Reply review my reader fic DPN:

Guest: ?

monst: Silahkan dibaca :D.

saputraluc000: Amin. Insya allah akan saya tamatkan. Ngomong-ngomong gan, ini kok review akunnya ada dua?

Stephen Porzingis: Silahkan dibaca gan :D.

yuliosx: Yosh, makasih udh nunggu gan :D.

Han Arther: Makasih untuk kritik baiknya, insya allah saya akan berusaha untuk membuat humor yang lebih baik untuk ke depannya. Wah, aneh juga yah gan, padahal bikin fic yang beda enak sebenarnya. Jadi gak ada saingan gitu :D. Oh, ada alasannya kenapa saya campur Percy Jackson juga. Err, dengan penilaian nilai seperti itu, agan berhasil membuat saya malu *Author cengengesan sambil menggaruk kepala*.

mrheza26: Update completed :D.

Ahmad Rifa'i: Done :D.

rikkudo sama: Amin gan. Insya allah saya lanjutkan.

Miji695: Awas sakit perut gan :D. Oh, btw thanks untuk feedbacknya.

HyperBlack Hole: Insya allah gan, ane usahain, oke? Begitu yah, paling namanya tetap ada Yin dengan Yang di depan namun saat dipanggil tetap Kurama. Terdengar adil menurut agan?

Vilan616: Saya akan berusaha untuk menambah beberapa hiburan lagi di fic ini. Oh, oke neng. Ane tak tahu lah. Update siap :D.

Sukez: Best. Song. EVER! Makasih udh meluangkan waktu untuk review gan :D.

ikigani777: Sangkyu untuk pujiannya gan. Yap, Snivvelus harus kita buat sedikit ceria di dimensi(fanfic) ini. Baca intro storynya ya gan :D. Insya allah saya akan lanjut terus.

Eddy Brrr: Fufufu, ya begitulah :D.

cute-conan: Awas sakit perut gan :D. Done :D.

Syaref664: Done :D.

Reader: Dengan ide anti-mainstream, rival tiada yey :D.

Pluto111: Ane tahu gan, sabar aja ye.

Para reader, soal romance, author kan sedikit demi sedikit membangun ikatan antar karakternya. Meski yah, fokusnya ke friendship lalu action sih *Author nyengir lebar*.

Bagi akun yang telah memberi saya saran serta kritik(baik) saya berikan aplause *lagu Gangnam style berkumandang di back ground*.

Jika di chapter ini ada kesalahan entah kecil maupun besar, jangan ragu untuk tulis di tempat seharusnya. Kalau ada komentar, nasehat, saran, serta flame(baik), keluarkan saja dari otak agan sekalian. Tapi bahasanya yang sopan, paham?

Tanpa banyak banting beton silahkan baca chapter terbaru khusus peminat fic DPN.

.

.

.

.

.

.

.

Let's reading.

.

.

.

.

.

.

(Intro start.)

Di dalam sebuah hotel di kota Manchester, tepatnya di kamar no. 423. Nampak Naruto, umur tiga belas, dan Menma, umur dua belas, tengah berdiskusi akan sesuatu yang dibuat oleh yang tertua diantara keduanya.

"Mengambil bentuk kaca, hm?" gumam Menma, mengamati benda tipis berukuran mini di genggamannya. "Apa kau yakin alat ini akan bekerja sesuai harapanmu, Naruto?"

Naruto menepuk dadanya, mengembangkan senyum bangga. "Tentu, 'ttebayo! Aku menghabiskan waktu membaca How to travel fast with medium: God edition selama dua bulan bukan untuk main-main, kau tahu."

"...Suatu keajaiban yang baru terlaksana."

'Oh, kau pergi gigit payudara Madara.'

Menma mangut-mangut. "Jadi, bagaimana cara menggunakannya?"

"Kau tahu struktur air kan?" kata Naruto, "anggap kaca ini terbuat dari air. Masukkan satu atau dua jari. Dan *wosh* tanpa hitungan menit, langsung sampai ke tempat tujuan."

"Berapa banyak yang kau buat?"

"Tujuh. Dan semua terhubung satu sama lain."

Alis Menma naik sebelah. "Apa ini membutuhkan, kau tahu, pemicu seperti tanah atau batu dari tempat yang dituju?"

"Pemicunya sudah kusatukan dengan kaca, sebuah batu berisikan sihir, wajib dihancurkan berkeping-keping sebelum bahan yang lain dapat dicampur dengan itu."

"Kau dapat dari mana batu itu?"

Naruto menyeringai. "Menurutmu dari mana?"

"...Jangan bilang kau mencuri lagi dari tas penyimpanan alat sakral milik Trivia?"

"Yep."

Menma memijit pelipisnya, menghela nafas lalu berkata. "Apa kau telah memastikan alat ini berfungsi sebelumnya?"

Naruto mengelus dagunya. "Belum. Lagipula, aku tidak tahu apa alat ciptaanku ini mampu menembus pelindung yang mencangkup wilayah populasi Penyihir menuju daerah kekuasaan Dewa."

"Itu berarti kau membutuhkan tes percobaan."

"Ya. Hanya saja, aku tidak tahu siapa orang yang cocok. Menggunakan benda abiotik 'kan tidak mungkin."

"...Aku rela menjadi sukarelawan."

Naruto menatap Menma, yang memasang raut santai tapi matanya terdapat bintang.

"...Kau hanya ingin pergi ke Amerika dan membeli AF(Action figure) Power Ranger, bukan?" tanya Naruto getir.

Menma melebarkan matanya. "E-Enak saja. Siapa juga yang suka dengan tontonan anak kecil seperti itu. Aku ke sana hanya ingin membeli satu paket novel karangan Arthur Conan Doyle. Hanya itu."

"...Sherlock Holmes?" ungkap Naruto getir, membalikkan satu kasur dan mengeluarkan topeng menyerupai motif macan putih. "Dengan topeng Tommy si Ranger putih."

"...Darimana kau tahu?!"

"Koper. Punyamu. Tergeletak. Kau tidur. Insting mengambil alih."

Menma mengerang, malu karena rahasianya terbongkar. "Terserah."

Dia memasukkan jari telunjuknya ke kaca mini, sebelum sekujur tubuhnya lenyap dibarengi cipratan embun.

(Somewhere in Amerika.)

Di sebuah hutan tanpa nama, seorang gadis berambut hitam acak-acakan, iris biru elektrik, mengenakan kaus hijau gelap yang dihalangi jaket hitam, serta jins sobek sana-sini. Sedang melangkah pelan menjauh dari Kiklops dengan pergelangan kaki yang terluka.

"Makanan!" teriak si Kiklops, mengangkat batu dan mendorong pohon di setiap langkah. "Jangan mencoba lari dariku!"

Si gadis memaksakan kakinya untuk terus bergerak, mengabaikan perih yang tengah dia rasakan.

Sang monster mata satu mengedipkan mata, menyeringai saat melihat jejak darah di tanah.

"Aku tahu kau di mana makanan~~."

Mengandalkan kemampuan fisiknya, Kiklops mencabut paksa sebuah pohon dan mengambil arahan. Beberapa menit kemudian, dia lempar pohon tersebut.

Batang pohon itu melayang di udara selama beberapa detik. Si gadis, yang melihat bayangan besar mendekat melalui pantulan di tanah, panik dan berguling ke samping.

Debu beterbangan dan tanah bergetar sebentar, si gadis menghela nafas, lega karena masih mampu menghirup oksigen. Dia berusaha bangkit, namun terjatuh dalam prosesnya.

Si Kiklops nyengir lebar, berlari menuju mangsanya. "BAH! AKU DATANG MAKANAN!"

Meski keadaannya tidak memungkinkan untuk bertarung jarak dekat, pandangan tak kenal takut si gadis menandakan dia memiliki kemauan untuk hidup lama. Ia menatap sang monster yang perlahan mendekatinya, tangan kanan terangkat dan aliran listrik menari di sekitar itu.

Merasa cukup, si gadis kemudian memukul udara kosong, melepas kejutan listrik yang melesat dan mengenai Kiklops tepat di bagian perut, membuatnya terbang sejauh lima meter.

Si gadis terlihat senang. "Yeah, rasakan itu. Dasar monster jelek!"

Bau asap tercium dari perut Kiklops, dua puluh detik kemudian, sang monster bangkit lalu meraung dalam amarah.

Si gadis cemberut. "Oh, kau pasti bercanda, bukan?"

Sebelum si Kiklops bisa menggerakkan badan, percikan air muncul dari ketiadaan lalu menghantam mukanya telak. Dari percikan tersebut, keluar Menma Namikaze dengan benjolan kecil di keningnya.

"Naruto. Naruto. Kau selalu tahu cara untuk menghancurkan mood baikku." gumamnya pada dirinya sendiri.

Sang monster, yang menghiraukan anggota atasnya basah, menyeringai ketika melihat penampakan Menma.

"Jika makanan jauh tak bisa kugenggam... Maka yang dekat tidak jadi masalah."

Si gadis berteriak.

"AWAS!"

"Woah!"

Menma melompat sesaat sebelum si Kiklops dapat menangkap tubuhnya, mendarat di tanah kering dengan kedutan di dahinya.

"Semua deity tersayang di atas... Aku benci kalian."

Mengingat dewa itunyata, jika dirinya atau Naruto sedang terkena masalah, mereka tahu siapa yang harus disalahkan pertama.

*cough* minus Hestia/Vesta tentu saja.

"Rencana, Menma?"

'Tongkat sihirku tertinggal di jubah. Kurama, aku pinjam kekuatanmu.'

"Dengan senang hati."

Menma merogoh saku jinsnya dan mengeluarkan pena hitam dengan ujung bulat berwarna emas, dia menekan ujung pena tersebut. Lalu, alat tulis itu membesar dan berubah menjadi pedang emas sepanjang tangan orang dewasa, dengan gagang tak lazim berbentuk kepala rubah.

Kepala rubah A.K.A. Yin-Kurama, membuka rahangnya dan berkata.

"Kiklops. Monster dengan fisik di atas rata-rata namun kecepatannya tidak seimbang dengan badan besarnya. Lumayan untuk pemanasan."

Si Kiklops mengayunkan tinjunya pada Menma, yang melompat mundur.

"Tutup mulutmu, rubah!"

Menma berlari memutari si Kiklops. Geram, sang monster mencoba menggengam lengan bebas si lelaki iris onyx, namun gagal karena kurangnya kegesitan.

"Rencana?" tanya Yin-Kurama.

"Gunakan Pyrokinesis," balas Menma, yang terus berputar tanpa berniat berhenti.

Si Kiklops merasa pusing saat mencoba mengikuti langkah Menma, dia asal melancarkan beberapa pukulan dan juga tendangan, tapi tak ada satupun serangannya yang berhasil mengenai musuhnya.

Kobaran api tercipta di gagang Kyuu no Ken, yang perlahan merayap ke bagian mata pedang. Menma membiarkan api tertinggal di tiap putaran, membentuk pola lingkaran yang melingkari sang monster lalu menjebaknya dalam tornado panas.

"Danro Ken Gihō: Torunēdosākuru(1)."

Sang makhluk mata satu menjerit tatkala api melahapnya dari ujung kaki hingga kepala, menyinari hutan yang gelap dikarenakan malam telah tiba.

"Menarik," gumam Yin-Kurama, mengamati si monster yang telah menjadi abu, "sebagai salah satu dari Enam Olympian Asli. Vesta konon memiliki api yang Tak-Terbendung dan dikatakan mampu melelehkan apa pun jika terkena kontak dekat."

Menma menatap Kyuu no Ken dengan alis dinaikkan. "Itu hanya berpengaruh pada seseorang yang dia, aku dan Naruto, anggap musuh, Kurama."

Yin-Kurama mengangguk. "Oh, begitu, akan aku ingat dengan baik info tersebut. Aneh juga yah, Menma, orang lurus selalu mempunyai kekuatan terhebat."

"Itu fakta mutlak," jawab Menma, menekan kepala Kyuu no Ken sebelum menyusut kembali menjadi pena.

"Ngomong-ngomong, Menma."

'Apa?'

"Gelang yang menyembunyikan kehadiranmu dari para 'immortal' sudah kau kenakan?"

Menma mengecek pergelangan tangannya, memandang benda yang dimaksud dengan warna hitam-putih terikat di lengan kirinya.

'Selalu.'

"Terakhir, ada seorang gadis yang butuh pertolonganmu di belakang."

'Huh?'

Menma memutarkan badan, melihat gadis yang di maksud tengah berbaring dekat pohon dengan luka jelas di kakinya.

Dia berjalan mendekati si gadis, duduk dan menyalakan api di tiap jarinya.

"Hey! Kau ingin membunuhku?!" teriak si gadis, yang panik saat jari Menma mulai menyentuh lukanya. Dia menutup mata menunggu sakit yang berlebih, namun bingung karena dingin dan sejuk yang ia rasakan.

Membuka mata, dia terkejut ketika memandang lukanya telah menutup dengan sempurna, seakan luka tersebut tidak pernah eksis di kakinya.

Menma menonaktifkan Pyrokinesisnya, menatap si gadis sejenak sebelum berkata. "Kau beruntung tidak ada tulangmu yang patah, penyembuhan melalui Pyrokinesis hanya dapat digunakan untuk mengobati luka bagian external, bukan luka bagian internal."

Si gadis memutar bola matanya. "Terima kasih Mr 'Aku-Baru-Ditolong-Dan-Ini-Caraku-Menunjukkan-Rasa-Terima kasihku'."

Menma mendengus, berdiri tegak. "Dasar perempuan premature."

Twitch!

"Bisa kau ulang apa yang kau katakan tadi, asshole?" sembur si gadis dengan geraman.

"...Mulutmu perlu disumpal sabun sepertinya," ujar Menma dengan alis dinaikkan, "tata bicara yang kau punya berwarna juga yah."

"Dan kupikir orang yang menyelamatkanku adalah orang ramah yang suka menampilkan senyuman," kata si gadis sambil menegakkan badan.

Menma memutar bola matanya. "Maaf saja karena aku tidak seperti saudaraku, Nona Kanak-kanak."

Si gadis memelototi si lelaki rambut hitam, sebelum menampilkan seringai.

"Jadi... Whisker?"

"Kau tidak baru saja menyebut julukan itu."

"Ups, sepertinya Whisker tidak sengajatergelincir dari lidahku."

Mereka saling pelotot sembari mengaktifkan elemen masing-masing di tangan yang berbeda.

Memutar bola matanya, Menma mengambil kaca mini dari saku dan memasukkan jari telunjuknya ke situ.

Tuk!

'Eh?'

Menma mencoba sekali lagi.

Tuk!

'Loh? Kenapa tidak tembus?'

(Scene change.)

Naruto, dengan keadaan tidur di atas kasur, tak mengetahui kabut mengelilingi ruangan dan Hecate berjalan dari sana.

Hecate berkedip, melengkungkan alis ketika melihat enam kaca mini tergeletak di lantai. Dia melebarkan mata kemudian.

'Koneksi sihir ini... Menjangkau ke tempat kekuasaan para dewa Olympus.'

Dia mengarahkan jari telunjuknya pada keenam benda tipis itu, menghasilkan es yang kemudian menutupi permukaan kaca.

(Scene change.)

"Lebih baik kau fokus terlebih dahulu pada tujuanmu di negara ini, soal bisa kembali atau tidaknya, kita pikirkan di lain waktu."

Menma menghela nafas, mengembalikan kaca mini di genggamannya ke tempat yang semula.

Dia menyalakan api sebagai penerangan, mulai melangkahkan kaki dengan niat menuju area penuh pemukiman.

"Tunggu!"

Menma melirik ke kanan dan melihat si gadis berjalan beriringan bersamanya.

"Apa maumu?"

Mengharapkan emosinya meledak seperti tadi, si putera Dewi Perapian menemukan si gadis nampak tidak nyaman untuk beberapa alasan.

Selang tiga menit, dia pun bertanya.

"Apa kau seorang demigod?"

Menma terdiam, memikirkan jawaban yang 'sedikit-jujur-dan-sebagian-bohong'.

