yang akan ia alami. Sebaik mungkin ia menempa hati dan tubuhnya demi bisa bertahan menghadapi apa pun kehendak Hyuuga nanti.

"Setidaknya tunjukkan rasa tanggung jawabmu, dengan secepatnya menyediakan uang 100 juta yen untuk kau berikan pada Hinata. Jika kau tidak mampu ... masih banyak pria lain yang mau memperistri Hinata."

Retak lagi hati yang telah ia rekat, patah sudah semua harapan yang ia tanam. Uang 100 juta yen bukan jumlah yang sedikit. Mungkin jika ia masih memiliki Novarese Inc. itu hal yang mudah. Akan tetapi, pekerjaan sopir taksinya tak akan memberikan penghasilan sebanyak itu dalam waktu singkat. Naruto terdiam, Naruto terguncang, tak ada kuasa untuk menolak sebab ia paham. Sejatinya Hyuuga berbuat demikian, bukan untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Mereka hanya ingin mendepak dirinya dari keanggotaan keluarga. Mereka tak lagi mau pria itu menjadi bagian dari Hyuuga.

"Bagaimana?"

Setelah menghela napas panjang, Naruto mendongak. Menderma tatapan tajam, "Aku akan dapatkan uang itu," putusnya.

Senyum puas terpatri di bibir para petinggi klan. Mereka tahu pasti Naruto tidak akan pernah mendapatkan uang itu sebelum batas waktu yang ditetapkan. Itu artinya, sebentar lagi pria Uzumaki itu akan terusir dan tercoret dari silsilah Hyuuga.

Orang-orang yang hadir membubarkan diri, kembali meninggalkan seorang Naruto di aula. Betapa sakit perasaannya. Mengapa takdir begitu ironis? Dulu ia begitu dibanggakan, hampir setiap putri dari keluarga bangsawan diajukan kepadanya untuk menjadi pendamping hidup. Sekarang semuanya berbalik, ia menjadi sampah yang bahkan tak ada lagi manusia sudi melihatnya.

Namun, bukan Uzumaki Naruto namanya jika ia mudah menyerah. Laki-laki itu bangkit dan tersenyum. Hatinya mantap bersemangat mengatakan bahwa ia mampu mendapatkan uang itu, dan mempertahankan Hinata sebagai istri sahnya. Jika itu benar, ia berjanji membawa Hinata pergi jauh dari lingkungan Hyuuga dan mereka bisa hidup bahagia bersama tanpa ada tekanan.

Mata birunya berbinar cerah tatkala siluet sang istri terlihat. Ia berlari mengejar.

"Hinata ...," panggilnya.

Sayang, Hinata seakan tuli. Wanita itu berjalan semakin cepat demi bisa menghindari Naruto.

Semua yang melihat tertawa, menertawakan Naruto yang seperti pengemis cinta. Pun Naruto, merasakan perih di dalam dada.

Di balik itu, tidak ada yang tahu. Seorang Hinata menangis tergugu di dalam hati. Batinnya seakan terkoyak, tubuhnya seolah mati, melihat yang terkasih diperlakukan seperti sampah. Ia mengumpat, ia berteriak, menumpahkan kekesalan dan kesalahan pada Tuhan kendati hanya dalam hati. Serta untaian maaf tertuju untuk laki-laki yang amat dicintai.

Kaki ramping Hinata membawa dirinya ke taman belakang. Duduk di atas ayunan kayu dan merenung. Sempat terlintas ingatan saat ia menguping pembicaraan para petinggi, termasuk sang ayah.

.

"Uzumaki itu, dia benar-benar tidak tahu diri."

Suara pria tua yang Hinata duga sebagai kakeknya menggema.

"Dia tidak pantas berada dalam keluarga ini," lanjutnya.

Suasana hening sekejap sebelum suara lain yang lebih berat menimpali.

"Kita tidak bisa begitu saja mengeluarkan bocah Uzumaki itu tanpa alasan. Dunia pasti mencemooh."

Itu suara sang ayah. Hinata menempelkan telinganya lebih dekat ke dinding aula timur. Lalu ia mendengar suara langkah kaki. Langkah yang tegas dan tak kenal rasa takut.

"Aku punya cara."

.

