Orang bilang, mereka yang mati akan bertransformasi. Berubah menjadi energi baru, atau elemen baru—apapun itu. Sebesar apakah energi itu bergantung dari seberapa besar harapan yang mereka miliki ketika hidup. Energi itu memiliki warna yang berbeda-beda pula, dan dapat mewujud apa saja. Untuk bisa melihatnya, kau membutuhkan bantuan seorang malaikat—yang nantinya juga akan mencabut nyawamu.

Mereka menyebutnya 'dying will'. Atau harapan menjelang kematian, sesukamu saja. Intinya, energi-energi menjelang ajal inilah yang akan menentukan—akan ke mana dirimu setelah meninggal? Sosok seperti apa yang akan kaupakai di dunia kedua? Takdir seperti apa yang akan menemuimu nanti?

Untuk sekarang, aku sendiri tak bisa menjawabnya.

Kenapa, katamu? Tentu saja karena aku baru saja memasuki tahap itu. Tahap akan mengetuk pintu kematian.

Ironisnya, aku tak sabar menanti malaikat (pencabut nyawa)ku datang dan memutus rantai hidupku sewaktu-waktu. Aku berharap dia sudah berada di sudut ruangan, bersiap menangkap dying will-ku—itu pun kalau aku punya sesuatu yang bisa ditransformasikan ke dalam energi. Lebih baik 'lewat' daripada harus terperangkap di kehidupan yang hanya menyiksaku saja.

Kalau kalian masih belum mengenalku, kenalkan. Aku Hibari Kyoya. Aku menapaki usia yang ke-18 Mei lalu, dan beberapa bulan setelahnya lulus dari SMA Namimori untuk menempuh kuliah—seharusnya begitu, kalau penyakit sialan ini tidak datang begitu saja dan merusak tubuhku.

Salahkan mobil sialan itu. Mobil yang menghantamku tanpa tahu aturan itu menjadi penentu kehidupanku setelahnya. Salahkan dia yang berhasil membunuhku perlahan-lahan. Karena dia, diagnosa 'ataxia' melekat erat dalam diriku. Penyakit sialan yang tidak mungkin lagi bisa dilenyapkan.

Karena aku sedang cukup berbaik hati, maka akan kuberitahu. Ataxia adalah penyakit degeneratif di mana sistem saraf motofik seseorang perlahan-lahan terhambat, bahkan kehilangan fungsinya. Istilah kedokterannya adalah Spinocerebellar Degeneration. Menurut dokter, penyakit ini muncul akibat kerusakan yang terjadi di tulang belakangku.

Kertas diagnosa itu langsung kurobek. Serpihan-serpihannya bertebaran di lantai rumah sakit—mana aku peduli dengan pekik kesal para perawat? Ini rumah sakit milik ayahku. Sedikit lembaran uang akan mengalihkan mata mereka dari sobekan kertas keparat itu.

Ini hanya mimpi, batinku berulang kali. Ketika aku bangun, kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Diagnosis itu tidak pernah ada. Hidupku akan berjalan seperti biasa

Dan dewi fortuna, kabar buruknya, sudah lelah berada di pihakku terus menerus. Harapan itu tidak pernah terjadi. Semuanya nyata, dan waktuku mulai berjalan mundur.

Lima bulan pertama sejak kecelakaan itu, aku masih baik-baik saja. Baru beberapa minggu setelahnya aku kehilangan keseimbangan. Untuk pertama kalinya, kakiku menolak menopang tubuhku. Parahnya, saat itu aku sedang bersama ex-rombongan komite kedisiplinan. Bayangkan malunya seperti apa.

Waktu demi waktu berlalu begitu saja, begitu cepat, dan semua semakin memburuk. Aku tidak lagi bisa berjalan dengan benar. Kursi roda menjadi ganti kakiku. Aku tidak lagi bisa memanjat ke atap sekolah dan tiduran tanpa mencelakakan diri sendiri. Harus ada orang yang berada di sisiku seperti lem yang menyebalkan.

