Jin susah payah meraup napas dalam-dalam. Mencoba mengingat rangkaian doa (yang sebenarnya cukup panjang) yang dituliskan Hoseok padanya tadi pagi. Seharusnya ia membawa kertasnya saja daripada meninggalkannya di dalam kamar. Kalau tahu penerornya akan datang secepat ini.

Bayangan itu bergerak perlahan, menghapus jarak di antara keduanya. Menyebarkan hawa dingin yang menusuk hingga kulit terdalam targetnya. Tawa kecil nan kelam mengalun bagai simfoni kematian.

Sekuat tenaga Jin melawan tremor ketakutan yang makin menggetarkan dirinya. "Wahai Tuhan, para malaikat, dan para kudus di surga, turunlah padaku,"

Mendadak pergerakan bayangan itu terhenti, tertahan.

"Enyahkanlah daripadaku seluruh keburukan yang bersumber dari setan. Bakarlah semua kejahatan ini di dalam neraka, agar mereka tidak pernah lagi menyentuhku atau makhluk lainnya di seluruh dunia!"

Sosok itu—iblis, pun meraung dengan keras. Suaranya begitu memilukan, menderita. Berbanding terbalik dengan betapa angkuhnya sang iblis beberapa detik yang lalu.

Jin tersentak saat tiba-tiba dadanya serasa tertusuk oleh pedang yang besar. "Agh!" Ia pun jatuh berlutut, merasakan rasa sakit yang tak tertahankan.

Ia merasa tidak kuat.

Tidak, ia tidak boleh berhenti.

Telunjuknya yang setengah menurun, ia luruskan kembali dengan berani tepat di sosok itu.

"Aku memerintahkan seluruh kekuatan yang menggangguku—dengan kekuatan Tuhan yang Maha Kuasa, dalam nama Yesus Kristus Penyelamat kami, melalui perantaraan Maria Perawan yang Tak Bernoda— untuk meninggalkan aku selamanya, dan dimasukkan ke dalam neraka yang kekal!"

Seluruh benda di ruangan itu bergetar hebat.

Kedua makhluk berbeda dunia itu sama-sama mengeluarkan jeritan kesakitan.


x

x

x

Saat kita merasa semuanya sudah selesai

Kita lupa bahwa ada yang namanya babak kedua

x

x

Ajeng Hyakuya proudly present

x

x

Darkest Nightmare

Chapter 3

FABRICATION

x

x

Genre : Horror, Supernatural, Romance

Rating : M++

Warning : Boys Love, Yaoi, Demonic Possession theme, NC-17 Sex, Rape, Disturbing Content

Main Pair : Vjin / TaeJin

Side Pair : KookMin / JiKook, NamGi / MonGa

x

x

x


Telunjuknya bergerak cepat turun ke bawah. Kedua telapaknya ganti meremas dadanya dengan erat. Jin mengatupkan mulutnya, menahan rasa sakit pada tubuhnya yang semakin menjadi.

Sedang bayangan itu mulai bergerak mundur tak terkendali. Suara-suara geraman tak menentu mengalun dari sosok itu.

"YOU'RE MINE, KIM SEOKJIN! MINE!"

Tubuh namja itu pun terpental oleh energi yang dilepaskan iblis itu dan menabrak dinding dengan keras. Ia pun jatuh berlutut. Masih mencegkram dadanya.

Dalam satu kedipan, begitu cepat bagaikan kilat yang menyambar sebelum petir menggelegar, bayangan hitam itu lenyap tanpa bekas.

Getaran di seluruh ruangan perlahan mereda.

Jin mengendorkan cengkraman pada dadanya. Meringis ngilu saat ia mulai menstabilkan tempo napasnya mengingat masih tersisa rasa sakit luar biasa di dadanya.

"Berhasil?" bisiknya ragu seraya mengangkat kepalanya ke depan, dengan rasa takut yang tersisa mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan.