Tak terasa bulir air mata meleleh di pelupuk. Iris seindah permata ametis itu memandang kosong pada bunga-bunga taman yang mencumbunya bersama angin. Bak hilang segala rasa dan nyawa yang ada, layaknya patung yang dipahat dan dipaksa hidup.

Sesal menyelimuti, tetapi logika mengaburkan. Tidak tega Hinata memperlakukan Naruto sedemikian, tetapi jika dengan ini ia akan bisa bebas dari tekanan yang diberikan keluarganya, Hinata rela. Sembari dalam hati berdoa, untuk kembali dipertemukan dengan sang pujaan hati dalam dunia yang lebih baik dari sekadar dikelilingi monster berbaju bangsawan.

...

Hari demi hari menjadi kian berat bagi Naruto. Ia terpaksa mengambil shift hingga tengah malam. Kadang ketika tidak ada pelanggan, ia membantu Tamaki menyiapkan bahan kue dan mengantar kue tersebut. Lain waktu ia menjadi kuli panggul di pelabuhan, sambil menunggu pengguna jasa taksinya. Apa pun pekerjaan yang halal, jika ia mampu pasti ia lakukan. Apa pun pekerjaan itu asal bisa memberikan tambahan uang untuknya demi mewujudkan kebahagiaan bersama sang istri.

"Hinata."

Satu nama yang terus terjejal dalam hati, benak dan pikirannya. Serta sebaris senyum di bibir sewarna buah persik, semburat jingga di pipi seputih pualam, menjadi kayu yang selalu membakar semangatnya.

Ketika ia lelah, ketika ia penat, sosok Hinata dalam kepalanyalah menjadi penyemangat sehingga tak pernah sedetik pun ia mengeluhkan tentang letih dan sakit yang dirasakan.

"Naruto, kau bisa membantu mengangkat ikan di sana?"

Naruto terlonjak. Bayangan Hinata berganti dengan Kiba. Tanpa berpikir panjang ia mengangguk. Berlari demi mengais rejeki yang telah ditawarkan Tuhan padanya.

.

"Naruto, Tamaki belum membeli bahan untuk kue pesanan. Bisa sebelum ke kantor kau mampir untuk membelikan?"

.

"Naruto besok tolong antar kue ulang tahun ke rumah Kakashi-san."

.

Dan Kiba bukan orang yang dengan seenaknya memerintah ini dan itu. Naruto melakukan semua yang ia minta dengan imbalan tentu saja. Kadang Kiba tidak tega melihat kondisi Naruto yang kian memburuk. Ia terlalu memaksakan diri untuk bekerja sampai lupa makan dan menjaga kesehatan. Namun, laki-laki berkumis itu cukup pemaksa. Ia bahkan mengejek Kiba sebagai orang tidak berperasaan jika tidak memberinya pekerjaan tambahan.

"Naruto."

Suara Kiba didengar oleh pria yang sedang memarkirkan motor tua di depan rumah.

"Ada apa?"

Kiba menyusur pandangan dari ujung rambut hingga ujung kaki, mencipta gidikan ngeri pada laki-laki kuning itu.

"Aku masih normal, Inuzuka," teriaknya tertahan.

"Bodoh! Kau pikir aku doyan dengan laki-laki sepertimu?"

"He? Jika denganku tidak, berarti kau suka dengan laki-laki lain?"

Plak

Naruto mengusap lengannya yang terasa panas akibat pukulan Kiba.

"Jaga bicaramu atau Tamaki tidak akan memberiku jatah malam ini."

Naruto tertawa keras. Lucu sekali kawannya ini, membicarakan "jatah" kepada orang lain. Ah rasanya ia juga sudah lama tidak mendapat jatah dari Hinata. Roman muka Naruto berubah sendu, Kiba pun merasa prihatin.

"Sudahlah. Oh ya, ini upahmu minggu ini," ujar Kiba seraya memberikan sebuah amplop putih.

"Boleh kuhitung?"

"Silakan."

Naruto mulai menghitung lembar demi lembar uang kertas itu, netra birunya membola.

"Ini terlalu banyak," katanya.

Kiba melambaikan tangan di depan dada.

"Berkat kau usaha istriku semakin lancar. Anggap saja itu bonus."

"Tapi ..."

"Pulanglah. Kau butuh istirahat."

Naruto mengangguk. Tersenyum seraya mengucap terima kasih berkali-kali. Lalu beranjak pergi.

