YOU, RAIN AND COFFEE

...

[1/2]

...

Tap!

Langkahnya berhenti tiba-tiba. Matanya tertuju pada bulir-bulir air dari langit yang awalnya berupa rintikan kecil hingga perlahan menutupi apapun yang dilalui dengan jejak basah beraroma petrichor. Ia berdiri di halaman, diatas tangga beranak tiga, berlindungkan atap teras perpustakaan kota yang mulai rapuh termakan usia. Pundaknya mengendur dan uap-uap kekesalan terdengar jelas di hembusan nafas kasarnya.

Ia tidak suka hujan. Tidak suka aromanya yang menenangkan, tidak suka airnya yang menyejukkan, dan tidak suka apapun yang berhubungan dengannya.

Ia benci hujan. Benci ketika hujan seolah membawa kembali memori yang susah payah ia enyahkan. Benci ketika hujan seakan mengejeknya oleh gumpalan penyesalan yang terbentang di awan gelap.

Beberapa tetesan air mengenai kemeja berwarna merah muda yang ia kenakan, membuatnya perlu mengambil satu langkah mundur untuk menghalangi titik-titik air yang semakin lebat jumlahnya.

Bruk!

Ia memekik kecil saat ia tidak menyadari ada seseorang yang berdiri tepat dibelakangnya. Tubuhnya oleng dan nyaris terjatuh, tepat sebelum tangan kokoh melingkar di sekitar pinggangnya. Menahannya agar tidak terjatuh ke lantai atau lebih parah terjatuh di bawah guyuran hujan.

"Oh!"

Bukannya mendapat perlindungan dari air hujan, justru ia harus mendapati buku materinya terjatuh di bawah guyuran hujan akibat dirinya yang tidak siap memegang erat benda itu ditengah keterkejutan.

Ia belum sempat mencari cara untuk mengambil buku itu tanpa harus membasahi tubuhnya oleh air hujan, ketika sebuah tangan dari belakang tubuhnya lebih dulu mengambil buku miliknya dengan cepat, memperkecil kemungkinan jika nantinya kumpulan kertas berharga itu hancur oleh air. Dan lantas memberikan buku itu kepadanya.

"Bukumu, Nona. Untunglah tidak terlalu basah."

Ia mengedip beberapa kali sebelum ia mengambil buku dari seseorang ber-gender laki-laki itu. Membawa kembali ke dalam pelukannya lebih erat.

"Terima kasih,", ucapnya. Terselip getaran di nada suaranya, entah karena apa. Apa mungkin laki-laki dihadapannya sangatlah tampan? Tidak, tidak! Ia sudah sering bertemu laki-laki tampan dan tidak pernah bereaksi segugup ini. Mungkin malu? Ya, mungkin saja. Terlebih laki-laki itulah yang tadi menahan pinggangnya untuk tidak terjatuh. "-dan maaf."

Laki-laki itu tersenyum amat manis. Gigi taringnya mengintip malu-malu dan gadis mungil dihadapannya mengeratkan pelukan pada bukunya. Ia berdebar.

"Sama-sama." Laki-laki itu tampak berfikir sebentar lalu mengulurkan tangan kanannya. "Kalau aku boleh bertanya, siapa namamu?"

Ia sempat bertanya melalui tatapan matanya mengenai maksud laki-laki itu bertanya demikian. Namun melihat laki-laki itu masih mengembangkan senyum ramahnya –dan diam-diam mendebarkan-, ia akhirnya mengulurkan tangannya dan menjabatnya.

"Lu Han."

Lu Han. Nama yang cukup aneh untuk ukuran orang Korea yang biasanya memiliki tiga suku kata untuk namanya. Namun apapun itu, Oh Sehun tidak akan melupakan nama itu dengan mudah. Terlebih sosok gadis mungil si pemilik nama –cukup- aneh itu.

Gadis itu jauh dari kata biasa saja. Ia sangat cantik, memiliki kulit seputih susu dan bibir pink yang sedikit mengering karena suhu dingin. Matanya berdouble eyelids dan sayu, bulu matanya yang lentik dan panjang menambah keindahan mata itu. Bahkan meski Sehun hanya melihatnya dari samping, ia tetap mengaguminya.

Sial! Debaran macam apa ini?

Segelas kopi dari mesin otomatis dengan asap mengepul Sehun ulurkan dihadapan Lu Han. Sebuah keberuntungan menemukan mesin minuman otomatis di sebuah bangunan yang cukup sepi. Lalu kenapa Kyungsoo Noona –sepupu Sehun- tadi menyuruhnya untuk mengantar kopi dari cafe?

Gadis itu mendongak dan menerima pemberian Sehun tanpa banyak bicara. Sehun menduduki kursi sebelahnya, menikmati kopinya sembari memandang hujan yang masih belum berhenti menunjukkan taringnya.

"Perasaanku saja, atau kau memang tidak suka hujan?", tanya Sehun mencoba meredam suasana canggung sekaligus mengeluarkan pertanyaan yang ada dalam fikirannya. Hal yang ia sadari ketika ia berdiri di belakang Lu Han untuk berteduh juga, ia melihat gadis itu seperti hujan adalah penyakit mematikan yang bisa membunuhnya.

"Aku memang tidak suka hujan."

Jawaban yang justru membuat Sehun penasaran tentang alasan gadis itu membenci hujan hingga tidak ingin bersentuhan dengan hujan di ujung jarinya. "Kenapa?"

