"A kiss is a lovely trick designed by nature to stop speech when words become superfluous."

-Ingrid Bergman

.

.

.

.

DISCLAIMER : Naruto (c) Masashi Kishimoto

Naruto belongs to Masashi Kishimoto, And this is my story

Warning(s) : AU, OOC Narusaku, Romance, Humor, Don't like, don't read,

RATE M FOR THIS CHAPTER,

But NO LEMON

.

.

.

.

.

CHAPTER 10

'How to get your kiss, your heart, and all of you'

.

.

.

.

.

Spring, March 27 at 3.44 PM

"Terus terang saja, kau memang sangat keras kepala, Naruto." Sakura berujar dengan wajah masam.

Terdengar kekehan pelan dari ponsel yang menempel pada telinga kanannya. Wanita Haruno itu berjalan cepat. Hak dari heels merah yang mempercantik kakinya bergema dengan tempo yang semakin cepat.

"Jika aku tidak keras kepala, bagaimana aku bisa berhasil menaklukkan dirimu, Sakura-chan?"

Sakura mendengus di tengah langkah cepatnya berkat jawaban dari pria yang meneleponnya itu. Ah—wanita itu sudah berkali-kali menahan diri untuk tidak berteriak pada ponselnya. Tidak mungkin dirinya menciptakan keributan di kantor produksi film—yang bukan tempat pribadi untuknya. Ia juga tak mampu menghindari tatapan aneh beberapa orang yang simpang siur di sana bila dirinya tiba-tiba memekik tak jelas. Dirinya masih harus menuruni tiga lantai sebelum ia bisa keluar dari gedung itu dan bebas memaki pria dengan segala macam celotehan sialan dari teleponnya.

"Oh, ayolah, Naruto. Jangan hanya karena tubuhmu sudah tampak baik-baik saja, kau langsung memaksakan diri melakukan banyak hal." Celoteh Sakura.

"Aku akan baik-baik saja, Sakura-chan."

Sakura menghela napas sejenak.

"Setidaknya cobalah hal yang sedikit ringan seperti model atau pun bintang iklan. Dengan tubuhmu yang baru selesai menjalani pemulihan kau langsung menerima tawaran produksi film action? Dan kau harus terbang ke negara lain untuk shootingnya? Yang benar saja!"

Wanita musim semi itu mengeraskan suaranya. Ia lebih leluasa karena hanya ada dirinya di dalam lift. Sesekali ia bisa melampiaskan kekesalannya dengan menghentak-hentakkan kakinya begitu mendengar tawa ringan tanpa rasa bersalah dari teleponnya.

"Tenanglah, Sakura-chan, keadaanku sangat baik. Atau jangan-jangan kau ingin menemaniku ke luar negeri? Oh, itu ide yang bagus untuk kencan kita." Terdengar kekehan ringan menyertai kalimat konyol itu.

Seketika telinga Sakura terasa berdengung. Ia benar-benar menyumpahi Naruto dengan segala hal yang meluncur dari mulut sialan pria itu. Bila Naruto sudah mengeluarkan serangannya, terkadang Sakura sudah tak dapat berkutik. Yah, jika Sakura berusaha membalas godaan pria pirang itu, dirinya hanya akan berakhir dengan digiring ke arah yang jauh lebih menghancurkan harga dirinya—itu yang mulai ia pelajari akhir-akhir ini. Baiklah, berarti sudah tak ada gunanya lagi menghentikan pria keras kepala itu, ia memilih untuk mengembuskan napas pelan.

"Baiklah, terserah! Pergilah sesukamu, aku cukup sibuk dengan pekerjaanku sendiri." Ucap Sakura malas sambil memutar bola matanya.

Sesekali wanita itu membenahi tas yang menggantung di pundaknya, mengeratkan coat-nya, dan menyelipkan surai merah mudanya yang mulai memanjang di belakang telinganya. Sutradaranya kali ini menyukai Sakura dengan rambut panjangnya untuk film yang akan ia tangani.

"Ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan, Sakura-chan?" Tanya Naruto.

