How We Hated


Musim dingin telah resmi memasuki kota Ghent dan udara menusuk tulang membuat orang-orang mulai mengenakan winter jacket setebal yang mereka bisa. Aku selalu benci panas, jadi musim dingin adalah hal favoritku di sepanjang tahun. Aku bisa saja keluar rumah hanya dengan menggunakan hoodie dan jins sobek-sobek seperti biasa tanpa harus takut menggigil.

Tapi tidak dengan lelaki mungil setengah mabuk yang membalut tubuhnya dengan selimut pink milik Mar dan sibuk meniup coklat panas dalam cangkir sambil dikelilingi oleh teman-temanku itu.

Byun Baekhyun.

Orang-orang bilang Baekhyun yang tengah menggigil kedinginan tampak imut sekali mirip bayi, jadi mereka tidak tahan untuk tidak mengasuhnya—memberikan selimut, menyalakan perapian dan menyuguhinya coklat Belgia panas sambil terus mengajaknya bercerita macam-macam. Ralat, yang memberikan selimutnya adalah aku.

Kami sedang ada di studio latihan Pavlove dan harusnya sekarang tengah berlatih dengan keras demi tampil festival musik musim dingin yang akan dilakukan Desember nanti. Mar bilang dia ingin datang berkunjung bersama beberapa orang tamu untuk menonton kami latihan, sesuatu yang memang para gadis sahabat-sahabatku biasa lakukan.

Dan aku nyaris terkena serangan jantung ketika Baekhyun ternyata masuk ke dalam daftar beberapa orang tamu yang Mar bilang. Maksudku, aku tidak siap kalau Baekhyun muncul di hadapanku tiba-tiba.

"Taraaa! Lihat aku bawa apa!"

Teman-teman band-ku langsung meninggalkan instrumen mereka dan menyongsong berkantung-kantung makanan dari Chitir Chicken yang sialnya adalah salah satu snack kesukaanku itu.

"Wah, terimakasih, Baekhyun!"

"Terimakasih, Baekhyun!"

"Ung! Jangan sungkan-sungkan!" Dia tampak sumringah sekali hingga matanya hanya tinggal segaris ketika dia tersenyum lebar.

Aku menghela nafas panjang kemudian meletakkan gitarku dan ikut bergabung dengan mereka. Tidak, aku terlalu gengsi untuk berebut ayam goreng dengan pria-pria kelaparan itu, jadinya aku hanya duduk di sofa kecil yang ada di belakang mereka dan mencoba menahan perasaan.

Saat Rita mengeluarkan berkaleng-kaleng bir dari tasnya, aku tahu kami tidak akan melanjutkan latihan lagi setelah ini. Pesta mendadak di studio Pavlove, terutama dengan keberadaan Baekhyun—semua itu membuatku sedikit kesal. Terutama karena Baekhyun bersikap seolah-olah kami belum pernah berciuman tiga kali sebelumnya.

"Kau tidak mau?"

Akhirnya, setelah menghitung satu sampai seratus di dalam hati karena Baekhyun tak kunjung menghiraukanku, lelaki itu menoleh dan menyodorkan sebuah paha ayam goreng ke wajahku.

"Liam tidak suka ayam goreng! Buatku saja!" Lukas nyaris merebut ayam jatahku dari tangan Baekhyun, namun si mungil itu dengan cepat mengelak.

"Jangan diambil~ ini kan punya Chanyeol~"

Semua yang ada di ruangan itu nyaris pingsan akibat mendengar teramat imutnya cara Baekhyun mengucapkan kata-kata itu ditambah lagi bibirnya yang dibuat melengkung ke bawah. Sedangkan aku—kupikir aku akan mimisan sebentar lagi. Kulitku merona sampai ke ujung kaki.

"Ini, ambillah!" Baekhyun kembali menyodorkan ayam goreng kesukaanku itu dan aku langsung mengambilnya tanpa disuruh dua kali. Mar dan Justin sialan diam-diam tersenyum penuh raut menggoda karena mereka sudah sadar akan hubunganku dengan Baekhyun yang sudah memasuki tahap baru itu.