Kalau seperti ini, siapa yang tidak senang kalau privasinya harus diusik?

Ada kala-kala ketika aku menyesal. Mengenang saat-saat di mana aku masih bisa bergantungan dengan bebas di atas pohon, melompat masuk atau keluar dari jendela, atau bahkan melayangkan tinjuku ke arah mereka yang melanggar ketertiban di Namimori.

Sekarang? Masih untung aku bisa makan sendiri. Otot-otot tubuhku secara bertahap mulai kehilangan fungsinya. Ataxia, layaknya preman sekolah, menguasai sedikit demi sedikit bagian dari diriku.

Rak di sisi tempat tidurku bersih dari karangan bunga. Kecuali anggota komite kedisiplinan, tidak ada yang datang berkunjung—lebih tepatnya, tak ada yang berani menjengukku. Label 'ketua komite kedisiplinan yang kejam dan tak berperasaan' barangkali sudah kepalang menjadi identitasku.

.

.

DYING WILL

Katekyo Hitman! Reborn © Akira Amano

A collaboration project of #1827masoedisinatal

Hibari Kyoya x Sawada Tsunayoshi

.

.

"Iinchou, apa kabar?"

Sudah berapa ratus kali sapaan itu berkumandang tiap pagi. Kusakabe, wakil ketua komite, adalah salah satu dari segelintir orang yang rajin mengunjungiku. Lengkap dengan sekeranjang buah-buahan.

Aku hanya sudi meliriknya sekilas. "Lihat sendiri, kan?"

Aku bukan tipikal orang yang menyunggingkan senyum palsu dan melontarkan kata 'baik-baik saja' dengan munafiknya. Tubuhku terasa remuk. Perasaanku campur aduk. Ingin rasanya membenamkan wajah di balik selimut dan tidur sampai berhari-hari—kalau bisa, selamanya saja sekalian—tapi tubuhku menolak bekerjasama.

Salah satu yang sedikit melegakan adalah fakta di mana Kusakabe sendiri bukan orang yang gemar berceloteh, juga tidak terlalu menyukai pembicaraan basa-basi. Satu jam berikutnya dihabiskan dengan duduk di sisi tempat tidurku, sekalipun canggung.

Tatapanku perlahan-lahan beralih dari suasana kamar pasien yang sepi dan membosankan ke luar jendela. Samar-samar kulihat butir salju melayang perlahan. Kalau diingat-ingat lagi, cuaca memang sangat dingin selama beberapa minggu terakhir, sampai-sampai aku khawatir ini hanya salah satu dari sekian banyak ulah sistem imunku.

Walau enggan, aku bertanya, "Ini bulan apa?"

"Desember," sahut Kusakabe. "Kurang lebih satu minggu menjelang Natal."

"Natal, ya," aku tak bisa menahan diri untuk tidak menghela napas. "Jadi sudah selama itu aku ada di rumah sakit."

Kira-kira sudah hampir enam bulan sejak kecelakaan itu menimpaku. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersungut-sungut dan meratapi nasib, sampai-sampai waktu saja tidak lagi terasa. Atau barangkali, karena keseharianku di rumah sakit terlalu monoton. Dokter atau perawat akan datang mengunjungiku pagi hari, melakukan pengecekan berkala, lalu siangnya aku dibawa ke ruangan khusus fisioterapi—yang terus terang saja, tidak banyak membantu. Bahkan obat-obatan stimulan yang dibarengi dengan makanku setiap hari tidak memberikan efek apapun.

Di saat-saat seperti itu, aku sering berpikir. Lantas, apa gunanya aku bersusah-susah menjaga Namimori, kalau apa yang kudapat sebagai balasannya adalah kebebasan yang terampas?

Jika ini adalah wujud ucapan terima kasih untukku, maka seumur-umur aku tidak mau lagi menerima apresiasi.

