SUPPOSED TO BE
•
A Sequel of SUPPOSED
By: CHANBAEXO
•
ENJOY!
•
Sosok itu tampak menikmati aktifitasnya di atas alat kardio. Helaan napas yang kian terdengar berat saling bersahut dengan detak jarum jam yang sedari tadi menjadi salah satu tanda kehidupan di ruangan yang disesaki oleh berbagai macam alat untuk melatih kebugaran tubuh.
Bulir peluh telah lama membasahi nyaris seluruh perut dan dada telanjangnya.
Lantas setelah memastikan angka indeks yang menunjukan detak jantung pada heart rate monitor di pergelangan tangannya cukup stabil, ia menghentikan kecepatan treadmill.
Pria itu masih berjalan tenang di atas alat kardio tersebut tanpa menghiraukan sosok wanita yang beberapa detik lalu memasuki ruangan.
"Bagaimana? Kau suka mansionnya?" Tanya wanita itu seraya mendekat dan menyerahkan handuk kecil.
Tak mendapati jawaban berarti, wanita itu kembali berucap, "Unit ini salah satu yang terbaik di Jeju, aku harap kau menyukainya, Park Chanyeol."
"Jika mansion ini salah satu yang terbaik, lantas bagaimana kau akan menjelaskan kehadiran cecunguk-cecunguk itu, Lily?" Tanya Chanyeol seraya menunjuk pada beberapa orang yang tampak berkeliaran di sekitar gerbang mansion. Dengan hanya melihat sekilas pun Chanyeol tahu siapa mereka, orang-orang yang menenteng kamera secara profesional itu sudah pasti sekumpulan paparazzi.
Lily mengikuti arah pandang Chanyeol sebelum kemudian mendengus keras. "Okay, bagaimana jika kita menyikapi itu sebagai suatu hal yang wajar?" Tanyanya, "Sangat wajar."
Sebelah alis Chanyeol terangkat.
"Oh, pertama kau adalah Park Chanyeol. Kedua, maaf karena mengatakan ini tapi di masa lalu kau adalah aktor papan atas yang cukup sensasional, lantas kau menghilang selama dua tahun. Bukankah wajar jika mereka mampu menembus keamanan lingkungan ini hanya untuk memuaskan rasa penasaran mereka terhadap dirimu yang pada faktanya begitu berpengaruh dulu."
Chanyeol masih menatap Lily dengan datar tanpa satu kata pun yang terlontar.
"Ayolah, kau masihlah seorang Park Chanyeol yang wajar mereka kejar hingga saat ini."
Jengah, Chanyeol memilih menarik pinggang ramping Lily, merapat pada tubuhnya. "Kau terlalu banyak bicara, Miss Maymac." Bisiknya dengan suara parau sedang kedua iris itu sudah lebih dulu menjebak Lily dalam kebisuan, mengendalikannya perlahan hingga membuat kepala wanita itu bergerak tanpa dikomando. Namun ketika Lily nyaris berhasil mengikis jarak, Chanyeol telah lebih dulu memisahkan tangannya dari pinggang wanita itu lantas berlalu melewatinya begitu saja.
Lily masih membatu, wanita berwajah western itu menggigit bibirnya dengan kuat, menahan malu.
Chanyeol menolaknya lagi.
"What's my schedule for today?"
Seruan Chanyeol di balik bilik bedroom closet tersebut membuyarkan lamunan Lily, "Siang ini anda mempunyai janji temu makan siang dengan dua desainer terkenal Korea sebelum menghadiri rapat pembahasan peresmian kantor cabang baru." Jawab Lily dengan formal seraya mengeluarkan mobile tab dari dalam tasnya lantas ia bergegas menghampiri Chanyeol. Namun sesampainya di ruangan yang sama dengan pria itu, kedua bola matanya melotot terkejut melihat Chanyeol yang nyaris terhuyung jatuh ke lantai.
"Hei, kau baik?" Seru Lily dengan panik.
Chanyeol mengangkat sebelah tangan sementara satu tangannya yang lain tampak memegangi perut.
"Aku baik-baik saja." Sahut Chanyeol saat wanita di hadapannya hendak akan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ia tahu apa yang akan wanita itu lakukan.
"Tidak. Ini memang sudah dua tahun berlalu dan luka di perutmu sudah lama sembuh, tapi dokter pernah memperingatkanmu jika suatu waktu lukamu itu bisa mengalami kontraksi jika kau melakukan aktifitas berlebih! Aku harus menghubungi dokter!"
"I told you! I'm fine!" Chanyeol kembali menegaskan di balik ekspresi wajahnya yang mulai pucat dan mengeras. Matanya terpejam pelan, lantas helaan napas yang berhembus perlahan membuyarkan rasa sakit di bagian perutnya. "Aku bisa mengatasinya." Suaranya melemah, tepukan pada bahu Lily menjadi sebuah penenang agar wanita itu tidak mencemaskannya.
Lily mengangguk terbata meski matanya masih tertuju pada segaris bekas luka yang menghiasi perut Chanyeol. Ia sudah terlalu paham bahwa pria yang ia hadapi saat ini bukanlah sosok yang akan membiarkan siapa pun menatap iba terhadap dirinya. "B-baik, Sajangnim."