Awalnya keadaan masih sunyi dan gelap. Namun tak lama kemudian, lampu berkedap-kedip dengan perlahan, hingga akhirnya kembali menyala. Seluruh benda di dalam ruangan itu masih tertata rapi. Seolah tak terjadi apapun beberapa menit mencekam yang lalu.

Senyum lega akhirnya mengembang di wajah rupawan itu.

"Tuhan, terima kasih,"

...

Jin menggeliat disertai erangan kecil di atas ranjang empuknya. Sepasang mata kecoklatannya perlahan terbuka tanpa ada rasa berat yang menahannya.

Ia melirik ke arah jam.

Sudah pagi?

Jin menghela napas panjang. Ia memandang langit-langit kamarnya.

Tak ia sangka semalam ia berada dalam keadaan yang sangat mencekam, antara hidup dan mati. Dan sekarang, rasanya kejadian semalam barusan seperti mimpi buruk saja. Begitu menakutkan saat ia di dalam alam bawah sadar, lalu terbangun dan semuanya baik-baik saja.

Satu-satunya yang meyakinkan Jin bahwa iblis mendatanginya tadi malam hanyalah nyeri di dadanya. Meski rasa sakit itu sudah mulai berkurang. Tak sesakit semalam.

Lelaki itu pun beranjak bangun.

Ia harus bersiap-siap untuk berangkat kuliah.

...

Kakek dengan tongkat jalan itu membungkuk kecil. "Terima kasih ya, nak, sudah menolong harabeoji menyebrang," ujarnya, mencoba merentangkan senyum meski tertahan otot-otot wajahnya yang mulai melemas dalam masa tuanya.

Jin pun tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala. "Sama-sama, harabeoji,"

Setelah memastikan kakek itu berjalan pergi dengan tenang, Jin kembali melanjutkan langkah kakinya menuju halte bus yang tinggal beberapa blok lagi. Ketika mengamati lingkungan sekitar yang begitu cerah dan dipenuhi para manusia yang sibuk, pandangannya menangkap seseorang tengah duduk di sebuah bangku dalam taman bunga.

Itu kan ...

Taehyung?

"Taehyung!" panggil Jin sembari memperkecil jarak antara mereka dengan berlari.

Yang dipanggil menolehkan kepalanya.

"Hai," sapa Taehyung. Rambut coklatnya tertata sedemikian rapinya. "Ayo, duduk,"

Jin pun mendudukkan pantatnya dengan lembut di atas bangku kayu berlapis cat putih itu. Turut menikmati pemandangan berupa hamparan bunga dengan iringan angin pagi yang sepoi-sepoi. Tak menyangka bahwa taman bunga itu akan sebagus dan senyaman ini. Biasanya Jin hanya akan melewati taman saat berangkat kuliah maupun pulang. Mungkin sekarang ia harus mencoba untuk menyempatkan diri mampir ke tempat itu.

"Kau senang dengan warna merah, ya?" tanya Taehyung, membuka pembicaraan.

Yang diberi pertanyaan mengerutkan dahi bingung. "Hm?"

"Setiap aku bertemu denganmu, pasti kau memakai baju warna merah," tutur Taehyung.

Jin bergumam 'oh'. Ia pikir kenapa Taehyung bisa menanyakan kesenangannya dengan warna merah. Ternyata karena baju. "Oh, sebenarnya aku tidak suka sampai sebegitunya, sih. Hanya, menurutku warna ini sangat cocok untukku," jelas Jin.

"Warna itu memang cocok untukmu,"

Jin mengulas senyum. "Terima kasih,"

"Kau sering ke sini?"

Taehyung mengangguk, pandangannya kembali tertuju pada hamparan warna-warni bunga di depan. "Iya. Bunga-bunga di sini bagus dan terawat. Aku senang memandangi mereka. Terutama mawar,"

"Warna merahnya sangat menggoda. Kelopaknya merekah, begitu lembut saat tersentuh jemari. Sayangnya mereka dikelilingi oleh duri-duri tajam, bagaikan prajurit yang menjaga tuan putri yang lemah, membuatnya sulit untuk dipetik dan dimiliki," Lelaki itu menoleh ke arah Jin. Tatapannya menyiratkan suatu maksud yang tersembunyi. "Seperti kau,"

Jin memandang bingung pria di sebelahnya itu. "Eh?"