Apa? Sebagai mantan ninja, informasi adalah hal yang lebih berharga daripada nyawa yang menyimpannya. Dia menolong. Ya. Tapi bukan berarti ia langsung mempercayai orang yang baru ditemuinya selama beberapa jam. Di matanya, si gadis tidak lebih dari sekedar orang asing yang menghalangi langkahnya.

"...Aku mulai berpikir kau harus mengikuti nasehat Naruto."

'Dan 'terbuka' terlalu banyak? Lewat.'

"Kau bisa dianggap orang brengsek dengan sifat seperti ini."

'Sedikit yang peduli, sedikit masalah.'

"*sigh* ingatlah kalau aku sudah memberikanmu peringatan."

'Dengan senang hati.'

"Anak Vul—Hephaestus. Dewa Penempa dan 'Api'." kata Menma. "Kau?"

"Anak Zeus. Dewa Petir dan Penguasa Langit." ujar si gadis. "Nama Thalia."

"..."

'Bagus. Dia Yunani. Aku Romawi.'

"Tertarik untuk membunuhnya?"

'Aku tidak tertarik dengan perselisihan antar Perkemahan, Kurama. Lagipula, dari awal aku tidak tinggal di daerah kekuasaan Roma.'

"Begitu."

"Mark." balas Menma. "Jadi, bisa kau jelaskan kenapa kau mengikutiku?"

"Aku berpikir jika kita bersama kesempatan kematian demigod akan mengecil," kata Thalia, memalingkan wajahnya ke samping, "y-ya. Kalau kau mau itu juga."

"..."

"Terserah."

"Apa?"

Menma mulai melangkah kembali. "Kau dengar aku. Aku tidak peduli kalau kau mengikutiku atau tidak... Tapi yang jelas; jangan menjadi beban di pundak."

Thalia menggertakkan giginya, mengekori dari belakang.

"Akan kubuat kau menyesal karena menyatakan perang padaku, Whisker."

"Kita lihat saja nanti, Nona Kanak-Kanak."

.

.

.

.

.

Chapter 4: Percy dapat misi. Sisi lain Cedric. Dan. Keempat juara Triwizard.

.

.

.

.

Dewa, Penyihir, Dan Naruto?

Summary:

Akhir dari Perang Dunia Shinobi ke-Empat ternyata tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan Naruto. Sebagai ninja terakhir, dia berdiam diri menunggu ajal. Namun, tiga orang tidak dikenal menjanjikannya sesuatu.

Disclaimer:

Percy Jackson dan Olympian(Rick Riordan).

Harry Potter(J. K. Rowling).

Naruto(Masashi Kishimoto).

Adalah milik pembuatnya masing-masing.

.

.

.

[ Opening Song – Hey Soul Sister by Train ]

.

.

Chapter 4

Percy dapat misi. Sisi lain Cedric. Dan. Keempat juara Triwizard.

.

(Story start.)

Setelah Ashura menjelaskan tentang chakra, segel, dan Moirai(yang membuat Fleur merinding). Tibalah ia menceritakan kisah hidup Naruto Uzumaki padanya.

Berbagai macam emosi seperti terkejut, sedih, marah, tidak suka, senang dan geram sempat bermain di muka si gadis Veela saat mendengar seksama kisah tersebut.

Dalam benak Fleur bertanya-tanya, bagaimana bisa Naruto hidup dengan kebencian dan kedengkian orang-orang desanya namun bersamaan masih dapat bersikap ceria, ramah, serta baik sepertinya, itu merupakan misteri yang kompleks baginya.

Itu hanya menggarisbawahi betapa istimewanya dia, dan betapa beruntungnya wanita yang berhasil meraih hati emas yang dimilikinya.

Dan untuk beberapa alasan, Fleur benci bebek dan warna pink.

Kemudian, si Otsutsuki muda memberitahu hal yang membuat pandangan Fleur mengenai DuniaSihirberubah 180°.

"Selama ini... Penyihir hidup di bawah kebohongan?"

Ashura mengangguk. "Kalian mungkin terkadang bertanya-tanya, dari mana asal sihir kalian itu berasal? Sihir bukan berasal dari keturunan, melainkan pemberian dari dewa. Lebih tepatnya, para Penguasa Dewa mulia. Yaitu Odin. Ra. Dan Ahura Mazda. Mereka bertigalah yang menyadari potensi umat manusia. Memutuskan turun dan menyamarkan diri di antara kalian. Mereka memberi, mengajari, dan menuntun agar sihir tidak disalahgunakan seperti chakra."

Ashura berdiam diri sebentar, sebelum melanjutkan. "Dan berkat arahan mereka, kalian mampu melindungi diri tanpa membutuhkan bantuan divine being selama berjuta-juta abad." Dia menghela nafas. "Namun yang namanya manusia tetap saja manusia. Saat generasi baru lahir, kalian para penyihir menjadi arogan dan berpikir tak ada yang mampu mengalahkan apalagi membunuh kalian. Kalian melupakan kearifan Odin, menghanguskan tanda-tanda adanya Ra, lalu menghiraukan nasehat Ahura Mazda.

"Ketika orang-orang seperti setengah-raksasa dan werewolf muncu di tengah-tengah kerumunan. Para penyihir menganggap diri mereka spesial daripada mereka, sehingga mengasingkan bahkan memberi perlakuan tidak layak pada mereka."

"Tapi di Prancis berbeda," sela Fleur. "ayahku memastikan semua orang di sana mendapat perlakuan sama. Mau itu penyihir. Goblin. Merman. Raksasa. Veela. Dan yang setengah-manusia."

Ashura tersenyum. "Mungkin di 'Prancis' jauh lebih putih di banding 'Inggris' yang sedikit hitam."

Dia menambahkan. "Baik, kita sampai di mana tadi. Hmm... Ah, ya. Tentang ketidakadilan ras.

"Akibat perlakuan para penyihir di masa lalu, ada beberapa dewa-dewi di luar sana yang ingin melenyapkan populasi kalian. Terdengar seram, bukan?"

Fleur pucat. "Apakah ada cara untuk mengatasi atau mungkin, menghentikan niat mereka?"

"Presentase 50%," kata Ashura, menyadari tatapan bingung si perempat Veela, dia melanjutkan, "kalian mungkin akan selamat jika satu atau dua dewa baik ikut campur dan menghalangi niat mereka." Dia menggaruk pipinya. "Tapi agak mustahil sepertinya."

"Mustahil?"

Si putera Petapa Enam Jalan mengangguk. "Kau tahu, kekuatan dewa itu tergantung dari seberapa banyak manusia memberi doa pada mereka. Mengingat para penyihir tidak pernah sekalipun memberi doa, salahkan generasi baru, para dewa baik ini mungkin tidak akan bisa melepas kekuatan penuhnya karena hal itu."

"Jika benar mereka memiliki rencana seperti itu," ujar Fleur, "mengapa generasi baru... Masih berlanjut hingga sekarang?"

Ashura angkat bicara. "Berterima kasihlah pada pengorbanan leluhurmu... "

"Pengorbanan leluhurku?" potong Fleur, melebarkan matanya, "apa maksudmu dia... "

"Ya," Ashura tersenyum sendu, "wanita paling berani yang dikenal Para Penjaga. Merelakan 1 untuk 1000. Kau tahu kan apa yang kumaksud?"

Fleur tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Menahan pahitnya kenyataan.

Ashura melanjutkan. "...Suzaku, dan kelima saudaranya. Byakko, sang macan putih; Penjaga Barat. Genbu, sang kura-kura hitam; Penjaga Utara. Seiryu, sang naga biru; Penjaga Timur. Huang Longh, sang naga emas; Penjaga Titik Tengah. Dan terakhir, Kirin, berbadan rusa, berekor sapi, berkepala serigala; Penjaga Pintu Kuno yang didalamnya tersimpan jiwa yang merupakan inti dari penghalang dan menjaganya tetap aktif untuk selamanya.

"Lalu, setelah penghalang aktif. Para Penjaga langsung berperang tanpa henti dengan mereka agar kalian dapat bernafas, dan hidup dalam penghalang dengan tenang."

Sesaat setelah Ashura menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba tanah di sekitar Fleur dan dirinya bergetar seperti tengah terkena Gempa.

"Apa yang terjadi?!" tanya si perempuan Prancis dengan nada panik.

Ashura tersenyum lebar, seolah tahu apa yang sedang terjadi.

"Kau tak perlu cemas," ujarnya, "ini hanya pertanda kau akan terbangun dari tidur pulasmu. Sampai segel kedua hancur, kau takkan bisa kembali kemari lagi."

"Segel kedua?"

"Pertama sentuhan. Dua perasaan. Ketiga... Jangan dipikirkan. Oh ya. Setelah kau terbangun, ingatanmu mengenai pembicaraan ini akan terhapus untuk sementara."

Sebelum Fleur mampu menanyakan apa alasannya, sebuah kilatan cahaya muncul dan dunia menjadi putih sepenuhnya.

(Scene change – New York.)

Duduk di kursi roda dalam teras Rumah Besar, Chiron menatap arlojinya sebentar sebelum berkata. "Dia terlambat. Lagi."

Andi menggeleng pelan, terbiasa dengan sikap 'aku-bangun-kesiangan' si anak laut. Dia dan Sally terkadang bergiliran membangunkan Percy jika sekolah tiba, butuh kesabaran lebih saat melakukannya, mengingat Percy hampir tiap hari menggigau dan tendang sana-sini tanpa sadar siapa yang ia tendang.

Thalia, yang duduk di samping Andi dengan kursi menghadap ke lembah dimana Perkemahan berada, membisikkan sesuatu padanya.

"Untuk apa Chiron memanggil kita berdua kemari?"

"Latihan mengontrol kabut," balas bisik Andi, sebelum menjelaskan manfaatnya, "berguna untuk membuat sebuah ilusi. Semakin hebat penguasaanmu dalam memanipulasi kabut, semakin nyata juga ilusi yang kau ciptakan. Selain itu, dapat juga digunakan untuk menghapus, maupun mengubah ingatan mortal."

"Oh."

Chiron tidak bisa untuk tak tersenyum melihat interaksi di depan matanya, senang mengetahui kedua puteri Zeus akrab satu sama lain.

Lima menit telah terlewat, terlihat seekor satyr mendekat dengan raut menahan jengkel.

Dia menoleh ke arah sang centaur. "Percy memintaku untuk memberitahumu bahwa dia menyesal karena tidak bisa ikut latihan. Ketika fajar, beberapa pekemah melempar tumpukan sampah ke Sungai, para Nalad (Nymph Danau/Sungai) dibuat kesal karena itu. Sebagai putera Laut, Percy merasa sudah tugasnya untuk menyingkirkan sampah-sampah itu."

Chiron mencubit batang hidungnya. "Berapa kali aku harus— nah, sekarang, aku tahu jenis film apa yang harus kita tonton siang ini."

"Tentang lingkungan?" tanya si satyr.

Chiron mengangguk. "Ya. Tapi persiapkan yang paling lama durasinya."

Si satyr menyeringai dan pergi menjalankan tugas.

Andi dan Thalia mengerang, bersumpah akan menyengat para pekemah 'idiot' yang menjadi akar dari masalah 'buang-sampah-tidak-pada-tempatnya-'.

Chiron bertepuk tangan, memancing perhatian kedua gadis petir, sebelum meluncurkan kursi rodanya ke arena simulasi pertempuran.

"Baiklah," mulainya, "dikarenakan Percy tidak bisa hadir sebab *cough* tugas penting... "

Andi dengan Thalia berdiri di depan Chiron, nyengir satu sama lain.

"...lebih kita segera mulai latihannya. Andi, selama aku mengajari Thalia mengenai dasar-dasarnya, sebagai pemanasan lakukan seperti yang terakhir kali."

Andi mengangguk, mengayunkan lengan dan beberapa saat kemudian kabut terbentuk di penglihatan iris biru elektriknya. Dibenaknya saat ini, dia sedang memikirkan ilusi apa yang ingin dirinya buat.

Pada saat yang sama, Thalia dengan semangat mendengar semua yang dikatakan Chiron. Setelah si pelatih pahlawan menyelesaikan penjelasannya, dia pun menyuruh Thalia untuk mempraktikkan apa yang ia minta.

"Tidak perlu langsung yang susah macam Andi," katanya lembut, "cobalah dengan yang kecil dahulu. Sebagai contoh, pikirkan makanan kesukaanmu, lalu buat ilusi yang semirip mungkin dengan itu."

Si puteri tertua Zeus mengangguk, mengkonsentrasikan kabut sambil memikirkan gambaran yang dimaksud. Perlahan namun pasti, sebuah kabut terkumpul dan menutupi lengannya sepenuhnya, yang kemudian membentuk makanan ekstra keju dengan daging yang ditutupi roti atas bawah A.K.A. burger.

Thalia menunjukkan usahanya dengan senyum bangga di wajahnya. "Bagaimana, Chiron?"

"Mengesankan." kata Chiron dengan senyuman. "Sekarang, aku mau kau membuat ilusi berupa senjata yang sesuai dengan gaya bertarungmu."

Thalia mencoba berkonsentrasi kembali, burger di lengannya lenyap lalu digantikan tombak berbahan perunggu surgawi. Namun, ilusi tersebut menghilang seketika.

"Hah?" dia terkejut. "Tidak mungkin, kenapa tak bisa?"

Dia mengulang lagi, tapi hasilnya tetap sama.

"Cukup, Thalia," sahut Chiron, membuat yang dipanggil beralih kepadanya.

Dengan raut kesal dan sedikit marah.

"Mengapa kau menghentikanku, Chiron?!"

"Sebelum aku memberitahu letak kesalahanmu. Kendalikan dulu amarahmu, dan juga dinginkan kepalamu," ucap sang centaur bijak, "tariklah nafas... "

Thalia menarik nafas.

"...lalu hembuskan perlahan."

Thalia hembuskan perlahan.

"Merasa lebih baik?"

Si perempuan langit mengangguk, menggaruk pipi sembari merasakan canggung berat.

"Maaf, Chiron," dia mengakui, "aku tadi bersikap tidak sopan padamu."

Chiron tersenyum simpul, menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, Thalia. Sebagai orang yang telah melatih berbagai tipe pahlawan, aku sudah terbiasa dengan sikap 'belum dewasa' seperti dirimu." katanya menenangkan, lalu menambahkan. "Sekarang, beritahu aku. Disamping sesuai atau tidaknya senjata yang kau pilih, apa yang ada di benakmu saat kau mengambil bentuk tombak?"

"Umm... " Thalia mengelus dagunya, menjawab dengan sedikit keraguan. "...gampang menusuk?"

Chiron mengangguk. "Bagus. Selain itu?"

"..."

"Saat kau membuat ilusi senjata," kata si pelatih pahlawan, "ada beberapa hal yang wajib kau perhatikan. Pertama, bahan mentahnya. Kedua, panjang dan pendeknya. Dan ketiga, desain yang diinginkan."

Thalia menghela nafas. "Aku tidak terlalu yakin aku bisa mengingat itu semua."

"Sampai kapanpun ini hanyalah ilusi, Thalia, kau tidak perlu memaksakan diri sampai mengingat ketiganya." kata Chiron. "Menghafal petunjuk satu hingga dua sudahlah cukup. Lagipula, ilusi ini mungkin hanya berguna untuk menakuti-nakuti musuh. Jadi jangan terlalu paksakan dirimu, mengerti?"

Thalia mengangguk, menatap ke arah langit. "Ngomong-ngomong, Chiron."

"Ya?"

"Apa pendapatmu jika ada orang di luar sana, mampu meniru segala senjata mulai dari senjata ringan, berat, terkutuk, suci, hingga yang ekstrim, senjata para dewa?"

Chiron berkedip. "Sepertinya mustahil. Kalaupun ada, selain diburu karena berbahayanya kemampuan yang dia punya, orang tersebut mungkin sudah dijadikan Penjaga Olympus sejak lama."

(Somewhere in another dimension.)

"Achoo!"

Sakura Matou, yang tengah membuat sarapan di dapur kediaman Emiya, melirik ke arah seniornya, yang sedang menonton T.V., dengan tatapan khawatir.

"Kau baik-baik saja, Emiya-senpai?"

"Ya," balas 'Emiya' sambil mengelus hidungnya.

