Pria yang Sasuke kenal hanya dari berita dan laporan investigasi, kini sedang bergegas turun dari ranjangnya dengan telanjang. Sasuke hanya bisa diam seperti orang bodoh melihat Uzumaki Naruto meloncat turun setelah melirik jam digital yang berada di meja kecil samping ranjang Sasuke.

"Sialan! Aku telat. Aku ada janji temu dengan pasien setengah jam lagi."

Langkah Naruto berhenti, cairan putih bening mengalir keluar dari bokong montoknya. Naruto menoleh melihat Sasuke, wajahnya telah memerah karena kesal dan malu.

"Harusnya kau pakai kondom, Berensek!" umpatnya sebelum menghilang ke dalam kamar mandi.

Sasuke langsung berdiri, tidak memperdulikan dirinya yang telanjang bulat. Tangannya membuka jendela yang lansung menghantarkan sinar Matahari menembus masuk. Dari apartemennya, dia dapat melihat orang-orang yang berjalan hilir mudik.

"Ba—Bagaimana bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Sasuke menyambar telepon genggam yang tergeletak di samping jam dengan angka 07:45 AM yang menyala merah. Tangan Sasuke gemetar sewaktu akan menghubungi kakaknya. Niat Sasuke tertunda ketika melihat tanggal di layar telephon genggamnya.

Rabu, 02 November 2016.

Dua puluh hari sebelum kematian Naruto. Sasuke menelan ludah tanpa sadar.

Sasuke masih berdiri dengan telepon genggam di tangan ketika Naruto keluar dari acara mandi kilatnya.

"Kenapa kau malah berdiri seperti itu? Dasar mesum," cecar Naruto. Tidak melihat dirinya yang juga berkeliaran hanya dengan handuk di pinggang sambil berusaha menemukan baju yang bisa ia kenakan.

"Maaf, aku tidak bisa membuatkan sarapan untuk kita. Aku akan menghubungimu jika aku bisa pulang cepat." Sasuke tidak menjawab, dia sedang berusaha mencari penjelasan akan keadaannya.

"Sasuke, aku pinjam bajumu. Kemejaku kotor." Naruto tidak memperhatikan kediaman Sasuke. Dia hanya terus berpakaian dalam ketergesaan. Terakhir dia menyambar jubah putih dokter yang berada di sofa kecil hitam di samping ranjang.

Sasuke mundur selangkah ketika Naruto menghampirinya. Dokter tampan dengan senyum lebar itu tersenyum pada Sasuke. Membuat ujung bibirnya terangkat sendiri dengan tidak sadar. Bibir lembut kembali menempel di bibir Sasuke. Kali ini lebih dalam. Kuluman dari pria di depannya menghangatkan bibir Sasuke yang pucat.

"Simpan ini untukku nanti malam, Berensek." Elusan lembut di kejantanannya yang ternyata sedang berdiri membuatnya hampir jatuh. Sebelum pertanyaan Sasuke terucap, Naruto telah melesat sampai di depan pintu kamarnya. Naruto kembali menoleh sebelum melangkah keluar. Senyumnya kini lebih lembut.

"Sasuke,"

"Ya?" jawab Sasuke otomatis.

"I love you."

Telepon genggam Sasuke terjatuh dari sela-sela jari. Jantungnya berdetak tidak normal dan wajahnya tiba-tiba memanas.

Sepertinya, dirinya dan Naruto bukan hanya sebatas teman.

"Jadi, apa masalahmu Sasuke?" Itachi menatap adiknya yang hanya duduk gelisah di kursi kafe yang mereka tempati. Padahal adiknya sendiri yang meminta mereka bertemu.

"Kak, kau kenal Naruto?"

Itachi langsung duduk tegak. Dia tidak menyangka adiknya akan membahas masalah sensitif ini dengannya sekarang.

"Bukannya sudah kuberitahu? Aku tidak mau tahu urusanmu dengan Dokter Uzumaki."