Di tengah keheningan canggung itu, tiba-tiba ia teringat kalau ia harus kuliah. Jin pun beranjak berdiri. "Ah, aku harus segera sampai di kampus. Maaf kalau tidak bisa ngobrol lebih lama,"

Taehyung tersenyum hangat. "Tidak apa-apa. Hati-hati,"

Jin lalu berlari menuju halte bis. Untungnya ia tidak ketinggalan bis yang baru saja akan berangkat.

Oh, iya.

Ia lupa menanyakan alamat tempat tinggal Taehyung.

...

Jin menghembuskan napas lega mendapati suasana kelasnya masih cukup lenggang. Ia kira tadi ia berbincang dengan Taehyung cukup lama dan berakibat dirinya tertinggal kelas. Suatu momok yang ia takutkan akan merusak citranya sebagai mahasiswa teladan.

"Jin!" Ia spontan mendongak ke arah belakang kelas. Yoongi berlari kecil dari kursinya duduk.

"Bagaimana, Jin? Sudah enakan?" tanyanya.

"Iya,"

Yoongi menghela napas lega. "Oh, syukurlah,"

Jin menatap sang sahabat antara tak percaya dan bahagia. Tak menyangka Yoongi yang selama ini ia kenal sebagai orang yang cuek dan judes, bisa begitu perhatian dan cemas atas keadaannya.

"Apa?" tanya Yoongi, tak nyaman dengan raut terharu Jin.

Tak lama kemudian rona merah tipis menghiasi pipi imutnya.

"K-kau kan temanku. Apa salahnya sih? Kalau nggak aku tanyain, nanti mikir yang jelek-jelek," jelasnya dengan lugas.

Jin pun meringis senang. "Iya, iya. Sorry," Ringisan itu menurun menjadi senyuman tulus.

"Makasih,"

Lelaki bermarga Min itu menolehkan kepala ke arah kanan, tak mau Jin melihat wajahnya yang memerah. "Uhum,"

Jin tertawa kecil melihat tingkah tsundere Yoongi yang pada akhirnya memunculkan sisi imutnya yang tersembunyi.

"Sudah, ayo duduk,"

...

Lantunan pujian sang pastur muda mengisi tiap sudut ruang utama gereja dengan berkah. Burung-burung yang mampir turut berkicau menyertainya. Mengagungkan kebesaran Yang Maha Kuasa.

"Hoseok,"

Tepat di akhir pujian, pria bermarga Jung itu pun berbalik. Pria tua yang begitu familiar selama pengabdiannya di gereja melangkah menghampirinya. "Iya, Kepala Pendeta Im?"

"Kau dapat surat pindah ke gereja di Busan,"

Hoseok memiringkan kepalanya sedikit ke arah kanan. Bingung. "Kenapa tiba-tiba?"

"Di sana sedang kekurangan pastur muda. Kau tak perlu membawa pakaian. Gereja di sana akan menyediakan semua keperluanmu. Lekaslah berangkat dengan kereta," jelas Kepala Pendeta Im. "Kartu untuk naik kereta milikmu masih bukan?"

Terdiam sejenak penuh tanda tanya, akhirnya Hoseok mengangguk pasrah mengikuti perintah sosok yang begitu ia hormati itu. "Baik,"

"Saya pamit dulu, Kepala Pendeta,"

"Iya, semoga Tuhan selalu menjagamu,"

Lama setelah memastikan Hoseok benar-benar pergi dari area gereja, barulah pria paruh baya itu menyunggingkan senyuman tak menyenangkan yang begitu lebar, seperti bukan milik manusia.

"Pengganggu harus pergi,"

Kepala Pendeta Im berbalik, menghadap altar.

Kulitnya mulai terbakar oleh api yang tak terlihat.

Memperlihatkan daging otot kemerahan di baliknya.

...