'Aneh. Aku merasa seseorang sedang membicarakanku. Tapi siapa? Ah, Shinji mungkin.'

Di kediaman Zouken Matou, nama yang disebut mereplika gerakan yang sama.

(Back to present.)

"Lebih baik kau ambil istirahat, Thalia. Aku akan pergi menemui Andi untuk melihat sejauh mana dia sudah berkembang."

Thalia menurut tanpa protes, duduk di teras Rumah Besar sambil mengamati latihan sepupunya.

"Hm," Chiron mencermati ilusi yang dibuat Andi; penampakan Mr. D yang tengah duduk dengan kaleng diet coke di genggamannya. Dia pun mengarahkan jari telunjuknya pada minuman bersoda. "Mr. D selalu menghabiskan diet cokenya, Andi. Jarang sekali dia mengenggam lama benda yang tak disukainya."

Raut Andi sedikit menggelap mendengarnya, dia lalu mengayunkan tangan dan kabut di depannya hilang seketika.

"Dan aku pikir Mr. D menyukai minuman itu sampai menghabiskannya dalam satu tegukan. Ternyata faktanya malah sebaliknya, huh?"

Chiron terkekeh. "Ilusimu telah menyamai aslinya, Andi. Hanya kesalahan di diet cokenya saja."

Dia melihat arlojinya. "Nah sekarang, sudah waktunya pelajaran Sejarah Yunani di kabin-Enam. Kau dan Thalia segera pergilah ke sana, aku ada kelas memanah tidak lama lagi."

Andi dan Thalia mengangguk.

(Scene change.)

Jauh di bawah permukaan laut, tersembunyi sebuah istana yang megah nan indah jika dilihat dari dekat. Konstruksi yang terdiri dari campuran karang, batu laut dan kulit abalone merupakan area dimana Dewa Laut Olympus membuat huniannya.

Dengan takhta yang terbuat dari koral, Poseidon dalam diam menyaksikan anggota tertinggi di istananya tengah berbaur satu sama lain.

'Percy bilang dia dibantu oleh Naruto saat pencarian petir asali dan misi di Lautan Monster. Tapi, tidak mungkin Hecate membiarkan keponakanku bebas tanpa diawasi 24 jam penuh olehnya. Pengecualian, para Moirai telah memberi Naruto simbol beserta daerah domain yang pas dengannya.'

"Ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu, Yang Mulia?"

Poseidon menoleh ke samping, melihat seorang wanita berambut hitam, iris hazel, mengenakan gaun putih-biru, dengan mahkota perak disematkan di atas keningnya.

"Amphitrite," panggilnya, sebelum kedutan muncul di dahinya, "...bisakah kau panggil namaku saja ketika kita tidak sedang dalam rapat penting atau semacamnya?"

Amphitrite tidak menjawab, dia hanya tersenyum simpul dan duduk di samping suaminya.

"Jadi," mulainya, "ada sesuatu yang sedang mengganggumu, Poseidon?"

"Keponakanku," balas Poseidon, mengetahui tatapan bingung istrinya, dia melanjutkan, "putera Hestia. Naruto. Kau tahu kan?"

Amphitrite berkedip, mengangguk kemudian. "Ah, dia rupanya. Yang Raja Olympus ingin—"

"—lenyap," sela Poseidon, menggeram, "bisa kau bayangkan seorang bayi baru lahir. Terancam dibunuh oleh pamannya sendiri hanya karena darah Olympian Tertua mengalir di nadinya?"

"Kalau itu masalahnya, mengapa keponakanmu tidak di titipkan saja di Atlantis?" Amphitrite menyarankan, "aku tidak keberatan mengasuh anak Nona Hestia. Terlebih, dia sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri."

"Sudah lama aku memiliki pikiran seperti itu, Amphitrite," sahut Poseidon, iris hijau lautnya melirik ke beberapa anggota tertingginya, "namun untuk beberapa alasan. Aku merasa kerajaanku tidak cukup aman untuknya."

"Dunia Bawah?"

Poseidon mencibir. "Herakles."

"Putera demigod Zeus yang paling terkenal, sekaligus merupakan orang yang pernah kembali hidup-hidup dari Dunia Bawah," kata Amphitrite, memahami apa yang dimaksud sang Pembawa Badai, "lalu dimana keponakanmu sekarang?"

"Tujuh belas tahun yang lalu, dia telah dibawa Hecate ke Dunia Lintas," balas Poseidon.

Amphitrite mengerutkan kening. "Kalau tidak salah, itu adalah wilayah para manusia yang tidak percaya keberadaan dewa, bukan?"

Poseidon mengangguk. "Satu-satunya tempat yang aman untuk menyembunyikannya dari Zeus. Ya itu."

Tiba-tiba kabutmengelilingiruangan takhta, lalu Hecate berjalan keluar dari sana, dengan ekspresi takut dan cemas berat.

"Tuan Poseidon! Nona Amphitrite!"

Poseidon bangkit dari takhtanya, yang kemudian diikuti oleh Amphitrite.

"Hecate," sapanya, bingung dengan kedatangannya yang mendadak, "apa yang membawamu datang ke kerajaanku, wahai temanku?"

"Naruto!"

Poseidon menaikkan alisnya. "Ada apa dengan, Naruto?"

"Ya, ada apa dengan keponakanku, Hecate?" tanya Amphitrite.

Hecate pun menceritakan semuanya pada Raja dan Ratu Atlantis. Mulai dari Apollo, sang Dewa Matahari, yang tak sengaja melihatnya tengah berkomunikasi dengan Naruto melalui alat ciptaan si remaja pirang. Dia terlebih dahulu menghancurkan kaca mini sebelum tertangkap oleh Artemis. Ia dibawa ke hadapan Zeus, yang mana telah menculik anak demigodnya, Alabaster, dan dengan berat hati dirinya menukar info keberadaan Naruto demi keselamatan nyawa anaknya.

Selagi Amphitrite menenangkan Hecate yang terus mengucapkan 'maaf' berulang kali. Di lain sisi, Poseidon melangkah keluar kerajaannya lalu menghantam trisulanya ke bawah, berniat memanggil nama yang dapat diandalkannya untuk memperingati keponakannya mengenai ancaman.

"Bob!"

(Scene change – Hogwarts.)

Harry merasa belum pernah segugup ini sebelumnya, dia yang baru saja keluar dari kamar tidurnya, entah beruntung atau tidaknya bertemu seseorang yang memiliki hubungan darah dengan figure kakaknya.

"Bukankah asramamu itu Ravenclaw?" dia memulai. "Lantas kenapa kau... Berada di... Ruang rekreasi Gryffindor?"

Menma menaikkan alisnya. "Sejujurnya, aku ada disini untuk memastikan Naruto datang tepat pada waktunya ke kelas McGonagall." ujarnya. "Selain itu? Berbicara empat mata langsung denganmu, Harry Potter."

"Berbicara empat mata denganku?"

Menma mengangguk. "Ada paket untukmu dari ayah tiriku. Sebentar aku ambilkan," tangannya dia masukkan dalam jubah, menunjukkan dua buah perkamen berbeda warna; yang satu putih sedang satunya lagi hitam, "ini."

Harry menerima paket itu, mengerutkan kening saat mengamati dua perkamen tersebut kosong tanpa ada kalimat.

"Apa ini?"

"Simpan dan jangan dihilangkan," balas Menma ambigu, "ayah tiriku bilang ini peninggalan Lily Potter dan James Potter untuk anak semata wayang mereka."

Harry melongo. "H-Hah?"

"Jangan khawatir, aku tahu kau sangat kebingungan saat ini," ujar si Jinchūriki (Yin) Ekor-Sembilan, "namun ketahuilah; kedua paket ini akan melindungimu jika waktunya tiba. Oh, untuk yang putih, itu sebenarnya tercampur dengan hadiah dariku."

"Tunggu sebentar," kata Harry, yang tampak risau dan senang di saat bersamaan, "ayahmu kenal dengan orang tuaku?"

Menma mengangguk. "Ya. Faktanya dia pernah mengajar sekali di sekolah ini."

"Siapa?"

"Remus Lupin."

(Scene change.)

Dengan iler menetes dari mulutnya, Naruto Uzumaki terkekeh dalam tidurnya.

"Hehehe *slurp* sini kamu ramen. Ayo *slurp* jangan malu-malu, perutku banyak ruang kosong untuk menampung jenis kalian *slurp*."

Knock! Knock! Knock!

"Ayo ramen–"

Knock! Knock! Knock!

"Oh, Inari Okami, kabulkanlah permintaan—"

Knock! Knock! Knock!

Twitch!

Mata Naruto terbuka cepat, bangkit dari kasur dan membuka pintu dengan keadaan setengah kantuk.

Brak!

"Hey, pak tua! Seingatku aku tidak pernah memesan susu sapi untuk pagi ini."

Menma facepalm. "Dan seingatku, aku masih muda dan pekerjaanku bukan sebagai pengantar susu sapi."

Naruto berkedip, mengucek matanya pelan.

"Eh? Menma? Apa yang kau lakukan disini?"

"...Mengantar pesan kalau Jormungand telah siap melilit Bumi."

"Apa?!"

"Canda."

Naruto memelototi Menma, yang nyengir balik padanya.

"Tidak lucu, bung."

"Setidaknya kau tak ngantuk kembali."

Naruto duduk di atas tempat tidurnya, menatap Menma dengan alis dinaikkan.

"Jadi, apa keperluanmu denganku?"

Menma angkat bicara. "Hanya menyampaikan pesan dari McGonagall, dia mengharapkan kau tidak datang telat untuk membantunya mengajar murid Tahun ke-Tiga."

Naruto mangut-mangut. "Oke, terima kasih atas informasinya, bro."

Menma memandang si remaja pirang dari atas hingga ke bawah, sebelum mengerang sambil mencubit batang hidungnya.

"Naruto."

"Ya?"

"Kenapa kau telanjang?"

"..."

"..."

*Looks down*

"Umm... Bisa kau keluar sebentar?"

"Roger!"

.

.

.

.

.

*Screaming girl*

"TUTUP PINTUNYA, MENMA!"

(Scene change.)

Di perjalanan menuju kelas Ramuan, terlihat Daphne dan Harry sedang berbicara satu sama lain.

"Kau yakin ini tidak apa?" tanya Harry. "Bagaimana jika rekan asramamu melihat kita berjalan bersama-sama?"

Daphne mengerutkan kening. "Karena sekarang Ramuan, aku sangat yakin semua rekan asramaku sudah sampai di kelas lebih cepat. Lagipula sejak akhir Tahun ke-Tiga, aku sudah tidak peduli lagi dengan reputasi, Potter. Dan juga selain dirimu, Corner, Nott, dengan Hannah, mereka bertiga mempunyai jadwal yang mirip. Hal yang sama juga terjadi pada Fletchley, Lisa, Zabini dan Tracey. Jadi yah, aku tidak memiliki masalah berjalan bersamamu."

Dia menaikkan alisnya. "Pengecualian kau tidak suka dengan kehadiranku."

Harry panik. "Bukan seperti itu, Greengrass! Hanya saja—"

Tanpa peringatan Daphne terkikik, mengejutkan si Anak-Yang-Hidup.

"Ya ampun, Potter," ujarnya menahan tawa, "jika saja ada cermin di sekitar sini. Kau seharusnya melihat ekspresimu tadi. Itu benar-benar pfft."

Harry sweatdrop. "Sangat tidak lucu, Greengrass."

"Kau benar," Daphne mengangguk, nyengir kemudian, "itu menggelikan."

Harry memutar bola matanya, tapi senyuman terpoles di wajahnya.

"Ngomong-ngomong, Potter," sahut Daphne, "mana Granger dan Weasley? Tumben kalian tidak bareng."

Harry membuka mulut. "Hermione pergi ke kelas Arithmancy. Sedangkan Ron," dia mengangkat bahu, "entah. Saat aku bertanya pada Ginny, dia juga tidak tahu dimana saudaranya itu," rona pink muncul di pipinya. "sial. Aku jadi khawatir jika aku bertemu dengannya lagi di ruang rekreasi."

"Kenapa?" tanya Daphne, penasaran.

"Karena *cough* saat aku menanyainya, dia sedang berciuman mesra dengan Dean," jawab Harry, menggaruk pipinya, "aku merasa seperti pengganggu privasi... Orang, kau tahu. Mungkin jika kami berpapasan nanti, aku akan meminta maaf padanya."

"Aneh."

"Maksudmu?"

"Ginevra Weasley dirumorkan naksir pada Harry Potter," kata Daphne, mengabaikan tatapan heran si pemilik nama, "tapi kenyataannya dia berkencan dengan lelaki lain? Dasar fansgirl."

"Ginny menyukaiku?" Harry berkedip. "Kau pasti salah info, Greengrass. Aku hanya menganggapnya sebagai saudara, tidak lebih dan tidak kurang."

"Benarkah?"

"100%. Lagipula... " Harry menggaruk bagian belakang rambutnya, diam-diam melirik ke arah gadis di sampingnya, "...aku menyukai seseorang saat ini."

"Hmm," gumam Daphne, menyeringai kecil saat menyadari lirikan Harry, "oh ya, Potter. Di beberapa hari ke depan, apa kau ada acara?"

"Selain mengerjakan essai Mantra? Sepertinya tidak ada." tukas Harry, yang merasa gembira untuk beberapa alasan. "Memangnya kenapa?"

"Minggu lusa aku akan pergi mengantar adikku ke Diagon Alley. Jubahnya rusak karena kejadian kemarin dan aku berniat membeli gantinya."

Harry berkedip. "Adikmu?"

"Astoria, namanya Astoria," balas Daphne, tersenyum mengingat satu-satunya adik kandungnya, "dia sekarang di Tahun ke-Tiga. Ayahku menyuruhku untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan sekolahnya selama di Hogwarts."

"Oh... Apa yang lain ikut?"

"Selain adikku sendiri? Kemarin malam aku sudah mengajak Tracey, tapi dia bilang ia ada urusan dengan Nott. Zabini dan Fletchley..." Daphne mencubit batang hidungnya, "...mereka mempunyai misi 'mencari pencipta goofy goober' atau apalah itu."

Harry nyengir. "Siapa sangka Snape memiliki keahlian seperti itu. Hebatnya lagi, dia masih bisa mengajar disamping aksi mengagumkannya kemarin.

Daphne tertawa geli. "Jangan ingatkan aku tentang itu, Potter. Perutku sakit nanti."

"Kay."

"Untuk Corner, tidak salah lagi ia memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan. Kalau Lisa, aku mendengar dia mendapat hukuman karena mengubah warna rambut murid Tahun ke-Lima. Hannah, prof. Sprout membutuhkan bantuannya dalam memenuhi nilai murid Tahun ke-Dua."

"...Sejak kapan kau jadi tukang gosip?" tanya Harry getir.

Daphne memelototinya. "Gosip adalah pengetahuan. Pengetahuan adalah kekuatan."

"Yah, pengetahuan *holding back a laugh*. Maaf, Greengrass."

"Jadi bagaimana? Kau mau menemaniku?"

Tanpa berpikir panjang Harry mengangguk, menahan diri untuk tidak melompat ke udara lalu berteriak 'WUHUU'.

"Pukul 10.00, Potter." kata Daphne, melangkah duluan ke kelas Ramuan. "Kutunggu di Aula Luar."

"..."

"Harry!"

Ron berlari tergesa-gesa, berhenti di sisi kiri Harry dengan keringat berjatuhan dari dahi.

"Senang *hah* aku bisa *hah* menyusulmu *hah*." katanya terengah-engah, tak menyadari Harry tidak memperhatikan satu pun kata yang telah dia ucap.

"Ron."

"Ya?"

"...Tolong cubit aku."

Ron mengerutkan kening, mengangkat bahu lalu mencubit lengan Harry.

Si remaja iris hijau meringis, sebelum senyum lebar terbentuk di mukanya.

'Bukan mimpi rupanya.'

(Scene change – New York.)

Di teras Rumah Besar, nampak Chiron, Mr. D, Percy, Andi, Annabeth dan Thalia, tengah mendiskusikan sesuatu.

"Grover butuh bantuan?"

