Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya, penulis tidak mengambil keuntungan material apapun dari pembuatan karya transformatif ini.


Alfred menemukan mawar yang dikeringkan di dalam sebuah buku tua di dalam lemari milik ayahnya. Buku itu berbau apak, kertas-kertasnya menguning, sebagian kusut. Ada sebuah pita merah yang menjadi penanda sebuah halaman, dan di halaman yang ditandai itulah Alfred menemukan mawar.

Ia mengabaikan sebentar tentang mawar. Ia bisa menemukan banyak cerita di dalamnya, dengan tulisan tangan yang sangat rapi, tegak bersambung dan miring. Di usianya saat itu, dia tak begitu mengerti apa itu ekspedisi, apa itu migrasi, apa itu perang, apa itu koloni, satu-satunya yang ia tahu adalah mawar itu abadi.

Dia tak langsung menanyakan hal itu pada ayahnya. Dia menyimpan benda itu di kamarnya, memisahkan si mawar dan buku, tanpa tahu bahwa dari awal benda itu seharusnya bersama. Dia menaruh mawarnya di sudut satu-satunya meja di kamarnya, buku itu di lacinya. Kadang-kadang dia membacanya, kadang-kadang juga dia membuatnya menjadi benda yang ia pegang selama tidur, tanpa melakukan apa-apa. Tempat tidurnya turut berbau apak, tetapi lama-kelamaan Alfred terbiasa.

Alfred kecil mulai mengenal kisah mawar tua itu, yang tak rusak dimakan waktu, setelah ayahnya pulang dari Kanada, setelah mengunjungi istri pertamanya.

Ayahnya membawa cerita tentang Matthew, saudara beda ibu Alfred yang tinggal jauh di utara sana. Usia Matthew tak begitu jauh dari Alfred, dan dari salah satu foto, Alfred rasa dia dan Matthew mirip. Akan tetapi, kata ayahnya, Matthew lebih suka diam, sementara Alfred banyak tingkah. Cerita-cerita ini hanya ada di antara mereka berdua. Ibu Alfred, walaupun jarang berada di rumah karena dia lebih suka berada di kampus, takkan suka mendengar cerita tentang istri pertama itu, meskipun pada faktanya ayah Alfred berpaling dari ibu Matthew untuknya. Ayah Alfred berkata bahwa dia sangat ingin mempertemukan mereka berdua, karena mereka berdua adalah orang-orang kesayangannya, dan baginya takkan mungkin meninggalkan salah satu dari mereka dalam hidupnya.

Saat bercerita secara rahasia tentang Matthew itulah, ayahnya melihat mawar di sudut meja. Dia bertanya di mana Alfred mendapatkannya, Alfred dengan senang hati bercerita.

Ayahnya pun balas bercerita; tentang kakek Alfred yang tak pernah Alfred kenal seumur hidupnya. Yang Alfred tahu hanyalah bahwa si kakek meninggal tak lama setelah ayahnya menikah untuk kedua kali.

Ayahnya baru bercerita sekarang bahwa kakeknya sangat tak setuju dengan pilihan ayah Alfred untuk menikah lagi, meninggalkan Matthew yang masih berusia satu bulan dan ibunya di Kanada sana. Dia sakit tak lama setelah itu, menyangkal pernikahan kedua putranya dengan orang yang tak ia setujui, lalu ia meninggal dunia sebelum Alfred lahir. Di usianya saat itu, Alfred tak memahami apa itu perselingkuhan, apa itu pengkhianatan, dan ia merasa tak ada yang salah dengan kelahirannya. Dia merasa semuanya baik-baik saja. Tidak mungkin ada kesalahan dalam sebuah pernikahan karena yang ia tahu, hidupnya bahagia. Di sisi lain ia juga yakin Matthew juga bahagia. Lalu mengapa wajah ayahnya sangat sedih ketika menceritakannya?

Cerita ayahnya panjang sekali. Dia nampak bahagia menceritakan petualangan kakeknya, yang sebenarnya berasal dari Inggris, tetapi telah menuju banyak tempat, baik berperang atas nama Kemaharajaan atau sebagai seorang pedagang, dan pilihannya untuk menetap saja jauh di Amerika Serikat.

Buku harian itu adalah satu-satunya benda yang ayah Alfred jaga hingga saat ini. Hubungan mereka jelek hingga akhir hayat kakeknya, tapi jauh di lubuk hatinya, ayah Alfred masih sangat menyayangi kakeknya, meski perbedaan pendapat mereka bawa sampai mati. Ayah Alfred berkata pada Alfred bahwa Tuhan memberikan Alfred sebagai ganti dari hal yang tak terselesaikan di antara dia dan ayahnya.