Selepas berpakaian, Chanyeol ditemani Lily sang asisten pribadi segera bergegas menuju tempat pertemuan yang sudah ditentukan. Chanyeol mulai sibuk dengan surat kabar sementara dari berbagai spot tampak beberapa paparazzi sibuk memotret saat SUV yang ditumpangi oleh pria yang kini mempunyai reputasi sebagai seorang pengusaha muda tersebut keluar dari gerbang mansion.
"Whoa."
Senyum miring tercetak di bibir Chanyeol saat mendengar seruan Lily di sampingnya. "What was that for?" Tanyanya masih sibuk dengan surat kabar.
"Populer memang bakatmu sedari dulu. Kau tahu berapa banyak surat cinta yang dititipkan anak-anak perempuan padaku untukmu saat di Amerika dulu?"
"Tidak. Karena tidak ada satu pun yang sampai ke tanganku." Celetuk Chanyeol yang berhasil membuat Lily salah tingkah.
"Err.. itu.. itu karena aku.. lupa memberikannya padamu." Dalihnya, wanita itu tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya bahwa ia rajin membakar semua surat cinta untuk Chanyeol sesaat setelah menerimanya dari para penggemar pria itu.
Chanyeol tak bergeming. Masih setia membaca kata demi kata yang terpampang di surat kabar.
"Apa untungnya bagi mereka melakukan ini sedangkan pada faktanya kau tidak lagi berkecimpung di dunia hiburan." Gumam Lily.
Chanyeol menutup surat kabar lantas melirik wanita di sampingnya. "Mereka hanya merusak hidup dan ketenangan orang lain." Finalnya sebelum kemudian beralih memandangi hamparan putih salju di luar jendela mobil.
Penghujung tahun. Dan Chanyeol nyaris lupa akan fakta itu meski pada kenyataan lain ia tidak mungkin lupa bahwa partikel es yang terlahir dari ketinggian cakrawala itu kerap hadir dan selalu berhasil memutar kilas balik pada lembar usang kehidupannya dua tahun silam.
Eksistensinya yang melayang ringan di udara tidak pernah gagal membangkitkan kenangan itu. Apa yang terjadi di waktu itu, sepahit apa rasanya, sesakit dan sesulit apa yang Chanyeol alami, pria itu tidak mungkin lupa.
Bahkan, kehidupannya kini yang terasa jauh berbeda serta gelar jutawan atau persetan apapun itu yang menjunjungnya berada di atas puncak tertinggi sebuah reputasi, tidak akan mampu menghapus lembar kelam itu dari benaknya. Tidak akan mampu menghapus fakta bahwa pria itu pernah seorang diri menahan segala macam rasa sakit, bahkan mengorbankan hati nurani demi mengais sebuah kata maaf.
Ya. Kala itu ia sendiri. Tanpa belas kasih, tanpa ada satu pun yang membisikkan kalimat penenang yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
"Ketampananmu berkurang nyaris lima puluh persen ketika kau melamun seperti itu."
Celetukan Lily berhasil membawa Chanyeol kembali ke dunia nyata. Pria itu melirik wanita di sampingnya lantas tersenyum tipis.
"Oh, jangan lagi." Lily tidak perlu kaca pembesar untuk mempertegas betapa mempesonanya senyuman seorang Park Chanyeol saat ini karena ia tahu jika Chanyeol sudah sepeti itu maka apa yang ada di dalam benak pria tersebut tidak akan jauh dari hal-hal yang berhubungan dengan masa lalunya.
"I don't know what would happen with me if you weren't there-"
"Kau sudah mengatakannya ratusan kali."
"Tidak sebanyak itu."
"Oh yeah." Jengah Lily lantas memutar bola mata. "Hei, rambutku berantakan." Protesnya saat Chanyeol mengusak rambutnya. Jika wanita lain akan merasa senang diperlakukan seperti itu, namun bagi Lily tidak sama sekali.
Pertama, ia bukan anak kecil.
Kedua, Chanyeol tidak tahu berapa lama Lily menata rambutnya di depan meja rias.
Terkahir, Lily tidak menyukai perlakuan tersebut karena ia tahu Chanyeol melakukannya hanya karena pria itu menganggapnya tidak lebih dari seorang teman.
•
•
SUPPOSED TO BE
•
•
Kyungsoo masih saja menatap Jongin dengan raut penuh tanda tanya. Bahkan ada sekelebat ekspresi yang menuntut sebuah penjelasan sesaat setelah kekasihnya tersebut memutus sambungan telepon dengan Baekhyun.
"Apa? Apa?" Tanya Jongin dengan salah tingkah.
"Ada apa denganmu? Apa hubungannya sikapmu ini dengan keberadaan Baekhyun di pulau Jeju?"
Jongin bergidik ngeri mendapati Kyungsoo menatapnya garang seolah pria itu adalah seorang penjahat veteran yang tengah duduk di sebuah ruang interogasi kepolisian.
"Oh baiklah. Meskipun aku meragukannya tapi fakta bahwa Baekhyun berada di Jeju saat ini membuatku sedikit cemas."
"Apa alasan atas keraguanmu itu?"
Jongin bungkam sejenak, menimang kosa kata yang pas agar ia tidak terdengar seperti mengada-ada. "Park Chanyeol.. kabar terakhir yang aku dengar tentangnya dia sedang berada di pulau Jeju, saat ini." Tukasnya lantas melirik pada Kyungsoo yang tengah menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca. "Oh, aku memang tidak pernah memberitahu siapapun bahwa aku membayar orang profesional untuk melacak keberadaan bajingan itu." Lanjutnya dengan geram, tidak bisa menyembunyikan perasaan marahnya ketika mengingat malam itu, dua tahun lalu Park Chanyeol meneleponnya dengan suara payah, menggumamkan kata-kata aneh lantas memutus sambungan telepon itu secara sepihak sebelum kemudian menghilang seolah ditelan bumi hingga saat ini.