Malam itu Naruto pulang dengan senyum sumringah. Bukan sebab uang yang ia terima dari Kiba, melainkan ia mendapatkan sebuah gagasan agar ia bisa memenuhi permintaan Hyuuga sebelum batas waktu yang mereka mau.

Di tengah perjalanan, mendadak dadanya terasa sakit. Naruto limbung dan motornya oleng hingga terjatuh. Jalanan teramat sepi sehingga tidak ada satu pun yang bisa ia minta bantuan. Meringis kesakitan, ia tegakkan kembali motor tua itu dan menaikinya untuk pulang ke rumah. Sepanjang jalan rasa sakit itu kian mencekal, seperti ada sebuah tangan besi meremas kuat hendak menghancurkan organ dalamnya.

Sakit

Nyeri

Namun ia harus bertahan. Setidaknya sampai ia menginjakkan kaki di rumah.

"Hinata," panggilnya ketika memasuki rumah.

Wanita itu tengah duduk membaca buku di ruang tamu, hanya melirikkan matanya sejenak sebelum kembali pada deretan kalimat dalam buku. Naruto tersenyum.

"Dadaku terasa sakit, Hinata. Kira-kira kenapa ya?"

Seperti pungguk merindukan bulan ketika dirinya menanti jawaban. Hinata mengendikkan bahunya tak acuh.

"Baiklah, aku istirahat dulu ya," pamitnya.

Ia berjalan mendekati Hinata dan ingin mencium keningnya. Hinata justru memundurkan posisi seolah tidak mau Naruto mengecupnya.

"Hehehe ... kau jangan tidur terlalu larut ya, jangan sampai sakit."

Dan pria itu pun menghilang di balik pintu kamar.

Hinata?

Merilekskan tubuh yang mendadak tegang saat Naruto menghampirinya tadi. Tatapannya nyalang. Jujur saja, ia bahkan jijik dengan dirinya sendiri.

"Maaf."

...

Pagi ini Naruto bangun dengan keheranan. Tidak biasanya Hinata masih tertidur di samping ketika ia terbangun. Mungkin bukan bermaksud memperbaiki hubungan tapi bagi Naruto ini cukup membahagiakan.

Pria itu mendekat dan membelai rambut biru sang istri.

"Kau pasti lelah, istirahatlah!"

Lantas ia beranjak turun dan membersihkan diri. Ketika keluar dari kamar mandi, ia tidak melihat Hinata di kamar. Sepertinya sudah turun dan memasak di dapur, atau bahkan sudah pergi ke dojo seperti kebiasaannya selama ini.

Memakai baju seragam dan menyisir rambutnya rapi, Naruto kemudian turun. Di sana ia melihat Hinata, tengah duduk dan membaca novel di ruang makan. Ia melirik meja makan, berbagai menu makanan telah tersedia di sana. Naruto bersyukur, semoga uang yang ia berikan bisa membahagiakan Hinata.

Tiba-tiba ia terbatuk.

"Uhuk."

Karena tidak ingin mencemari makanan di meja, Naruto menutup mulut dengan tangannya. Dan ketika ia melepaskan, ada bercak darah di telapak tangannya. Naruto mengerutkan dahi.

"Darah?"

Hinata sempat menengok ke arahnya dan melihat dengan tatapan penasaran. Namun Naruto bergegas menyeka bercak itu dengan mencuci tangan.

"Terima kasih makanannya, Hinata."

Naruto duduk di meja dan mulai menyantap makanan. Selesai makan ia memandang Hinata yang tetap mengabaikannya.

"Kau tenang saja, Hinata. Hari ini aku akan membawa kejutan untukmu."

Hinata tak acuh.

"Sesuatu yang bisa membuat kita dan rumah tangga kita kembali bahagia."

Hinata seperti orang tuli.

Naruto pun hanya bisa tersenyum maklum dan beranjak pergi, "Aku berangkat dulu, Sayang."

Bahkan ketika sang suami mengecup keningnya, Hinata masih memasang ekspresi dingin.

...