"Aku baru selesai rapat soal proyek film berikutnya yang akan kuperankan, yah, sedikit berbincang-bincang tentang ini dan itu." Jelas Sakura. Naruto hanya ber'oh' ria di seberang telepon.

"Aku rindu menjadi lawan mainmu, Sakura-chan." Ucap Naruto lembut.

Sakura tertawa.

"Kurasa aku tidak. Kau tahu, menghadapi dirimu yang terus saja menyerangku itu sungguh melelahkan. Untung saja bibirku tak terkikis habis sampai proses shooting film kemarin selesai. Kau penjahat ciuman paling berbahaya di dunia." Sakura menjelaskan dengan penuh sarkas.

Naruto tergelak keras. Sementara itu, Sakura hanya mendengus sembari menjauhkan ponselnya dari telinganya tepat sebelum suara tawa Naruto menggelegar, ia sedang tak mau menyakiti telinganya.

"Okay, bahkan ingatanku soal kau yang ternyata sudah berusaha seenaknya menciumku sejak bertahun-tahun lalu membuatnya tampak semakin mengerikan, Naruto." Ucap Sakura sambil bergidik.

"Ayolah, Sakura-chan. Kau tak perlu bohong kalau kau sebenarnya memang menyukai ciumanku." Goda Naruto.

"Kau seratus persen salah, Namikaze-san. Atau mungkin, Uzumaki-sama."

"Aku lebih memilih mencium pantat ikan daripada mencium hewan buas sepertimu." Ujar Sakura sambil terkekeh.

"Kau pandai sekali mengelabuiku, Sakura-chan. Ikan memang tidak punya pantat." Jawab Naruto.

"Yah, karena itu aku jadi tak perlu mencium pantat ikan yang memang tidak ada dan aku jadi tak perlu menciummu." Sakura menjawab dengan menyeringai lebar meski Naruto sudah pasti tak bisa melihat seringai itu.

"Ah, sudahlah, pantat ikan ini menodai pembicaraan mesra kita."

Mendengar itu, Sakura tak bisa untuk tak tertawa. Lift kemudian berdenting, membuatnya berhenti tertawa dan ia melangkah keluar menuju lobby di lantai satu. Gedung itu sangat luas dengan kaca yang memenuhi dindingnya. Sakura memilih berhenti di depan pintu untuk melanjutkan pembicaraan tak bergunanya dengan pria yang sama tak bergunanya seperti isi percakapan mereka.

"Nee, Sakura-chan..." Terdengar suara Naruto melembut.

"Apa, Uzumaki-sama?" Sakura balas bertanya lembut.

"Aku ingin bertemu denganmu." Ucap Naruto terdengar setengah berbisik membuat telinga Sakura geli.

"Kau seperti anak kecil saja, Naruto." Sakura berkata sembari tersenyum.

"Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganmu?" Goda Sakura.

Naruto terdengar seperti terkekeh pelan dengan suara baritone-nya.

"Seberapa keras pun usahamu untuk menghindariku, aku pasti akan menemukanmu. Pasti."

Kalimat yang sulit dipercaya itu keluar dari bibir Naruto. Sakura mengangkat sebelah alisnya. Sesekali ia melirik jam mewah yang menempel di dinding atas bilik meja resepsionis di tengah ruangan lantai pertama gedung itu. Ia mulai menyadari bahwa sudah cukup lama dirinya bertelepon dengan Naruto. Sai ternyata cukup terlambat menjemputnya. Manik emeraldnya kemudian menatap halaman depan gedung yang bisa telihat dari dinding kaca tembus pandang di gedung itu, ia mengecek apakah Sai sudah tiba dengan mobil Maybach Exelero hitam miliknya atau belum. Begitu tak mendapati mobil yang dicarinya, Sakura kembali fokus mendengarkan ponselnya.

"Bagaimana jika kau tak bisa menemukanku?" Balas wanita Haruno itu seraya menyeringai.

"Aku pasti sudah mati.Sahut Naruto.

Dengan remeh, Sakura tertawa pelan.

"Kau pembohong ulung, Tuan Namikaze Naruto." Ujar wanita itu dengan terkekeh.