"Jadi Kakak tahu ya, hubunganku dengan Uzumaki?"

"Kenapa kau berbicara seolah lupa? kau sendiri yang membuat gempar seisi rumah dengan membawa kekasih priamu itu. Kau tahu ayah masih tidak menerimanya kan?" bisik Itachi.

"A—ayah tahu?" mata Sasuke membola. Ayahnya yang tidak pernah menyalahi norma dan aturan itu tahu? Ajaib Sasuke masih hidup.

"Ada apa denganmu, Sasuke?" nada kekhawatiran terdengar. Ada yang tidak beres dengan adik Itachi sekarang.

"Kak, sepertinya aku sudah gila," gumam Sasuke.

Sasuke kemudian menceritakan pengalamannya. Mengatakan tentang kematian Naruto dan pengalamannya di penjara. Dan mengutarakan teori yang sepertinya mustahil. Tapi memang penjelasan itu yang paling masuk akal, dirinya sepertinya telah menembus waktu.

"Kau yakin itu bukan hanya sekedar mimpi?" tanya itachi serius. Dia tahu Sasuke sedang tidak bercanda sekarang.

"Tidak, semua terlalu nyata. Dan aku telah mengujinya dalam perjalanan ke sini."

"Menguji?"

"Kecelakaan tunggal truk bahan bakar yang mengakibatkan kebakaran tiga block dari sini. Aku membaca tentang pembayaran uang konpensasi yang diterima keluarga yang rumahnya terbakar sebulan lagi. Beritanya dibawah tentang berita kasusku."

Itachi menyesap kopi di depannya dengan lambat. Dia benar-benar ingin mempercayai adiknya, tapi yang diutarakan Sasuke terlalu tidak masuk akal. Ini bukan cerita fiksi yang para tokohnya menembus waktu dalam kedipan mata.

"Jadi, kau menembus waktu. Tapi tidak dengan tubuhmu? Yang berkelana hanya jiwa atau pikiranmu?" Semakin Itachi ucapkan semakin terasa tidak masuk akal.

"Aku duga seperti itu. Jiwa hampir tidak memiliki masa. Maka dari itu akan bisa berpindah waktu?" jelas Sasuke tidak yakin. Jangan salahkan dirinya, dia hanya seorang kapten kepolisian, bukan profesor fisika. Tapi paling tidak, itu lebih bisa diterima akal dari pada diculik Jin. Lupakan, lebih banyak saksi kasus penculikan Jin dari pada perpindahan waktu.

"Kau tahu alasan berpindah?" Itachi mulai menelaah kemungkinan itu.

"Entahlah, mungkin untuk menolong Uzumaki dan mencegah diriku masuk penjara?"

"Jika memang seperti itu, akan lebih mudah jika dirimu di masa depan yang kembali ke masa lalu." Ini juga telah terfikirkan oleh Sasuke, dan dia telah memikirkan sebuah kemungkian.

"Masa lalu itu baja, sedangkan masa depan itu adalah percabangan."

"Maksudmu?"

Sasuke menggambar sebuah garis lurus di meja. "Anggap lini waktu. Masa lalu, masa depan." Sasuke menunjuk kedua ujung garis imajiner diatas meja putihnya. "Jika kita telah sampai dititik ini, maka kita tidak bisa kembali ke titik satunya, yang berarti masa lalu. Yang bisa kita lakukan hanya bergerak maju. Disinilah banyak percabangan yang akan memberikan masa depan yang berbeda-beda bagi seseorang. Tergantung pilihannya."

"Lalu apa yang menyebabkanmu mundur? Bukannya kau dari tahun 2017 ke tahun 2016?"

"Tidak. 'Aku', Sasuke dari tahun 2015. Tahun ini masih masa depan untukku. Aku yakin, cepat atau lambat aku akan kembali ke masaku."

"Kau sadar ucapanmu terdengar gila kan?"