Sehari ini Hinata habiskan waktu untuk sibuk bekerja. Selain memang ia tak ingin berdiam diri, ia pula tak ingin pikirannya melanglang buana memikirkan Naruto barang sedetik. Usai membereskan dojo dan mendampingi adiknya melatih generasi penerus mereka, Hinata juga menyempatkan diri merawat seluruh tanaman di taman mansion. Melelahkan mengingat mansion itu sangat luas, tapi Hinata abai. Ia hanya ingin mengalihkan pikir dan perasaannya pada hal yang bisa membuatnya melupakan Naruto.

Sore hingga malam jua ia tetap berada di rumah sang ayah. Segala kegiatan dari yang sepele hingga melelahkan, ia kerjakan. Tak mengacuhkan sindiran sang ayah atau petinggi Hyuuga yang lain saat kebetulan berpapasan. Ia keraskan hati, ia tebalkan muka, apa pun selama itu tidak menyakitinya.

Pukul 10 Hinata pulang ke paviliun. Ia melanjutkan membaca novel yang sempat ia tinggal tadi pagi. Novel itu bercerita tentang kehidupan sepasang kekasih yang berjuang untuk menaklukkan keotoriteran keluarga. Sungguh sebuah kebetulan, kisah yang tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang dia alami. Ya, Hinata sengaja membaca novel itu demi memberikan semangat untuk dirinya.

Tunggu

Ada yang berbeda tentu saja. Dalam cerita itu pasangan kekasih sama-sama berjuang, sedang dalam kenyataan, hanya Narutolah yang berjuang. Ia sendiri memilih diam dan pura-pura buta akan perjuangan Naruto.

Menit demi menit berlalu. Hinata menguap, memberikan asupan oksigen untuk paru-parunya. Kemudian menggeliat. Punggungnya terasa pegal karena terlalu lama duduk. Ia melihat jam di dinding, waktu lewat tengah malam.

Wanita itu mengernyit heran. Tidak biasanya Naruto pulang larut. Apa pun yang ia kerjakan di luar sana, ia selalu pulang sebelum tengah malam. Apa gerangan yang terjadi padanya?

Hinata melirik pintu rumah yang tertutup, tidak ada tanda-tanda Naruto akan pulang.

"Merepotkan," keluhnya.

Ada sebersit rasa khawatir tapi ia tepis. Ia bawa kakinya berjalan masuk kamar, dan ia pun merebahkan tubuhnya.

"Dasar, kejutan apa? Dia malah tidak pulang," gerutunya.

Hatinya semakin meragu atas ucapan Naruto perihal kejutan itu.

"Ah, pasti dia hanya membual. Lupakan saja!"

Hari ini ditutup dengan Hinata yang tidur sendirian di atas ranjang.

...

Pasang mata pias Hinata terbuka perlahan, tertutup kembali tatkala seberkas sinar matahari mengenainya. Hinata menutup mata dengan sebelah lengan.

"Sudah siang," gumamnya.

Di samping, tempat Naruto biasa tidur, kosong. Selimutnya pun belum tersibak, tidak berubah posisi sejak semalam. Memberitahukan bahwa Naruto memang belum pulang.

Kekhawatiran mulai menggerogoti pikiran Hinata, ia cemas terjadi sesuatu pada Naruto. Lantas pikiran itu ia tepis. Ia beranjak turun dan berjalan keluar paviliun. Memang sudah siang, tetapi sinar matahari yang hangat sungguh memberikan ketenangan tersendiri. Hinata berjalan memutari kompleks mansion. Senyumnya menawan, menantang cerah sinar mentari. Hanya sejeda lalu terseka saat ia mendengar teriakan di luar pagar.

Tanpa peduli keadaan dirinya yang acak-acakan, Hinata berlari ke luar. Di depan pagar, Hitomi, pelayan setia sang ayah, berdiri dan menutup mulut. Mata warisan Hyuuga mendelik ketakutan membuat sang putri ketua klan mengikuti arah pandangnya.

Mata bulat itu kian membola. Di bawah sana, tergeletak tubuh yang sangat ia kenal. Rambut kuning dan kulit kecokelatan, berpakaian seragam sopir taksi, dengan ceceran darah di lantai.

Hinata menjerit, berjongkok dan mengguncang-guncang tubuh Naruto yang tak jua bergerak. Lemas tak berdaya. Tak kehilangan akal, Hinata mengecek nadi sang suami.

"Naruto-kun, bangunlah."

Derai air mata kian beribu kala ia menyadari nadi Naruto tak lagi berdenyut. Ia meraba hingga ke dada, jantungnya pula tak berdegup. Hinata menangis.