Naruto diam sejenak tak menyahuti.

"Aku tak bisa hidup tanpamu, Sakura-chan." Ucap Naruto begitu dalam dan rendah.

Bohong jika jantung Sakura tak meledak saat mendengar suara lembut Naruto yang seperti itu. Naruto memang benar-benar luar biasa bila menyangkut soal mengguncang hati Sakura. Sakura tahu betul bahwa pria itu mencintainya. Dan dirinya juga sama—mencintai pria pirang jabrik bernama Naruto yang baka itu. Lihatlah, wanita itu tak bisa berkutik sekarang, wajahnya benar-benar merah padam. Beruntung mobil miliknya tampak memasuki halaman gedung.

"Ah, Sai sudah datang menjemputku, Naruto." Wanita Haruno itu mengalihkan pembicaraan.

Ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari gedung dan menghampiri mobil hitam yang akan berhenti tepat di depan pintu kaca lobby.

"Kau akan terkejut melihat siapa yang ada di dalam mobil, Sakura-chan." Naruto berkata pelan.

Mendengar itu, Sakura berjalan dengan terheran-heran. Keningnya mengerut.

"Hah? Apa maksudmu? Bukan Sai yang menjemputku?" Tanya Sakura cepat tanpa melambatkan langkah kakinya.

Naruto tak membalas, hanya tertawa renyah.

"Jangan bilang kau memaksa Sai untuk mengizinkanmu menyetir mobilku lagi. Kau yang menjemputku sekarang?" Wanita Haruno itu tampak bertanya dengan raut antusias. Sekuat apa pun ia meninggikan harga dirinya, ia tetap tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya bila hendak bertemu dengan seorang Namikaze Naruto, meski ia tak pernah bersedia mengaku.

"Lihatlah saja, Sakura-chan." Naruto kembali mengeluarkan suara lembutnya.

Dada Sakura seketika terpacu dengan kebahagiaan. Langkah kakinya semakin cepat menghampiri mobil hitam yang telah menunggunya. Dengan tak sabar ia kemudian membuka pintu mobil dengan cepat dan berusaha menemukan batang hidung pria bersurai pirang jabrik yang ia pikir sedang duduk di kursi kemudi. Raut mukanya sudah begitu semangat dengan senyum sumringah.

"Kau benar-bena—"

"Apa?" Tanya pria itu.

Sakura hanya mengerjap-ngerjapkan matanya begitu mendapati sosok pria berambut hitam—bukan rubah pirang yang ia harapkan.

"Kenapa dengan wajahmu itu?"

Sai bertanya tak mengerti dengan gelagat Sakura dan wajah bahagia Sakura yang berlebihan. Ia tak pernah mendapati Sakura berwajah riang di depannya. Terus terang, sejak kapan Sakura begitu bahagia hanya karena mendapati Sai menjemputnya.

Wanita Haruno itu lantas mengendurkan tarikan sudut bibirnya. Seketika air muka berbunga-bunga yang sempat menghias paras cantiknya memudar. Degup jantungnya sudah kembali normal. Kemudian ia beranjak masuk dan memasang sabuk keselamatan dengan tenang seolah tak terjadi apa-apa, mengabaikan pertanyaan Sai yang masih tak mengerti dengan perubahan ekspresi wanita musim semi itu.

Sai memilih melupakannya dan kembali pada kemudinya. ia bersiap menginjak pedal gas secara perlahan. Sementara Sakura kembali mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya.

"Kau menyebalkan." Ucap wanita itu pada pria di teleponnya.

Naruto yang mendengarnya tertawa begitu keras, benar-benar membuat Sakura semakin merasa terhina.

"Ada apa dengan nada kecewa itu? Apa tadi kau sangat bersemangat?" Naruto berujar menggoda.

Sakura mendengus.

"Kau sangat berharap untuk bertemu denganku, bukan? Aku juga merindukanmu, Sakura-chan."

Seketika wajah Sakura menjadi merah padam bercampur raut kesal.

"Mou, kau menyebalkan! Aku lelah berbicara denganmu!" Ujar wanita merah muda itu kesal.

