.

.

.

"im on the hellevator~"

.

.

.

"Wonwoo-ya! Tolong antarkan pesanan ini!"

Wonwoo yang baru saja meletakkan sebuah nampan di meja pelanggan, kembali berlari lagi kearah konter minuman. Menghampiri Jeonghan yang tadi memanggilnya untuk mengantarkan pesanan lainnya.

Wonwoo meraih nampan tadi dan membawanya ke sebuah meja pelanggan. Meletakkan isinya dan tersenyum ramah sebelum ia kembali berbalik.

Seorang pria asing melambai padanya, Wonwoo menghampiri dengan cepat. Meski peluh mulai menetes deras sejak tadi di pelipisnya.

Wonwoo merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah buku kecil lengkap dengan pulpennya.

"Anda ingin memesan, Tuan?" tanya Wonwoo ramah.

Pria itu mengangguk. Lalu mengucapkan pesanan nya, dengan beberapa patah kata yang kurang fasih pelafalannya.

"Aku ingin Hot americano dan tiramisu. Tolong jangan terlalu banyak krimnya." Ucap pria itu.

Wonwoo mencatatnya dengan cepat. Dalam hati ia bergumam. "Turis, ya?"

Diam-diam Wonwoo memperhatikan penampilan perlente pria itu. Dia mengenakan setelan mahal dan sebuah jam tangan mewah melingkari pergelangan tangannya.

"Baik, Tuan. Saya permisi dulu." Wonwoo kemudian segera menghampiri konter minuman.

"Jeonghan Hyung, ini pesanannya." Wonwoo menyodorkan buku kecilnya.

"Duh, Wonwoo-ya. Tolong kau siapkan dulu. Aku sejak tadi menahan untuk buang air kecil." Ucap Jeonghan. Lalu tanpa menunggu balasan Wonwoo, Jeonghan berlalu kebelakang. Meninggalkan Wonwoo yang mau tak mau harus menggantikan Jeonghan.

Wonwoo kemudian mulai menyiapkan kopinya, beruntung Wonwoo juga belajar cara menggunakan mesin kopi otomatis itu.

Setelahnya, Wonwoo membawa cangkir kopinya ke bagian cake. Menghampiri Minghao yang berdiri di belakang etalase.

"Minghao-ya, tiramisu satu. Krimnya jangan terlalu banyak." Ucap Wonwoo.

Minghao mengangguk. Ia lalu dengan cepat menyiapkan pesanan Wonwoo.

"Ini, Wonwoo-ya." Minghao meletakkan piring kecil itu di sebelah cangkir americano tadi, dan Wonwoo membawanya.

Menghampiri pria asing tadi sambil meletakkan pesanannya. "Ini, Tuan. Selamat menikmati. Saya permisi." Ucap Wonwoo kemudian.

Pria itu membalas nya dengan sebuah kata terima kasih yang tidak terlalu buruk pelafalannya. Wonwoo mengangguk, lalu kembali pergi.

"Wonwoo-ya, aku duluan ya!" Minghao melambai pada Wonwoo yang masih sibuk mengelap meja kafe.

"Huft. . . Dimana Jeonghan Hyung? Dia harusnya membantu ku!" Gumam Wonwoo.

Jeonghan,yang sudah memakai tasnya, menghampiri Wonwoo. "Wonwoo-ya, aku sudah selesai mengerjakan tugas ku. Aku duluan ya!" Ucap Jeonghan, melambai.

Wonwoo cemberut. Hari ini memang giliran nya mengantar kunci kafe kerumah Tuan Yoo, pemilik kafe ini.

Wonwoo mempercepat pekerjaan nya. Ini sudah jam setengah dua belas malam. Dan jarak kerumahnya sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Dan Wonwoo juga harus membeli beberapa keperluan nya dulu.

Wonwoo mengelap meja terakhir, dan ia menemukan sebuah jam tangan tergeletak di situ, persis di sebelah vas bunga. Wonwoo mengingat-ngingat siapa yang duduk di meja itu terakhir kali. Dan seingatnya, hanya pria asing tadi yang duduk di situ.

Meja itu memang berada di sudut ruangan dan agak jarang di tempati pelanggan mungkin karena tempatnya yang kurang nyaman, karena jauh dari meja kasir dan terlihat pengap. Sehingga, para pelanggan enggan menempati nya.