Atau setidaknya, itu hanya dalam pikiranku. Mungkin aku terlalu percaya diri. Mungkin hanya aku yang merasa hubungan kami mengarah ke sesuatu yang lebih intens. Tapi Baekhyun, aku tidak tahu apakah dia merasakan hal yang sama atau tidak.

Selama sejam selanjutnya, gerombolan kami sudah sibuk dengan permainan 007 yang Baekhyun ajarkan. Aku buruk dalam permainan konyol seperti ini. Akibatnya, badanku terasa sakit karena aku kalah dari Lukas dan Justin yang duduk di sebelahku dan mereka memukuliku dengan barbar.

Semua orang tertawa. Kupikir pesta mendadak seperti ini tidak buruk juga. Terutama ketika mataku menangkap pemandangan dimana Baekhyun tertawa lepas ketika aku kalah lagi dan harus menerima pukulan di punggungku.

Dad, percaya tidak? Duniaku benar-benar terasa terhenti dan hanya ada kami berdua di dalamnya.

Kalau kalah dan dipukul seperti ini nyatanya bisa membuat Baekhyun tertawa, sampai kiamat pun kupikir aku rela melakukannya.

Permainan akhirnya usai sepuluh menit kemudian, menyisakan gerombolan kami yang sekarang tengah bercengkerama tentang apa saja ditemani minuman, snack dan beberapa bungkus rokok. Ujung mataku mendapati Baekhyun duduk di lantai sambil mengusap-usap lengannya yang meremang, mencoba ikut dalam pembicaraan meski aku tahu dia sedang merasa tak nyaman. Aku berpindah duduk di sebelahnya setelah berpura-pura ingin mengambil kentang goreng yang ada di depannya.

"Kau kedinginan, Baekhyuna?"

"Eh?" Matanya mengerjap-erjap.

Gerombolan yang tadinya terbahak oleh lelucon payah yang Justin berikan tiba-tiba hening dan menatapku dengan penuh arti, sekaligus dengan raut menggoda di wajah-wajah mereka. Memang sialan mereka itu, padahal aku sengaja berbisik pelan pada Baekhyun saat mereka tengah terbahak agar pertanyaanku tidak ada yang mendengar, tapi akhirnya ketahuan juga.

"Apa? Apa? Kenapa kalian menatapku seperti itu?!" Sambil menahan malu karena tidak tahan untuk tidak memperdulikan Baekhyun di depan umum, aku akhirnya bangkit dan pura-pura berjalan ke loker di sudut ruangan. Di belakangku, mereka mulai menggosip dalam bahasa Belanda yang bagusnya, Baekhyun tidak perlu tahu kalau teman-temanku baru saja bilang, "Liam benar-benar sedang jatuh cinta", "Liam tidak akan sendirian lagi di malam Natal"—dan lain-lain.

"Ini, pakailah—"

Itu adalah selimut Mar yang memang sengaja ditinggal di loker. Karena Baekhyun tak kunjung menerima pemberianku, aku lalu membuka lipatannya dan membalutkannya pada tubuh menggigil itu hingga ia mirip kepompong pink mungil terlucu di dunia.

"Masih dingin?" tanyaku lembut. Baekhyun menggeleng, menunduk, memain-mainkan bibir, mengintipku dengan wajah polos yang bersemu merah—sial! Aku baru sadar ada tiga kaleng bir tergeletak di dekat kakinya!

"Ung! Baekhyunie sangat kedinginan~" cicitnya manja. "Baekhyunie benciiii sekali pada dingin~Baekhyunie bisa terkena flu kalau udaranya dingin seperti ini~"

Aku terpaku, teman-temanku membatu. Sesaat kemudian, kurasakan seseorang menerjangku hingga aku nyaris terjengkang, dan kulihat mereka sudah mengambil alih Baekhyun dariku.

"BIARKAN AKU YANG MENYALAKAN PERAPIAN!"

"AKU AKAN MEMBUATKANNYA COKLAT PANAS!"

"MAR, AMBILKAN LEBIH BANYAK SELIMUT! BAEKHYUN KITA TIDAK BOLEH KEDINGINAN!"