"Baiklah, sampai bertemu denganmu lagi, Sakura-chan." Tawa keras menyertai kalimat pria pirang itu.

Sakura yang sedang kesal langsung menutup teleponnya tanpa meninggalkan panggilan sayang untuk pria pirang sialan itu. Bibir ranumnya tak ayal mulai menggerutu.

Pria berkulit pucat di sampingnya termenung, tak paham dengan situasi Sakura yang seolah pasang surut hanya dalam hitungan menit. Menit pertama, wanita itu tersenyum sumringah. Menit selanjutnya, ia tenang dengan air muka datar dan asyik tenggelam dalam percakapan teleponnya. Tak lama setelah itu, ia tiba-tiba memaki-maki tak jelas sambil meninggalkan beberapa gerutuan. Sebagai manajer, tentu wajar jika ia khawatir bahwa Sakura mungkin sedikit gila, bukan?

"Naruto?" Tanya Sai.

Itulah kesimpulan yang ia dapat—Naruto. Yah, hanya Naruto yang bisa membuat seorang Haruno Sakura, aktris yang berada di bawah penanganannya menjadi gila, atau mungkin dibilang sedikit tidak waras. Dasar itu membuatnya yakin untuk menebak bahwa pria yang ada di balik telepon wanita itu pastilah seorang Namikaze Naruto.

Sakura memilih untuk tak menjawab tebakan Sai—tebakan yang sangat tepat. Wanita itu lebih asyik terlarut dalam kekesalannya. Ia sedang tidak berselera untuk menanggapi pertanyaan Sai. Toh, dengan reaksi diam wanita itu, Sai sudah pasti mampu menyimpulkan bahwa tebakan pria itu benar.

"Jadi, kapan kau akan menikah dengannya?" Sai bertanya dengan begitu santai sembari mengulum senyum tipis.

Sakura sontak menoleh.

"Maaf, kau mengatakan apa?" Wanita itu berusaha memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.

"Jadi, dia hanya akan menidurimu saja?" Balas Sai seolah tanpa beban.

Wajah Sakura seketika terbakar hingga semerah kepiting rebus. Ia tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh manajer tersayangnya itu.

"Sai! Kau sialan!"

Perkataan Sai sudah menyulut amarah seorang Haruno Sakura.

.

.

.

Spring, March 27 at 11.51 PM

Uap tipis menguar begitu Sakura membuka pintu kamar mandinya dan keluar dari dalam sana. Ia mengusap-usap surai merah mudanya yang basah dengan handuk sembari mendudukkan tubuhnya di atas ranjang empuknya. Air hangat yang sempat membasuh tubuhnya membuat dirinya segar setelah menjalani hari panjangnya. Ia tak peduli meski sudah hampir tengah malam, yang terpenting tak ada yang melarangnya untuk mandi selarut ini.

Wanita itu beranjak menuju lemari pakaian. Ia melepas handuk yang membalut tubuhnya kemudian mengenakan piyama putih. Belum sampai ia kembali ke atas ranjangnya, ponsel di atas mejanya tiba-tiba berdering.

"Siapa yang menelepon selarut ini?"

Langkahnya berubah arah menghampiri mejanya. Wanita Haruno itu lantas meraih ponselnya dan mengernyit begitu menangkap sebuah nama yang muncul di layarnya.

"Naruto?

Dengan enggan, Sakura mendekatkan ponselnya ke telinga kanannya.

"Apa lagi maumu?" Cerocos Sakura tanpa basa-basi. Ia yakin akan membunuh Naruto jika pria itu masih berbicara tentang hal-hal menyebalkan. Dirinya masih tak memaafkan Naruto perihal percakapan telepon dengannya beberapa jam yang lalu.

"Sakura-chan, bisakah kau kemari?" Suara Naruto terdengar lemah dengan kekehan pelan.

"Apa? Ada apa denganmu?" Sakura bertanya cepat tak mengerti, tetapi mendengar suara Naruto, muncul rasa kekhawatiran di hatinya. Wanita itu tak ayal mulai panik.