Wonwoo meraih jam tangan itu. Mengamatinya dengan teliti. Dan benar, itu adalah jam tangan mewah yang di pakai pria asing tadi.

Wonwoo berfikir sejenak. Sampai kemudian dia mengambil tindakan tercepat, menyimpan sementara jam tangan itu di sakunya. Mungkin saja, besok pemiliknya akan kembali untuk mengambilnya.

Wonwoo kembali meneruskan pekerjaannya. Lalu setelah selesai, ia segera mematikan lampu kafe, hanya menyisakan lampu depannya saja yang menyala. Wonwoo mengunci pintu, lalu mulai berjalan pulang.

Sebelumnya, ia mampir dulu di sebuah rumah yang ada di belakang kafe, rumah Tuan Yoo, pemilik kafe tempatnya bekerja.

"Permisi!" Wonwoo memencet bel dan mengucapkan salam beberapa kali.

Seorang pria keluar dari rumah itu. Menghampiri Wonwoo yang berdiri di depan pagar.

"Oh, Wonwoo-ya. Mengantar kunci, ya?" sapa Kihyun, ramah.

Wonwoo mengangguk. "Benar, Tuan. Ini kuncinya."

"Wah kau kaku sekali, cukup panggil Hyung saja tidak apa-apa. Omong-omong, kau mau mampir dulu, Wonwoo-ya?" tanya Kihyun ramah, setelah menerima uluran kunci dari Wonwoo.

Wonwoo menggeleng. "Tidak, Hyung. Aku akan langsung pulang. Ini sudah hampir tengah malam." Tolak Wonwoo. Ia kemudian memberi salam, sebelum melangkah pulang.

Wonwoo menyusuri trotoar menuju flat nya. Jalanan masih ramai. Meski agak gerimis. Wonwoo menaikkan hoodie-nya. Dan merapatkan sweaternya. Cuaca semakin dingin karena malam yang semakin larut.

Awalnya, Wonwoo berencana untuk mampir sebentar ke minimarket dan membeli beberapa keperluan nya. Tapi dia malas. Gerimis yang menetes membuatnya ingin cepat-cepat pulang.

Wonwoo sudah membayangkan mengguyur tubuhnya dengan air hangat lalu merebus ramen. Menghangatkan tubuh dengan sweater tebal sambil makan malam meski terlambat.

Setelah sekitar lima belas menit, Wonwoo sudah menapaki area basement flatnya. Wonwoo lebih suka lewat basement, karena lebih dekat mencapai flatnya yang memang berada di bagian selatan lantai dua.

Wonwoo berjalan menuju lift. Ia melirik sekilas jam tangannya. Kurang dua menit, untuk tepat tengah malam.

Wonwoo merasa bulu kuduknya merinding. Tapi dia berfikir positif dan menganggap kalau dia kedinginan.

Dua menit, lift terbuka. Tanpa berfikir panjang Wonwoo masuk kedalamnya. Begitu pintu tertutup, Wonwoo mengulurkan tangan untuk menekan tombol lantai dua, tapi ia mendapati sesuatu yang janggal.

"Hell. . ..?" Gumam Wonwoo bingung. Untuk pertama kalinya ia melihat ada tombol asing di bagian paling atas bertuliskan "HELL" dengan warna merah darah yang cukup mencolok.

Wonwoo menaikkan sebelah alisnya. Tiba-tiba dia penasaran.

"Apa iya bagian atas gedung ini dibangun? Tapi, bagaimana bisa aku tidak tahu?" Gumam Wonwoo dengan kening berkerut.

Karena penasaran, Wonwoo memutuskan untuk melihat lantai baru itu, maka Wonwoo mengklik tombol merah itu. Dan detik berikutnya, Wonwoo menjerit keras karena lift yang tiba-tiba melaju kencang tak terkendali.

"WAAAAAAAA!!!" Wonwoo menutup matanya rapat-rapat dan berpegangan erat pada dinding lift. Ia merasa sekelilingnya berputar dan perutnya terasa mual karena kepalanya yang pening.

Sekitar dua puluh menit, Wonwoo bertahan dengan situasi begitu. Sampai kemudian lift itu jatuh berdebum dan menimbulkan guncangan kencang yang membuat Wonwoo jatuh tersungkur di lantai lift.