Lu Han mengulur waktu menjawab dengan menghirup aroma kopi yang sangat menenangkan. Jika disuruh memilih, Lu Han tidak akan ragu memilih aroma kopi dibandingkan aroma hujan yang menurut orang-orang adalah sumber ketenangan.

"Hanya tidak suka."

Dan Sehun tidak lagi berkomentar meski kadar penasarannya bertambah. Ia memilih menyesap kopi hangatnya daripada memaksa gadis yang baru dikenalnya itu untuk memenuhi rasa penasarannya.

"Kau sedang menyelesaikan tugas kuliah disini?", tanya Sehun dengan topik lain. Ia mengamati buku dengan sampul sedikit basah, buku yang ia selamatkan dari guyuran hujan tadi.

Lu Han menggeleng dua kali. "Aku tidak kuliah."

Jeda beberapa saat. "Kenapa?"

"Hanya tidak ingin."

Sehun mengangguk, tidak berniat bertanya lagi jika akhirnya ia mendapat jawaban yang serupa. Ia beralih memandang tetesan-tetesan hujan di siang hari ini. Seolah bekerja sama dengan Sehun agar lelaki itu bisa lebih banyak berbincang dengan Lu Han. Sosok gadis yang seakan memiliki kekuatan magis untuk membuat Sehun tidak ingin mengakhiri perbincangan mereka dengan lambaian tangan lalu menjadi orang asing esok harinya.

Lagipula, Sehun ingin melihat wajah cantik itu lebih lama.

"Eum..." Sehun lantas menoleh mendengar cicitan itu dan menaikkan sebelah alis. Lu Han seperti akan bertanya sesuatu.

"Apa kau bekerja di coffee shop?" Lu Han melirik Sehun dengan ujung mata mengagumkan miliknya, membuat Sehun benar-benar kehilangan ketertarikan lain selain mata bening itu.

Sial! Jangan berdetak secepat itu, Jantung!

Dan ya, seharusnya Sehun juga harus berkonsentrasi dengan pertanyaan Luhan. Tunggu, dia bertanya apa barusan?

Keterkejutan nampak di wajah Oh Sehun sepersekian detik, lalu ia tersenyum tipis. "Bagaimana kau bisa tahu? Ya, aku adalah barista di sebuah cafe tidak jauh dari sini."

"Cafe Universe?"

Tebakan Luhan sepenuhnya benar. "Kau pernah kesana?"

"Sering." Tanpa sadar Lu Han tersenyum kecil. Melupakan seluruh kebenciannya pada hujan yang masih setia mengejeknya di depan mata, beralih pada ingatannya tentang aroma volatile kopi yang selalu ia nikmati disamping jendela kaca besar tertembus sinar matahari. "Terlalu sering hingga aku mengenal aroma kopinya di ujung hidungku dengan baik."

Sehun mengangguk. Akhirnya ia bisa mengerti darimana Lu Han tau dia bekerja di coffee shop. Hanya saja, mungkin Sehun tidak terlalu perhatian dengan satu per satu pengunjungnya. Lagipula, ia lebih sering berada di dapur dibandingkan meracik kopi didepan langsung. Ia ingin berkonsentrasi, katanya. "Mau kesana? Akan kubuatkan satu menu kopi buatanku." Aku akan bekerja lebih keras mulai hari ini, Sajang-nim.

"Terima kasih. Bisakah untuk besok? Untuk sekarang, kecintaanku pada kopi tidak sebanding dengan kebencianku pada mereka."

Mereka. Rintikan hujan yang tak kunjung terhenti.

"Kau mau menembus hujan?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Sehun.

Luhan berfikir sejenak. "Jika ada dua atau sebuah payung? Tapi tidak untuk berlari."

"Oke." Pertanyaan Sehun memang disusul dengan idenya yang tiba-tiba datang. Ia permisi untuk meninggalkan Luhan sebentar, masuk ke dalam perpustakaan, dan kembali bersama sebuah payung lipat.

"Aku meminjamnya dari sepupuku. Tapi hanya satu. Tidak keberatan untuk memakainya bersama?"

Luhan mengangguk. Baginya tidak masalah selama titik-titik air itu tidak merembes menyentuh kulitnya.

Senyuman Sehun terbit begitu saja. Ia membuka payung dan membiarkan Luhan memeluk bukunya sebelum berdiri di samping Sehun.

Dua pasang kaki itu melangkah menembus hujan. Sesekali angin menerpa dan Luhan dengan penuh kegugupan melempar tubuhnya lebih dekat dengan Sehun. Kemeja tipisnya tidak mampu melawan hawa dingin oleh kombinasi titik halus air hujan dan angin.

"K-kemejamu bisa basah." Luhan merutuki suaranya yang terdengar gugup. Ini pertama kalinya ia berbagi sebuah payung dengan lelaki, menembus hujan, dan melewati rintikan hujan yang membuat kakinya basah.

Sehun melirik lengan bagian kanannya yang memang basah. Yeah, dia memang sengaja mencondongkan payung itu ke arah Luhan, berharap agar gadis pembenci hujan itu tidak berkontak terlalu banyak dengan sesuatu yang dibencinya.

"Tidak apa-apa."

"Kau bisa kedinginan."

"Tidak masalah buatku."

...

TO BE CONTINUED...

.

.

HAPPY NEW YEAR reader-nim, favoriter-nim, follower-nim, reviewer-nim dan SIDER-nim sekalian ^^~