Mr. D mencibir. "Berapa kali harus kuulang penjelasanku agar kau ingat, Peter? Yah, temanmu, Gimmy. Meminta bantuan terkait dua demigod yang dia temukan di sebuah sekolah militer di Maine, Pelabuhan Bar."

Dia melirik ke arah Chiron. "Kenapa kau tidak pura-pura saja tak ingat apa yang disampaikan Gecko, Chiron? Aku dengan sangat senang hati mendukungmu jika kau melakukan itu."

Chiron tersenyum hampa. "Dan memberikan harapan palsu kepada Grover? Kurasa tidak."

Keempat demigod memicingkan matanya pada sang Dewa Wine, yang memutar bola matanya dan pergi ke rumah pertanian.

Thalia menyilangkan kedua lengannya di depan dada. "Maine, huh? Bukankah itu lokasi yang agak jauh jika berangkat dari sini?"

"Itu memang benar," kata Chiron, menghela nafas, "lebih parahnya lagi. Tangki bensin van belum sepenuhnya penuh, bersamaan dengan Argus yang sedang dalam masa istirahatnya."

"Tidak ada kendaraan dan lokasi yang dituju jauh," gumam Andi, mengalihkan pandangan pada sepupu dan temannya, "terdengar familiar menurut kalian?"

"Kau seharusnya lebih tahu, Andi," balas Percy, menganggukkan kepalanya, "sekarang ini. Para Moirai tengah menunjukkan kasihsayangnya pada kita."

"...Dengan memberi takdir berupa misi di situasi terburuk?" tanya Annabeth getir. "Wow, aku merasa ingin menangis bahagia."

Si centaur terkekeh mendengar percakapan keempat anak dewa di dekatnya.

"Jika boleh memberi saran," ujarnya, "Percy. Apa ibumu memiliki waktu luang saat ini?"

Percy berkedip. "Waktu luangnya banyak sih. Mengingat ibu seorang penulis novel. Kenapa memang?"

"Kalau begitu, bisa kau via I.M. meminta tolong padanya? Jika ingatanku tidak salah, kau pernah memberitahuku kalau ibumu sudah mempunyai mobil sendiri tiga bulan lalu."

"..."

Kilat petir menyambar lengan Thalia, yang kebal dengan elemen dimaksud sambil memasang ekspresi membunuh.

Percy buru-buru melempar penanya sembarang arah. "Ah, Riptideku hilang. Aku permisi mencari itu dulu yah."

Sebelum si putera Poseidon mampu menggerakkan kakinya, dia menemukan tubuhnya terbalik di udara lima detik berikutnya.

"Umm, Andi sayang bisa tidak jangan kau gunakan Aerokinesismu pada tubuhku?"

Si demigoddesses termuda Zeus menggeleng. "Maaf Percy sayang terima saja nasibmu dengan lapang dada."

Annabeth mengelus dagunya. "Oke, Otak Ganggang. Bunga jenis apa yang kau suka untuk aku taruh nanti di atas kuburanmu?"

Chiron beranjak dari kursi rodanya. "Aku akan mempersiapkan P3K untukmu Percy," dia tersenyum 'sedih', "itu pun, jika kau selamat."

Percy melakukan hal paling cerdas yang bisa dipikirkannya.

"Jadi, Thalia... Apa kau sedang PMS?"

CTAR!

(Scene change – Hogwarts.)

"Duduk dan kembali ke tempat aslimu. Weasley! Sepuluh poin dari Gryffindor karena tidak siap."

Para murid asal Gryffindor mengerang saat prof. Snape mengambil poin dari asrama mereka, seperti yang selalu dilakukannya pada asrama lain.

Kecuali Slytherin tentu saja.

Namun Ron, yang tampaknya tidak terimaGryffindor mengarahkan jari telunjuknya pada Draco.

"Tapi ini tidak adil! Lihatlah Malfoy, dia kekurangan lebih banyak bahan daripadaku!"

Itu memang benar, Draco bahkan tidak berada di tempat yang seharusnya dan bahan ramuannya tidak semuanya lengkap.

Bukan berarti itu penting bagi Profesor Snape lagipula.

"Sepuluh poin lagi dari Gryffindor karena berani mempertanyakan guru. Aku sarankan kau diam kecuali jika kau ingin menghabiskan malam ini dengan mengerjakan essai dua kali lipat."

Akhirnya Ron memilih menyerah dan duduk, jelas marah karena kehilangan dua puluh poin asrama disebabkan alasan yang tidak masuk akal. Harry memberinya bantuan mental dengan menepuk bahunya beberapa kali.

Snape berdiri di depan kelas, mengedarkan pandangan sebelum mengumumkan.

"Selama dua minggu ke depan kalian akan dipecah menjadi pasangan untuk mengerjakan sebuah tugas baru. Masing-masing pasangan diberi daftar untuk jenis racun, tapi bukan nama racun atau petunjuk tentang cara membuatnya. Kau dan pasanganmu tidak hanya harus mengidentifikasi racun dan membuatnya dengan sukses, tapi juga harus menentukan penawarnya juga. Racun yang aku pilih untuk kalian mungkin tidak jelas, jadi aku tidak mengharapkan salah satu dari kalian sukses."

Dia melanjutkan. "Sejak kedatangan Institut Durmstrang dan Akademi sihir Beauxbatons, Kepala SeSnape telah terobsesi dengan peningkatan kerjasama antar sesama penyihir muda. Oleh karena itu, dia meminta agar setiap pasangan kelas terdiri atas murid dari asrama yang berbeda. Pasangan untuk tugas ini terdiri atas dua murid. Satu dari Slytherin, dan satunya lagi dari Gryffindor."

Semua murid mengerang mendengar pengumuman ini, sementara Snape menahan diri untuk tidak menyeringai melihat ketidakbahagiaan mereka.

"Semua pasangan telah dipilih secara acak. Ketika dua buah nama dipanggil, kalian maju ke depan, ambil daftar tugas di meja, dan cari meja acak untuk duduk bersama pasangan baru kalian. Aku sarankan kalian telah mencek kembali bahan untuk mencegah tidak adanya kesalahan dalam pembuatan."

Dengan itu dia mulai memanggil beberapa nama. Seamus Finnigan dipasangkan dengan Vincent Goyle, Lee Jordan dengan Pansy Parkinson, dan untuk hiburan Ron Weasley berpasangan dengan Draco Malfoy.

Harry merasa lega karena tidak harus bekerja sama dengan si tukang bully Slytherin, dan di sisi lain kasihan karena Ron harus bermitra dengannya.

"Daphne Greengrass dan... Harry Potter."

Harry menatap Daphne yang memiliki ekspresi jijik berlebihan di wajahnya, tapi saat melihat dirinya dia melihat cengiran yang cepat disembunyikan.

Mereka berdua berjalan ke depan untuk mengambil daftar tugas mereka, namun saat mereka menoleh untuk mencari meja kosong, Snape menghentikan keduanya.

"Miss Greengrass, izinkan aku untuk meyakinkanmu bahwa kau tidak akan dihukum karena ketidaktahuan pasangan 'Gryffindor'mu ini."

"Terima kasih Profesor, aku takut nilaiku di tugas ini akan sangat rendah berkatnya." kata Daphne, berpura-pura memelototi Harry.

Harry melihat sebuah meja kosong ke arah belakang ruangan dan memberi isyarat kepada Daphne untuk mengikutinya. Saat mereka duduk, Harry mendengar temannya mulai tertawa kecil.

"Untuk apa akting tadi?" tanyanya.

Setelah tawanya reda, Daphne menoleh ke arah Harry dengan senyum tipis.

"Maaf Potter, tapi lihat sisi baiknya. Profesor Snape baru saja menjanjikan kita nilai yang lebih baik dari yang lainnya. Lagipula, sedikit bermain tidak masalah bukan? Lalu, apa untungnya aku mengatakan 'Tidak, terima kasih, aku tidak ingin nilai tambahannya?'."

"Slytherin atau tidak. Aku menyadari Snape memberimu perlakuan yang berbeda dari murid asrama lainnya."

Daphne berkedip. "Oh, kau tidak tahu? Di Slytherin, bisa dibilang peringkatku teratas dan mendahului rekanku yang lainnya."

"Teratas?"

"Peringkatku no. 1."

"..."

Merasa beberapa menit terbuang sia-sia, Daphne dan Harry pun memutuskan untuk mulai mengerjakan proyek ramuan mereka.

Satu jam telah berlalu, tak ada satu pun pasangan di kelas yang mampu membuat ramuan yang ditugaskan oleh Snape, yang disebabkan karena jenis ramuannya tidak ada dalam buku Tahun ke-Empat.

Semua kecuali Greengrass dan Potter tentu.

Daphne mengangkat sebelah tangannya.

"Professor, kami telah selesai."

Semua pasang mata terkejut mendengar deklarasinya. Snape menghampiri meja keduanya, kemudian memeriksa dua kuali berbeda cairan warna; yang satu ungu berbusa sementara yang satunya lagi biru menguap.

"Seperti yang kuharapkan dari Miss Greengrass, tiga puluh poin untuk Slytherin." Snape menyatakan, raut kepuasan terpasang jelas di wajahnya.

"Dan sepuluh poin dari Gryffindor karena tidak adanya bantuan."

Harry menggertakkan giginya, menjaga tempernya agar tidak meledak di waktu yang salah. Dia tersentak ketika tangan Daphne menyentuh tangannya, perlahan mendinginkan hatinya.

Ketika Snape menjauh, Harry berbisik pada Daphne.

"Bagaimana semua bahanmu bisa cocok dengan kedua ramuan ini?"

Daphne menjelaskan. "Selain kekayaannya, keluarga Greengrass juga terkenal dengan distribusi bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pelajaran Meramu. Menurutmu, siapa yang menyuplai ulang bahan keperluan para murid semua Tahun Hogwarts di Diagon Alley?"

Harry sweatdrop.

"...Kau benar-benar menyimpan rahasia yang *cough* mengejutkan jika terungkap."

Daphne mengangkat bahu. "Itu bukan rahasia bagi publik kau tahu. Tapi untukmu mungkin sebaliknya." Dia melengkungkan alisnya. "Kau tidak tahu menandakan kau tidak pernah membaca sejarah keluarga Pure-Blood maupun Daily Prophet. Benar begitu, Potter?"

Harry menjawabnya dengan kekehan canggung.

(Scene change.)

Di kereta Beauxbatons, tepatnya di kamar marga Delacour. Gabrielle setelah menelan coklat kodok di mulutnya, bertanya pada kakaknya.

"Fleur, apa kau sudah yakin matang-matang dengan keputusanmu?"

Fleur, yang sedang membaca 1001 Charm terpaksa berhenti kemudian beralih pada adiknya.

"Keputusanku?"

"Itu yang ikut serta Turnamen Triwizard."

Fleur berkedip. "Ya. Itu sebabnya aku ada disini, Gabrielle. Untuk membuktikan bahwa aku bukan hanya sekedar penyihir di balik marga saja."

Gabrielle melompat dari kasurnya. "Kau tahu kan papa dan mama tidak mengambil serius perkataan paparazi yang mengataimu hal yang tidak-tidak?"

Fleur menggeleng pelan. "Mereka akan tetap berkomentar jelek jika aku tidak menampilkan kapasitasku yang sebenarnya," harapan memenuhi kedua bola matanya, "dan dengan memenangkan Turnamen aku yakin mereka akan meninggalkanku sendirian."

Gabrielle menunduk, "Kalau tekatmu telah bulat," dia mendongkak, memasang senyum lebar, "jaga dirimu baik-baik."

Fleur berseri, menarik si perempat Veela muda ke dalam pelukannya. Merasa cukup, dia melepas pelukannya.

"Tentu, Dik."

Ketika Fleur keluar dari kamar untuk mengisi ulang serbuk tehnya, Gabrielle mengedarkan pandangan dan tak sengaja melihat perkamen berisi tulisan di mejanya.

Penasaran, dia menarik kursi dan membaca apa yang baru ditulis si perempat Veela tertua.

'Ohhhh ternyata ini surat untuk papa dan mama. Mari kita lihat... Hm? Bagian 'temanku lelaki' apa maksudnya Naruto? Kenapa Fleur tidak mengisinya dengan namanya saja?'

Gabrielle tersenyum lebar.

'Yep, waktunya pembaca-beta bekerja.'

Lima menit berlalu, Gabrielle Delacour tampak puas dengan 'perbaikan' yang telah dirinya lakukan.

(Scene change.)

"Hai, Veela bitch."

Fleur menghela napas, mengabaikan hinaan terang-terangan dan mulai melangkah ke ruang penyimpanan.

"Lagi-lagi berlagak angkuh, huh? Oh, ngomong-ngomong, siapa laki-laki kemarin itu? Mainan barumu yah, Delacour?"

"..."

Fleur memutar badan, memandang tajam empat gadis yang salah satunya berada di depan dengan rambut hitam dan mata violet.

"Siapa pun dia bukan urusanmu, Margeaux," balasnya, "kau yang tidak tahu apa-apa lebih baik tutup mulutmu itu."

Margeaux mencibir. "Ketahui tempatmu, makhluk."

"Perlu kuingatkan siapa yang mengalahkanmu tiga kali berturut-turut di duel mantra pada Tahun ke-Lima, Margeaux?"

Fleur membiarkan senyum terbentuk di mukanya, puas melihat raut kesal dan sedikit takut gadis yang membencinya sebab daya tarik yang tak dapat dia kendalikan sejak lahir.

Dia mengerutkan kening, lupa tidak meminta A.A.N. lagi pada Naruto.

'Oke, Fleur. Setelah ini selesai kau harus pergi menemuinya.'

(Scene change.)

Setelah melakukan amanat guru, Menma menemukan dirinya berada di kelas Mantra bersama murid Tahun ke-Dua asal Slytherin dengan Hufflepuff.

'Sekarang Tahun ke-Dua rupanya.'

Prof. Flitwick, si guru keturunan goblin, dengan raut ceria menyapa Menma.

"Hello, Mr. Namikaze, senang bertemu denganmu kembali. Sebelum pelajaranku dimulai, aku bertanya-tanya apakah kau memiliki Mantra lain yang menarik yang bisa kau bagikan pada kami?"

Menma mengangguk, menghadap ke seluruh murid.

"Mengingat kita belum saling mengenal, izinkan aku untuk memperkenalkan diri. Namaku, adalah Menma Namikaze."

Dia mengeluarkan tongkat sihir dari balik jubahnya, lalu menulis Menma Namikaze di udara. Ia pun mengayunkan tongkat sihirnya dan namanya berhamburan menjadi salju, tersenyum simpul melihat reaksi kagum yang didapatnya.

"Wow."

"Keren."

"Seperti yang dikatakan Prof. Flitwick," Menma mengedarkan pandangan, memastikan seluruh murid Tahun ke-Dua dapat mendengar perkataannya, "jika ada yang ingin melihat demonstrasi serta mempelajari sebelum memulai kelas. Silahkan angkat tangan."

Semua murid mengangkat tangan setinggi mungkin, membuat Menma tersenyum melihat antusiasme mereka.

"Aku lihat semuanya berminat menjangkau langit. Baik, sekarang, aku akan berkeliling untuk memilih dua di antara kalian untuk maju sebagai relawan."

Kelas ribut sementara Flitwick nyengir, tergelitik menatap si lelaki iris onyx kesusahan bergerak dalam lautan anak yang berusia tak lebih dari tiga belas.

(Scene change.)

Manik ombak seorang remaja-yang bukan manusia- mengelilingi suatu kelas, menyadari bahwa ruangan telah dipenuhi siswa-siswi asal Gryffindor dengan Ravenclaw, dia pun melangkah masuk.

Naruto disambut tatapan aneh dan penasaran seluruh murid, mengerutkan kening, cengiran terbentuk tatkala menatap seekor kucing terdiam di meja guru.

Dia menarik tongkat sihirnya dan mewujudkan mangkuk kecil yang penuh dengan susu. Naruto berjalan menuju meja, melewatkan ekspresi bingung seluruh murid.

Menghentikan langkah di depan meja guru, ia meletakkan semangkuk susu di atas meja. Para murid melihat, terperangah saat kucing tersebut mendekati mangkuk lalu mencicipi susu. Dalam sepersekian detik, kucing itu berubah menjadi Profesor McGonagall.