BRUGH!

Ting!

"Hosh. . .. hosh. . . Apa-apaan itu?" Gumam Wonwoo dengan nafas memburu dan jantung berdebar kaget.

Pintu lift terbuka lebar. Dan Wonwoo mulai bangkit berdiri meski tubuhnya terasa lemas dan kepalanya seakan berkunang-kunang. Ia merasa ingin muntah dan pingsan.

Dengan sempoyongan, Wonwoo keluar dari lift itu. Hanya untuk mendapati lingkungan yang aneh.

Tidak, ini bukan lantai tiga apartemen nya. Bukan juga bangunan baru seperti yang ia duga. Tempat ini aneh. Remang-remang dan lembab.

Wonwoo berjalan menuju sebuah pintu yang terlihat olehnya. Dengan setengah merangkak ia dapat keluar dari pintu itu.

Wonwoo jatuh terduduk sambil memegangi kepalanya yang terasa berkedut. Perlahan, Wonwoo menatap sekelilingnya dan peningnya terasa semakin menggerogoti kepalanya ketika ia menyadari sekelilingnya.

Jalanan lenggang dengan matahari berwarna merah membara dengan langit jingga yang tampak mengerikan. Ditambah bau anyir darah yang menguat di sekelilingnya.

Wonwoo merasa tak tahan lagi. Perlahan pandangan nya mengabur dan ia jatuh pingsan di tempatnya duduk. Tergeletak tak berdaya di pinggir jalan.

"KIM MINGYU SIALAN! JANGAN KABUR!"

Beberapa pemuda berpakaian layaknya prajurit istana dengan sebilah pedang di masing-masing tangan, berlari mengejar seorang pemuda berjubah hitam yang meluncur di atas sebuah papan. Tampak melayang-layang.

Pemuda yang di panggil Mingyu itu menoleh, memasang seringai dengan gigi taring yang menyembul di sudut bibirnya. Ia menghentak kaki kanannya, membuat benda yang dipijaknya melayang lebih cepat.

Melaju dengan kecepatan penuh. Pemuda itu menoleh kebelakang sedikit, seolah mengejek dengan seringai nya. Sebelum benar-benar melaju sangat cepat.

"Kim Mingyu sialan!"

Wonwoo masih tergeletak pingsan di tempatnya. Berada di pinggir jalan dengan keadaan yang memprihatinkan. Sepertinya, ia tidak akan segera sadar dalam waktu dekat.

Sementara langit merah membara itu mulai berubah menjadi kelam, sebentar lagi malam akan beranjak dan suhu sekitarnya mulai menusuk tulang.

Beberapa menit kemudian, seorang pemuda yang melayang-layang di atas sebuah papan melintas, ia sepertinya tidak menyadari keberadaan Wonwoo yang tergeletak pingsan, karena pemuda itu melayang di ketinggian empat kaki.

Tapi kemudian, pemuda itu memutar arah lajunya. Kemudian turun dari papan yang dinaikinya.

"Hngg, siapa juga yang pingsan di sini?" tanya pemuda itu, seolah pada dirinya sendiri.

Tapi kemudian, dari kejauhan dia mendengar gerombolan yang mengejarnya.

"Kim Mingyu! Jangan kabur kau, sialan!"

Mingyu tampak bingung. Sebenarnya dia bisa saja meninggalkan orang pingsan itu begitu saja, toh ia tak mengenalnya.

Tapi kemudian Mingyu menghapus fikiran itu, setelah menatap lekat-lekat wajah pemuda yang tak sadarkan diri itu.

"Manis." Hanya satu kata dan Mingyu membawa pemuda itu dalam gendongannya. Mingyu mengangkatnya ala bridal, kemudian kembali menaiki papannya.

Mengucap beberapa mantra dan papan itu kembali melayang. Mingyu dengan cepat berlalu dari tempat itu.

Meninggalkan segerombolan orang yang mengejarnya dengan menaiki kuda hitam bersayap yang tampak menyeramkan.

Mingyu turun dari papannya di depan sebuah bangunan yang agak terpencil dan tersisih dari pemukiman. Sebuah rumah mungil dengan atap seng berkarat dan lantai kayu yang usang.

Mingyu menaruh papannya begitu saja di depan pintu.