"Ahh jadi informasi itu benar." Gumam Kyungsoo.
"Apa maksudmu?" Sebelah alis Jongin terangkat.
Kyungsoo menarik napas pelan lantas menatap Jongin dengan wajah serius. "Aku cukup kenal dan dekat dengan beberapa wartawan. Salah satunya begitu terobsesi dengan kehidupan Park Chanyeol. Kemarin aku bertemu dengannya di lokasi syuting dan kau tahu dulu aku dan temanmu itu pernah terlibat skandal kencan, lalu wartawan itu memberitahuku bahwa dia menemukan jejak Park Chanyeol. Dan memang benar dia mengatakan akan menyusulnya ke pulau Jeju untuk memastikan. Awalnya aku pikir dia hanya membual, tapi ketika mendengar penjelasanmu semua itu terasa masuk akal." Tukas Kyungsoo panjang lebar.
"Bersembunyi dimana kau selama ini, Chanyeol-a.." Gumam Jongin setelah bungkam cukup lama, cukup tertohok mendengar penjelasan Kyungsoo.
"Lihat ini.." Kyungsoo menunjukan layar ponsel kepada kekasihnya. "Aku sudah lama mengikuti berita tentang pengusaha muda asal jepang ini. Meski begitu dia bermarga Korea, namanya Richard Park."
Dahi Jongin mengernyit dalam, menatap Kyungsoo dengan satu ekspresi yang sudah sangat Kyungsoo hafal.
"Oh, ayolah dengarkan dulu, jangan cemburu seperti itu." Tukas Kyungsoo. "Richard Park. Meniti karir sebagai seorang pengusaha sejak dua tahun lalu. Kabarnya hanya dengan bermodalkan sejumlah saham yang dia milikki kini pria itu sukses memimpin beberapa sektor industri di Jepang. Bisa kau bayangkan betapa cerdasnya orang itu?"
"Apa itu penting untukku? Kenapa kau malah membicarakan orang yang tidak kukenal sama sekali?"
"Sudah kubilang dengarkan dulu. Aku mengikuti perkembangan beritanya karena entah mengapa aku merasa bahwa pria ini adalah Park Chanyeol." Jelas Kyungsoo seraya memainkan jarinya di atas layar ponsel. "Tapi sayang sekali tidak ada bukti untuk menguatkan asumsiku itu, karena tidak ada satu pun foto tentang Richard Park. Hanya ada beberapa informasi yang mengarah pada fakta bahwa pria ini adalah temanmu, Park Chanyeol."
"Kau yakin?"
Kyungsoo menggeleng. "Meskipun begitu apa yang seharusnya kita harapkan? Berharap bahwa dia benar-benar Park Chanyeol dan bersyukur karena temanmu itu masih hidup atau berharap dia tidak kembali muncul dan mengancam kebahagiaan Baekhyun yang sudah ditatanya dengan susah payah?"
Helaan napas berat lolos dari hidung Jongin. "Untuk saat ini aku berharap mereka tidak ditakdirkan berada di tempat yang sama." Lantas melirik Kyungsoo dengan senyum masam. "Aku berharap Chanyeol tidak ada di Jeju saat ini."
Kyungsoo menepuk bahu kekasihnya. "Baekhyun akan baik-baik saja." Tukasnya menenangkan.
Tidak. Jongin menggeleng pelan. Bukan hanya Baekhyun yang Jongin cemaskan. Jika Kyungsoo berpikir Jongin marah dan mengutuk seorang Park Chanyeol atas apa yang terjadi di masa lalu, maka wanita itu salah. Jongin telah melihat sekeras apa upaya Chanyeol dalam menebus semua kesalahan dan dosanya kepada Baekhyun. Meski berakhir sia-sia dan Chanyeol tidak mendapatkan pengampunan itu, namun setidaknya temannya itu telah mati-matian mencoba membuktikan bahwa dia menyesal. Dan hal itu membuat Jongin berpikir bahwa ia tidak pantas menghakimi Chanyeol terus-menerus.
Maka suatu hal yang wajar jika saat ini ia juga mencemaskan Park Chanyeol. Entah rasa sakit seperti apa yang akan temannya itu rasakan jika Tuhan kembali mempertemukannya dengan wanita yang dulu tidak memberinya sedikitpun kesempatan.
•
•
SUPPOSED TO BE
•
•
Chanyeol keluar dari mobil sesaat setelah petugas restoran membukakan pintu. Lily kembali menghampirinya dan mengatakan bahwa tamu dari Seoul sudah menunggunya.
"Sebagai informasi, mereka berdua wanita." Bisik Lily yang berjalan di samping Chanyeol.
Pria itu terus berjalan, mengabaikan tiap asumsi dari beberapa pasang mata yang mungkin akan mencapnya sebagai sosok yang angkuh karena meskipun tampan, Tuhan seolah tak menganugerahi garis senyum di wajahnya.
"Mereka cantik." Lily kembali bergumam dengan nada menggoda. Masih melangkah pasti di lorong beralaskan kayu mengilat yang sudah menjadi ciri khas restoran Jepang.