Bibir bagian atas McGonagall naik karena geli, sekaligus sedikit kesal. Dia melirik ke arah Naruto, menegurnya.

"Mr Uzumaki, lancang sekali kau ini, memanfaatkan kelemahan bentuk animagusku seperti itu."

Naruto nyengir layaknya troublemaker pada umumnya, berkata dengan nada polos.

"Aku minta maaf Profesor, aku tidak tahu bahwa itu adalah kau, kupikir itu kucing kesayanganmu atau semacamnya."

McGonagall menyadari raut wajah Naruto, dia tahu bahwa raut polosnya itu bukan asli melainkan dibuat-buat.

Dia berkedip, raut polosnya itu begitu mengingatkannya dengan...

'Jika Sirius Black bertemu Mr. Uzumaki, aku sangat yakin kekacauan akan terjadi dimana-mana.'

(Two hours later – lunch time.)

Melangkah keluar kelas Transfigurasi, Naruto menautkan alisnya, menatap seorang perempuan berambut mirip sepertinya menatap balik dengan mata layaknya sehabis menangis.

"Kau kan, kalau tidak salah, aku melihatmu tadi di dalam."

Perempuan itu mengangguk. "Ya. Prof. Uzumaki. Namaku Luna, Luna Lovegood."

Naruto mendesah kesal. "Panggil saja aku, Naruto, oke? Aku bukan profesor aku hanya asistennya profesor."

Luna memiringkan kepalanya. "Tapi semua yang di kelas memanggilmu profesor. Lagipula, Prof. McGonagall terlihat tenang saat dirimu dipanggil seperti itu."

Menghela napas, si remaja iris safir berucap. "Itu di kelas ini di luar, mengerti?"

"Umm... Mengerti."

"Bagus."

Dia menambahkan. "Lalu, kenapa dengan matamu, Luna?"

"Ini salah auramu, Naruto." balas Luna ambigu.

Naruto melongo. "Aura? Aura apa maksudmu?"

"Jingga." ujar Luna, mengabaikan pertanyaan si pirang Gryffindor. "Terang. Bijaksana. Liar. Tak terkontrol. Gampang membuat teman. Setia terhadap rekan. Penghancur bagi lawan. Senang memberi kesempatan. Mudah memaafkan. Dan raja sesungguhnya."

"Err... Terima kasih?"

Naruto tak tahu harus merespon apa dengan perkataan Luna yang terlampau... Cepat. Namun mengingat Luna sepertinya memujinya, ucapan terima kasih mungkin cocok sebagai balasannya.

'Tunggu.'

Dia bingung dengan kata-kata terakhir.

"Raja?"

Luna berseri. "Jingga, warna kulit singa. Sang raja hutan."

"Oh... "

'Raja, hm?'

"Seperti Hokage."

'Nyata atau tidaknya pernyataan, Luna. Aku ragu gelar 'raja' cocok untukku. Menjadi Hokage saja aku belum."

"Salahkan eksistensi Uchiha."

'...Kau masih menyimpan dendam terhadap tindakan Obito di masa lalu, eh, Kurama?'

"...Diam!"

Si putri editor Quibbler melirik ke jendela, "Oh. Sudah waktunya aku pergi. Teman-temanku pasti menungguku," dia tersenyum pada Naruto, "aku tidak tahu kenapa. Tapi perasaanku mengatakan kau hidup untuk memenuhi peran yang besar apapun itu."

Dia berbalik dan mulai menjauh, meninggalkan Naruto yang mengedipkan matanya beberapa kali.

"Disana kau rupanya."

Naruto menoleh ke sumber suara, melihat Fleur Delacour berjalan menghampirinya.

"Fleur," panggilnya, "kau mencariku?"

Fleur tidak tahu kenapa, namun dirinya merasa ingin memeluk Naruto, seolah ia tahu rahasia pahit yang disembunyikan si laki-laki manik ombak.

Menggelengkan kepalanya, Fleur menjawab. "Begitulah. Ngomong-ngomong, apa aku boleh minta A.A.N. lagi darimu?"

Naruto terkekeh. "Nasib baik aku selalu membawa satu di jubah."

Dia mengambil A.A.N. lalu memberikannya pada Fleur, yang langsung ditempel di pergelangan tangan.

"Kau tidak perlu minta ijin kau tahu. Yang perlu kau lakukan hanya bertanya padaku."

Merasa efek A.A.N. telah bekerja, Fleur membalas. "Terdengar tidak sopan jika aku tak melakukan itu."

Naruto tersenyum. "Sebetulnya, aku sedikit tidak peduli dengan kesopanan sih. Lagipula, kau merupakan satu dari 'orang berharga'ku, Fleur."

Si gadis Veela berkedip. "Orang... Berharga?" dia merona kemudian.

Naruto, yang sadar apa yang baru saja ia katakan, ikut merona juga.

'Terkutuklah kebiasaan-berkata-tanpa-berpikir-dulu- dattebayo!'

Ketika menetap di Chester, Hecate pernah membawanya dan Menma pergi ke supermarket, dengan niat membeli bahan pangan. Saat menunggu antrian, dia tidak sengaja melihat seorang perempuan California yang ia taksir seumuran dengannya, kesusahan mengambil sereal Koko Krunch yang letaknya melebihi tinggi badannya.

Katakanlah naluri atau instingnya sebagai laki-laki, dia langsung memberi pertolongan pada perempuan itu tanpa sadar akan konsekuensi tindakannya.

Menma menautkan alisnya, melirik Naruto yang memberi lambaian tangan pada perempuan asing yang balas melambai sembari tersenyum malu-malu.

"Jadi," mulainya, "kau ini ladies-man, Naruto?"

Naruto menoleh ke arahnya, bingung.

"Ladies-man?"

"Jangan pura-pura tidak tahu, bro," sahut Menma, menyeringai tipis, "aku tak tahu kau memiliki kharisma sebesar itu pada lawan gender kita. Kuyakin kau banyak berlatih dan praktik sampai senatural itu di kehidupanmu yang dulu."

"...Serius, Menma, aku tidak mengerti apa yang kau maksud."

Menma memicingkan mata.

"Tidak lucu, Naruto."

Naruto mengerutkan kening.

"Siapa yang melucu coba?"

"...Tunggu," Menma berkedip beberapa kali, "kau sadar kan kalau kau baru saja merayu perempuan asing itu?"

"Merayu?" Naruto melengkungkan alisnya. "Aku hanya menolongnya untuk mengambil sereal yang tak dapat dia raih, memangnya itu termasuk merayu?"

"..."

Setelah pembicaraan waktu itu, Menma memberinya 'Bicara' berupa segala hal yang menyangkut tentang 'gadis'.

Di akhir, si remaja rambut hitam berkomentar mengenai kepribadiannya.

"Kau adalah lelaki idiot yang tak sadar akan kharismamu. Kau juga merupakan orang yang paling menawan, dan alasan kau sangat menawan adalah karena kau begitu tulus serta kata-katamu lebih cocok sebagai rayuan dibanding kalimat kasual. Lebih hebatnya lagi, kau hanya mengatakan apa yang ada dalam pikiranmu tanpa tahu baik maupun buruknya itu."

Barulah saat itu Naruto merasakan malu yang sesungguhnya.

"Ehem!"

Kedua penyihir berbeda sekolah menoleh ke sumber deheman, melihat kepala asrama Gryffindor memandang balik dengan alis dinaikkan.

"Sebanyak apa pun aku tak ingin ikut campur urusan anak muda," mengabaikan wajah Naruto dengan Fleur yang mendekati warna tomat, McGonagall melanjutkan, "akan lebih baik jika posisi kalian tidak menghalangi pintu keluar."

"Maaf, profesor/Miss. McGonagall."

McGonagall mengangguk, memasang raut datar sebelum berjalan ke arah Aula Besar.

"Jadi... " mulai Naruto, mencoba memotong atmosfer kecanggunggan yang sedang terjadi, " ...mau menuju Aula Besar?"

"Aku tak merasa lapar saat ini," Fleur memberitahunya.

"Luar kastil?"

"Kedengarannya bagus."

(Scene change.)

Dalam ruang perpustakaan, tepatnya di salah satu meja yang dikelilingi dua rak buku, terlihat Harry, Justin, Michael, Tracey, Lisa, Theodore, Hannah, Daphne dan Blaise, tengah duduk dan bercengkrama.

"Malam ini adalah malam yang paling menegangkan untukku," kata Justin dengan mata berbinar-binar, "kalian tahu kan apa yang kumaksud?"

Theodore menurunkan buku How to Find Your Animagus Form dari matanya, menebak. "Siapa yang mewakili Hogwarts dalam Turnamen Triwizard?"

Sebelum Justin dapat menjawab Hannah menyelanya terlebih dahulu.

"Aku tak mengerti dimana letak keseruannya," ujarnya, "Turnamen Triwizard yang sebelumnya, kalau tidak salah, pernah berjatuhan korban, bukan?"

"Tragedi itu telah lama terjadi, Hannah," tukas Michael, mencari buku yang cocok dengan essai Pemeliharaan Satwa Gaib di rak,"jadi kuyakin semua orang sudah lupa dengan yang telah berlalu."

"—lalu apa yang Prof. Trelawney lakukan hanya menafsirkan kematianku terus-menerus," ucap Harry kepada Blaise, "dan semakin lama aku menyadari aku tidak mempelajari hal penting apa pun darinya."

"Menyebalkan sekali kedengarannya," komentar Blaise, "kalau begitu. Mengapa kau masih bertahan di pelajaran itu, Potter?"

Harry menghela nafas. "Ron ingin nilainya semua O di ujian sihir dasar, jadi yah, dia mengambil Ramalan. Pada awalnya, aku hanya ikut-ikut saja sih. Tapi kenyataanya, tak ada yang menarik dari Ramalan."

"Tahun berikutnya kau ganti saja, Harry," usul Lisa, "kita lihat... Telaah Muggle?"

Justin angkat tangan.

"Disini, disini!"

"Kurasa Harry tidak akan sesuai dengan Telaah Muggle, Turpin," balas Theodore, menjilat ibu jarinya sebelum mengganti halaman buku, "jangan tersinggung, Harry. Tapi kupikir kau cocoknya di pelajaran yang banyak praktik dibanding yang sekedar diam dan menulis apa yang dikatakan guru."

"Mungkin Mantra, PTIH, Ramuan," Tracey menyebutkan, "tapi sayangnya semua itu wajib dan bukan tambahan. Minat dengan Astronomi, Harry?"

"Aku tak terlalu hafal rasi bintang serta nama-namanya, Tracey," Harry mengakui.

"Barangkali Arithmancy, Potter?" tawar Blaise, "kalau kau ingin, kau bisa meminjam cata—"

Panik, Justin dan Michael berkata.

"Tidak!"

"Jangan dengarkan bisikan iblis, Harry!"

Twitch!

Daphne menurunkan buku Hogwarts: A History dengan kedutan di dahinya.

"Lisa?"

Wham!

Wham!

"Terima kasih."

"Kesenanganku."

"" #$£℅... / $#%-¥... "" desis Michael dengan Justin yang nyeri sambil mengelus masing-masing kepala.

"Apa salahnya dengan Arithmancy?" tanya Blaise, sedikit tersinggung, "Theo. Pendapatmu?"

"Tidak semua orang suka menghitung, Blaise," jawab Theodore, mengambil perkamen dan mulai menulis rangkuman.

"Aku mengerti itu," ujar Blaise, memelototi Justin dan Michael, "masalahnya adalah kenapa dengan kalian berdua?"

"Kami tidak butuh—" mulai Michael.

"—seorang lelaki nerd—" Justin melanjutkan.

""—ketiga di kelompok."" keduanya menyelesaikan.

Lisa mengerang. "Oh, mengagumkan. Sejak kapan kita punya Fred dan George versi lain di sini?"

Theodore, Blaise, memiliki pandangan membunuh mendengar deklarasi tersebut.

Harry tertawa gugup, beranjak dari kursinya.

"Aku baru ingat Ron tidak punya teman untuk diajak bermain catur."

Daphne menyeringai, menaruh kembali Hogwarts: A History di tempatnya yang semula.

"Kalau tidak salah, ada sesuatu yang kulupa ambil dari ruanganku."

Hannah terkikik, bangkit dari tempatnya.

"Perutku lapar, bagaimana denganmu, Tracey, Lisa?"

Tracey dan Lisa nyengir satu sama lain, kemudian berdiri tegak.

Kelima murid Tahun ke-Empat itu melangkah menuju pintu keluar, meninggalkan dua murid asal Ravenclaw dan Hufflepuff yang kena gigitdua murid dari Slytherin.

(Scene change.)

Melewati Aula Besar, serta mengabaikan siulan di tengah perjalanan, tampak Naruto dan Fleur berjalan menyeberangi lapangan rumput menuju ke danau, tempat dimana kapal Durmstrang berlabuh, memantulkan bayangan hitam di air.

"Tidak lama lagi Natal," kata Naruto, mengalihkan pandangan pada Fleur, "apa hadiah yang kau inginkan dari Santa, Fleur?"

"Syal sepertinya. Syalku yang lama telah kekecilan untuk kupakai di leher," ujar Fleur.

Dia bertanya balik, "Kalau kau, Naruto?"

Naruto mengangkat bahu. "Pakaian, sarung tangan, sweater, apa pun itu. Asalkan," bintang muncul di kedua bola matanya, "jingga warnanya."

Fleur menaikkan sebelah alisnya. "Jingga? Warna kesukaanmu jingga?"

"Duh." Naruto menyeringai. "Warna favorit dewa itu."

Deg!

Tiba-tiba Fleur merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bersamaan dengan nyeri di kepalanya. Dewa... Darimana dia pernah mendengar kalimat itu sebelumnya?

Fleur merasa seakan dia telah mendekati sesuatu yang penting—sesuatu yang seharusnya ia ketahui sejak awal. Namun entah mengapa dia tak bisa mengingatnya dengan jelas.

Naruto mengerutkan kening, khawatir dengan keadaan si gadis Veela yang terlihat menahan sakit.

"Kau baik-baik saja, Fleur?"

Fleur tidak menjawab, dia hanya mencengkeram pundak Naruto, badannya gemetar dan perlahan berkeringat.

Beberapa menit kemudian, nyeri yang ia rasakan pun mereda seketika.

"Aku baik," Fleur berhasil menjawab, "bukan masalah besar, hanya sedikit sakit kepala."

"Kau yakin? Apa perlu kuantar kau ke Hospital Wing?"

Fleur menggeleng, merasa tidak enak sebab membuat repot si lelaki manik ombak, sekaligus tak ingin dikasihani.

"Ya sudah," sahut Naruto, meski ekspresi khawatir masih tampak di wajahnya.

Mereka terus berjalan sambil membuka mulut demi menghilangkan kebosanan, keduanya saling berbicara dengan berbagai macam topik. Seperti makanan kesukaan, hobi, pelajaran yang digemari, hal yang dilakukan bila sendirian, dan yang agak pribadi; masing-masing anggota keluarga.

"Nama ibuku Apolline Delacour, wanita penyayang dan baik kepada siapa pun. Sementara nenekku, Adele Delacour, ramah meski agak sedikit dingin," ucap si penyihir Beauxbatons, "kau sudah tahu nama adikku. Terakhir Julius Delacour, bukan ayah terbaik tapi dapat diandalkan dalam situasi terburuk."

Fleur melempar tatapan pada Naruto, seolah mengharapkan dia tahu tentangnya.

"Oh," Naruto mengangguk, "orang itu yah."

Sejujurnya dia tidak tahu siapa itu Julius Delacour.

Fleur tersenyum. "Giliranmu, Naruto."

Naruto nyengir. "Baiklah, nama bibiku Alice, dingin di luar tapi hangat di dalam. Nama saudaraku Menma Namikaze, dia baik hanya sedikit... Kasar, kepada orang yang dianggapnya menyebalkan itu pun."

Fleur menaikkan sebelah alisnya. "Dia saudaramu?"

"Satu-satunya."

"Tapi mengapa marga kalian berbeda?"