Berusaha memberikan napas buatan tetapi sia-sia. Konyol, sebab Naruto memang telah tiada.

Teriakan dan tangis ratap Hinata mengundang beberapa anggota keluarga mendekat, termasuk Hiashi. Dengan raut muka datar, titah Hiashi pasti.

"Bawa masuk!"

Jasad itu digotong masuk ke aula depan dan ditinggalkan segera. Tersisa Hinata di samping tubuh kaku Naruto.

"Naruto-kun ..."

"Siapkan pemakaman untuknya."

Suara Hiashi terdengar lantang meski ia sudah berada di luar.

Hari itu, mansion ramai dengan orang berlalu lalang. Kesibukan mempersiapkan pemakaman untuk menantu mereka yang malang. Yang mati sebab penyakit yang dideritanya. Sebab pula didorong keserakahan keluarga sang istri.

...

Hujan turun siang itu, rintiknya mengantar aroma tanah basah memadati atmosfer. Kelam, seakan ikut menangisi kematian seorang anak manusia.

Di area makam, sebuah pigura berisikan potret seorang pria tampan terpajang. Penuh dikelilingi bunga-bunga yang mengharumkan duka. Orang-orang dengan berpakaian serba hitam memadati area. Tampaknya mereka berduka sebab ditinggalkan oleh pria tersebut.

Benarkah?

Faktanya menyakitkan. Tidak ada mimik sedih di wajah-wajah angkuh itu. Justru senyuman tipis yang tampak, menyembunyikan tawa terbahak. Seakan mereka baru saja memenangkan sebuah perjudian yang besar.

Ya, perjudian yang didominasi keserakahan. Seekor parasit telah lepas dari tubuh mereka, begitu mungkin pikiran mereka.

Sementara di dekat makam, Hinata berdiri kaku. Wajahnya pucat tapi tak ada setitik pun air mata menetes. Perasaannya sungguh membingungkan. Ia mencintai Naruto, teramat mencintainya. Kematian ini memang membuatnya sedih, mencipta rasa kehilangan yang mendalam. Namun, tak sepenuhnya. Hinata akui, di salah satu sudut hatinya, ada perasaan lega. Ibarat beban berton-ton yang ditimpakan di punggungnya kini terangkat.

Mungkin setelah ini, ia bisa menjalani hidup seperti biasa. Seakan hanya raga tanpa nyawa yang berjuang menjalani takdir.

"Hiashi-sama. Benarkah Uzumaki Naruto meninggal?"

Samar-samar Hinata mendengar keributan. Beruntun pertanyaan diajukan tanpa mendapat jawaban. Hinata menatap nyalang pada kerumunan itu. Rupanya kematian sang suami telah sampai di telinga media, dan mereka menginginkan sebuah informasi yang valid langsung dari pihak keluarga.

Kerumunan itu mulai tenang, mengelilingi sosok berwibawa dan berkharisma, Hyuuga Hiashi. Hinata diam, menunggu sebuah jawaban.

"Benar. Uzumaki Naruto telah wafat."

"Apakah penyebabnya? Belakangan banyak saksi mengatakan mereka melihat Uzumaki-san membawa taksi."

"Hahahaha ... kalian bercanda? Mana mungkin keluarga terhormat seperti Hyuuga membiarkan menantunya menjadi sopir taksi."

Ucapan Hiashi seperti tombak yang menusuk jantungnya, tetapi Hinata tak bergerak. Tubuhnya terlalu kaku untuk bereaksi atas kalimat menyakitkan itu.

"Lantas apa penyebab kematiannya?"

Hiashi menghela napas dalam, wajahnya dipasang sedatar mungkin.

"Dia memang sudah memiliki penyakit kronis bahkan sebelum menikah dengan putriku. Dan ini mungkin ... adalah akhir baginya. Akhir yang indah karena dia tak perlu lagi merasa menderita karena penyakitnya."

Hinata tersenyum miring, mengejek. Pandai sekali bangsawan tua itu membual. Sampai kapan pun kenyataan di balik kematian Naruto mungkin tak akan terungkap.

Hinata ingat dengan jelas. Sebelum berangkat ke pemakaman tadi, seluruh anggota keluarga Hyuuga beserta orang-orang yang bekerja untuk mereka, diancam untuk tutup mulut perihal kehidupan Naruto saat berada di rumah Hyuuga.