"Oh ya? Haruskah aku nikahi salah satunya?" Celetuk Chanyeol ikut berbisik.
"Kau terdengar seperti pria yang tidak laku." Sahut Lily dengan nada masam.
Sudut bibir Chanyeol terangkat. Ia bahkan nyaris terkekeh jika saja pintu VIP di depannya tidak lebih dulu terbuka. Suara benda jatuh yang terdengar dari dalam mengalihkan atensi, namun bukan itu yang menghentikan langkah kakinya yang hendak menuntunnya masuk ke dalam ruangan itu. Bukan itu yang membuat sekujur tubuhnya tiba-tiba diselimuti gigil, bukan itu pula yang membuat garis rahangnya mengeras tanpa dikomando.
Lantas Chanyeol kembali terlempar pada puluhan tahun silam, tepat di mana ia berdiri memegang payung, melindungi sosok bermata jernih itu dari guyuran hujan.
Ya. Tuhan mengawalinya dengan cara semanis itu. Sebelum Ia membuat hidup Chanyeol bernaung di bawah awan mendung. Sebelum Ia membuat sosok bermata jernih menyenangkan itu tidak lebih dari seseorang yang senyum di bibir merahnya pantas Chanyeol lenyapkan.
Sebelum semuanya sehancur dua tahun silam.
Sebelum kini ketika semuanya terasa berbeda.
Tuhan kembali mempertemukannya, tapi tidak dengan cara yang membuat Chanyeol ingin kembali bertemu dengannya jika mereka berpisah lagi. Tidak semenyenangkan seperti saat Chanyeol berlari di bawah derasnya hujan sesaat setelah menyerahkan payung miliknya pada sosok berambut lepek itu.
Yang terasa hanya perasaan geram. Marah. Dan pedih yang mulai menjalar memenuhi setiap pembuluh darah.
Dering telepon membuyarkan segalanya.
"Hajimemashite.. saya memang sudah menunggu telepon dari anda. Kapan anda sampai?"
Chanyeol berbicara sesaat setelah Lily menginfokan identitas penelepon melalui sebuah bisikan, sedang kedua iris kelam itu masih terkunci pada sosok wanita yang duduk di depan meja makan yang juga menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
Sambungan telepon kembali terputus, Chanyeol menyerahkan ponselnya kembali kepada Lily lantas membisikkan sesuatu di depan telinga sang asisten sebelum kemudian tanpa berkeinginan kembali melirik pada sosok yang semakin membuat dadanya dipenuhi sesak, pria itu berbalik dan berlalu dari sana.
"Oh mohon maaf, mendadak sajangnim kedatangan tamu penting dari Jepang. Saya akan menjadwal ulang pertemuan secepatnya. Sekali lagi mohon maaf." Tukas Lily dengan sopan sebelum kemudian membungkuk sopan dan pamit.
Menit demi menit berlalu tak sedikitpun mampu membebaskan atmosfir di dalam ruangan VIP itu dari keheningan.
"Itu.. tadi itu, Park Chanyeol 'kan?" Akhirnya Yixing bersuara.
Tanpa melihat atau bahkan melirik pun Baekhyun tahu bahwa Yixing sama terkejutnya dengan dirinya.
"Bagimana bisa? Dia? Richard Park? Oh jadi selama ini meniti karir sebagai seorang pengusaha di Jepang.." Dengusan keras terus menerus terdengar dari hidung Yixing sementara Baekhyun masih meyakinkan dirinya bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah sebuah bunga tidur yang akan buyar ketika ia terbangun.
Bukan pula sebuah khayal yang akan lenyap terhempas kenyataan.
Ya. Kenyataan. Apa yang berhasil mengambil alih napasnya sesaat lalu adalah sebuah kenyataan.
Perlahan kepala Baekhyun bergerak, dengan ekspresi bingung ia menatap Yixing, seolah bertanya-tanya dan memastikan bahwa iris kelam yang menjebaknya dalam atmosfir beku sesaat lalu adalah benar milik seorang Park Chanyeol.
Bagaimana bisa?
•
•
Baekhyun dan Yixing bergegas kembali ke hotel sesaat setelah Lily membatalkan pertemuan.
Baekhyun masih memusatkan atensinya ke luar jendela ketika ketukan pintu terdengar, lantas ia bangkit dan membukakan pintu kamar.
"Barusan aku bertemu dengan Lily Maymac di lobi."
"Dia ada di hotel ini?"
Yixing mengangguk, "Kabarnya tamu penting Park Chanyeol memesan suit di hotel ini."
"Kenapa harus hotel ini? Dari sekian banyak hotel mewah di Jeju?"
Baekhyun sontak mengunci mulutnya rapat setelah sadar bahwa suaranya naik beberapa oktaf dengan nada protes yang begitu kentara.
"Err.. haruskah aku tanyakan pada Lily?" Beo Yixing.
Baekhyun memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang tak menentu.
Yixing menggaruk tengkuk. "Lily meminta maaf atas kejadian tadi dan mengatakan akan menjadwal ulang pertemuan jika sajang- ahh maksudku jika urusan Park Chanyeol dengan tamu pentingnya sudah selesai dan itu mungkin akan memakan waktu beberapa hari. Mereka tidak akan menahan kita disini. Kita bisa kembali ke Seoul dan menunggu kabar selanjutnya."
"Oh itu bagus. Kita bisa pulang sekarang. Aku.. urmmm.." Baekhyun berbicara seraya bergegas mengemas barangnya yang tidak seberapa banyak. "Aku.. merindukan putra dan putriku."