"Aku mengambil marga ibu, dan Menma marga ayah. Orang tua kami bisa dibilang yah... Semoga mereka baik-baik di tempat lain."

Fleur mengerutkan kening, terpaku dengan perkataan si pirang Gryffindor sebelum melebarkan matanya.

"M-Maaf aku tidak tahu jika... "

"Tidak apa," sela Naruto, tersenyum sambil menghadap ke langit, "setidaknya aku dan Menma masih memiliki Bibi. Lagipula, kami telah terbiasa hidup tanpa kehadiran orang tua."

"Untuk adil, si Jinchūriki setengahku mempunyai ayah meski bukan asli."

'Paman Remus; Werewolf terkeren sepanjang masa.'

"Begitu," gumam Fleur, merasa tidak nyaman untuk beberapa alasan.

"Nah, sekarang, aku ingin menanyaimu sesuatu. Dan kuharap kau jawab sejujur-jujurnya." ujar Naruto.

"Ajukanlah."

"Bagaimana dahimu? Masih terasa sakit?"

Fleur berkedip, geraman lepas dari bibirnya sebelum mengentakkan kakinya pada kaki si lelaki mata samudra.

"Adaw! Hey, untuk apa kau melakukan itu?!"

"Perkataanmu membuatku tersinggung!"

"Kau salah paham, aku menanyakan itu karena aku khawatir padamu."

"Lupakan yang dikatakan Gabrielle. Itu bohong. Semuanya boihong."

"Apa susahnya jujur, Fleur. Serius, aku takkan menjauhimu hanya karena kau punya kebiasaan semacam itu."

"...Kau menyebalkan, Naruto."

(Scene change.)

Setelah mengantar Fleur kembali ke kereta Beauxbatons, Naruto memutuskan menyelam ke dasar Danau Hitam dengan niat menemui teman guritanya.

Bob meniup beberapa gelembung.

"Sama, Bob, aku juga senang berjumpa lagi denganmu," kata Naruto, nyengir. "Karena Turnamen Triwizard akan dimulai sebentar lagi. Aku memutuskan untuk menemuimu terakhir kali di waktu istirahat yang sebentar lagi kan habis ini."

Bob meniupkan gelembung.

"Jadi saudaramu dan kau saling membagi komunikasi telepati?" ujar Naruto, terkesan. "Dan juga nama kalian sama persis?!"

Bob meniupkan gelembung.

"... Pesan dari paman P?" Naruto menyipitkan matanya. "Ancaman? Dari Zeus?"

"Oh, si bocah petir mengajak perang rupanya."

Bob meniup beberapa gelembung.

'Anggapanmu, Kurama?'

"Brengsek. Seperti para Uchiha."

'Itachi berbeda kau tahu.'

"...Gagak itu beda kasus."

"Oke, Bob. Aku berterima kasih karena kau telah memberitahuku mengenai ini," kata Naruto, sebelum menampilkan papan catur, "sebagai balasannya. Kita main tiga ronde."

Bob meniup gelembung.

"Kali ini kau yang hitam? Baiklah. Tidak masalah untukku."

(Scene change – Maine.)

Hujan es dan salju berjatuhan menimpa jalan raya. Dalam sebuah mobil, Percy Jackson mengintip ke luar dan melihat bangunan yang lebih mirip kastil raja jahat dibanding sekolah militer.

'Yipee!'

Di sisi lain, Thalia dan Annabeth tengah mendengarkan kisah-kisah memalukannya di umur enam tahun melalui mulut Andi dengan ibunya.

Merasa bosan, Percy mengeluarkan Game Boy pemberian temannya dari dalam tas. Melihat-lihat permainan yang ada dalam daftar sebelum memilih memainkan Megaman.

"Hey, Percy, sebagai perpisahan, ini kuberi salah satu koleksi mainanku untukmu."

"Terima kasih, Nar— hey, tunggu sebentar. Kau tidak ikut bersama kami ke Perkemahan Blasteran?"

"Tidak. Sejujurnya, aku sedang 'kabur' dari 'bibi'ku."

"Kabur?"

"Ceritanya panjang, dan juga, beritahu Annabeth aku berhutang budi padanya. Sebab berkatnya aku bisa 'kabur'."

"Oh, baiklah. Tapi... Apa kita akan bertemu lagi nanti, Naruto?"

"*laugh* ya. Tentu saja. Simpan saja [Kaca mini] punyaku itu. Jika kau butuh bantuan, panggil saja aku dengan itu. Oh, satu hal lagi, beritahu Annabeth juga, aku berterima kasih pada temannya yang bernama Thalia karena berhasil mengubah sedikit sifat saudaraku."

Percy tersenyum simpul, mengingat satu dari seribu memori terbaik dalam hidupnya.

Tiga puluh menit berlalu, Thalia mengenakan mantelnya dan keluar dari mobil, yang kemudian disusul Annabeth, Andi—yang dapat peluk dari Sally— dengan Percy mengekori.

Sebelum pintu tertutup, Sally berkata pada Percy.

"Percy, apa tahun ini kau—"

Percy menyelanya dengan gelengan kepala. "Maaf, ibu. Bukannya aku tidak ingin tinggal kembali bersamamu. Tapi dengan bau tubuhku dan Andi yang menarik berbagai monster, akan lebih baik aku dan dia menetap tahunan di Perkemahan."

Sally berusaha melawan balik tangisannya. "Kalau kau ada waktu kosong... Jangan lupa menghubungi ibu, mengerti? Meskipun hanya sebentar."

"Ya."

Sally memeluk Percy erat, yang dibalas perlakuan yang sama oleh si anak laut.

Begitu mobil ibunya lenyap dari penglihatan, Percy berbalik dan memandang apa yang dilihatnya.

Asrama Westover merupakan sekolah yang dapat disalahpahami sebagai tempat terangker di Pelabuhan, dengan dikelilingi menara, jendela-jendela melengkung dan satu set pintu ganda kayu tua. Gedung ini bertengger di tebing salju dengan pemandangan hutan berselimut salju, serta danau beku di sisi berlawanan.

"Suka cita," gumam Andi, "kita sampai di malam hari dalam keadaan bersalju. Aku jadi ingat film The Thing karena situasi yang sama."

Wajah Thalia sedikit berwarna hijau. "Makhluk dengan berbagai potongan tubuh... Entah mengapa aku lega tidak mengambil makan tadi."

"Sama." Percy mengangguk.

"Ayo masuk," ajak Annabeth, rambut pirangnya dimasukkan ke dalam topi skinya, "Grover menunggu di dalam."

Thalia memandangi asrama dan menggigil. "Kau benar. Aku penasaran demigod apa yang ditemukan Grover kali ini."

"Berharap bukan salah satu dari Tiga Besar," tambah Percy, yang tak sadar perkataannya akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ke depan.

(Scene change – Hogwarts.)

Aula Besar penuh dengan bunyi bisikan, dengan seluruh pasang mata tertuju pada sang Hakim tak memihak A.K.A. Piala Api.

Malam yang semua orang tunggu telah datang, pemilihan tiga Juara yang akan saling berkompetisi dalam ajang Turnamen Triwizard.

Semua orang, bahkan para profesor, sangat antusias untuk melihat siapa yang akan dipilih. Usut punya usut, diam-diam para siswa keempat asrama membuat taruhan mengenai siapa yang akan menjadi Juara mewakili Hogwarts.

Di meja Gryffindor, Seamus Finnegan berkata. "Kuharap Angelina yang terpilih."

Lee Jordan mengangguk. "Lebih baik dia daripada Lelaki-Cantik Hufflepuff."

Beberapa anak Hufflepuff yang mendengar jelas perkataan mereka, mendelik marah ke arah keduanya.

Harry beralih pada Naruto. "Bagaimana denganmu, Naruto? Apa kau juga kan mengikuti Turnamen Triwizard?"

Naruto tersenyum, mengangguk. "Dengan hadiah seperti itu bagaimana bisa aku tidak ikut?"

"Jadi kau mengincar popularitas, Naruto?" asumsi Hermione.

Naruto menggeleng. "Salah."

"Oh, aku tahu." tukas Ron. "Pasti hadiah yang kau maksud seribu Galleon itu, bukan?"

Naruto terkekeh dan Ron merasa benar. Setidaknya, sebelum si remaja manik ombak menggelengkan kepalanya.

"Salah."

Di meja Ravenclaw, Menma dengan kedua lengan diletakkan di bawah dagu, sedang memikirkan mimpi yang dia alami kemarin malam.

(Flashback dream.)

Hal pertama yang Menma lihat saat membuka mata, adalah Kuil besar nan megah, terbuat dari emas murni dengan simbol Matahari di langit-langitnya.

Dia kebingungan, bertanya-tanya seberapa besar kesalahannya sehingga diberi mimpi seperti ini?

Namun tak lama kemudian, kebingungannya terjawab ketika 'mata'nya di bawa masuk ke dalam ruangan luas. Dia melebarkan matanya, mengamati dua Titan tengah bertengkar satu sama lain.

Salah satu Titan memiliki rambut emas, kedua iris emas, berjenggot, kulit bagai bara api, mengenakan baju jirah emas, tingginya 35 kaki.

Sementara Titan yang kedua, warna rambut serta irisnya, mereplika Titan pertama. Yang berbeda, dia tidak berjenggot, wajahnya muda, kulit tan, mengenakan toga putih, sendal emas, tinggi 25 kaki.

"Helios!" raung si Titan pertama. "Kau berani mempertanyakan keadilan Tuan Kronos, dan juga aku, ayahmu sendiri?!"

Menma terkejut.

'Helios? Bukankah itu nama, Titan-Berganti-Dewa Matahari pertama sebelum Apollo? Si Pelihat-Segala-Hal?'

"Ya!" seru Helios. "Aku mengerti sesuatu setelah melihat pembantaian Kronos pada mortal yang tidak memiliki salah apapun padanya."

Dia menggeram. "Keputusanku telah bulat, Hyperion. Aku akan mengikuti jejak yang dilalui Prometheus; mengabdi pada Olympus sekaligus melindungi para mortal dari ketidakadilan bangsaku sendiri."

Bola mata Menma membulat, melihat benturan cahaya yang membuatnya terpaksa untuk menutup mata.

(Back to present.)

Menggelengkan kepalanya, Menma pun mengalihkan pandangannya pada kepala sekolah Hogwarts.

Dumbledore bangkit, di kiri-kanannya, Igor Karkaroff dan Madame Maxime tampak sama tegangnya seperti semua orang. Ludo Bagman berseri dan mengedip kepada berbagai anak, sedangkan Mr Crouch menguap tak tertarik, dia malah tampak agak bosan dibanding rekan hypernya.

"Nah, Piala Api sudah hampir siap mengambil keputusan," kata Dumbledore. "Kuperkirakan masih perlu satu menit lagi. Setelah nama para juara dibacakan, harap segera maju, berjalan di depan meja guru, dan masuk ke ruang berikut."

Dia menunjuk ke pintu di belakang meja guru. "Di ruangan ini para juara akan menerima instruksi pertama mereka."

Dumbledore mengeluarkan tongkat sihirnya dan membuat gerakan menyapu dengan itu. Serentak lilin-lilin, kecuali yang ada dalam labu kuning, langsung padam. Ruangan menjadi setengah gelap. Piala Api sekarang bersinar lebih terang daripada apa pun di Aula Besar. Lidah apinya yang biru-keputihan, menyilaukan sehingga membuat yang melihatnya mengalami kebutaan dalam jangka sebentar.

Nyala api di dalam piala mendadak menjadi merah. Lidah api mulai menyembur. Detik berikutnya sepotong perkamen gosong meluncur ke atas.

Seluruh ruangan terpekik kaget.

Dumbledore menangkap perkamen itu dan menjulurkan lengannya agar bisa membacanya dengan penerangan nyala api, yang sudah kembali berwarna biru-keputihan.

"Juara untuk Durmstrang," dia membaca dengan suara keras dan jelas, "Viktor Krum!"

"Tidak mengejutkan!" teriak Ron, sementara tepuk riuh dan sorakan ramai memenuhi aula.

Viktor bangkit dari meja Slytherin dan berjalan agak bungkuk ke arah Dumbledore. Dia berbelok ke kanan, berjalan melewati meja guru, dan menghilang melalui pintu ke dalam ruang yang telah ditunjuk.

"Bravo, Viktor!" suara Karkaroff membahana, sehingga semua orang bisa mendengarnya, mengalahkan suara aplaus. "Aku tahu kau jago."

Tepuk tangan dan sorak mereda seketika. Sekarang perhatian semua orang tertuju ke Piala Api lagi, yang sedetik kemudian berubah merah. Perkamen kedua dilontarkan oleh lidah apinya.

"Juara untuk Beauxbatons," ujar Dumbledore, "Fleur Delacour!"

Tidak seperti Viktor, yang diberi tepuk tangan sekaligus sorakan rekan sekolahnya. Para murid Beauxbatons memiliki reaksi yang berbeda.

Hampir semua murid dari sana mulai menangis. Bahkan, beberapa siswi asal sekolah Prancis tersebut melempar tatapan tajam pada gadis berambut perak yang berdiri dengan anggun.

Fleur sadar reaksi mereka akan seperti ini, namun dirinya tak ambil pusing dengan itu.

Siapa yang butuh mereka jika dia memiliki sahabat sejati dari sekolah lain?

Si perempat Veela menoleh ke arah Naruto, yang memberinya tepukan serta senyuman. Dia membalasnya dengan senyuman tipis, lalu berjalan di antara meja Ravenclaw dan Hufflepuff.

Setelah si gadis Beauxbatons masuk ke dalam ruangan yang disediakan, aula menjadi sunyi kembali, tetapi kali ini kesunyiannya amat tegang.

Kemudian Piala Api berubah merah lagi, api menyembur dan lidah api melesat tinggi ke atas, dan dari puncaknya Dumbledore menarik perkamen ketiga.

"Juara Hogwarts," ujarnya, membaca nama yang tertera di perkamen sebelum berseru.

"Naruto Uzumaki!"

Ketika Naruto berdiri, Aula Besar dipenuhi tepukan, sorak-sorai, dan siulan bagi yang mengetahui sifat dan kehebatannya dalam bidang mengajar dasar sihir untuk Tahun berbeda.

Di tiap sisi, terdengar beberapa siswa mengerang sambil merobek kertas taruhan mereka, sementara yang menang taruhan, bersorak semakin keras.

""Tidak aneh!"" seru sang kembar Weasley.

Cedric berseri, bertepuk tangan sekencang mungkin untuk teman pirang Gryffindornya. Dia berkedip ketika merasakan tubuhnya bergetar tanpa diinginkan. Merogoh sesuatu dari balik jubahnya, ia pun mengeluarkan sebuah kompas dari sana sebelum menautkan alisnya.

'Demi Neptune mengapa kompas pemberian Mercury berdiam diri di Barat?'

Si anak Hufflepuff membulatkan bola matanya.

'Jangan bilang... '

Di sisi lain, Menma juga bertepuk tangan untuk saudaranya, mengerutkan kening kemudian.

'Kau bercanda kan, Kurama?'

"Aku tidak bercanda, Menma. 800... 700... 600... 500... "

'Dasar perusak kesenangan.'

Memastikan perhatian semua orang masih tertuju pada Dumbledore, secara bersamaan, Menma dan Cedric beranjak dari tempat duduknya, dengan si lelaki rambut coklat melesat duluan mengikuti arah kompasnya.

"Kau mau kemana, Menma?" tanya Luna.

"Keluar. Penting. Ada urusan mendadak." jawab Menma, berbalik dan berlari menuju Aula Luar.

Luna berkedip, bingung dengan tingkah laku buru-burunya.

Tanpa peringatan api dalam Piala menyembur kembali, mengeluarkan perkamen dan dengan sigap Dumbledore menangkapnya.

Dia berdehem. "Naruto Uzumaki... Dengan tulis tangan yang berbeda."

Pandangan tak percaya ditambah sweatdrop menyelimuti Aula Besar, seluruh murid tiga sekolah dan para profesor beralih pada Naruto, yang menyengir bangga untuk beberapa alasan.

"Demi Merlin Pialanya broken oleh ulahnya." sahut anak Hufflepuff.