Mawar itu sendiri adalah milik kakeknya. Ceritanya misterius, bahkan ayahnya sendiri tak begitu tahu-menahu sejarahnya. Yang ia tahu hanyalah mawar itu diberikan seorang perempuan dari Prancis, dan faktanya nenek Alfred adalah penduduk asli Amerika, seorang putri dari kepala suku yang terhormat dari tempat yang susah dieja bagi Alfred.

Ayahnya meminta Alfred untuk menyimpan rasa penasarannya untuk lain kali, karena malam sudah larut dan Alfred tak boleh tidur di atas pukul sebelas. Ayahnya mengucapkan selamat tidur, dan Alfred memutuskan untuk tidur dengan buku itu lagi.

Alfred bandel. Dia tak langsung tidur begitu ayahnya meninggalkan kamar. Ia mengusap-usap buku itu, memikirkan orang yang tak pernah ia lihat. Ia percaya ayahnya masih menyayangi kakeknya. Di satu sisi, dia begitu penasaran akan kehidupan kakeknya. Dia melintasi jarak yang jauh, melihat banyak orang, dan nampaknya, dari sebagian cerita yang telah ia baca dari tulisan di dalam buku itu, ataupun cerita ayahnya, kakeknya telah bepergian ke banyak tempat.

Ada apakah di luar sana? Apakah lebih menarik daripada nyanyi-nyanyian di sekolah? Dari teman-teman yang mengajarimu untuk menyelinap keluar dari kelas sekali-sekali untuk mencicipi makanan hangat di rumah sebelah sekolah?

Sejak saat itu, Alfred berpikir, bahwa sesekali dia harus meninggalkan Amerika Serikat.

#

Suatu waktu, ibunya berkata bahwa dia akan berada di Eropa, lama sekali. Urusan kampus. Alfred takkan pernah mengerti mengapa seseorang yang mengajar harus menghabiskan banyak waktu di luar. Alfred mengira bahwa tugas mereka hanya memberi tugas; dan, selesai. Tak perlu ada pertemuan dengan kolega, perumusan kurikulum, pengembangan ilmu, dia masih belum bisa mencerna itu semua. Yang ia tahu hanyalah, ibunya pergi. Entah kapan akan kembali.

Ayahnya menjadikan itu kesempatan yang baik. Dia memboyong Alfred ke Kanada, lalu mengambil Matthew dari ibunya. Mereka bertiga berada di rumah kecil yang tak jauh dari perbatasan, dan ayahnya meminta mereka tidur di dipan yang sama.

Saat Alfred melihat Matthew untuk pertama kali, dia memang melihat dirinya sendiri, tetapi yang tampil dengan cara yang berbeda. Matthew menerima uluran tangan Alfred, begitu malu-malu untuk bicara lebih dahulu. Alfred tak bisa menahan diri atas diamnya Matthew, maka dia mulai mengoceh.

Malam itu, Alfred dan Matthew, 8 dan 9, membuka buku harian kakek mereka untuk pertama kali.

"Apakah kaupikir ini berbahaya?" Matthew bertanya ragu-ragu, hanya memegang bagian sampul sementara Alfred sudah terlihat siap membukanya dengan brutal dan membaca isinya keras-keras, seolah ingin seluruh dunia tahu.

"Tidak akan ada bahaya. Kakek kita sudah meninggal, 'kan?"

"Tapi ..."

Alfred tak lagi bicara, ia menyingkirkan tangan Matthew dan langsung membukanya ke halaman yang ditandai dengan mawar (yang tak lupa ia sertakan, meski tanpa ayahnya ingatkan). Dia membacakan dengan keras bacaan tentang perdagangan di pesisir Prancis, dan kakeknya tak menyukai cara berbicara orang Prancis.

Matthew mengerutkan kening di bagian itu. Alfred menangkap perubahan dengan mudah.

"Kenapa?"

"Ibuku berdarah Prancis ... dia mengajariku beberapa kata ... apakah itu artinya Kakek membenciku?"

"Dia takkan mendengarmu bicara bahasa Prancis, Matthew, kenapa takut?"

Matthew mencerna kata-kata Alfred sambil berkedip. Alfred cuek, lalu membaca nyaring-nyaring lagi, hingga ayah mereka datang ke kamar dan bertanya mengapa mereka belum tidur. Matthew, penurut seperti biasa, menarik selimutnya dan mulai berbaring. Sementara itu Alfred menyerahkan buku harian kakek mereka pada sang ayah,

"Bacakan sesuatu untuk kami! Aku tidak bisa tidur tanpa membaca atau mendengar satu cerita lagi!"

Ayah mereka memandangi dua pemuda kecil itu bergantian, Alfred menepuk-nepukkan tangannya ke tempat tidur tak sabar.