Entah mengapa, sekilas Yixing mendengar getar asing dalam pita suara Baekhyun ketika wanita itu menyebut putra dan putrinya.
"Sayangnya kita tidak bisa pulang sekarang, B."
Apa yang Yixing katakan sontak membuat gerak Baekhyun terhenti, wanita itu lantas melirik dan menatap Yixing penuh tanda tanya.
Yixing mendengus pelan lantas meraih remote televisi dan menghidupkannya.
Badai salju diperkirakan akan terjadi hari ini. Akibatnya semua maskapai penerbangan terpaksa tidak beroperasi sampai cuaca kembali normal.
Bukan hanya itu, akses di beberapa jalan untuk kendaraan beroda empat terpaksa ditutup. Hal itu dilakukan untuk menghindari bahaya karena badai salju diperkirakan akan mengganggu jarak pandang pengendara.
"Kita terjebak." Tukas Yixing setelah mematikan televisi.
"Ya Tuhan." Gumam Baekhyun dengan payah. "Sampai kapan, Eonni?"
"Aku tidak tahu, kita berdoa saja agar cuaca besok kembali normal." Yixing menepuk bahu Baekhyun. "Jihyun dan Jesper akan baik-baik saja. Tenanglah."
Baekhyun mencobanya.
Ya. Ia harus tenang.
Semua akan baik-baik saja bukan? Bahkan sekarang?
"Errr.. B? Kau baik?" Tanya Yixing terdengar hati-hati. Sejujurnya ia ingin bertanya sedari tadi, namun Baekhyun tampak begitu syok. Suatu hal yang wajar, Yixing mengerti. Ia bukan tidak tahu masalah pelik apa yang terjadi antara Baekhyun dan Chanyeol.
Senyum tipis terulas di bibir Baekhyun lantas ia mengangguk dengan pasti.
Yixing mendengus. "Oh syukurlah. Kalau begitu aku kembali ke kamarku dulu."
Setelah pintu itu kembali tertutup, Baekhyun berjalan lemah sebelum kemudian menghempaskan tubuhnya keatas ranjang. Ia bergerak pelan ke dalam posisi meringkuk, memeluk tubuh mungilnya dengan erat.
Tidak. Aku bahkan tidak yakin jika diriku baik-baik saja saat ini.
Lantas benaknya kembali dipenuhi oleh berbagai hal.
Dan dari sekian banyak hal yang memutari pikirannya, meski sempat menyangkal namun akhirnya ia mengaku pada dirinya sendiri bahwa ia merasa terganggu oleh satu hal.
Berkali-kali wanita itu menggeleng pelan, alih-alih merasa terkejut dengan kemunculan Chanyeol secara tiba-tiba setelah dua tahun berlalu, alih-alih merasa waspada karena bisa saja pria itu akan mengusik hidupnya, Baekhyun justru memilih mengabaikan segala konsekuensi terburuk itu. Malah yang kini berputar dibenaknya hanya sebuah kalimat yang mempertanyakan perihal raut tak bersahabat yang pria itu lempar kepada dirinya.
Tidak. Baekhyun tidak keberatan, hanya saja ia merasa butuh alasan kuat dibalik tatapan penuh penghakiman yang pria itu tujukan terhadapnya.
Seperti yang kerap Jesper lakukan.
Mereka begitu mirip.
Kenapa? Kenapa tatapanmu itu membuatku merasa tidak nyaman, Park Chanyeol?
•
•
SUPPOSED TO BE
•
•
Kelopak matanya terpejam dengan tidak tenang. Peluh kian membasahi dahi yang sedari tadi mengkerut. Erangan tertahan kerap lolos, seperti tengah menahan rasa sakit yang terlukis jelas di wajah tertidurnya.
"Hei.. Park Chanyeol? Chanyeol-a.."
"Ampun.. ampuni aku! Kumohon.."
"Chanyeol!" Lily terus mengguncang bahu Chanyeol, berharap pria yang tengah bermimpi buruk itu terjaga.
"Aku salah! Aku berdosa. Maaf! Maafkan aku!" Chanyeol terus mengerang sedang wajahnya kian memerah dipenuhi keringat yang terus keluar dari pori-porinya.
Lantas seperti yang kerap terjadi, tubuh pria itu menggigil hebat bersamaan dengan kelopak matanya yang mulai terbuka. Ia terjaga dengan getar yang menguasai seluruh persendiannya.
Lily membantu Chanyeol bangkit dari posisi tidur lantas meraih gelas berisi air di atas nakas samping ranjang, tak lupa botol putih berisi puluhan pil.
Napas Chanyeol masih memburu hebat sesaat setelah menelan pil yang diberikan Lily. Dan seperti biasa, kepalanya akan terkulai lemas di bahu wanita yang entah sejak kapan menjadi teman tidurnya itu.
"Aku disini, semua baik-baik saja. Kau hanya mimpi buruk seperti biasa. Tidak apa-apa." Bisik Lily. Wanita yang mengenakan gaun tidur tipis itu mengelus punggung Chanyeol dengan lembut.
Setelah napasnya mulai bisa ia kontrol dengan stabil, Chanyeol menegakkan tubuh dan menarik kepalanya dari bahu sempit Lily. Lantas pria itu bangkit dari ranjang dan berjalan lemah menuju balkon.