"Sebenarnya apa yang dia lakukan saat di Aula Depan selain memasukkan nama kemarin?" kata anak Ravenclaw.

"Membuat pesawat terbang dari kertas atau semacamnya mungkin?" lanjut anak Ravenclaw di sampingnya.

"Ini tidak adil," rengek siswi Beauxbatons, yang telah memasukkan nama tapi tidak terpilih oleh Hakim-Tak-Memihak.

Dumbledore gelisah. "Mr. Uzumaki, apa boleh kau memberitahuku berapa banyak perkamen yang telah kau masukkan di Piala Api?"

Naruto mengusap dagunya. "Tiga ratus kalau tidak salah. Banyak yang memantul jadi aku minta maaf bila kertasnya berhamburan di lantai Aula Depan."

Setelah pernyataan itu diucap, Piala Api lagi-lagi menyemburkan perkamen yang sigap ditangkap Dumbledore.

Dia menghela napas. "Untuk ketiga kalinya... Naruto Uzumaki!"

Mengabaikan reaksi WTF yang diterima Naruto, sang remaja manik ombak berjalan ke arah ruang para Juara.

(Scene change – Maine.)

Pintu kayu Westover berderit terbuka, menampilkan Percy, Andi, Annabeth dan Thalia, melangkah memasuki koridor dengan jejak hembusan salju berputar-putar menyelubungi kaki mereka.

Annabeth terkesan dengan bagian dalam gedungnya, dimana pada dinding-dindingnya berjajar potret-potret perang serta pajangan senjata: senapan antik, kapak perang, dan masih banyak lagi senjata jenis lainnya.

Dia facepalm saat menyadari sesuatu.

'Aku tahu ini sekolah militer, tapi setelah melihat semua ini, aku mulai berpikir bangunan ini cocoknya jadi pameran pembantaian dibanding tempat menempuh ilmu.'

Percy memicingkan matanya, tangannya merogoh saku tempat dimana ia menyimpan pena mematikannya, Riptide. Sejak dua langkah pertama, firasatnya mengatakan ada yang tidak beres dengan tempat ini. Sesuatu yang berbahaya menunggunya di sini.

Thalia nampak memiliki pikiran yang sama dengan Percy, menggosok gelang perak di pergelangan lengan sambil mengawasi sekelilingnya.

Andi angkat bicara. "Aku ingin tahu di mana—"

Tiba-tiba pintu terbanting cepat di belakangnya, membuatnya kaget dan refleks memeluk Percy.

Percy merona, menyadari apa yang tengah menekan punggungnya.

Dia tak protes meskipun.

Kilat petir mengejutkan Percy, mengakibatkan Andi mendarat dengan pinggang mengenai lantai pertama kali.

"Aw."

Meringis, si putera Poseidon berkata. "Hey, untuk apa itu?"

Menurunkan lengan kirinya, Thalia memelototi Percy.

"Kau pikir aku akan membiarkanmu melakukan hal bejat pada sepupuku, Penjaga Kolam?"

Percy membalas dengan perilaku yang sama.

"Hal yang baru saja terjadi adalah ketidaksengajaan, Muka Pinus."

"...Kau tahu. Sebenarnya aku membutuhkan dummy untuk target latihanku."

"Nu-uh, seperti arahanmu lebih baik daripadaku."

Andi melihat pertengkaran keduanya dengan binar di matanya, merasa seakan-akan natal telah datang lebih awal.

"Ternyata benar apa yang dikatakan bibi Aphrodite. Meski drama di T.V. banyak variasinya, drama keluarga masih menjadi yang terbaik."

Annabeth menghela nafas, berdiri di antara Percy dan Thalia sebelum masing-masing pihak saling menerjang satu sama lain.

"Teman-teman," ujarnya tenang, dan dingin di saat bersamaan, "simpan argumen tak penting kalian untuk nanti. Grover membutuhkan kita jadi jangan buat dia menunggu lebih lama lagi."

Percy dan Thalia cepat melupakan permusuhan mereka, memilih menahan ego dibanding menghadapi amarah si pemilik iris badai.

Andi cemberut, melirik ke arah Annabeth dengan tatapan mengatakan 'Kau tidak seru, Annie'.

Annabeth menyipit, seolah mengatakan 'Mau kuberi p.r. berupa menghafal semua nama ilmuwan serta gelar dan hasil temuan mereka?'.

Andi entah mengapa menemukan lantai lebih menarik dibanding tatapan Annabeth.

Lalu, keempat anak-blasteran mendengar alunan musik bergema dari sisi koridor, dengan nada layaknya musik dansa. Saling melempar anggukan, mereka kemudian berjalan menyusuri koridor.

Belum sempat lima menit, kelompok demigod melihat seorang pria dan wanita melangkah keluar dari balik bayang-bayang, dan menutup jalur mereka.

Si wanita memiliki kumis tipis, rambut abu-abu pendek dengan seragam gaya-militer hitam bergaris tepi merah. Sementara si pria, memiliki rambut abu-abu pendek, mengenakan seragam mirip dengan si wanita hanya versinya yang berbeda, dengan kumis tercukur licin yang tampak seperti terbalik menurut Percy.

"Ha!" bentak sang pria, membuat Percy hampir melompat mendengar suaranya yang begitu besar. "Pengunjung tidak diizinkan mengikuti pesta dansa! Kalian harus segera kee-luarrgh!"

Nada bicara pria itu memiliki aksen—Prancis, mungkin. Dia mengucapkan huruf r-nya seperti setengah cadel setengah berkumur. Tubuhnya tinggi, dengan wajah menyerupai elang. Lubang hidungnya mengembang saat dia bicara, membuat siapa pun sulit untuk tak memperhatikan hidungnya, dan matanya memiliki dua warna berbeda—satu cokelat, satu biru—seperti kucing jalanan.

Percy menelan ludah, instingnya mengatakan dua orang dewasa di depannya akan mengusir dia dengan temannya keluar dari sekolah tidak lama lagi.

'Semoga mereka tidak menelepon polisi dan menuduh kami sebagai teroris di bawah umur.'

Dia berharap penjara sedang penuh bulan ini.

Thalia dan Andi saling membagi lirikan, mengangguk lalu melangkah ke depan, sebelum menjentikkan jari masing-masing.

Mungkin ini hanya khayalan Percy atau memang kenyataan, tapi dia merasakan hembusan angin menyebar ke sepenjuru ruangan. Angin itu bertiup lumayan kencang, menyebabkan beberapa bendera yang dipajang di dinding berkibar secara beraturan.

"Oh, tapi kami bukanlah pengunjung, Pak." kata Thalia, memberi lirikan pada Andi.

Andi mengangguk. "Kami juga bersekolah di sini loh. Bapak lupa yah? Aku Andi. Dan ini Annabeth, Percy, dan sepupuku Thalia."

"Kami baru sampai karena terjebak kemacetan, Pak. Jadi tolong maafkan keterlambatan kami." Thalia mengakhiri.

Guru pria garang(menurut Percy) itu menyipitkan mata dua-warnanya, menatap rekan wanitanya dengan raut keraguan.

"Miss. Gottschalk, apa kau kenal dengan anak-anak ini?"

Meski situasinya tengah dalam kode bahaya, Percy mau tak mau harus menahan tawa dengan menggigit lidahnya kuat-kuat.

'Ya ampun, seorang guru dengan nama Got Chalk—Punya Kapur? HA!'

Wanita yang dimaksud mengerjapkan matanya, seperti seseorang yang baru tersadar dari alam mimpi.

"Aku... Iya. Kurasa iya, Pak." Dia mengernyitkan keningnya saat memandang keempat demigod asal Perkemahan Blasteran.

"Annabeth, Percy, Andi, Thalia. Untuk lain kali jangan terlambat lagi, paham?"

Sebelum mereka dapat menjawab pertanyaan itu, Grover Underwood berlari mendekat dan berhenti sebab kehabisan napas.

"Kalian *hah* berhasil! Kalian *hah* datang tepat pada waktu—"

Dia panik ketika sadar ditatap dua guru di pandangannya.

"Oh, Miss. Gottschalk. Dr. Thorn! Aku, eh... "

"Ada apa, Mr. Underwood?" kata sang pria. Nada bicaranya tinggi menandakan dia membenci Grover. "Apa maksud ucapanmu, mereka berhasil? Berhasil tiba? Murid – murid ini terjebak macet dan kau sebagai rekan kelas berani berkata seperti itu?"

Grover menelan ludah. "Maaf, Pak. Maksudku hanya, aku hanya gembira karena mereka... Memilih lagu yang cocok untuk pesta dansa! Ya itu, lagunya keren sekali loh, Pak! Dan merekalah yang mengusulkan lagunya."

Miss. Gottschalk berkata dengan suara terhipnotis. "Benar, lagu yang mereka pilih keren sekali nadanya. Nah sekarang, kalian kembalilah ke ruangan gimnasium."

Empat remaja keturunan dewa mengangguk, memberi hormat dua kali lalu berkata "Baik, Bu" dan "Baik, Pak" sebelum berjalan mengikuti Grover, yang kemudian menggiring mereka ke sumber alunan musik.

Percy merinding, merasakan tatapan tajam Dr. Thorn di belakangnya, memilih mendekati Thalia dan Andi lalu bertanya dengan suara pelan.

"Bagaimana cara kalian melakukan itu?"

Thalia mengerutkan kening. "Melakukan apa?"

Andi nyengir. "Maksud Percy Kabut, Thals."

Sang puteri tertua Zeus berkedip. "Oh, Chiron mengajariku cara memanipulasi Kabut demi keuntunganku waktu berlatih di Perkemahan."

Percy menautkan alisnya. "Dan aku tidak tahu karena?"

"Karena kau ada tugas penting saat itu," deklarasi Andi dengan senyum lebar.

Thalia menyeringai, Annabeth terkikik, dan Percy berkedip, sebelum mengerang saat menyadari apa yang dimaksud oleh Andi.

Grover kebingungan. "Tugas penting?"

Percy memucat. "Jangan dengarkan kata-kata Andi, Grover."

"Awal kisah hiduplah seorang laki-laki gagah di sungai yang tengah mengumpulkan sam—"

"Annabeth!"

"Aqualad away!"

"... Benci kalian. Aku benar-benar benci kalian."

""Kami menyayangimu, Percy.""

(Scene change – Aula Luar Hogwarts.)

Sebagian besar murid di sekolahnya, percaya Cedric Diggory hanya seorang penyihir cantik yang kebetulan tersortir dalam asrama terendah di Hogwarts.

Selain memiliki penggemar, tidak aneh kalau Cedric juga mempunyai haters yang kebanyakan lelaki dibanding perempuan.

Di luar selain reputasi Quidditch nya, Cedric mengakui dia memang rata-rata. Tapi di dalam urat nadinya, mengalir darah Mars sertaMercury yang menjadikannya pahlawan berkebangsaan Romawi.

Suara pekikan nyaring menghentikan laju larinya, memasukkan kompasnya ke dalam jubah sebelum menengadahkan kepalanya.

Dia melihat elang.

Bukan sembarangan elang tentunya, melainkan elang Kaukasus yang dikisahkan dalam mitologi Yunani, gemar memakan hati Prometheus sang Titan saat fajar tiba.

Sang anak Hufflepuff menyipitkan matanya.

'Yunani, huh? Mengapa aku tak terkejut?'

Cedric menggenggam rantai kalung emas di lehernya, menghiraukan rasa sakit yang kan dirasakannya, dia menarik rantai secara paksa sebelum itu memanjang menjadi pedang emas bermata dua.

'Mengingat tongkat sihirku tertinggal di kamar, maka senjata emas Imperial adalah pilihan terbaik untuk mengatasi monster ini.'

Elang raksasa Zeus menyadari kehadirannya, langsung menukik dan meluncur menuju lokasinya.

Dua iris abu-abu Cedric mengeras, mengambil beberapa langkah kemudian berlari menyerupai blur yang datang dari garis keturunannya.

Elang Kaukasus memekik keras, tapi Cedric mengabaikannya, dia melompat tanpa keraguan. Dengan latihan yang didapatnya selama berlibur di Perkemahan Jupiter, dia mengayunkan pedangnya, mendarat di lapangan terbuka dengan bunyi BRAK di belakangnya.

Memasang ekspresi tenang, Cedric berbalik dan menatap Elang Kaukasus tergeletak di tanah dengan bulu-bulu sayapnya berhamburan di udara.

'Benar-benar anti-klimaks pertarungan ini.'

Alisnya naik tatkala melihat secarik kertas melayang di depannya, mengambil lalu membaca apa yang tertulis di itu.

Menunduk.

Cedric berkedip, mengangkat bahu lalu menundukkan badannya, merasakan seseorang menginjak pundaknya sebelum seseorang ini melompat ke udara kosong.

Sang elang raksasa mencoba mengepakkan sayapnya, tapi seseorang dengan cepat menebas lehernya menggunakan pedang emas diselimuti api, membuat badannya terbakar tanpa sisa.

Cedric berkedip beberapa saat, melihat seseorang itu berbalik dan menampilkan tidak lain dan tidak bukan adalah Menma Namikaze.

"Sama-sama," sahut Menma tiba-tiba, memasang senyuman.

"Jujur saja, bukan kata terima kasih yang ingin kuucapkan saat ini," ujar Cedric dengan ekspresi datar.

Menma kebingungan.

"Lalu?"

Tanpa peringatan Cedric melesat ke arah Menma, pedang diayunkan di udara. Menma terbelalak, mengangkat pedang miliknya dan menangkis ayunan pedang Cedric, menimbulkan percikan api saat masing-masing senjata bersentuhan kasar.

"Kenapa kau menyerangku?!" seru Menma, yang kesal dan sedikit marah.

Cedric menggeram. "Kau ingin tahu alasannya?!"

Dia cepat merendahkan pedangnya dan melancarkan tendangan pada dagu Menma, namun Menma membloknya dengan sikut lalu dibalas dengan tinju lurus ke wajah.

Sang anak Hufflepuff mengabaikan 'crack' yang terasa di hidungnya, langsung mengarahkan tendangan ke perut sang anak Ravenclaw, yang telat menghindar dan terpental sejauh lima kaki.

Menma mendarat dengan erangan lepas dari mulutnya, perlahan berdiri tegak.

Cedric berteriak dalam kemarahan.

"Sebab aku mencium bau serigaladarimu!"

Menma melebarkan matanya.

'Sial!'

(Scene change.)

Pintu itu terbuka dan menampilkan tangga sempit yang mengarah ke ruangan berukuran sedang. Naruto Uzumaki berjalan masuk, melihat Fleur Delacour dan Viktor Krum berdiri di tempat yang berbeda, keduanya tampak serius sampai-sampai tak ada yang mencoba saling berbicara satu sama lain.

'Meh, harus ada yang mencairkan suasana ini.'

Naruto melambaikan tangan.

"Yo!"

Bersamaan, Fleur dan Viktor mengalihkan pandangan mereka kepadanya.

Fleur berkedip, sebelum tergantikan dengan senyum lebar dan lambaian tangan, sementara Viktor menaikkan alisnya, penasaran seberapa hebat saudara temannya itu.

Naruto beralih pada Viktor. "Oh ya, kita berdua belum pernah berkenalan, bukan? Namaku Naruto, Naruto Uzumaki. Namamu?"

Viktor berkedip, tersenyum dan menjawab. "Viktor. Viktor Krum. Senang berkenalan denganmu... Naruto."

Naruto mengangguk, melempar seringaian ke arah Fleur. "Jadi, untuk ke depannya kau dan aku akan saling bermusuhan, huh?"

"Hanya dalam Turnamen," Fleur mengingatkan, menyeringai kemudian, "jujur, aku tak menyangka kau dari semua orang yang dipilih Piala Api untuk mewakili sekolah Hogwarts."

"...Apa itu sebuah tantangan?" tanya Naruto dengan alis dinaikkan.

Fleur mengedipkan mata padanya.

"Menurutmu, monsieur Uzumaki?"

"Well, sebagai gentleman terdengar tak sopan untukku menolak kemauan pretty lady dihadapanku ini."

Viktor pura-pura batuk, mulai merasa canggung mendengar Naruto dan Fleur menggoda satu sama lain.