"Yah, ehm, kau tahu, tadi aku terjatuh dan... ehm ya, aku tak tahu kenapa tubuhku tak bisa ber-di-ri..." Pria Namikaze itu menjawab dengan ragu.

Mata Sakura membulat sempurna. Sekarang dirinya benar-benar panik. Hatinya tak berhenti untuk menyumpahi Naruto karena pria itu masih begitu santai dengan hal buruk seperti itu. Wanita itu langsung bergegas keluar kamarnya dan berlari keluar gedung apartemennya. Kakinya melangkah cepat menuju apartemen Naruto yang hanya berjarak beberapa gedung dari bangunan apartemennya.

"Aku sudah memperingatkanmu berjuta-juta kali untuk menjaga tubuhmu! Aku selalu bilang hati-hati!" Sakura berlari sambil terus mengomel pada ponselnya.

"Lihatlah, kau bahkan tak bisa bangun saat terjatuh. Bagaimana kau bisa bermain dalam film action, hah?" Celoteh wanita Haruno itu.

Naruto terdengar hanya menjawab ceramah Sakura dengan kekehan pelan.

"Lain kali aku akan memukul kepala pirang bodohmu jika tak menuruti nasihatku!"

Pria pirang di sana kembali terkekeh pelan.

"Tunggulah, aku sedang ke sana!"

Sakura menutup teleponnya dan mempercepat langkahnya. Tak ada siapa pun yang berpapasan dengannya saat hampir tengah malam seperti itu, jadi ia terbebas dari tatapan aneh orang-orang bila melihat wanita yang berlari-lari mengenakan piyama ketika larut malam. Yah, ia bahkan tak sempat menyambar coat atau pun sekadar mengambil sesuatu untuk menyelimuti kakinya. Ia tak peduli dengan udara dingin. Narutolah yang terpenting.

Sakura berhenti di depan kamar apartemen Naruto dengan napas terengah. Kamar Naruto terletak di pojok lantai dua dari gedung apartemen yang memiliki lima lantai. Tak berlama-lama wanita itu mengatur napasnya, dibukanya pintu kamar Naruto yang tak terkunci.

"Naruto." Panggilnya begitu masuk ke dalam kamar redup itu.

Apartemen Naruto tampak lebih luas dari miliknya meski masih kalah mewah dari kamar apartemennya. Itu adalah kali pertama dirinya memasuki kamar Naruto. Dilihatnya banyak sekali kertas bertumpukan di meja yang tampak seperti meja kerja Naruto. Bahkan pria itu tak hanya memiliki satu meja, mungkin ada tiga di sana dengan keadaan yang hampir sama—penuh tumpukan dokumen. Dalam keadaan remang, wanita itu juga bisa melihat banyak kertas penuh coretan tertempel di papan yang menggantung di dinding di atas mejanya. Manik emeraldnya terus bergerak menyusuri kamar itu untuk menemukan batang hidung Naruto.

"Naruto." Panggilnya lagi sembari menggerakkan tangannya meraba dinding untuk menemukan sakelar lampu agar memudahkannya menemukan pria berambut pirang yang dicarinya.

"Naruto." Sakura memanggil Naruto untuk ketiga kalinya. Tepat setelah itu, ia berhasil menemukan sakelar lampu. Begitu kamar itu berubah terang, ia mendapati Naruto tergeletak di sebelah ranjang lima langkah dari tempat wanita itu berdiri.

"Hei, Sakura-chan." Ucapnya sambil meringis.

Sakura hampir memekik, tetapi urung. Ia memilih beranjak cepat dan duduk berlutut di samping Naruto. Lantas sekuat tenaga tangannya membantu Naruto yang tubuhnya lebih besar dari tubuh mungilnya untuk bangkit duduk. Pikirannya cukup kalut. Apa yang sebenarnya dilakukan oleh pria pirang bodoh itu sampai jadi seperti ini?

"Bagaimana bisa begini, baka?" Wanita musim semi itu bertanya dengan khawatir bercampur kesal.