Merasa terlupakan, aku akhirnya membiarkan saja mereka mengasuh Baekhyun yang separuh mabuk itu dan memilih untuk berkencan dengan gitarku lagi. Anehnya, nada-nada indah dan lirik penuh arti mendadak terlintas di otakku dan aku cepat-cepat menuangkannya dalam sebuah lagu.

Padahal aku juga ingin bisa seperti mereka—berdekatan dengan Baekhyun tanpa harus takut pada perasaan apapun.

Malam semakin larut dan satu-persatu temanku pamit pulang. Justin ingin mengantar Mar ke asrama, Lukas mau berkencan dengan Ines, dan Rita tadinya akan pulang bersama Baekhyun yang malah semakin mabuk, namun yang namanya kusebut terakhir itu merengek histeris tidak mau pergi dari studioku.

"Chanyeoool~"

Aku menarik nafas panjang seiring dengan Rita yang terkekeh sambil mengedikkan bahu.

"Well, kupikir aku akan meninggalkan dia di sini malam ini. Apa kau keberatan?"

"Tapi—" Aku melirik ke bawah, dimana Baekhyun tengah terduduk di lantai sambil memegangi kaki kananku sambil merengek-rengek manja.

"—dia harus pulang," putusku. Membiarkan Baekhyun menghabiskan malam di sini sama sekali bukanlah ide bagus. Serius, bukan ide bagus. Percaya padaku.

"Tapi kau kan bisa menemaninya disini?"

"Tidak."

"Kenapa tidak? Bukankah ini adalah kesempatan yang bagus buat—kalian berdua?" Rita memainkan alis penuh arti dan aku tahu kalau aku tidak akan bisa menolak permintaan gadis ini.

"Kau tahu, Liam? Aku mengawasimu sejak Baekhyun datang ke studio dan kau sama sekali tidak mengalihkan pandanganmu darinya. Aku tahu perasaanmu, man!"

"Memangnya aku merasakan apa? Maksudku, memangnya perasaanku bagaimana?"

Harusnya aku ingat kalau wanita adalah makhluk yang tidak bisa dikalahkan kalau soal berbicara tentang hati, karena jawaban yang Rita berikan sedetik kemudian membuatku terdiam tidak tahu bagaimana cara menyanggahnya.

"Kau. Jatuh. Cinta. Pada. Byun. Baekhyun. Case. Closed."

Untungnya kami berkomunikasi dalam bahasa Belanda jadi Baekhyun tidak perlu mendengar omong-kosong yang baru saja Rita ucapkan.

Atau mungkin bukan omong-kosong.

Ah, entahlah.

"Terima kasih atas dugaannya, tapi sepertinya kau salah. Aku. Tidak. Mungkin. Jatuh. Cinta. Pada. Laki-laki. Karena. Aku. Bukan. Gay."

Aku terlihat meyakinkan sekali, namun setitik ketidak-yakinan timbul dalam diriku.

Rita terkekeh. "Terserahmu saja. Oh ya, aku harus cepat-cepat pulang, jadi kutitipkan Baekhyun padamu, oke?"

"Hei, yak!"

Gadis itu telah lenyap sebelum aku sempat mengejarnya. Baekhyun terus saja memeluk kakiku sambil merengek macam-macam, jadinya aku tidak punya pilihan lain selain melakukan apa yang Rita suruh.

"Kau serius mau tidur di sini?" tanyaku datar. Baekhyun yang berada di bawahku mendongak sambil mengerjap-erjapkan mata, "Mm-mm! Mau disini saja dengan Chanyeollie!"

"Kalau kuantar pulang saja bagaimana?"

"Ng-ng!" dia menggeleng dengan wajah kesal, "Baekhyunie mau disini saja! Titik!"

"Baiklah, kau menang. Puas?"

Baekhyun yang masih memandangiku dari bawah sambil mendongak kemudian mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, "Gen-dong!"

Sial.


Jujur saja, aku tidak membencinya.

Sensasi yang Baekhyun timbulkan ketika dia menarik nafas pelan dan hembusannya menerpa leherku. Atau naik turun dadanya di atas dadaku yang membuat jantungku berdebar lebih cepat dari semestinya. Kulit hangat dan lembutnya, wangi tubuhnya—anehnya, aku sudah tidak membenci itu semua.