Kebetulan minggu ini tak ada tugas, kebanyakan dosen mata kuliahnya berfokus pada penyampaian materi dan kuis. Berhubung Jin sedang tak begitu ingin jalan-jalan—sebenarnya ia berminat ke taman bunga tadi pagi tapi tak jadi, pada akhirnya ia pulang lebih awal daripada hari-hari sebelumnya. Sekalian memperbanyak istirahat sejak kejadian dua-tiga hari kemarin yang begitu menguras mental dan fisiknya.

Jin baru saja akan memasuki pintu depan apartemen, ketika ia tak sengaja berpapasan dengan wanita paruh baya yang ia tolong beberapa waktu lalu. Dari busana kerja yang dikenakannya, sepertinya wanita itu adalah seorang pegawai kantor.

"Oh, ahjumma,"

"Ah, nak Seokjin,"

"Selamat sore," sapa Jin seraya membungkukkan badan sedikit.

"Selamat sore juga,"

"Apa kabar ahjumma?" tanyanya.

Wanita itu tersenyum hangat. "Aku baik-baik saja,"

Jin pun turut membalas dengan senyuman. Berpapasan dengan seseorang saat akan masuk apartemen, entah kenapa ia jadi teringat waktu pertama kali ia bertemu Taehyung.

Oh, iya.

Kenapa tidak ia tanyakan saja pada ahjumma itu?

"Omong-omong, apa ahjumma kenal dengan Kim Taehyung?"

"Kim Taehyung?"

Jin mengangguk singkat. "Iya. Baru-baru ini aku melihatnya di sekitar apartemen. Apa ahjumma tahu ia tinggal di lantai berapa?"

"Wah, ahjumma kurang tahu juga. Coba tanya petugas apartemen. Maaf ya?"

"Tidak apa-apa. Kalau begitu, saya duluan, ahjumma,"

"Iya,"

Seraya melihat Jin yang memasuki lift, wanita paruh baya itu mengerutkan dahinya, berpikir keras.

Seingatnya, semua kamar apartemen penuh. Tidak ada penghuni baru.

...

Namjoon tengah berada di sebuah museum. Banyak lukisan-lukisan gaya Renaissance yang terpajang dengan apik dan rapi di tiap sudutnya. Ada beberapa orang dalam ruangan itu bersamanya. Mereka semua membelakanginya, menghadap ke arah yang berbeda.

Tiba-tiba ia sudah berdiri di sebuah ruangan kamar. Ruangan itu penuh dengan berbagai hiasan dinding.

Namjoon duduk di sebuah kursi. Tangannya menggenggam gelas kaca antik berisi cairan kehijauan sewarna batu zamrud.

Dan ia menegaknya, terus-menerus hingga tak tersisa setetes pun.

Kepalanya terasa begitu pusing. Seolah dunia berputar.

Ia pun tertawa lepas.

Menyambut kesadaran dan akal sehatnya yang perlahan terkikis.

...

Saat membuka sepasang netranya, suasana kamar yang gelap lah yang menyambutnya.

Pasti masih fajar.

Namjoon perlahan duduk terbangun. Ia menarik napas panjang.

"Mimpi?"

Rasanya mimpi itu begitu familiar, begitu nyata.

Di saat yang bersamaan ia takut.

Takut jika ia akan jatuh dalam kegilaan seperti dalam mimpinya.

...

Hoseok duduk di salah satu bagian kursi kereta di saat kereta mulai mempercepat lajunya melintasi rel. Untungnya suasananya cukup lenggang. Jadi ia tak perlu berdiri berdesak-desakan dalam waktu yang lama.

Pemuda itu mendesah lesu.

Rasanya semua ini begitu mendadak.

Oh, iya.

Ia tadi belum tanya di mana gereja tempatnya pindah.

Hoseok pun mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Ibu jarinya menggeser layar, mencari kontak Kepala Pendeta Im dan menekan ikon telepon.

"Halo,"

"Hoseok-ssi, akhirnya!"

"Aku ingin bicara dengan—"

"Kau ke mana?! Kepala Pendeta tiba-tiba saja meninggal! Be-beliau tergeletak di depan altar dan tubuhnya penuh luka bakar!"