Pria di depannya tak menjawab, hanya menunjukkan ekspresinya yang meringis. Sakura sudah benar-benar khawatir, tak tahu harus melakukan apa selain mengomeli pria itu.

"Sudah kukatakan, tubuhmu masih baru saja selesai pemulihan usai koma dan kecelakaan di gedung itu. Hal seperti ini bisa terus terjadi jika kau terus saja keras kepala!" Cerocos wanita itu.

"Kau tahu, aku sangat khawatir. Sekarang apa yang harus kulakukan?"

Naruto hanya balas meringis.

"Bagaimana jika hal ini terjadi saat kau di luar negeri? Ah! Kau orang paling keras kepala yang pernah ada, Naruto!"

"Aku benar-benar khawa—"

Naruto langsung membekap bibir Sakura tanpa menunggu wanita itu untuk menyelesaikan celotehannya. Atau dirinya memang berusaha membungkam Sakura untuk menghentikan ocehannya, ia sudah terlalu banyak mendengarkan ocehan Sakura sampai ia hafal apa yang dikatakan wanita itu.

Sakura terdiam, cukup terkejut dengan aksi Naruto yang tiba-tiba. Namun, wanita itu membalas ciuman pria itu, ikut melumatnya sampai beberapa detik. Setelah selesai bertukar sentuhan bibir, dua orang itu saling bertatapan. Naruto tersenyum teduh. Sementara Sakura masih sedikit tak mengerti situasinya. Setelah itu, Naruto tiba-tiba bangkit berdiri sambil menarik tubuh Sakura untuk ikut berdiri. Sakura seketika melongo.

"Ba-bagaimana tu-tubuhmu, tadi kau bilang tak bisa berdiri—" Sakura tak melanjutkan ucapannya.

Naruto hanya menunjukkan senyum tipis kepada Sakura. Tanpa aba-aba, ia kembali menyerang Sakura dengan ciumannya. Lagi-lagi Sakura seolah dibungkam, tetapi Sakura tetap kembali membalas ciuman hangat pria pirang itu. Ia menikmati sensasinya sampai bibir mereka kembali berpisah setelah beberapa detik saling bertaut. Wajah mereka begitu dekat. Napas Naruto yang menderu terasa membentur kulit wajah Sakura. Seketika Sakura seakan mabuk oleh ciuman Naruto, tak sadar ia terus menikmati hangat napas yang menerpa wajahnya yang hanya berjarak setengah jengkal dari wajah tan Naruto. Tangan kekar pria itu terus memegang kedua lengan dan pundaknya sambil perlahan mengelus punggung kecilnya. Perlahan, wanita itu juga meraih pinggang besar Naruto dan memeluknya. Naruto semakin mendekatkan wajahnya ke pipi kanan Sakura. Embusan napas pria itu terdengar teratur mengudara di telinganya.

"Selamat ulang tahun, Sakura-chan." Bisik pria itu sembari mengecup pipi kanan Sakura pelan.

Sakura sontak tersadar dan mundur selangkah.

"Hei, jadi tubuhmu sebenarnya tak apa-apa?" Tanya wanita itu setengah berteriak.

Naruto hanya menunjukkan cengiran lebar. Jam sudah menunjukkan tepat tengah malam.

Spring, March 28 at 0.00 AM

"Selamat ulang tahun, Sakura-chan." Naruto mengulang ucapannya sambil tersenyum lebar.

Sakura tampak benar-benar tak percaya atas apa yang terjadi.

"J-jadi, kau berpura-pura sakit?" Teriaknya.

Naruto tersenyum, "Kejutan!" Ucap pria itu santai tanpa rasa bersalah.

Mendengar itu, Sakura melongo sejenak. Wanita itu kemudian langsung menggembungkan pipinya dan memukul-mukul dada bidang Naruto dengan kesal.

"Ah! Kau benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung!" Ujar wanita itu kesal.

"Mou, kau tahu, aku benar-benar khawatir!"