"Gen-dong!"

Baekhyun merengek ketika permintaannya tidak kugubris.

"Baekhyunie bilang gendong! Gendong! GENDONG! CHANYEOL, GENDOOONG!"

Aku menatap datar pada pria kekanak-kanakan yang masih terduduk di lantai itu. "Kugendong lalu kubuang kau ke sungai Leie, mau?"

Baekhyun beringsut mendekat, dan kupikir dia mau menyerang alat vitalku, maksudku nyaris saja. Dengan mata berkilat-kilat, dia berlutut dan menggigit pahaku kuat sekali.

"YAAAK!"

Aku nyaris menendang badannya namun tidak kulakukan, jadi kudorong saja kepalanya sampai ia terjengkang ke belakang.

"Apa yang kau lakukan?! Ini sakit sekali, fuck!" Pahaku yang masih terbungkus jins rasanya terbakar di sekitar bekas gigitannya.

Tanpa merasa bersalah, Baekhyun dengan pipi bersemu merahnya itu tersenyum polos dan mengangkat kedua tangannya ke arahku lagi. "Makanya gendong Baekhyunie kalau begitu~"

Salahkan aku yang terlalu lemah akan senyum itu, setelah menarik nafas berat, kuraih tubuhnya dan kugendong di depan tubuhku seperti koala. Dia terkikik kegirangan sambil melonjak-lonjak dan kalian sudah sepatutnya memberikan penghargaan atas pertahanan diriku yang kuat karena tingkahnya itu membuatku terusik. Dia menyentuhku berulang kali tanpa sengaja.

Aku bangun. Aku merasa marah dan terganggu di bawah sana.

Charlotte, aku sudah benar-benar gila, kau tahu? Kalau aku masih waras, tidak mungkin aku mendesak Baekhyun yang masih berada di gendonganku hingga tubuh mungilnya itu terperangkap antara badanku dan permukaan dinding.

Pria itu berhenti terkikik meski kedua tangannya masih dikalungkan di leherku. Kaki-kaki langsingnya melingkari pinggangku. Matanya tak berhenti mengerjap-erjap bingung. Sedangkan aku, mataku menghujamnya tajam dan dalam seakan sosok iblis di diriku ingin mencabik seluruh pakaian yang lelaki itu pakai hingga ia telanjang.

Iblis sialan itu semakin tak terkendali. Nafsunya membuatku terbakar dan berkobar. Dan karena sudah tak tahan lagi, aku melahap bibir Baekhyun tanpa perlawanan karena posisi tersebut membuatnya pasrah tidak leluasa bergerak.

Aku kelaparan. Aku kehausan. Dan bibir kenyal itu memberikan seluruh yang kudambakan. Sudut bibirku terangkat separuh ketika menyadari Baekhyun terlarut dalam permainan lidah basahku di rongga mulutnya. Matanya semakin sayu dan nafasnya memburu. Jemarinya bergerak ke rambutku dan meremas di sana, menarik kepalaku mendekat agar ciuman kami jangan terlepas dulu.

Dia tidak berpengalaman, aku tahu itu. Melihat betapa rakusnya dia membalasku, sepertinya aku telah berhasil membuatnya merasa penasaran akan hal apa lagi yang bisa kulakukan hanya dengan permainan bibirku.

Seluruh diriku mempertanyakan mengapa aku bisa tahan dengan ini semua? Satu persatu bayangan menyakitkan tentang Thomas ketika dia memaksa menciumku seperti yang kulakukan pada Baekhyun sekarang menyeruak ke permukaan. Biasanya, pingsan adalah hal yang akan terjadi jika aku sudah tersiksa seperti ini.

Tapi aku telah bertekad aku tidak akan kalah. Semakin sering bayangan itu muncul, lumatanku di bibir Baekhyun juga semakin kuperdalam.

Seperti kaca pecah, wajah Thomas dan kenangan menyakitkan itu hancur berkeping-keping karena aku berhasil mengenyahkan mereka semua dari pikiranku. Satu-satunya hal yang kemudian mengisi kepalaku adalah Byun Baekhyun seorang.