"Apa?!"

"Kau sekarang di mana?!"

"Aku sedang perjalanan ke Busan. Kepala Pendeta bilang aku dipindahkan ke gereja di sana,"

"Hoseok, jangan bercanda! Kalau kau dipindahkan, seharusnya ada mobil yang—bzzzt-bzzzt-bzzzt—"

"—halo? Halo?"

Pemuda bermarga Jung itu menurunkan ponselnya dan dengan sedikit gemetar memasukkannya kembali ke saku celana.

Perasaan Hoseok menjadi semakin was was.

Ada apa ini sebenarnya?

"Pemberhentian selanjutnya dalam tiga menit lagi,"

Ia pun bergegas berdiri, lalu berjalan menuju pintu keluar kereta. Menunggu hingga kereta berhenti untuk turun dan lekas kembali ke pusat Kota Seoul.

Tanpa Hoseok sadari, tiba-tiba seseorang memukul kepalanya dengan begitu keras dari belakang.

Dan ia jatuh tak sadarkan diri.

...

Kedua insan itu bertukar pandangan sebelum saling mendekatkan wajah mereka, menghapus jarak di antara keduanya dalam satu ciuman lembut yang beberapa sekon kemudian berubah menjadi lumatan bergairah.

Lidah Namjoon melesak ke dalam rongga oral Yoongi. Tak mau kalah, lidah sang submisif maju secara ofensif melakukan perlawanan pada lidah asing yang menerobos masuk. Kedua otot basah nan hangat itu saling bergelut satu sama lain.

Tak butuh waktu lama, Yoongi akhirnya kalah. Membuat Namjoon akhirnya menjamah mulut dalam Yoongi dengan cepat tanpa terlewat sedikitpun. Sang submisif mengerang lirih merasakan kenikmatan dari mulutnya yang dieksplor sang dominan.

Semua orang mengetahui Kim Namjoon sebagai sosok yang ramah dan supel. Punya prestasi sangat baik dalam akademik. Tapi itu jika ia mengenakan kaca mata bundar yang telah menjadi ciri khasnya.

Sederhananya : with glassess, it's Good Boy Namjoon; without glassess, it's Bad Boy Namjoon.

Yoongi lebih suka Bad Boy Namjoon. Berani, dewasa, dominan, berdedikasi penuh pada passion-nya untuk hip hop. Tidak perlu memakai topeng anak baik yang disenangi para dosen, yang menurutnya munafik dan penuh kepalsuan.

Akhirnya tautan bibir mereka terlepas. Menyisakan benang saliva tipis yang terhubung dari bibir keduanya.

Yoongi menautkan alis bingung ketika Namjoon justru menjauh sedikit darinya begitu saja, tak berminat melanjutkan ke dalam ronde yang lebih panas. Padahal ia sudah menyiapkan lube di dekat sofa.

"Semalam aku mimpi tentang sesuatu," gumam Namjoon.

"Tentang apa?"

Namjoon mengendikkan bahunya. "I don't know. Tapi aku masih ingat di mimpi itu, aku meminum air yang berwarna hijau pekat,"

"Sirup mungkin?" tebak Yoongi.

Namjoon meringis geli, mencubit gemas pipi lelaki bermarga Min itu. Kalau mulut itu tidak melontarkan kata-kata pedas, pasti kata-kata kelewat lugu yang mengundang gelak tawa. "Aku yakin itu bukan sirup, Suga,"

Ia mengingat-ingat kembali mimpinya semalam. "Tapi seperti ... minuman yang terlarang. Kau seperti ingin meminumnya terus sampai kau lupa pada kenyataan,"

"Mungkin kau jarang ibadah kali," Yoongi tahu dia bukan orang yang memiliki kepercayaan, tapi tak ada salahnya menasehati kekasihnya jikalau itu untuk kebaikan Namjoon sendiri.