"Kalian menyukai cerita Kakek? Mengapa?"

Alfred menyambar seolah dia telah menunggu pertanyaan itu, "Aku ingin berpetualang seperti Kakek! Pergi keluar Benua Amerika, melihat tempat baru!"

"Dan kau, Matthew?"

Suara Matthew lembut sekali, "Sepertinya, Kakek adalah orang yang pemberani. Dia berani bepergian ke mana-mana. Aku juga ingin menjadi pemberani."

"Aku juga harus menjadi pemberani!" Alfred membeo, dia bisa saja melompat-lompat di atas tempat tidur karena begitu antusias akan ide yang belum terpikirkannya tersebut.

Ayah mereka tak bisa menemukan kata-kata lain, selain menuruti kata-kata Alfred.

.

.

.


.

.

Natalya dan kedua saudaranya pernah tidur dua hari di jalanan hanya untuk melarikan diri. Semuanya berpangkal dari Natalya; karena Ivan selalu tenang terhadap pertengkaran di balik pintu kamar mereka, sementara Yekaterina adalah si tertua yang tak mungkin mengajarkan adik-adiknya kenakalan.

Tetapi Natalya muak. Memangnya dia dibutuhkan, sementara orangtuanya sibuk mementingkan diri mereka sendiri? Lalu dia bertekad pergi, Ivan selalu menyayanginya dan Yekaterina tak mungkin membiarkan mereka berdua luntang-lantung di jalan tanpa pengawasan. Lalu, terjadilah itu: anak usia tiga belas, sebelas, dan tujuh tidur di depan sebuah toko tanpa selimut yang cukup.

Namun, bagian terbaik dari pelarian itu bukanlah ketika orangtua mereka datang menjemput.

Ibu mereka memeluk ketiganya erat-erat, mengatakan kekhawatirannya tetapi Natalya muak. Natalya tidak butuh itu. Dunia luar bahkan lebih menyenangkan daripada di rumah. Paling-paling setelah ini mereka berdua akan mengulanginya lagi, bertengkar seakan sedang melawan satu sama lain dalam perang besar, menghancurkan barang, tak peduli pada anak-anak mereka yang tidak makan. Natalya memang belum memahaminya sepenuhnya, tetapi dia akan tahu, suatu saat nanti, bahwa yang mereka pedulikan hanyalah kemenangan diri mereka sendiri. Suatu hal yang membosankan dari orang-orang dewasa.

Tidak ada hal yang benar-benar kembali seperti biasa setelahnya. Natalya tidak merasa rumahnya seperti rumah. Ivan berubah menjadi lebih banyak diam, Yekaterina semakin khawatir akan banyak hal, hampir segalanya. Ibu mereka jarang pulang, ayah mereka tak begitu peduli. Kalaupun mereka berdua berada di rumah, tidak akan ada yang baik-baik saja kecuali salah satunya pergi lagi. Yekaterina harus menyingkirkan kekhawatiran berlebihannya untuk mengurus mereka bertiga, Ivan mulai belajar menghitung uang, dan Natalya makin menyadari bahwa dunia luar memang terasa lebih baik.

Natalya menengok ke belakang, ke dua hari yang sepertinya sudah terlalu jauh di belakang itu, karena ada jarak hari-hari buruk di antara masa sekarang dan hal itu yang membuatnya begitu jauh.

Natalya ingin kembali saja ke kebebasan.

#

Yekaterina sering sekali khawatir sehingga ia selalu menyimpan kunci-kunci saat ia sedang sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, atau saat ia sedang keluar sendirian. Ivan tak begitu peduli hal itu, dia lebih suka melakukan sesuatu—yang Yekaterina anggap aneh, Natalya anggap unik—di ruang belakang rumah. Natalya sendiri tidak punya tempat untuk pergi.

Maka dia mulai menjelajah rumahnya sendiri, sering ke kamar orangtua mereka yang tak pernah dihuni lagi. Bagian itu tidak menarik. Sudah tidak ada lagi barang-barang penting di atas meja, foto-foto—mungkin semuanya sudah hancur karena kemarahan—bahkan lemari mereka setengah kosong. Natalya tak peduli.

Dia mencari ruang lain yang dahulu dilarang ibunya untuk dimasuki. Bagaimanapun, sekarang adalah waktunya kebebasan.

Gudang di samping kamar orangtua mereka jarang sekali dia masuki. Paling-paling hanya waktu dia disuruh untuk menaruh sesuatu. Dia benci ruangan itu karena ibunya tak pernah benar-benar mengatur isinya.

Peti-peti berantakan di sudut, Natalya mengabaikannya. Ada satu lemari yang sejak beberapa hari lalu diincarnya, dan ia sedang mencari momentum yang pas. Ia pernah melihat ibunya membawa beberapa buku ke dalam gudang ini, dan kemungkinan terbesar hanya benda itulah tempat menyimpannya.