Dia berkata. "Aku harap kalian sadar kalau ada orang ketiga di sini."

Naruto mengerutkan kening, sebelum terkekeh pada Viktor, membuat sang Seeker Bulgaria menoleh ke arahnya.

"Apa?"

Naruto mengangkat bahu, berseri.

"Tak ada apa-apa."

Suara pintu yang terbuka menarik perhatian ketiganya. Mereka melihat Harry Potter berjalan ke dalam ruangan, membingungkan mereka semua.

"Hai, Harry." sapa Naruto, mengernyitkan dahi saat mengamati ekspresi pucat di wajah sang remaja iris hijau.

Fleur menatap Harry dengan raut kebingungan.

"Ada apa ini?" tanyanya. "Apa mereka menyuruhmu kemari untuk menyampaikan pesan kepada kami. Memberitahu kami untuk kembali ke aula, mungkin?"

Harry tak tahu harus menjelaskan dari mana, dan apa yang baru saja terjadi. Dia hanya berdiri tegak di tempat, memandang ketiga juara dengan tatapan kosong.

Berjalan mendekat, Naruto melambaikan tangannya di depan wajah Harry. "Aiaiaiaiai. Alpha kepada Tommy. Ranger hijau. Masuk. Rita tengah menghancurkan kota saat ini."

Harry berkedip beberapa saat, sebelum memandang lurus muka si remaja pirang dengan tatapan getir.

"...Kesukaanku ranger merah. Naruto."

Naruto kaget.

"Ranger Zeo. In space. Galaxy. Atau yang Turbo, Harry?"

Harry memompa tinjunya.

"Mighty Morphin takkan pernah mati!"

"DINO THUNDER TERBAIK!"

'Kau suka seri yang itu karena 'raungan'nya bukan?'

"ROARRRRRRRR!"

'BERISIK!'

Fleur dan Viktor bertukar tatapan bingung.

"Kau tahu apa yang mereka bicarakan?"

"Aku pun tak jauh beda dengan dirimu."

BANG!

Refleks, para juara melihat Dumbledore, bersama dengan Karkaroff, Madame Maxime, Crouch, Profesor McGonagall, dan Snape masuk ke dalam ruangan.

Karkaroff dan Maxime meneriaki Dumbledore tentang kecurangan, meski Kepala Sekolah tua itu tampak mengabaikan mereka, dan memilih berjalan mendekati Harry.

Dumbledore menunduk sambil memandang Harry, yang balas memandangnya, berusaha mencerna makna ekspresi mata di balik kacamata bulan-separo itu.

"Apakah kau memasukkan namamu ke dalam Piala Api, Harry?" tanya Dumbledore tenang.

"Tidak," jawab Harry, sadar semua orang mengawasinya.

Snape mendengus pelan, terlihat tak percaya dengan perkataannya.

"Apakah kau meminta murid yang lebih tua untuk memasukkannya ke dalam Piala Api untukmu?"

"Tidak."

"Ah, pasti dia bohong!" seru Madame Maxime.

Tak ada yang sadar iris safir Naruto berganti jadi merah-jingga, layaknya api, berkobar dalam amarah sebelum kembali seperti semula.

"Kendalikan emosimu, Naruto!"

'Aku berusaha, Kurama!'

"Dia tak mungkin melewati Lingkaran Batas Usia," kata Profesor McGonagall geram. "Bukankah kita semua sudah sepakat..."

"Dumbly-dorr pasti membuat kesalahan dengan lingkaran itu," kata Madame Maxime, mengangkat bahu.

"Mungkin saja," kata Dumbledore sopan.

"Dumbledore, kau tahu pasti kau tidak membuat kesalahan!" kata Profesor McGonagall berang. "Sungguh omong kosong! Harry tak mungkin melewati batas itu sendiri, dan karena Dumbledore percaya dia tidak membujuk anak yang lebih tua untuk melakukannya, menurutku fakta itu sudah cukup sebagai bukti bagi semua orang!"

Dia melempar pandang murka kepada Snape, yang menghiraukan kata-katanya.

"Mr Crouch... Mr Bagman," kata Karkaroff, suaranya dimanis-maniskan untuk mengambil hati, "Kau berdua... er... juri yang objektif. Tentunya, kalian menganggap kejadian ini sangat tidak biasa, bukan?"

Bagman menyeka mukanya yang kekanakan dengan saputangan dan memandang Mr. Crouch, yang berdiri di luar lingkaran cahaya perapian, wajahnya setengah tersembunyi dalam keremangan. Dia tampak agak mengerikan. Ruang yang setengah gelap ini membuatnya tampak jauh lebih tua, membuatnya tampak hampir mirip tengkorak. Tetapi ketika dia bicara, suaranya kaku seperti biasa.

"Kita harus mematuhi peraturan, dan peraturan menyatakan dengan jelas bahwa mereka yang namanya muncul dari dalam Piala Api wajib bertanding dalam turnamen."

"Yah, Barty hafal peraturan dari depan sampai belakang," kata Bagman berseri-seri dan kembali menoleh memandang Karkaroff dan Madame Maxime, seakan persoalan sudah beres.

"Aku menuntut memasukkan ulang nama murid-muridku yang belum terpilih," kata Karkaroff. Sekarang dia sudah menanggalkan suaranya yang bermanis-manis dan juga senyumnya. "Kalian akan memasang Piala Api sekali lagi, dan kami akan terus memasukkan nama, sampai masing-masing sekolah punya dua juara. Begitu baru adil, Dumbledore."

"Tetapi, Karkaroff, caranya bukan begitu," kata Bagman. "Piala Api baru saja padam—dia tak akan menyala lagi sampai awal turnamen yang akan datang..."

"... yang jelas tak akan diikuti oleh Durmstrang!" Karkaroff meledak. "Mengingat begitu seringnya kita rapat, bernegosiasi, dan berkompromi, sama sekali tak kuduga hal semacam ini akan terjadi! Aku setengahnya berpikir untuk pulang sekarang!"

"Ancaman kosong, Karkaroff!" terdengar suara menggeram dari dekat pintu. "Kau tak bisa meninggalkan juaramu sekarang. Dia harus bertanding. Semua harus bertanding. Terikat kontrak sihir, seperti dikatakan Dumbledore. Menguntungkan, kan?"

Moody baru saja memasuki ruangan. Dia berjalan timpang ke arah perapian, dan setiap langkah kaki kanannya menimbulkan suara tok keras.

"Menguntungkan?" cibir Karkaroff. "Bisa kau ulang, Moody? Jujur, aku tak paham apa maksud perkataanmu."

Nada yang dikeluarkan terdengar meremehkan, seakan apa yang dikatakan Moody tak layak memperoleh perhatiannya, tetapi tangannya membuat perasaannya yang sesungguhnya terungkap. Kedua tangannya mengepal erat.

"Tak paham, ya?" kata Moody tenang. "Sederhana saja, Karkaroff. Ada yang memasukkan nama Potter ke dalam piala itu, karena tahu Potter harus bertanding kalau namanya muncul."

"Pasti orang yang mau memberi 'Ogwarts kesempatan ganda!" kata Madame Maxime.

"Aku setuju, Madame Maxime," kata Karkaroff, membungkuk di depannya. "Aku akan mengajukan keberatan kepada Kementerian Sihir dan Konfederasi Sihir Internasional.."

"Kalau ada yang punya alasan untuk berkeberatan, Potter-lah orangnya," geram Moody, "tetapi anehnya, aku tidak mendengarnya mengucapkan sepatah kata pun."

"Kenapa dia harus keberatan?" celetuk Madame Maxime, "Dia punya kesempatan untuk bertanding, kan? Itu merupakan kehormatan besar baginya! Dan hadiah uang sebesar seribu Galleon... Kau tidak tahu kalau banyak orang bersedia mati hanya untuk berada di tempat ini!"

Warna iris mata Naruto berubah menjadi merah-jingga lagi, menit demi menit percikan api muncul di jari jemarinya.

"Mungkin ada yang berharap Potter mati untuk itu," kata Moody, suaranya disatukan dengan geraman.

Kesunyian yang sangat menegangkan menyusul kata-katanya ini.

"Jangan membenci ku karena hal ini, Naruto."

Dalam percobaan mengontrol emosinya, sang Gryffindor pirang bingung.

'Siapa ka—'

Naruto meringis, merasakan pening menyerang kepalanya, tubuhnya lelah terasa staminanya mulai meninggalkan raganya. Matanya perlahan menutup.

Hal terakhir yang Naruto lihat adalah sepasang iris biru yang memandangnya dengan pandangan khawatir serta cemas.

(Scene change.)

Dalam Menara Gryffindor, tepatnya di kamar sang trio emas. Harry Potter menghela napas, menatap Ron Weasley yang memalingkan wajah dan mulai tidur.

'Yah, setidaknya aku mulai tahu kapan ikatan persahabatan kita akan berakhir.'

Pikirannya berlabuh pada Naruto, yang berada di Hospital Wing sejak sepuluh menit yang lalu. Dia awalnya ingin menetap sementara di sana dan menunggunya siuman. Namun Madam Pomfrey mengusirnya dan mengatakan kalau pasiennya tak boleh diganggu saat sedang dalam masa istirahat.

Kemudian ada lagi sang juara Beauxbatons, yang terlihat mempedulikan figure saudaranya dan membuatnya hampir berasumsi kalau mereka berdua itu diam-diam *cough* punya hubungan khusus antar lelaki dengan perempuan pada umumnya.

"Temanmu baik-baik saja, Harry. Kau tidak perlu memikirkan keadaannya."

Harry cepat mengambil tongkat sihirnya, mengedarkan pandangan dan berusaha mencari seseorang yang memanggil namanya.

"Siapa kau?"

Pertanyaannya terjawab dengan bayangan serigala bergerak di dinding dan melompat ke lantai. Perlahan bayangan itu mengambil penampilan seorang lelaki berumur enam belas, rambut hitam, warna mata hazel, kulit pucat bagaikan mayat. Dia mengenakan kaos hitam bertuliskan Monster, sepatu militer, jins hitam, rantai perak di sisi celana, dan jaket biker kulit hitam.

Lelaki itu tersenyum simpul, seakan dia sangat gembira karena dapat bertemu dengan Harry.

"Kau sudah besar yah, Harry," ujarnya dengan nada bersahabat, membuat Harry kaget karena sang lelaki tahu namanya, "terakhir kali aku melihatmu, kau masih berada di perut Lily."

"Tunggu... Dari mana kau tahu namaku dan nama ibuku?" tanya Harry, matanya memicing dan tongkat sihirnya diarahkan pada sang lelaki.

Sang lelaki mengerutkan kening, mengabaikan pertanyaan yang ditanyakan Harry dan berkata. "Kau tidak mengenalku? Memangnya Dumbledore tak memberitahumu sesuatu mengenai darah Akhenaten yang mengalir dalam nadimu? Serta kau yang seharusnya menjadi eyeku pada umurmu yang kelima belas?"

Harry mengedipkan mata beberapa saat. "Akhenaten? Eye? Err... Siapa pun dirimu, aku tak paham apa maksud ucapanmu."

Wajah sang lelaki menggelap, lalu dia menghela napas. Tersenyum lagi pada Harry.

"Apa kau percaya jika aku tahu segala hal yang disimpan Lily dan James Alexander Potter? Mulai dari kekayaan, tempat tinggal, dan bisnis muggle yang mereka buat dari nol, Harry?"

Harry melebarkan matanya. "H-Hah?"

"Aku anggap itu sebagai 'ya'," kata sang lelaki, menjentikkan jari lalu aura hitam tipis muncul dari ketiadaan, itu kemudian menyelimutinya dan Harry.

Harry mengira dirinya akan dibunuh oleh sang lelaki, namun entah bagaimana aura hitam aneh itu membawa kehangatan pada tubuhnya.

"Dengan barrier yang baru kupasang, kita dapat bicara secara leluasa tanpa takut ketahuan oleh siapa pun," ucap sang lelaki, kemudian mengarahkan jari telunjuknya pada dahi sang Anak-Yang-Hidup, "sebelum kita membahas sejarah keluargamu. Aku ingin menghancurkan jiwa jelek yang melekat di dahimu itu."

Harry tiba-tiba merasakan panas yang luar biasa di kepalanya, dia menengadah dengan melepas teriakan panjang, detik demi detik keringat membasahi wajahnya, benaknya mempertanyakan kapan rasa sakit yang dirasakannya kan berhenti.

Begitu itu benar-benar keluar dari kepalanya, Harry merosot ke lantai, mata hijaunya melebar seraya terengah-engah. Sedangkan sang lelaki, dia tengah memegang cacing hitam yang terus menggeliat di tangannya.

"Akhirnya selesai juga," kata sang lelaki, memandang Harry dengan tatapan canggung, "maaf prosesnya agak sedikit kasar, Harry. Tapi lihat sisi baiknya, mulai dari sekarang kau bisa tidur nyenyak tanpa takut diganggu oleh bisikan jahat Tom Marvolo Riddle."

"Tom... Marvolo Riddle?" gumam Harry, yang perlahan berdiri tegak, menatap penasaran cacing yang sedang digenggam sang lelaki, "apa itu?"

"Ini? Ini Horcrux." sang lelaki menjelaskan, "merupakan sihir rendahan yang dapat membuat penggunanya memiliki keabadian yang sementara. Dengan kriteria memotong jiwanya menjadi beberapa bagian dan mengikatnya dengan benda-benda tertentu. Benda-benda tertentu ini dapat disebut sebagai jangkar yang mencegahnya masuk ke tempat para roh A.K.A. Dunia Bawah.

"Biasanya, seseorang mengikat mereka ke benda mati. Tapi entah kenapa... Kau malahmenjadi Horcrux hidup kepunyaan Tom Marvolo Riddle."

Harry berkedip. "Siapa Tom Marvolo Riddle?" untuk beberapa alasan, dia merasa takut dan familiar dengan nama itu.

Raut muka sang lelaki menggelap, berkata dengan ekspresi dingin.

"Voldemort."

Bagai disambar petir, Harry merinding tapi memaksakan membuka mulut, "V-Voldemort?"

Sang lelaki mengangguk. "Ya. Voldemort, pemimpin para pelahap maut," dia mendengus jijik saat menyebut kelompok itu, "dan Tom Marvolo Riddle, mereka berdua merupakan orang yang sama. Sekaligus orang yang bertanggung jawab atas kematian kedua orang tuamu."

Kedua tangan Harry mengepal erat, rasa takutnya akan nama Voldemort digantikan dengan amarah yang meluap-luap.

Sang lelaki memunculkan api di sekeliling cacing, membakarnya menjadi abu dalam sekejap.

"Kau ingin balas dendam, Harry?" tanyanya, "pada Tom Marvolo Riddle? Dan menyelamatkan seluruh orang tak bersalah dalam proses?"

Harry terdiam, memandang lurus muka sang lelaki, "sangat. Namun, siapa kau dan apa hubungan yang kau punya dengan ibuku?"

Sang lelaki tertawa. "Lily adalah eye pertama sekaligus koneksiku dengan Dunia Atas. Dan untuk siapa aku, sebaiknya aku memulainya dari namaku, bukan?"

Dia berseri, sebelum melanjutkan.

"Namaku adalah...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

...Anubis. Dewa Pemakaman dari Mesir."

T-B-C

1. Teknik Pedang Perapian: Cincin Api Neraka

A/N: Hello reader, jumpa lagi dengan saya Pluto111 di fic DPN chapter 4 bagian endingnya :D

Oh ya, bagaimana dengan chap yang sekarang.

Bagus?

Menarik?

Atau jelek?

Kasih feedbacknya di review, oke reader :D.

Untuk senjata Menma, anggap saja seperti pedang Kibaranger hanya sedikit panjang serta warnanya seperti deskripsi di atas.

Untuk GUEST no. 38 hanya karena fanfic indo banyak penggemar NXDXD bukan berarti saya WAJIB ikut seperti yang lain, bukan?

Ngomong-ngomong reader, ada yang tahu film The Vampire diaries? Atau The Original? Mengingat fic indo belum ada yang kisah crossover itu, mungkin ini juga mungkin satu dari film itu akan kubuat dengan Naruto.

Pluto111.

Sign out.