"Mengkhianati berarti mengantar nyawa untuk mati."

Wanita itu mendengus. Ia berjalan meninggalkan makam di arah yang berlawanan dengan kerumunan itu. Sejengkal langkah kaki, sepenggal ingatan menanti. Kenangan manis bersama sang terkasih yang kini pergi.

Ia mendongak, menantang langit, "Kutunggu karma dari-Mu," jeritnya.

...

Tangan itu sampai pada lembar terakhir. Tak ada potret masa lalu yang melekat. Namun selembar amplop merah jambu tertangkap indera ametisnya.

Ragu, gamang, tapi ia paksakan. Gemetar tangan itu membuka amplop, menarik sepucuk surat dari sana. Pelan seakan takut jika lembaran itu hancur, ia mulai membaca.

...

Uzumaki Hinata tersayang,

Apa kabarmu, Sayang? Rasanya aneh bukan? Padahal kita bertemu setiap hari tapi aku menanyakan kabarmu. Ya, aku hanya ingin memastikannya. Memastikan bahwa kau baik-baik saja, Sayang.

Maafkan aku yang tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan aku tidak bisa menjadi suami yang baik untukmu. Maafkan aku yang tidak becus, yang selalu membuatmu bersedih, yang membuatmu selalu direndahkan oleh keluargamu.

Hari itu, Sayang, hari di mana perusahaan yang kumiliki jatuh, adalah hari penderitaanmu dimulai. Adalah hari ketulusanku diuji, dan adalah hari semua peristiwa menyedihkan terjadi.

Aku tidak peduli, Sayang, atas sikap keluargamu kepadaku. Namun aku terluka jika mereka merendahkanmu. Aku tersakiti jika mereka menekan dan mengusikmu.

Aku bisa saja pergi meninggalkanmu demi kau bahagia, tapi Hinata, aku tidak mampu. Aku terlanjur jatuh padamu sejatuh-jatuhnya. Aku terlanjur mencintai dan menyayangimu sehingga aku merasa tidak berdaya jika harus berpisah denganmu.

Maafkan keegoisanku, Sayang, aku sungguh menyesal. Bukankah seharusnya kurelakan kau berbahagia dengan laki-laki lain yang bisa mengayomimu?

Hei, bukankah tadi pagi aku menjanjikan kejutan untukmu? Ya, sebenarnya aku ingin memberikan kejutan ini langsung kepadamu. Namun, sepertinya kau masih mengabaikanku, kau masih kesal padaku, kau masih marah padaku. Jadi, kuselipkan saja di album foto ini ya. Mudah-mudahan besok kau merindukanku dan membuka album ini. Hehehe ... apa aku terlalu kekanakan?

Sayang, mendapatkan uang 100 juta yen itu sangat sulit, terutama untuk keadaanku yang kian pailit. Namun, apa pun akan kulakukan untukmu, Sayang. Asal kau bahagia dan kebutuhanmu tercukupi.

Di belakang surat ini ada uang cek yang bisa kau cairkan di bank terdekat. Semoga cukup untuk menebus kebahagiaan dan cintamu, Hinata.

Baiklah, ini saatnya aku harus pergi. Hidup dengan satu ginjal tidak bisa membuatku bertahan lama, Sayang.

Jaga dirimu baik-baik, jangan lupa makan dan istirahat teratur, jangan terlalu lelah, jangan terlalu memaksakan diri bekerja, jangan tidur terlalu larut.

Sehat selalu, Sayang.

Aku mencintaimu.

.

Uzumaki Naruto

...

Netra tanpa pupil mendadak buta, terhalang air mata serupa kaca. Terlampau deras sebab duka dan luka. Gemetar tubuhnya kian melaksa, tatkala melihat jumlah yang tertera dalam lembaran cek.

100.000.000 yen

Betapa keserakahan mampu menyeka napas manusia.

Dan kini sesal semata tiada berguna. Keduanya saling mencinta tetapi menempuh langkah yang salah. Satu jua dengan langkah nista.

Sebuah petang, di bawah ufuk jingga, tangis dan teriakan pilu melantang. Seakan menembus angkasa, berharap Shinigami datang dan mengembalikan nyawa.

.

.

.

END