Ini begitu nikmat dan memabukkan. Mencium Baekhyun membuatku merasa telah menemukan obat dari trauma masa laluku. Rasa bahagia menyeruak seiring dengan bibirku yang mulai beralih ke leher mulus pria itu. Dia mengerang, mendesah, menjerit ketika aku membuat tanda di sana. Karena suka mendengar jeritannya, kubuat tanda satu lagi dan dia mengerang panjang oleh ulahku.

Dan selanjutnya, aku merasakan celananya basah dan mengenai daerah perutku yang masih terlapis hoodie. Baekhyun perlahan melemas dan kepalanya terkulai di leherku. Tangannya juga kehilangan tenaga dan dia bertumpu sepenuhnya padaku.

Aku tersenyum kecil. "Keluar hanya karena ciumanku, hm?"

Iblis di diriku memerintahkan untuk menyelesaikan permainannya sampai akhir. Baekhyun telah tertidur dan harusnya mudah saja bagiku untuk menggerayanginya. Dia tidak akan melawan saat aku mengeksplor kenikmatan demi kenikmatan dari setiap senti tubuhnya. Namun tidak kulakukan hasutan sang Iblis karena aku menghormati pria itu. Dia tidak pantas diperlakukan begitu dan aku bukanlah orang yang suka mencari kesempatan.

Jadi, kugendong kembali Baekhyun menuju sofa, bermaksud ingin menidurkannya di sana. Aku akan menyelesaikan hasratku yang tertunda di toilet, itulah rencanaku selanjutnya.

"Ja-ngan pergi..." Baekhyun mengigau persis ketika aku beranjak setelah membalut tubuhnya dengan selimut pink. "Chanyeol, jangan pergi..."

Aku terpaku. Bukankah biasanya hanya ada Sehun, Sehun dan Sehun dalam kepala lelaki itu? Saat dia memanggilku dalam tidurnya, wajarkah kalau aku merasakan rongga dadaku menghangat?

Baekhyun membuka matanya perlahan. Tanpa berkata-kata, dia menarikku ke sofa, membuatku terbaring di sana tanpa perlawanan, dan lelaki itu kemudian mengambil posisi seperti akan menindihku. Dengan gerakan lambat, dia kemudian melepas kaosnya hingga membuatku lupa bagaimana caranya bernafas.

Mereka begitu pink, kontras dengan kulitnya yang seputih salju. Aku bertanya-tanya apakah melumat mereka sama nikmatnya seperti melumat bibir Baekhyun?

Meski jantungku berdetak tak karuan, kubiarkan saja Baekhyun melakukan apa yang ia ingin lakukan. Dia merunduk persis di atas selangkanganku, dan kupikir dia mau membebaskan apapun yang sedang terkurung di dalamnya. Monsterku yang memang butuh ditenangkan sejak tadi bersorak girang karena merasa ia akan terpuaskan sebentar lagi. Namun setelah wajahnya semakin mendekat dan bisa kurasakan hembusan nafasnya di atas pusarku, yang Baekhyun lakukan adalah menelusupkan kepalanya dari bawah hoodieku, terus bergerak ke atas hingga tubuhnya telah masuk sepenuhnya ke dalam pakaianku.

Entah hoodieku yang kebesaran atau badan Baekhyun yang terlalu mungil, namun faktanya kami berdua terbungkus dalam satu pakaian yang sama sekarang. Kulit dadaku bertemu langsung dengan dadanya. Hangat dan sensual. Setelah menemukan posisi nyamannya, Baekhyun meletakkan kepala di lekuk leherku dan kembali tertidur seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya.

Secara perlahan, kulingkarkan tangan untuk memeluk Baekhyun agar ia merasa semakin hangat.

Begitulah alasan mengapa Baekhyun bisa berada di atas tubuhku, masuk ke dalam hoodieku dan kami berada di posisi seperti itu hingga pagi menjelang.

...

Ekspektasiku untuk pagi ini adalah, Baekhyun akhirnya tersadar akan apa yang telah terjadi tadi malam dan dia bakal memukuliku sampai aku mati. Aku sudah berpikir ingin meng-order peti mati melalui situs online sebentar lagi.