Dia mengucap sebuah mantra lagi dan pintu kayu eboni hitam di depannya terbuka. Meskipun dari luar bangunan itu terlihat menyeramkan seperti rumah hantu, nyatanya isinya sangat berbanding terbalik.

Meskipun dinding nya hanya di cat berwarna cokelat dengan beberapa variasi putih gading, tapi lantai kayunya nampak bersih berkilat dan di lapisi oleh karpet merah berbulu yang hangat.

Di ruang tamu itu ada beberapa sofa berwarna marun dan di susun dekat jendela bergorden cokelat muda.

Mingyu melepas sepatunya. Kemudian menapaki karpet merah itu dan membawa pemuda manis yang tak sadarkan diri itu ke sofa. Menidurkan nya di sana, lalu menyelimuti nya dengan sebuah selimut hangat.

Mingyu berjalan menghampiri lampu teplok nya yang belum menyala, dia membuka kap nya lalu meniupnya pelan, dan secara ajaib api membakar sumbunya dan Mingyu kembali menutup kap nya. Menaruh lampu itu di tempatnya dan menerangi sekitarnya.

Mingyu menghampiri perapian yang berdebu. Ia meraih beberapa kayu bakar yang menumpuk lalu melempar nya ke dalam perapian. Menggosok-gosok tangannya sambil menggumamkan sebuah mantra, dan beberapa detik setelahnya perapian itu menyala terang.

Suhu hangat mulai menjalari ruangan. Maka Mingyu membuka jubahnya dan menaruhnya di kaitan yang berdiri dekat perapian.

Mingyu berdiri sambil berkacak pinggang. Menatap pemuda manis yang belum juga membuka matanya.

"Dia itu pingsan atau mati, sih?" Gumam Mingyu bingung.

Mingyu memutuskan untuk pergi ke dapur, yaitu sebuah ruangan yang ada di sebelah ruang tamu, Mingyu menyalakan lilin-lilin yang berjajar di tengah-tengah meja makan dengan telunjuknya, membuat dapur cukup terang.

Mingyu lalu menghampiri lemari kayunya, mengeluarkan beberapa macam sayuran dan membawanya ke meja makan.

Sambil berdiri, dengan tenang ia mengupas dan mengirisi sayuran itu. Dia juga menyalakan tungku dan menanak nasi.

Mingyu mencuci sayuran nya, lalu mulai merebusnya kedalam didihan air yang mengepul. Memasukkan beberapa rempah-rempah dan mengaduknya.

Sambil menunggu makanan nya matang, Mingyu menghampiri lemarinya lagi. Meraih sebuah keranjang rotan kecil yang berisi tumbuhan herbal.

Mingyu bergumam. Tapi kemudian meraih beberapa akar-akaran dan juga sejumput rumput kering. Mingyu menaruhnya di sebuah cangkir porselen. Menyeduhnya dengan air hangat. Lalu membawanya ke ruang tamu, tempat pemuda manis itu tergolek pingsan di Sofanya.

Mingyu membungkuk. Menyeka poni pemuda itu sehingga wajah manisnya terlihat lebih jelas. Mingyu tersenyum diam-diam. Perasaannya menghangat.

Mingyu menaruh cangkir porselen yang di bawa di meja dekat sofa. Menyendok nya menggunakan sendok kecil lalu pelan-pelan menyuapkan nya pada pemuda manis itu.

Beberapa detik setelah aliran teh itu masuk kerongkongan si pemuda manis dan masuk ke lambungnya, pemuda itu membuka matanya.

"Hnggg?" Gumamnya. Tapi terdengar lucu di telinga Mingyu.

"Akhirnya kau sadar juga." Ucap Mingyu pemuda itu tersenyum manis.

Sedangkan sosok di depannya itu tampak terkejut dan serta merta dia mendudukkan dirinya.

"Ka-kau siapa? " tanya pemuda itu.

Mingyu terkekeh. "Harusnya aku yang bertanya begitu. Namaku Kim Mingyu. Siapa namamu?" tanya Mingyu.

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Dia justru menoleh ke sekelilingnya.

"Ini dimana?" pemuda itu tampak asing dengan keadaan sekelilingnya.

Lagi-lagi Mingyu terkekeh geli. Pemuda di depannya ini nampak sangat menggemaskan baginya.