"Kusakabe," energiku terasa menguap hilang begitu saja. "Sebaiknya kau pulang sekarang." Aku butuh waktu untuk menyendiri dan kembali meratapi nasib.

Tanpa bertanya lebih lanjut lagi-menjadi bawahanku selama tiga tahun penuh sudah membentuk suatu peraturan tak tertulis-ia mengangguk, menggumamkan "sampai ketemu", dan menutup pintu dengan begitu hati-hati.

"Sudah jam segini, tapi yang berkunjung baru satu orang? Astaga, hidupmu benar-benar menyedihkan, ya?"

Masih membelakangi pintu, aku menggumam, "Berisik. Bukan urusanmu-"

Tunggu.

Tunggu sebentar.

Bukannya Kusakabe sudah pergi? Dan jelas-jelas ini bukan suara Kusakabe. Dia jauh lebih maskulin dan lebih tegas daripada suara yang barusan.

Memutar punggung, yang kudapati adalah figur laki-laki berambut cokelat lebat (dan matanya sangat besar sampai-sampai mau keluar dari lubangnya) sedang menatapku dengan eskpresi ingin tahu. Sinar matanya antusias, sekaligus minta kuhajar dengan tonfa-kalau saja aku masih bisa mengayunkan alat itu.

"Halo!" sapanya riang. "Namaku Tsuna, dan aku akan jadi malaikatmu sampai nanti-tahu sendiri maksudku, kan?"

Aku mengerjap. Sekali. Dua kali. Berkali-kali sampai mataku pedih. Laki-laki yang mengaku bernama Tsuna itu masih ada di sana, dengan wajah sangat ekspresif. "Berarti sebentar lagi aku akan mati?" adalah pertanyaan yang spontan meluncur keluar dari mulutku.

"Tentu saja tidak, bodoh." Tawanya menggelitik saraf-saraf pendengaranku. "Malaikat memang ditugaskan untuk muncul enam bulan setelah seseorang divonis akan meninggal. Dan aku diminta untuk menjaga sekaligus mengawasimu selama itu."

Mau mengawasi apa, aku saja sudah kesulitan bergerak. Tidak ada lagi kesempatan menyelinap kabur lewat jendela. Teknik mengendap-endap juga sudah tidak mungkin lagi kulakukan. Apanya yang mau diawasi, coba?

"...kalau begitu, aku minta tolong satu hal."

"Hmm?" Iris kecokelatan itu melebar. "Minta tolong apa? Ambilkan buku? Makanan? Panggilkan suster? Oh, atau kau mau aku membawamu jalan-jalan ke halaman? Begini-begini aku bisa melakukan kontak fisik dengan-"

"Berisik," mataku sudah terpejam saat itu. "Aku ingin kau mundur lima meter dari tempatmu berdiri."

"Lima meter..." bocah itu (asumsiku, dia masih anak-anak) menggumam, menghitung langkahnya sendiri. "Tapi lima meter itu sudah di luar kamar."

"Tepat sekali. Aku mau kau ada di luar kamar ini, dan tidak menggangguku." Selimut kutarik sampai ke dagu. "Sekarang pergi. Aku mau tidur."

Mengabaikan protes berisiknya, aku memaksa diri untuk menenggelamkan kesadaranku jauh ke dalam.

Mungkin, ini akan jadi awal dari bencana.

.

.

"Selamat pagi, Hibari-san. Sudah minum obatnya?"

Layaknya lalat yang tertarik pada buah, ia kembali datang. Tidak lelah-lelahnya menyambutku dengan sapaan pagi. Rasanya ingin menukar 'malaikat' ini dengan orang lain yang lebih-bagaimana mendeskripsikannya-berkualitas.

Rasa sakit menjalari tubuhku saat berusaha duduk, tapi kutahan supaya bocah itu tidak menyadarinya. "Kau tidak ada kerjaan selain mengawasiku?"