Bahkan pil yang dokter pribadinya bilang akan menenangkannya tidak cukup ampuh mengusir rasa sesak yang kian menguasai ulu hati. Maka dari itu Chanyeol butuh udara segar.
Seelah berdiri di atas balkon, pria itu lantas menghirup udara dengan rakus meski terasa beku karena salju tengah turun lebat, namun ia berharap rasa sesak itu lenyap. Berharap perasaan buruk yang terbawa dari mimpinya terhembus jauh.
Namun sia-sia.
Rasa sesak itu kian menjalar hingga membuat Chanyeol harus memukul dadanya berkali-kali dengan cukup kuat untuk mengusir ketidaknyamanan yang bernaung di balik tulang rusuknya tersebut.
"Akh!" Chanyeol kembali mengerang dengan keras. Sedang kepalan tangannya mulai mencengkram besi pembatas balkon. Pria itu mencoba sekuat tenaga agar pertahanan dirinya tidak runtuh seperti yang kerap terjadi setelah ia bermimpi buruk, namun upayanya selama ini tidak pernah membuahkan hasil.
Cairan bening itu tetap lolos dari kelopak matanya yang sesaat lalu terpejam.
Setelah menengadah cukup lama dalam kebisuan, Chanyeol kembali membuka mata dan memusatkan atensinya pada lalu lalang kendaraan di bawah sana. Lantas ketika ia mencoba beralih, ekor matanya telah lebih dulu menangkap siluet yang berdiri di sebelah balkon kamarnya.
Demi Tuhan. Lily tidak akan lolos dari amukannya kali ini.
Bagaimana bisa kamar hotel yang dipesannya tepat berada di samping kamar Byun Baekhyun?
Dan yang membuat Chanyeol semakin geram, Baekhyun berdiri di sana dan menatapnya dengan tatapan yang paling dibenci oleh pria itu.
Chanyeol tidak butuh belas kasih. Terlebih dari wanita itu.
Dalam jarak beberapa meter, Baekhyun masih menatap Chanyeol dengan perasaan tak menentu. Niatnya mengalihkan rasa kantuk dengan berdiri di balkon kamar harus terganti oleh sesuatu yang tidak pernah ia duga akan dilihatnya.
Ya. Apa yang dilihatnya beberapa saat lalu mau tidak mau melahirkan perang batin yang cukup hebat. Sebagian dari dirinya bahkan tidak percaya bahwa pria yang terlihat kesakitan lalu terisak pelan itu adalah Park Chanyeol.
Mengapa?
Mengapa dia tampak begitu menderita dan kesulitan?
Saliva Baekhyun tertelan pahit saat pria yang masih mencuri atensinya itu balas menatapnya dengan beku.
Lagi?
Tak ada satu pun kata yang terucap. Kedua pasang mata itu masih setia menatap satu sama lain.
Bedanya dengan Baekhyun yang melempar beragam perasaan di balik tatapannya, Chanyeol justru hanya memberi kesan dingin yang tergambar jelas di kedua bola matanya.
Atensi Baekhyun teralih sesaat setelah melihat siluet seorang wanita muncul, menghampiri Chanyeol. Kedua alisnya sedikit menukik, mempertajam penglihatan dan memastikan bahwa wanita yang mengenakan gaun tipis dan tengah memakaikan mantel pada Chanyeol tersebut adalah Lily.
"It's very cold here." Tukas Lily setelah memakaikan mantel pada Chanyeol.
"Lihat siapa yang berbicara?" Chanyeol membuka kembali mantelnya dan memakaikannya kepada Lily setelah mengamati gaun tidur yang dipakai wanita itu. "Kau hanya akan merepotkanku jika kau sakit." Melirik kearah Baekhyun sejenak, "Ahh, lain kali pastikan memesan kamar dengan benar, Lily. Aku sudah cukup mentolerir kesalahan-kesalahanmu selama ini."
"Saya terpaksa memesan kamar di hotel ini karena berita cuaca itu. A-apa kamarnya tidak cukup nyaman untuk anda, Sajangnim?"Tanya Lily dengan hati-hati. Meski ia belum tahu dimana letak kesalahannya.
"Tentu saja. Aku tidak nyaman disini. Pemandangannya membuatku muak." Tukas Chanyeol dengan geram tanpa melemahkan atensinya dari Baekhyun yang tampak bergeming mendengar penuturannya.
"B-baik, sajangnim. Maafkan kecorobohan saya." Sahut Lily meski tidak mengerti. Bagaimana bisa lalu lalang lampu kendaraan serta gempita kota yang terselimuti salju puluhan meter di bawah sana membuat pria itu muak?
Satu tatapan mematikan kembali Chanyeol lempar kearah Baekhyun sebelum kemudian ia berbalik dan kembali ke dalam kamarnya.
Lily mengerucutkan bibir, ia hendak menyusul Chanyeol jika saja kehadiran Baekhyun di sebelah balkon kamarnya tidak lebih dulu menyita atensi. "Oh?" Beonya sebelum kemudian membungkuk sopan dan berlalu setelah mendapati Baekhyun balas membungkuk kepadanya.
•
•
SUPPOSED TO BE
•
•
Baekhyun baru saja selesai mengeringkan rambutnya pagi ini ketika ketukan pintu terdengar.
"Selamat pagi." Seru Yixing.
"Selamat pagi Eonni."
"Akh! Aku merasa marah dengan berita cuaca itu, bagaimana bisa mereka memberitakan sesuatu yang tidak benar? Badai salju apanya?"