"Kau ada di rumahku. Tadi aku menemukan mu pingsan di jalan." Ucap Mingyu menjelaskan.

Wonwoo mengernyit. Ia mencoba mengingat, dan oh! Terakhir diingatnya adalah, dia menekan tombol aneh di lift apartemen nya, dan membuatnya terdampar di sebuah kota yang aneh.

"Ini dimana?" tanya Wonwoo lagi.

"Kan sudah kubilang, ini di rumahku." Ulang Mingyu dengan penekanan.

Wonwoo hendak bertanya lagi, namun kemudian pintu rumah Mingyu di ketuk. Dengan cukup keras.

"Mingyu! Kim Mingyu! Buka pintunya."

Mingyu menatap Wonwoo sejenak. Ia kemudian bangkit berdiri.

"Sebentar, ya. Kau diam disini. Jangan bergerak barang sejengkalpun." Ucap Mingyu pada Wonwoo. Pemuda manis itu tampak tidak mengerti, tapi ia mengangguk saja mengiyakan kalimat Mingyu.

Sebelum berjalan menuju pintu, Mingyu mengucapkan beberapa mantra tanpa suara. Sedangkan Wonwoo hanya menatapnya bingung.

Mingyu menghampiri pintu. Lalu membukanya. Itu adalah Choi Seungcheol, petugas keamanan wilayah yang saat ini berdiri di hadapannya.

Seungcheol itu pemuda dengan tubuh atletis dan sangat patuh pada peraturan. Dia merupakan penguasa daerah itu, yang merupakan suruhan dari ratu mereka.

"Ada apa?" tanya Mingyu dengan wajah tak berdosa.

"Beberapa warga bilang kau pulang membawa orang asing. Biarkan aku melihatnya!" Ucap Seungcheol tegas.

Mingyu menggendik. "Orang asing siapa? Tidak ada siapa-siapa." Sahut Mingyu.

"Halah! Bohong!" Seungcheol mendorong bahu Mingyu dan membuat pemuda itu bergeser dari tempatnya berdiri.

Seungcheol kemudian berdiri di ambang pintu. Menatap sekeliling ruang tamu sempit itu. Kosong.

"Lihat?" Mingyu menaikkan sebelah alisnya dengan cengiran khasnya.

Seungcheol mendelik. "Kau pasti menyembunyikan nya, Mingyu!" Ucap Seungcheol kesal.

"Apa yang bisa aku sembunyikan di rumah sesempit ini?" tanya Mingyu balik.

Seungcheol berbalik. Dengan sengaja menabrakkan bahunya pada Mingyu yang hanya menatap heran.

"Baiklah, baiklah. Hari ini kau bisa menyembunyikan nya. Besok-besok aku akan menemukan nya!" Ucap Seungcheol, bermaksud mengancam.

Mingyu tertawa. "Baiklah, aku mengerti." Lalu buru-buru menutup pintu setelah memastikan Seungcheol benar-benar pergi dari pekarangan rumahnya.

Mingyu berbalik, hendak menghampiri Wonwoo. Sayangnya, dia mundur lagi. Menyadari aroma yang khas yang menguat kuat dari arah Wonwoo.

Mingyu perlahan maju, dengan ragu ia menatap Wonwoo.

"A-ada apa?" tanya Wonwoo bingung.

"Wonwoo, dari mana kau berasal?" tanya Mingyu kemudian. Ia menghentikan langkahnya. Benar, aroma yang khas yang menguat itu berasal dari tubuh Wonwoo. Meski sudah bertahun-tahun tidak pernah menciumnya lagi, Mingyu masih hafal betul baunya.

"Aku? Aku berasal dari Changwon lalu merantau di Seoul untuk kuliah." Sahut Wonwoo kemudian.

Mingyu mengerutkan keningnya. "Sudah kuduga." Gumamnya.

"Apa maksudmu?" tanya Wonwoo balik.

"Wonwoo, kau itu ma-" Mingyu ragu untuk menanyakan nya. Tapi dia benar-benar tak tahan. Aroma itu begitu menusuk penciumannya dan begitu memabukkan. Untuk pertama kalinya Mingyu begini.

"Apa?" tanya Wonwoo, memiringkan kepalanya sambil berkedip lucu.

Mingyu mematung. "Kau itu manusia, ya?" tanya Mingyu akhirnya. Suaranya terdengar berat dan parau.