Dia memang melakukannya, tapi hanya sampai dimana sudut bibirku pecah dan hidungku berdarah. Aku yakin sekali dia masih ingin memakiku dan menuntut penjelasan kenapa di lehernya ada bekas ciuman—dan juga kenapa ada sperma kering di celana dalamnya, namun sebuah pesan masuk dari entah siapa membuat Baekhyun batal membunuhku.

Dengan tangan bergetar dan airmata yang perlahan jatuh, dia membaca setiap kata dalam pesan masuk itu.

Ingin sekali rasanya aku bertanya siapa yang mengirim pesan, apa yang orang itu katakan hingga membuat Baekhyun sampai terisak pilu—namun tidak kulakukan karena aku juga berada dalam posisi yang sulit.

Sesaat kemudian, Baekhyun memasukkan ponselnya ke saku lalu menghapus airmatanya kasar. Aku tahu masih ada milyaran kata-kata kasar yang bersiap terlontar, aku sudah mempersiapkan telinga dan hatiku untuk itu.

"Aku membencimu, Park Chanyeol."

Namun satu kalimat yang harusnya terdengar tidak terlalu kasar seperti itu malah membuat hatiku sakitnya bukan main. Lebih sakit daripada ketika Charlotte memaki-makiku dulu. Mungkin karena Baekhyun mengatakannya sambil terisak. Tanpa dia ketahui, rasa tidak diinginkan itu menyeruak dan membuat rasa kepercayaan diriku hilang.

"Kau pikir ini salahku sepenuhnya?" ditengah rasa sakit hatiku, aku mencoba membela diri. Aku bangkit dari posisi dudukku di sofa dan berdiri menjulang di hadapan lelaki itu.

"Bukan aku yang mengundangmu datang ke sini! Bukan aku yang memberimu alkohol hingga kau mabuk! Aku sudah menyuruhmu pulang, tapi kau memaksa untuk tetap tinggal! Aku memang bersalah karena telah menciummu, tapi kau juga membalas ciumanku! Dan terakhir, aku sudah ingin pergi tapi kau menahanku lalu memaksa untuk tidur di atasku!"

"..."

"Lalu kenapa kau melimpahkan seluruh kesalahan itu padaku, Byun Baekhyun?" ujarku dengan suara bergetar oleh luka menganga yang ia torehkan di hatiku. Aku benci merasa tidak diinginkan oleh seseorang yang kuharap bakal menginginkanku.

"..."

Entah karena dia memang sudah terlanjur membenciku, atau kebenciannya itu bercampur oleh kesedihan akibat pesan yang ia dapatkan, Baekhyun tidak mau menjawab meski aku sudah mendesaknya sedemikian rupa.

"Aku menyesal pernah bertemu denganmu," ucapnya setelah bungkam beberapa menit.

Kepingan hatiku yang terakhir hancur lebur persis ketika Baekhyun mengatakan hal itu lalu berlari pergi dari studio musikku tiga detik setelahnya. Hatiku yang memang sudah hancur karena ulah Thomas dan Charlotte, hatiku yang perlahan-lahan pulih setelah bertahun-tahun lamanya, hatiku yang sudah lama tidak terjamah, hatiku yang menemukan kembali rasa hangat itu setelah Baekhyun memasuki hidupku—

—harusnya aku tidak perlu membuka hati kalau pada akhirnya, hatiku akan sakit kembali seperti yang kurasakan sekarang.

Charlotte, puaskah kau sekarang? Persis ketika aku menyadari perasaanku pada Baekhyun, dia memutuskan untuk membenciku di saat yang bersamaan.


Rasa malu, gengsi, marah, patah hati, kesal, khawatir-semuanya menyatu jadi satu dan memaksaku keluar dari kamar setelah mengurung diri selama dua hari. Aku harus menemui Byun Baekhyun dan meminta penjelasan atas ini semua. Aku berhak mendapatkannya, kalian tahu?

Semua ini berawal karena dia dan kami berakhir seperti ini juga gara-gara dirinya.