"Entah, ya?" Namjoon memandang hampa ke arah lantai dengan sejuta kebingungan. "Aku merasa ini seperti sebuah memori dan ... "

"—peringatan,"

Yoongi terkesiap tanpa suara. "Apa mungkin sosok yang aku lihat saat itu ... ?"

Namjoon menolehkan kepala dan mendelik mendengar gumaman sang kekasih.

Yoongi memandang sang kekasih, mengunci pandangan mereka berdua. Sorot matanya penuh keseriusan. "Kau ingat ketika aku memberitahumu, aku melihat lelaki misterius yang menggantikan bayangan Jin di cermin? Lelaki berambut pirang emas,"

"Maksudmu itu peringatan dari dia?" terka Namjoon.

Yoongi terdiam sebelum menggeleng. "Aku tak tahu pasti,"

"Tapi firasatku tak enak malam ini,"

...

Hari mulai beranjak petang ketika Jin dan Jimin keluar dari cafe. Jimin sendiri sebelumnya meminta yang lebih tua untuk membantunya mengerjakan tugas-tugas dosennya yang lumayan sulit. Sedangkan Jin dengan senang hati membantu teman sekaligus juniornya itu.

"Jungkook ke mana?" tanya Jin, menoleh ke lelaki bermarga Park yang berjalan di sebelahnya. Karena seingat Jin biasanya pemuda Jeon itu menemani Jimin atau menjemputnya.

"Dia bilang ada urusan. Jadi dia pulang duluan tadi," jelas Jimin.

Mereka kemudian melewati sebuah etalase tv sebuah toko elektronik. Jimin pun berhenti untuk melihat berita yang disiarkan. Otomatis, Jin juga ikut melihat ke arah TV di balik dinding kaca tersebut.

"Malam ini akan berlangsung gerhana bulan total. Puncak gerhana berlangsung pada tengah malam. Lintasan gerhana meliputi kawasan Afrika, Eropa, dan Asia. Termasuk timur China, Jepang, serta Korea,"

"Wah, pasti bagus banget. Tapi sayang nggak bisa lihat. Aku, kan, harus tidur. Besok ada mata kuliah banyak," keluh Jimin, diakhiri dengan helaan napas kecewa.

"Diprediksi oleh badan antariksa, atmosfer bumi yang penuh polusi akan membuat bulan yang sebelumnya berwarna keemasan berubah menjadi merah bagaikan darah. Fenomena ini sering disebut dengan Blood Moon."

Jin memandang lurus ke arah televisi lebar itu yang menayangkan cuplikan bulan yang berubah menjadi merah selama tertutup penuh oleh bayangan bumi.

Merah.

Merah.

Darah.

Warna yang indah.

Seperti dirimu.

—astaga, Jin. Kau berpikir apa barusan?!

Jin mengerang kecil seraya memegang dahinya. Berusaha menepis pemikiran aneh yang mendadak menjangkiti otaknya.

"Ayo, Jin. Sebelum keburu larut malam,"

Pemuda bermarga Kim itu menoleh sedikit ke arah temannya. Untungnya Jimin tak curiga dengan sikapnya yang menahan rasa pusing yang tiba-tiba muncul.

"... iya,"

...

Jungkook berjalan sendirian di sebuah gang yang sepi. Namun ia tak bisa mengelak bahwa perasaannya sedari tadi tidak enak. Seperti ada yang mengikuti, mengintai bagaikan predator.

Jeon

Siapa?

Jungkook berhenti. Manik matanya melirik cemas ke sekitar tempat itu.

Tak ada siapapun.

Kosong.

Sepi.

Jeon

Tunggu.

Mata Jungkook membulat menyadarinya.

Ia kenal suara siapa ini.

Suara ini terlampau familiar.

Suara yang pernah menghantuinya, meracuni pikirannya, menghasutnya dengan penuh godaan yang gelap, memanipulasi jiwanya.

Jeon Jungkook

Tidak.

Tidak!

Jangan 'dia' lagi!

Kontan Jungkook mempercepat langkahnya menjadi lari.

Ia terus berlari.

Berbelok dan berbelok setiap ada persimpangan.

