Merah - Epilog
"Merah melambangkan keberanian. Walaupun diasosiasikan dengan kemarahan, warna merah juga menyimbolkan cinta yang murni."
Hari ini adalah hari minggu yang cukup tenang bagi Halilintar. Kenapa? Karena ia di rumah sendirian. Untuk sebuah rumah yang memiliki 7 anak, di rumah sendirian adalah hal yang hampir mustahil. Gempa sedang melakukan kegiatan OSIS, Taufan sedang latihan bola, Blaze sedang jalan-jalan saja bersama Ice, sedangkan Thorn dan Solar ada kegiatan komunitas. Berujung Halilintar yang sedang tidak ada kerjaan, di rumah sendirian. Rasanya tenang dan nyaman.
Bosan membuatnya ingin membersihkan kamar. Jarang-jarang sih memang, tapi kapan lagi bisa dapat suasana tenang dan damai seperti ini? Alhasil mulailah Halilintar membersihkan kamarnya. Ia mengelap seluruh sudut, dari jendela sampai bawah lemari. Ia juga meletakkan baju-bajunya yang sudah tidak terpakai ke dalam kotak untuk nanti disumbangkan. Ketika sedang membersihkan barang-barang lama, Halilintar menemukan sebuah album foto yang sudah usang.
Ah, ia ingat album foto itu. Album foto yang dibuatnya ketika ia masih SD, dengan keenam saudaranya dan teman-temannya ketika liburan musim panas lalu di Pulau Rintis. Ia ingat Yaya, Ying, dan Gopal. Melihat ini Halilintar jadi teringat sesuatu. Ia beranjak dari kamarnya dan pergi ke ruang tamu. Diambilnya beberapa album foto besar dari rak buku.
Halilintar mulai membolak-balikan halamannya. Foto-foto mereka dari waktu mereka lahir tertempel di sana. Awalnya memang mereka sulit untuk dibedakan, tapi ketika mulai umur 6 bulan karakteristik mereka mulai terlihat. Semakin halaman-halaman itu dibalik, semakin ia bisa melihat betapa berbedanya mereka bertujuh. Halilintar yang cool namun galak, Taufan yang periang, Gempa yang baik hati dan bijaksana, Blaze yang berapi-api dan hiperaktif, Ice yang tenang dan pendiam, Thorn yang lugu dan kekanak-kanakan, serta Solar yang agak narsis tapi juga ramah.
Menurut Halilintar, keluarganya memang jauh dari kata sempurna. Papa dan mama jarang sekali ada di rumah, datang hanya saat-saat tertentu dan kalaupun mereka lama di rumah, pasti sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk mereka. Ini mengapa Halilintar dan keenam saudaranya terbiasa hidup mandiri tanpa orang tua sejak dulu. Mereka hidup dengan bergantung satu sama lain. Walaupun mereka jauh dari kata akur, tetap saja mereka sayang dengan satu sama lain.
Mereka telah melalui banyak hal dan itu membuat mereka semakin dekat. Halilintar tidak pernah mengakuinya, tapi segalak apa pun dan sedingin apa pun Halilintar terhadap saudara-saudaranya, ia sebenarnya paling khawatir dan sayang. Halilintar terus berjanji kalau dia akan melindungi keluarga ini, dan selalu berharap yang terbaik untuk mereka.
Tanpa terasa, hari mulai sore. Halilintar yang masih melihat-lihat album foto dikejutkan dengan suara pintu yang terbanting terbuka.
"ASSALAMUALAIKUM!"
"Blaze, biasa saja dong ngomongnya... Kenceng banget, sih..."
"Hali? Aku tadi ketemu Blaze dan Ice di jalan, jadi kuajak ikut bareng beli bahan makan malam..."
Blaze dan Ice sudah pulang, dan sepertinya Gempa bersama mereka. Blaze yang melihat saudaranya sedang asyik sendiri melihat foto album, ikutan nimbrung dan menubruk abangnya.
"Hali lagi apaa? IH! ITU AKU KAN YA? COMELNYAAA"
Hali agak mendorong Blaze untuk menjauh.
"Blaze suaramu kenceng banget, kupingku sakit," kata Halilintar.
Blaze terkekeh kecil. Gempa yang penasaran jadi ikut duduk di samping Halilintar, diikuti oleh Ice yang tiduran di pangkuan Gempa. Tak selang beberapa lama, Thorn dan Solar juga pulang dan ikut mengenang masa lalu. Mereka membicarakan hal-hal yang dulu sering mereka lakukan. Bernostalgia. Di sela-sela itu mereka tertawa, menggoda satu sama lain dan sedikit berkelahi. Jika mereka sedang berkumpul seperti ini, rasanya hangat sekali.
Taufan yang terakhir pulang.
"Assalamualaikum! Lagi pada apa ini? Ikutan dong."
Blaze kemudian berdiri.
"Yak, Taufan sudah dateng. Bubaaar, bubaaar," godanya.
Yang lain pun mengikuti Blaze.
"IH KOK BEGITU?! KALIAN JAHAT! BAHKAN GEMPA JUGA?! TEGA BANGET!"
Gempa tertawa kecil, "pada mau makan malam apa?"
"Blaze mau bistik~!"
"Ice mau minum susu dulu... Tadi kita beli susu ga?"
"Thorn, bagi foto-foto yang tadi, dong!"
Taufan semakin cemberut.
"Terus dikacangin, fine. Kalian jahat."
Halilintar tertawa kecil.
Memang, keluarganya jauh dari kata sempurna. Tapi bagi Halilintar, keluarga itu sempurna untuknya. Lagi pula, bentuk cinta yang paling murni adalah cinta dari keluarga, bukan?
a.n: karena chapter sebelumnya terlalu pendek dan takutnya minggu depan lupa lagi (dan minggu depan udah mulai masuk), jadi saya double post aja sekalian, biar kelar! Terima kasih yang sudah ngikutin fanfic ini sampai akhir! Maaf kalo ada ke-ooc-an, namanya juga manusia... pasti pernah OOC kan hohoho...
Terima kasih untuk kurohimeNoir dan mdmpinkie9088 yang sudah review tiap chapter! Sungguh, aku nungguin kalian berdua tiap aku ngepost walaupun aku ga bales! (thanks to kurohimeNoir and mdmpinkie9088 who always left me a review in every chapter! Seriously, I always wait for your reviews eventho I didn't reply most of it)
terima kasih juga untuk yang lainnya yang tidak bisa kusebutkan satu persatu! Sampai jumpa di fic2 lainnya (itu juga kalo buat lagi)
-Aislinn-