Aku sudah akan pergi dari Belgia dan hidup dengan tenang di tanah kelahiran ayahku kalau bukan karena Baekhyun yang membuatku memutuskan untuk tetap tinggal. Trauma masa lalu membuatku membenci gay dan segala hal tentang kalimat itu—tapi Byun Baekhyun dengan semua tingkahnya berhasil membuatku luluh. Dia menyembuhkan kesakitanku, tapi ketika aku perlahan bangkit dan ingin memulai lembaran baru dengannya, dia mencampakkanku tanpa hati.

Kalau ada seseorang di antara kami yang menyesal dengan pertemuan ini, bukankah sepantasnya orang itu adalah aku?

Lalu kenapa dia bersikap seolah-olah ini semua adalah salahku?

Aku berdiri dengan canggung dan resah di depan Home Gottingen karena ingin menemui Byun Baekhyun dan menuntut keadilan, namun orang yang kutunggu-tunggu tak kunjung keluar. Ini adalah hari Rabu dan aku tahu dia ada jadwal kuliah pagi ini—harusnya sejam yang lalu ia berangkat, namun setelah aku menelepon Rita dan menanyai keberadaan pria itu, fakta lain membuat kekhawatiranku memuncak.

Baekhyun tidak terlihat di mana pun sejak hari Senin lalu.

"Kau ingin masuk? Lantai berapa?" seorang gadis berambut brunette menginterupsi keresahanku dan sesegera mungkin kupasang wajah baik-baik saja.

"Uhm, bolehkah? Aku mau menemui temanku, dia tinggal di lantai 5."

"Aku juga tinggal di lantai 5! Ayolah, aku bisa membukakan pintu untukmu."

"Terima kasih,"

Gadis itu meletakkan key card di depan sensor dan pintu otomatis itu kemudian terbuka. Ada lift persis di depannya, jadi kami langsung masuk saja dan segera kutekan tombol 5.

"Namaku Claudia," ujarnya sesaat setelah pintu tertutup dan lift mulai melaju naik.

"Liam," kataku sambil membalas jabatan tangannya. Dia tersenyum manis sambil menyisipkan rambut panjang indahnya ke balik telinga.

"Boleh kutahu siapa temanmu yang tinggal di lantai 5 itu?"

"Baekhyun. Byun Baekhyun, dia dari Korea."

"Ah! Baekhyun!"

"Kau mengenalnya?"

Claudia mengangguk, "Tentu saja! Dia tinggal di sebelah kamarku. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Aku mendengarnya menangis beberapa hari lalu, ada suara barang-barang jatuh dan kupikir dia tidak pulang ke asrama sejak saat itu."

Bahuku merosot jatuh. Pintu lift terbuka dan Claudia langsung mengajakku berjalan menuju kamar Baekhyun.

"Tapi bisa saja aku salah. Mungkin saja dia sudah pulang," gumam Claudia lirih. Gadis itu mengetuk pintu kamar Baekhyun dan memanggil-manggil namanya, sedangkan aku, masih terpaku di tempat dengan pikiran berkecamuk hebat.

Nihil, tak ada balasan apapun dari dalam.

Kejadian di masa lalu masih membuatku mudah merasa panik. Pikiran-pikiran buruk langsung saja menghantui dan aku jadi sesak karenanya. Mungkinkah Baekhyun sakit, pingsan atau bahkan bunuh diri di dalam kamarnya tanpa ada yang mengetahui? Atau sesuatu terjadi pada keluarganya dan dia buru-buru pulang ke Korea? Atau seseorang menculiknya—

—Thomas? Mungkinkah Thomas tahu kalau kami menghabiskan malam bersama dan karena itu dia menculik Baekhyun?

"Hei, kau baik-baik saja?" Claudia menahan tubuhku yang hampir jatuh, nyaris memelukku meski aku tahu dia tidak sengaja melakukannya. Dengan sopan aku menyingkirkan tangannya dan memilih untuk bersandar di dinding.

"Aku baik-baik saja,"

Claudia terlihat cemas, "Apa sebaiknya kita lapor ke Ketua Asrama dan minta kunci cadangan?"

Meski tadinya tidak ingin merepotkan banyak orang, akhirnya ide gadis itu kuterima juga. Kami melapor ke kantor asrama yang terletak di lantai dasar Home Vermeylen di seberang gedung dan salah satu petugas di sana mengikuti kami kembali ke asrama Baekhyun untuk membukakan pintu.