Natalya tidak salah duga. Ada banyak buku bersampul tebal di bagian bawah, yang bersampul tipis di bagian atas. Ia mengambil secara acak sebuah buku, dibukanya, hanya berujung pada kerutan di dahinya. Ia bahkan tidak bisa membaca huruf di dalamnya.

Maka ia pun membawa buku itu pada Yekaterina.

Yekaterina menjelaskan bahwa buku itu bukan berbahasa mereka. Buku itu menggunakan bahasa orang-orang di barat, salah satu negara yang memakainya adalah Britania. Natalya tidak tahu negara apa itu, tetapi ia sangat gatal untuk mencoba membacanya. Yekaterina bisa beberapa bagian, tapi ia minta agar Natalya mencari tahu di lemari itu lagi saja, ia tak begitu tahu sisanya.

Maka, dimulailah hari-hari Natalya membongkar lemari itu untuk berlari dari kehidupan nyatanya—berlari pada sesuatu yang baru.

#

Ada buku yang menjelaskan apa itu apel dalam sirilik, dan bagaimana cara apel itu disebut dalam bahasa Inggris, juga bagaimana menuliskannya dalam huruf selain sirilik. Natalya tidak tahu bahwa buku itu pernah sampai ke tangan Yekaterina jauh sebelum ini, tetapi dia tak sempat menyentuhnya lagi, dan ibu mereka tak menyisihkan waktu sedikit pun untuk memastikan putrinya mendapatkan apa yang seharusnya bisa ia dalami.

Natalya menemukannya sendiri, mengusahakannya sendiri, dan ia lupa harapannya untuk berlari keluar. Setidaknya ini cukup.

Kemudian, suatu waktu, ketika dia ingin tahu lebih banyak bagaimana caranya bercerita dalam huruf selain sirilik, dia menemukan buku lain.

Bukan sebuah catatan, bukan buku pengetahuan. Buku itu kosong, hanya memiliki selembar potret yang menjadi penanda halaman yang sudah disobek.

Ada empat orang di foto tersebut. Dari sorot matanya, anak perempuan yang memegang tangan seorang lelaki itu adalah Yekaterina, dan bayi yang masih berada di dalam gendongan itu adalah Ivan. Natalya masih bisa mengenali ibunya, yang masih tak terlihat begitu berbeda dengan yang sekarang.

Natalya tersentak.

Lelaki yang memegangi Yekaterina, bukan ayahnya.

Natalya membongkar lemari lebih dalam lagi. Dia mencari bukti lain. Dia ketakutan, dia khawatir, tetapi dia masih ingin tahu. Ia membuka setiap halaman dari buku apapun yang ia punya dengan cepat, menghentak-hentakkan beberapa di antaranya, berharap ada lembaran yang akan jatuh, lalu ia membuka peti-peti kecil di sudut lemari, ia memanjat rak untuk menjatuhkan buku-buku lain.

Dia menemukan apa yang ia cari di sebuah buku berbahasa Inggris yang dijilid tebal. Ada dua lembar.

Hanya tiga orang di foto itu. Yekaterina, tampaknya, masih sangat kecil, berada di gendongan lelaki yang sama, sementara ibu mereka duduk di kursi di depan mereka berdua.

Lembar kedua mirip dengan yang pertama, tetapi kali ini lelaki itu yang duduk, dan sudah ada Ivan, yang masih bayi,

Natalya perlahan-lahan mengerti.

Kemudian, dalam hatinya, ia semakin ingin berlari saja.


Alfred terbangun dan menemukan dog tag-nya berada di genggaman. Hal itu bukan sesuatu yang direkomendasikan, tetapi dia kadang-kadang melakukannya hanya untuk merasa seperti di rumah dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.

Ia seperti melihat kembali dirinya sendiri, berada di satu dipan yang sama dengan Matthew, dan mereka bercerita tentang cita-cita. Alfred tertawa sinis sambil mengacak rambutnya, mengusap wajahnya. Hari-hari itu—andai dia tahu bahwa cara pertamanya keluar benua tidaklah akan menyenangkan, pasti ia akan mengubah harapannya.

#

Natalya memandang rambutnya yang berserakan di lantai. Lalu, ia mematut diri lagi.

Begini juga baik. Awalnya ia berprasangka buruk, rambutnya tipis, sehingga pasti jelek jika dipotong sangat pendek seperti laki-laki begini. Namun, setelah dipikir-pikir, juga diamati lama-lama, tidak juga begitu buruk.

Lagipula, ini juga salah satu bentuk pelarian. Pelarian dari dirinya yang lama.

tbc.