"Tidak," jawabnya lugas. "Tugasku, ya, hanya ini. Nanti kalau kau sudah mati, baru aku ditugaskan untuk menjaga orang lain. Begitu terus sampai selamanya."

"Jadi, sebelum ini kau pernah mengusik-maksudku, menjadi penjaga orang sekarat lainnya?" tanyaku.

Rambut lebatnya berkibar saat menggeleng. "Tidak. Ini kali pertamaku. Kebetulan aku baru saja lulus sekolah." Senyum lebar menghiasi wajahnya yang inosen.

Mendengar kenyataan itu diam-diam menorehkan rasa nyeri yang tidak bisa dijelaskan. Bahkan di kahyangan sana, para malaikat bisa langsung memperoleh kebebasan ketika lulus dari jenjang pendidikan.

Kenapa aku tidak bisa memperoleh hak yang sama?

"Err... Hibari-san?" tangan Tsuna diayunkan di depan mataku. "Kau baik-baik saja? Ada yang sakit?"

Pertanyaan itu kutepis dengan gelengan. Alih-alih iri, aku justru merasa putus asa. Desperasi menyelimutiku, sehingga aku tidak tahu lagi apa yang menjadi penyesalanku di masa lalu-saking banyaknya beban di otak.

Wajah cemas Tsuna perlahan-lahan tergantikan dengan raut ceria yang biasa. "Omong-omong, kau sudah tahu 'kan, kalau seseorang yang mati akan berubah menjadi energi?"

"Semua orang juga tahu," sahutku sinis.

"Nah, karena aku ada di sini, sekalian saja kutanya-menurut Hibari-san, Hibari-san akan berubah menjadi apa?"

"Mana aku tahu."

"Bagaimana dengan harapan? Ada keinginan yang, barangkali belum terwujud? Atau sesuatu yang masih menjadi tanggungan di benak Hibari-san?" kepalaku mulai berdentum-dentum karena pertanyaan beruntun itu. "Apa harapan Hibari-san?"

Harapan?

Sejak awal, aku hanya ingin bebas. Bebas dari ikatan rumah sakit, lepas dari tempat tidur dan kursi roda yang mengganggu. Aku ingin menjalani hidup dengan tenang, sehat, dan tidak mati lemah seperti sekarang. Aku ingin menjadi figur iinchou yang dihormati, bukan dipapah.

Tapi mana mungkin harapan seperti itu terwujud? Kecuali-"Kau bisa menyembuhkan penyakit?"

Sinar ekspresif di wajah Tsuna kembali meredup. "Tidak."

"Kalau begitu sudah jelas." Aku membuang wajah. "Aku tidak punya harapan apapun. Mungkin alih-alih api, aku lebih tepat berubah menjadi debu. Langsung hilang tanpa jejak begitu saja."

Jemari si malaikat meremas ujung sepraiku. Rautnya kali ini penuh determinasi. "Tidak bisa begitu, Hibari-san! Karena aku di sini, aku akan membantumu menemukan harapan baru. Jadi jangan putus asa, ya!"

Napasku terasa hangat di balik kungkupan bantal.

Benar-benar ini akan menjadi proses yang berat dan menyebalkan.

.

.

TBC

.

.


AUTHOR'S NOTE

AKHIRNYA, SETELAH SEKIAN LAMA GAK UPDATE DI SINI AYA BERHASIL PUBLISH. WALAUPUN TELAT DARI DEADLINE. MAAFKAN AKU. :')

Dan jelas, cerita ini belum selesai. Masih ada satu chapter lagi, dan kalian bisa menebak-nebak bagaimana hasilnya. Semoga bisa menjadi asupan yang bergizi(?) buat kalian, ya!

Oh iya, selamat Natal buat teman-teman yang merayakan, dan selamat menikmati liburan buat yang tidak merayakan. Have a nice year ahead!

Xoxo,

Ayame