Naruto hanya tertawa renyah. Ia kemudian meraih tangan Sakura yang tak berhenti memukul dirinya. Ditariknya tangan mungil itu dan ia jatuhkan tubuh wanita itu ke atas ranjang di dekatnya. Sakura cukup terkejut saat menyadari tubuhnya sudah terlentang. Kedua tangan Naruto lantas bertumpu di atas Kasur dan mengunci tubuh Sakura di tengahnya. Dengan posisi hampir menindih wanita itu, Naruto mendekatkan wajahnya sembari menyeringai lebar.

"Aku tak pernah tahu kalau kau tampak benar-benar menggoda dengan piyama putih seperti ini, Sakura-chan." Naruto berbisik lembut seperti sebuah desahan.

Sakura yang sempat takut dan bergidik karena terkejut seolah kembali dimabukkan begitu mendengar suara baritone Naruto yang halus seperti itu.

"Dan rambutmu yang basah benar-benar..." Naruto meraih beberapa helai surai merah muda Sakura kemudian mencium dan menghirup aromanya yang memabukkan.

Naruto hendak bergerak mencium bibir Sakura sebelum wanita itu mendorong dada Naruto dan menahan tubuh pria itu agar sedikit menjauh dari wajah cantiknya.

"Kejutan ulang tahun macam apa ini, Naruto?" Sakura bertanya sembari mendengus.

Naruto hanya balas mengulum senyum.

"Mana kue dan lilin untukku?" Tanya wanita itu.

Naruto menghela napas pelan.

"Ada di lemari pendingin." Jawab pria itu.

"Tapi sekarang aku lebih ingin melahapmu daripada kue ulang tahun, Sakura-chan." Bisik pria bermanik saphire itu sembari kembali mendekatkan wajahnya ke Sakura.

Sakura menggunakan kedua tangannya untuk tetap menahan tubuh Naruto agar tak bertindak lebih jauh.

"Hei, aku yang berulang tahun di sini. Kenapa kau yang minta untuk dilayani?" Wanita itu berujar tak terima sambil terus menahan tubuh Naruto yang seolah hendak menyerang ganas.

Naruto menyeringai, "Tapi kau juga senang jika kita melakukan itu, bukan?"

Sakura seketika bersemu merah. Hatinya benar-benar tak menolak kenyataan bahwa ia setuju dengan pria itu, hanya saja ia merasa tak adil jika Naruto juga mendapat keuntungan dari hal itu yang harusnya jadi kado ulang tahun untuknya. Namun, apa boleh buat?

"Baik, baik, tapi dengan dua syarat." Ujar wanita itu menyerah.

Naruto mengangkat sebelah alisnya.

"Pertama, kau harus membelikan kado yang sebenarnya besok, aku ingin makan kue, masakan enak di restoran mewah, dan kau harus mengajakku jalan-jalan sampai aku puas." Ujar Sakura.

Naruto tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya mengangguk mantap.

"Kedua, kau sekarang sudah menyiapkan ehm... pengaman, bukan?" Sakura berujar sedikit ragu dengan pipi yang memerah.

Mendengar itu, Naruto menyeringai semakin lebar sambil berusaha menahan tawa.

"Tentu saja, Sakura-chan." Jawab pria itu sembari tertawa pelan.

"Kau ingin aku tak menggunakan pengaman, Sakura-chan?" Goda Naruto.

"Bukan begitu, baka!" Teriak Sakura dengan wajah merah padam.

Naruto tergelak keras. Sementara Sakura berkali-kali mendengus sebal.

"Kita mulai sekarang?" Tanya pria itu setelah puas tertawa.

Sakura berusaha menyembunyikan semu merahnya, "B-baiklah..." Wanita itu kemudian menurunkan tangannya yang menahan tubuh Naruto.

Seolah tak sampai satu detik, Naruto sudah memulai serangannya. Bibir Sakura dibekap dalam-dalam. Ciumannya berlanjut di seluruh wajah Sakura hingga leher. Sesekali mereka saling bertukar desahan lembut. Malam itu, mereka berbagi segalanya. Cinta memang benar-benar memabukkan.

.

.

.

Spring, March 28 at 7.12 AM

Suara bising bel diiringi dengan ketukan pintu terdengar memenuhi kamar itu. Dua penghuni yang masih mendekam di balik selimut hanya mengerang pelan, merasa terganggu.