Hal pertama yang kulihat ketika pintunya terbuka adalah barang-barang Baekhyun yang berserakan di lantai. Pakaian, alat-alat tulis, semuanya tergeletak seperti seseorang baru saja mencampakkan mereka dengan penuh amarah.

Dengan terburu-buru, aku memeriksa setiap sudur kamar, hingga ke dalam kamar mandi sampai ke kolong tempat tidur, hanya untuk mencari keberadaan lelaki itu. Tak terkira betapa leganya aku karena kekhawatiranku kalau-kalau Baekhyun pingsan atau bunuh diri ternyata tidak terbukti.

Kalau dia tidak ada disini, lalu kemana dia pergi?

"Liam?"

Claudia kembali menginterupsi, mungkin karena aku terlihat sibuk dengan pikiranku sendiri.

"Bolehkah aku tinggal di sini lebih lama? Aku mau membereskan kamar Baekhyun terlebih dahulu dan akan kukembalikan kuncinya kalau sudah selesai,"

Tidak sulit untuk meyakinkan petugas asrama agar aku diizinkan untuk tetap tinggal. Yang sulit adalah meyakinkan Claudia kalau semua baik-baik saja dan aku tidak butuh bantuannya untuk membereskan kamar Baekhyun. Namun wanita itu tetap bersikeras ingin tetap tinggal, dia adalah teman Baekhyun dan sudah seharusnya dia ikut membantu.

"Baiklah, terserahmu saja."

Claudia tersenyum dan mulai membantuku melipat kembali pakaian Baekhyun. Di sepanjang kegiatan itu, wanita yang mengaku berasal dari Asturias, Spanyol tersebut selalu berusaha mengajakku berbicara. Otakku yang sedari awal memang hanya dipakai untuk memikirkan Baekhyun tidak kuasa untuk meladeninya sehingga percakapan yang ia mulai menjadi satu arah.

Aku tengah menata kembali meja belajar Baekhyun ketika melihat sebuah foto terselip di binder bersampul biru itu.

"Ini pasti Sehun," gumamku. Di sebelahnya, ada Baekhyun yang tampak menyandarkan kepala di pundak lelaki itu sambil tersenyum lebar ke arah kamera. Baekhyun benar, Sehun memang tampan. Tapi dibanding dirinya, kupikir aku sedikit lebih lumayan. Tanpa kusadari, aku berulang kali menghela nafas berat karena sosok di dalam foto itu adalah orang yang selalu Baekhyun puja-puja. Dia adalah orang yang paling bisa membuat Baekhyun merasa bahagia.

Dan orang itu bukan aku.

"Liam? Liam? Kau sedang melihat apa?"

Karena Claudia yang kelewat penasaran itu mendadak merapat di belakangku, aku tersentak kaget ketika merasakan dadanya menempel ketat di punggungku. Aku berbalik dengan cepat dan ternyata aku mengambil langkah yang salah, Claudia kehilangan keseimbangan dan kalau bukan karena satu tanganku cepat-cepat memegangi meja belajar Baekhyun sedangkan satunya lagi memegangi pinggang gadis itu, kami berdua pasti akan jatuh.

Claudia bertumpu sepenuhnya padaku, setengah menindih tubuhku yang masih menahan beban kami berdua di atas meja belajar. Harusnya aku menyukai sensasi dimana dada padat gadis itu menekan dadaku, namun secara mengejutkan, aku sama sekali tidak menyukainya. Claudia sadar posisi kami terlihat canggung dan aku tidak nyaman akan hal itu, tapi dia malah menekan tubuhnya semakin dalam persis ketika aku melihat seseorang membuka pintu dari luar.

"Apa yang kalian lakukan di kamarku?"

Dad, setelah ini, Baekhyun pasti akan semakin membenciku melebihi yang sudah-sudah. Dan aku juga akan bertambah membenci diriku sendiri karena telah menyebabkan hal itu terjadi. Apa yang harus kulakukan, dad?


Hi, all. Long time no see, huh? I have been really busy with work and got no time to write. Stay healthy and see ya later.