"Ya. Jika berita itu tidak muncul mungkin saat ini aku sedang memeluk Jihyun. Astaga aku merindukannya." Rengek Baekhyun.
"Tenang saja, siang ini kita pulang ke Seoul."
"Huh? Kenapa tidak sekarang saja?"
"Oh, itu.. sekarang tidak bisa. Karena Lily mengundang kita untuk sarapan bersama di kafetaria hotel, dia bilang sebagai ucapan maaf karena kejadian kemarin."
Satu nama itu berhasil membuat otak Baekhyun kembali berputar pada kejadian tadi malam. Lantas ia menggeleng pelan ketika sadar bahwa ia tidak harus memikirkannya.
Lagipula untuk apa?
Baekhyun sama sekali tidak terganggu dengan gaun tidur tipis yang wanita itu kenakan.
Tidak sama sekali.
"Kau tahu betul tidak sopan menolak niat baik seseorang bukan? Jadi, ayo kita turun. Kebetulan aku sudah lapar."
Jika sudah seperti itu, daya apa yang Baekhyun punya untuk menolak?
"Eonni tidak bilang Lily bersama orang itu?" Bisik Baekhyun saat sampai di kafetaria, terdengar sedikit geram ketika atensinya menangkap sosok Chanyeol duduk di sebelah Lily.
Entah mengapa Baekhyun merasa ekspresi wajah pria itu kini lebih banyak mengeluarkan aura angkuh. Dari caranya duduk dan membaca surat kabar saja seolah tengah memberitahu semua orang bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai reputasi tinggi.
Tentu saja. Aku tidak nyaman disini. Pemandangannya membuatku muak.
Baekhyun kembali merasa tertohok saat kalimat itu terngiang di benaknya.
"Aku pun tidak tahu, B." Balas Yixing ikut berbisik.
Lily mempersilakan Baekhyun dan Yixing duduk.
"Saya sudah memesankan sesuatu, semoga anda berdua suka." Tukas Lily dengan ramah
"Suka atau tidak, bukankah setiap orang harus menerima apa yang sudah ditentukan?" Celetuk Chanyeol tanpa mengalihkan atensi dari surat kabar.
Lily meliriknya dengan eksprsi bingung.
Mengapa bosnya itu terdengar begitu sentimen?
Yixing tertawa kaku. "Ahh, a-pa kabar Park Chanyeol-
Chanyeol meliriknya sejenak.
"-ssi?" Lanjut Yixing dengan ekspresi tegang. Dalam hati ia bertanya-tanya. Pria yang duduk di seberangnya saat ini benar-benar Park Chanyeol atau malah titisan Hades?
Mengapa auranya terasa begitu menyeramkan?
Padahal dulu mereka cukup akrab dan kerap bersenda gurau.
"Kalian saling mengenal?" Beo Lily dengan rasa penasaran.
"Ahh ya tentu saja, dulu kit-"
"Apa saya mengenal anda?" Chanyeol menutup surat kabar lantas menyesap cangkir kopinya.
"Ya?" Beo Yixing.
Sudut bibir Chanyeol terangkat. "Apa kita saling mengenal?"
Gelak tawa Baekhyun mengalihkan perhatian. "Eonni, mungkin kau salah orang." Tukasnya seraya terkekeh masam. Lantas melirik Chanyeol. "Richard Park sajangnim tidak mungkin mengenalmu. Jutawan seperti beliau tidak mungkin mengenal sembarangan orang." Lanjutnya dengan tegas lantas memotong wafel yang tersaji sebelum kemudian menyantapnya. "Bukan begitu, sajangnim?" Tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Dahi Chanyeol mengkerut dalam.
"Jadi, siapa yang anda maksud, Yixing-ssi?" Lily kembali bersuara.
Yixing mengerjap pelan. "Ahh dulu aku mengenal seseorang. Lupakan saja, lagipula tidak terlalu penting." Tukasnya lantas menyantap sarapannya.
"Sudah kubilang, beliau bukan orang yang kau kenal. Lagipula manusia tidak berubah seekstrim itu." Gumam Baekhyun seraya menunduk, menikmati sarapannya.
"But experience can do that to a man." Balas Chanyeol. Menghempas punggung pada sandaran kursi lantas kembali menebar aura dingin kepada Baekhyun. "Bukan begitu?"
Wanita itu memalingkan wajah sebelum kemudian memundurkan kursi. "Saya ijin ke toilet."
Baekhyun mencuci tangannya dengan geram, kemudian ia menatap refleksi dirinya di depan cermin. "Memang sudah bakatmu menjadi seangkuh itu." Lantas mendecih. "Apa? Muak katamu? Kau pikir dengan berpura-pura tidak mengenalku dan Yixing Eonni akan membuatmu terlihat keren? Astaga kurasa kau lebih memuakkan!" Lanjutnya bertambah geram sebelum kemudian sadar bahwa ia tidak menemukan alasan berarti atas kekesalannya saat ini.
Ada apa dengan dirinya?
Mengapa hari ini emosinya mudah sekali terpancing?
Baekhyun menggeleng keras. Tidak ingin terjebak dalam perasaan tak menentu hanya karena pria yang mempunyai banyak peran di masa lalunya itu kembali muncul di hadapannya, menjelma menjadi sosok tak tersentuh di balik stelan jas mahal buatan tangan.
Setelah mengeringkan tangan, Baekhyun bergegas kembali.