Wonwoo tertawa. "Kau ini! Tentu saja aku manusia! Kau fikir aku ini apa, iblis atau vampir begitu?" Wonwoo balik bertanya dengan sisa tawanya.

Mingyu bergeming. Ia membalik tubuhnya.

"Kau tak seharusnya berada di sini, Wonwoo." Ucap Mingyu dingin.

Wonwoo terdiam. Sama sekali tak mengerti apa maksud ucapan Mingyu.

Pemuda itu berbalik. Lalu dengan langkah kasar meninggalkan Wonwoo di ruang tamu sendirian. Berjalan ke dapur.

Mingyu masuk kedalam sebuah bilik. Berdiri di depan sebuah cermin bundar di dinding. Mingyu menatapnya.

Perlahan tapi pasti, matanya berubah memerah dan taringnya perlahan memanjang, mencuat keluar.

Mingyu benci kenyataan ini, tapi Wonwoo benar-benar membangkitkan siapa dirinya yang sebenarnya. Wonwoo begitu memabukkan. Dan, ini pertama kalinya Mingyu merasa begitu.

Wonwoo tiba-tiba merasa dia ingin buang air kecil. Maka ia segera bangkit menyusul Mingyu kedapur.

"Mingyu?" Panggil Wonwoo.

Namun tak ada jawaban.

Wonwoo melihat cahaya di balik sebuah bilik. Tanpa tahu kalau itu kamar mandi.

"Mingyu?" Wonwoo menghampiri bilik itu.

Selangkah lagi, dan tiba-tiba saja Mingyu keluar dari dalam sana. Dia tampak terkejut dengan kedatangan Wonwoo.

"A-ada apa?" tanya Mingyu, gugup.

Ruangan memang tidak terlalu terang karena mereka hanya mengandalkan cahaya lilin. Tapi Wonwoo dapat melihatnya dengan jelas dari jarak sedekat ini, bahwa penampilan Mingyu berubah.

"Mingyu, matamu memerah." Ucap Wonwoo.

Mingyu mengalihkan pandangannya. "Aku tidak apa-apa, kau menjauhlah dulu." Sahut Mingyu dingin.

Wonwoo mengerutkan keningnya. Kenapa Mingyu tiba-tiba begini?

"Ada apa?"

"Mundur saja. Aroma mu. . . Errr bau tubuhmu-" ucapan Mingyu terpotong.

Wonwoo buru-buru menciumi bau tubuhnya sendiri. "Aku memang belum mandi. Tapi apa benar sebau itu?" tanya Wonwoo murung.

Mingyu menahan nafas. "Minggirlah, Wonwoo." Sebisa mungkin Mingyu menjauhi Wonwoo.

"Kau ini kenapa? Apa aku benar-benar bau sampai kau harus menjaga jarak begitu?" Wonwoo tampak jengkel.

"Bukan begitu Wonwoo, kau tidak akan mengerti. Karena kita berbeda." Mingyu menatap lurus ke arah Wonwoo.

"Apa maksudmu? Tadi sikapmu baik sekali padaku. Kenapa sekarang kau begini?" Wonwoo mulai tidak sabaran.

"Pokoknya menjauhlah dulu!" Ucap Mingyu dengan nada tinggi.

Wonwoo mematung. Apa yang salah dengan dirinya?

"Kenapa? Apa maksudmu?" Wonwoo menatap Mingyu tak percaya.

Mingyu membuang muka. Sepertinya lebih baik dia katakan sejak awal.

"Seharusnya kau tidak ada disini, Wonwoo. Ini bukan tempat mu." Ucap Mingyu dengan helaan nafas panjang.

Wonwoo mengerutkan keningnya bingung.

"Dan juga, aku bukan manusia sepertimu."

Wonwoo terbelalak kaget.

"Kau tak seharusnya bertemu dengan ku. Aku ini seorang vampire. Dan sekarang, kau sedang terjebak di neraka, dalam konteks yang berbeda."

Wonwoo merasa kepalanya pusing, mungkin dia akan pingsan.

Untuk yang kedua kalinya.

TBC or END/?

note: aku lagi kepengin nyoba genre fantasy :") di saat the servant gak karuan malah muncul ide baru :") maafkan dakuh :")

btw

REVIEW juseyoo