Tapi kenapa rasanya jaraknya dengan rumahnya semakin jauh?

Kenapa seolah ia terjebak dalam sebuah labirin?

Give me your body again, Jeon

"Ah!"

Tubuh Jungkook tersentak ketika asap hitam masuk dengan cepat ke dalam raganya. Mengalir dalam darahnya, menyebar ke seluruh sudut tubuhnya.

Derap larinya terhenti seketika.

Tubuhnya berdiri kaku bagaikan patung.

Tatapan matanya berubah menjadi kosong.

Bayangannya yang terpantul dari lampu jalan nampak normal.

Sampai sepasang sayap besar terentang dalam bayangan itu.

Mata kosong itu perlahan hidup.

Namun bukan manik mata yang darinya terpancar kehangatan.

Melainkan mata kelam yang memancarkan kegelapan.

Jungkook kembali melangkahkan kaki dengan tenang.

Sudut kiri bibirnya tertarik.


.

.

TBC

.

.


Jin bersiap untuk tidur. Ia berdiri di depan cerminnya. Memasang satu per satu kancing atasan piyama satin abu-abunya seraya bersenandung kecil.

Tanpa ia sadari, sebuah siluet berdiri di balik pintu kacanya.

Dari punggung siluet itu, keluar sepasang sayap.

Sayap besar yang membuat siapapun yang melihatnya begidik ngeri.


Maaf banget, ya, kalau fanfic ini lama banget nggak update. Udah enam bulan lebih nggak Ajeng update. Maaf ya. T_T Terima kasih banyak buat semuanya yang sabar menanti kelanjutan Darkest Nightmare. #kasihflyingkiss

Cho471 : Sepertinya bakal percaya. Tapi ... berhasil tidaknya mantra dari Hoseok bisa dilihat di awal chapter.

Kim Joungwook : Sudah momen VJin-nya. Ya, makasih.

Vlicious : Hehehe. Nggak tahu, tuh, si V. Ya, masih rahasia. Cuma Ajeng agak teledor di awal, jadi ini sudah diedit. Maaf ya. Yoongi punya indera keenam? Mmmm ...

taejinnie : Ajeng nggak nyangka kalau ceritanya ini beneran serem. Makasih.

Yuyuu : Iya, nih. V php terus sama si Jin.

Guest (2) : Enaena-nya bentar ya

Muana : Sudah lanjut. Makasih.

SnowflakesGalaxy : Terima kasih banyak sudah menunggu kelanjutan fanfic ini. Maaf kalau lama banget. Terima kasih juga dukungannya.

Viscotte : Sebenarnya Ajeng juga setuju, sih. FF Vjin perlu dilestarikan di fandom ini, momen mereka toh juga banyak. Ah, disimpan dulu tebakannya, ya. Masih Ajeng rahasiain. Sudah update. Makasih sudah menunggu.

valent21 : Makasih. Yap, sudah update.

Yukayu Zuki : Sudah lanjut. Makasih review-nya.

Terima kasih juga untuk Guest (1), shin se gi, Guest (3), Kim, dan males login untuk review-nya. And terima kasih buat danielradclief08, cchocochips, ymchou, TaeJinKim, GAB234567890, Jungeunyoon, adorablemess, deebul, rrapmonie, Viscotte, Cocohime1108, KimYoonji93, wahidah alma, MB1106, ebi21, sparklingjm, Muanna, marlshopie, Dodomppa, SnowflakesGalaxy, dan valent21 untuk favorite dan follow-nya untuk chapter kemarin.

Adegan ketika bayangannya Jungkook keluar sayapnya itu terinspirasi dari BTS WINGS Short Film #1 BEGIN yang mana merupakan teaser bagian Jungkook.

BTW, selamat buat BTS atas kesuksesan comeback mereka dengan album Love Yourself Tear! Selamat juga karena lagu Fake Love bakal diputar di FIFA World Cup!

Jangan lupa review atau PM, ya. Yang mau kritik, saran, komentar, atau request, ayo! Jangan malu-malu.

Ajeng pamit.

Annyeong!