"Kau."
Langkah Baekhyun terhenti sesaat setelah keluar dari toilet. Suara baritone yang tidak pernah ia lupa itu seolah menghipnotisnya pada gerak refleks, berbalik tanpa dikomando.
Astaga, bagaiamana bisa kesan angkuh itu terlahir hanya dari caranya berdiri dengan mengantongi kedua tangan pada saku celana dan bersandar pada dinding?
"Biar kuperingatkan, sebaiknya jangan pernah muncul di hadapanku lagi." Tukas Chanyeol lantas memangku tangan, wajah tenangnya berhasil menyembunyikan rasa geram mengingat sudah tiga kali atensinya menangkap sosok Baekhyun hanya dalam kurun waktu dua puluh empat jam.
Yang benar saja!
Baekhyun masih mencerna apa yang terlontar dari mulut Chanyeol sebelum kemudian ia menatap pria itu dengan ekspresi seolah bertanya 'Apa katamu?'
"Kau mendengarnya. Aku tidak akan metolerirnya," Chanyeol memberi jeda sejenak. "Jika kau berani muncul di hadapanku lagi."
"Apa aku tidak salah dengar?"
"Tidak."
Baekhyun mendengus keras. "Dengar ini Richard Park sajangnim yang terhormat. Pertama, bukan aku yang muncul di hadapanmu tapi asistenmu yang terlampau seksi itu yang mengundangku."
"Maka dia tidak akan lolos dari amukanku untuk itu." Sahut Chanyeol tenang, masih memangku tangan.
"Kedua, jika kau berpikir aku suka berada di sini, bertemu dengan seorang klien yang ternyata adalah.." Baekhyun menjeda ucapannya lantas menelisik Chanyeol dengan tatapan menilai. "..dirimu. Oh, jika saja aku tahu sebelumnya, kau pikir aku sudi mengorbankan waktu berhargaku untuk datang kesini?"
"Well, aku bahkan sanggup memecat Lily jika dia tidak dengan segera membatalkan kerjasama itu denganmu."
Baekhyun membawa mulutnya ke dalam satu garis keras, geram. Perlahan, tangannya terkepal erat. Chanyeol hanya tidak tahu bahwa Baekhyun mempunyai bakat menciptakan luka lebam di wajah siapapun dengan kepalan tangannya.
Dan tentu saja, wanita itu akan dengan senang hati meninju wajah angkuh yang terpampang di hadapannya saat ini.
Chanyeol menegakkan tubuh lantas balas menatap Baekhyun. "Sebaiknya jangan remehkan peringatan dariku." Tukasnya dengan suara berat. Cukup lama ia di sana, bertahan pada kedua bola mata jernih itu ditemani amarah yang mulai terasa menyiksa.
Chanyeol benci terjebak dalam tatapannya yang tak berdosa. Maka dengan cepat ia berpaling dan melewati Baekhyun begitu saja, berlalu dari sana.
Sementara itu, Baekhyun membatu. Kakinya seolah terpaku di tempat yang kini ia pijak, sedang bola matanya bergerak tak tentu arah.
Tatapan Chanyeol sesaat yang lalu melahirkan begitu banyak tanda tanya. Kedua iris kelam itu, mengapa Baekhyun melihat sebuah permohonan di sana ketika kalimat terakhir pria itu terlontar?
Seolah pria itu benar-benar menolak dipertemukan kembali dengan Baekhyun.
Lalu mengapa ada begitu banyak penderitaan di balik tatapannya?
Baekhyun kembali merenungkan beberapa hal. Tentang arti di balik aura dingin yang pria itu tujukan terhadapnya.
Tentang tatapan menusuk yang pria itu lempar kearahnya.
Tentang luka yang tergambar jelas di kedua bola matanya.
Ya. Luka itu, Baekhyun menyadarinya beberapa saat yang lalu.
Apakah benar Baekhyun adalah alasan di balik semua itu?
Wanita itu tidak tahu mengapa ia berpikir seperti itu, ia bahkan tidak seharusnya memikirkan masa lalu dan mempertanyakan sikapnya terhadap Chanyeol pada waktu itu dan membiarkan dirinya kini merasa cukup resah dan terganggu.
Apa dulu aku berlebihan?
Jika ya..
Bukankah itu artinya memang aku alasan dibalik luka dan penderitaan yang bernaung di kedua matamu kini, Park Chanyeol?
•
•
To be continue
•
•
Author's note:
Dan yep arti kode biner di epilogue kemarin itu adalah 'This could be their new beginning' eheheee~
Intinya semoga ini cukup memuaskan dahaga kelyan akibat jalan cerita yang bikin lemah syahwat(?) di season pertama (cielah season udah kayak cinta fitri)
Aku gak tau deh sama first chap ini semoga gak mengecewakan. Tapi disini aku pastiin gak ada menye-menye seperti di season pertama, yang sendu-sendu udah aku tuangkan semua di sana.
Di sini hanya ada anu dan anu (gak mau spoiler ah) haha
Eh eh fyi Lily tidak membahayakan kok.
At last mau ucapin terimakasih sebanyak-banyaknya sama readers yang udah setia nunggu terutama saat kemarin aku hiatus cukup lama. Terimakasih juga atas animo, dukungan, dan doa kelyan. Tanpa itu semua mungkin aku udah stuck. Ehee
Pokok'e Lafyu yeoreobun!
See you next chapter!
Salam pisang and BIG CHU~