"Naruto, ada yang mengetuk pintu." Erang Sakura masih dengan mata tertutup.

Pria yang masih tertidur di sebelahnya hanya menggumam pelan. Mereka berdua masih asyik meringkuk di dalam selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka. Tak ada jawaban, suara bel dan ketukan pintu terdengar semakin keras meraung. Naruto kembali mengerang.

"Pintunya tak terkunci."

Sayup-sayup Sakura menangkap suara pria dari depan apartemen Naruto. Satu kalimat itu berhasil membuat kesadaran wanita itu seketika terkumpul. Ia benar-benar lupa jika apartemen Naruto tak terkunci. Wanita itu sontak panik. Tangannya lantas mengguncang-ngguncang tubuh Naruto.

"Naruto, Naruto, bangun!" Ucap Sakura setengah berbisik sembari terus mengguncang tubuh pria itu.

Naruto hanya mengerang pelan.

"Apartemenmu tak terkunci, ada orang yang masuk, dan kita telanjang, baka!" Ucap Sakura geram.

Seketika Naruto langsung tersadar. Ia bangkit duduk kemudian menatap wajah cemas Sakura. Dengan cepat pria itu mencari celananya yang berserakan di lantai dan memakainya. Tepat selesai dirinya memakai celana, tampak pria bersurai perak berdiri di ambang pintu bilik tidurnya. Sakura yang sama terkejutnya tak sempat memakai sehelai pakaian pun. Wanita itu hanya menarik selimutnya semakin tinggi untuk menutupi tubuhnya yang polos.

"Naruto?" Kakashi bertanya dengan tatapan tak percaya.

Naruto yang tak tahu harus bereaksi seperti apa hanya menunjukkan cengiran lemah. Sakura yang masih di atas ranjang berusaha menyembunyikan wajahnya yang merah padam.

"Ada apa, Kakashi?" Terdengar suara pria di belakang Kakashi yang masih melongo. Tak lama setelah itu, muncul pria paruh baya bersurai pirang panjang dari balik tubuh Kakashi.

"Tou-san?" Pekik Naruto begitu mendapati sosok bersurai pirang itu. Dirinya yang hanya memakai celana seketika panik. Ia menoleh pada Sakura yang semakin membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam selimut.

"Oh, demi Kami-sama. Putraku ternyata sudah dewasa." Ucap pria paruh baya itu enteng begitu melihat situasi Naruto sembari tersenyum. Minato sekuat tenaga menahan tawa.

"Kenapa tou-san datang sepagi ini?" Tanya Naruto panik.

Minato mengernyit, "Aku hanya ingin mengunjungi putraku. Tak boleh?" Ucap Minato sambil tersenyum tipis.

"Baik, baik, beri aku waktu beberapa menit. Kakashi, bawa tou-san keluar sebentar." Pinta Naruto.

Kakashi yang tersadar dari lamunannya langsung bersiap berbalik. Detik itu juga tawa Minato akhirnya pecah.

"Anggap saja aku tak melihatnya." Ujar pria pirang paruh baya itu sambil berjalan keluar bersama Kakashi.

Begitu dua tamu tak terduga itu keluar, Naruto dan Sakura saling bertukar tatapan. Wajah keduanya benar-benar merah padam. Benar-benar memalukan.

.

.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

.

.

Hello hello! I am back! Chapter ini mereka kepergok papa minato lagi wkwkw... Com-rom nya kembali lagi... Semoga readers sekalian suka yaa...

Maaf telat up *hiks, soalnya akun saya sempat error waktu sign in, dan saya tidak tau apa yang harus saya lakukan wkwkw... Tapi syukur akhirnya bisa kembali dengan akun ini... yeay...

Terima kasih buat semua pembaca yang kasih review, kritik, dan saran, yang bener-bener bermanfaat dan buat aku belajar menulis lebih baik lagi... Dan tetep aku minta komentarnya buat chap ini lagi hehe...

Okay, See you on the next chapter!

Adysa Dysti 2018