"Aku tahu." Sasuke mengacak rambutnya frustasi. Dia merasa bahwa yang dialaminya bukanlah mimpi atau imajinasinya saja. Pengalamannya terasa terlalu nyata, Sasuke masih bisa mengambarkan dengan pasti dinding lembab dan dingin jeruji besi yang menahannya.

"Aku rasa kau harus istirahat Sasuke, mungkin kau telalu lelah." Itachi masih tidak bisa menerima penjelasan Sasuke.

Sasuke kembali ke apartemennya. Dia disambut dengan senyum yang membuatnya tertegun tadi pagi.

"Selamat datang!" sambut Naruto yang mengenakan celemek diatas baju kerjanya.

"A—aku pulang," rasa canggung merayapi Sasuke. Bagaimana dia harus bersikap? Baru kali ini Sasuke memiliki kekasih pria. Apa yang dipikiran Sasuke hingga memiliki kekasih tanpa buah dada?

"Kau pulang tepat waktu, aku memasak untuk makan malam."

Sasuke berusaha bersikap normal, bagaimanapun dia telah memutuskan untuk menyelamatkan Naruto, dan akan lebih mudah melakukannya dengan berada di samping laki-laki ini. Jika ada yang ingin membunuh pria pirang ini, maka Sasuke akan mencegah sebelum hal itu terjadi. Sasuke harus bertahan hingga akhir bulan nanti.

Makan malam diwarnai cerita Naruto tentang hari yang dilakukannya di rumah sakit. Sasuke menanggapinya dengan sekedarnya.

Tapi masalah muncul begitu mereka masuk kamar. Sasuke tidak tahu harus bagaimana dia menghadapi pria yang akan segera keluar dari kamar mandinya. Apa Sasuke harus menerima undangan Naruto tadi pagi? Tidak. Sasuke masih normal. Lupakan tentang kejantanannya yang menegang tadi.

"Mungkin aku harus mulai memindahkan semua barangku ke sini. Aku lebih banyak berada di sini dari pada rumahku sendiri," ucap Naruto bergitu keluar kamar mandi. Kaos belel dan celana bokser hitam milik Sasuke yang Naruto kenakan entah kenapa membuat Sasuke sedikit berdebar. Rasanya Naruto seperti mengenakan atribut yang menyatakan bahwa pria ini miliknya. Bukan. Tapi milik Sasuke yang tidak ia kenal.

"Kenapa kau hanya diam Sasuke? Bagaimana menurutmu, apa aku pindahkan saja barang-barangku ke sini secepatnya?"

"Jangan!" Sasuke tidak bermaksud menolak dengan berteriak seperti ini.

"Sasuke," lirih Naruto.

"Maksudku saat ini waktunya belum tepat. Lagipula ayahku masih belum setuju." Sasuke merasa hina sekali menggunakan ayahnya untuk membuat alasan. Tapi, Sasuke tidak tahu lagi bagaimana menolak permintaan Naruto tanpa membuatnya sadar jika Sasuke tidak ingat sama sekali dengan dengan interaksi mereka.

"Ah, kau benar, memang rasanya saat ini belum tepat." Pancaran mata Naruto meredup. Walau dia tahu hungannya tidak direstui orangtua Sasuke, tapi tetap saja, mendengar itu dari Sasuke membuatnya merasa buruk sekali. Naruto bahkan tidak memiliki semangat lagi untuk mendebat dan mengatakan jika Sasuke sendiri yang awalnya menawari Naruto untuk tinggal bersama di sini. Mungkin kekasihnya ini telah berubah pikiran.

"Sebaiknya kita tidur. Besok pagi aku ada jadwal operasi." Naruto langsung naik keranjang sebelah kiri. Menarik selimut dan memunggungi Sasuke.

Jujur saja Sasuke merasa lega, dia tidak harus mengelak jika kekasih 'dirinya' di masa depan ini mengajaknya bercinta.

Namun , malam itu Sasuke tidak bisa memejamkan mata.

bersambung...