Solution

Noun:
1) A means of solving a problem or dealing with a difficult situation.
2) A liquid mixture in which the minor component is uniformly distributed within the major component.

.

.

BTS belong to BIGHITEnt

PAIR

Kim Taehyung x Park Jimin

.

.

ENJOY!

.

.

Tidak seperti Taehyung benar-benar enggan peduli soal Jimin, hanya saja perihal perkara di beberapa waktu ke belakang membuat dirinya merasa berdosa apabila sedikit saja mengungkit soal Jimin yang entah kenapa belum terlihat lagi batang hidungnya di departemen. Berkali-kali dirinya menunduk—bahkan menghindar ketika berpapasan dengan Pak Min, tidak ingin ditanyai tentang yang tidak-tidak karena setahu Taehyung, berbekal penuturan sekenanya dari Jungkook, bahwa Jimin mengambil cuti panjang.

Taehyung merutuki dirinya sendiri siang dan malam. Jimin tidak mengangkat sambungan telepon maupun membalas pesan singkatnya. Menyerapah pada nyalinya yang selalu ciut setiap kali berniat membelokkan mobilnya menuju apartemen Jimin kemudian berakhir urung. Tak pernah mencoba barang hanya sekali untuk mendekati Jimin yang hancur menyerpih di depan matanya langsung.

"Kau serius soal riset Kalsium di ubi manis? Kadarnya masih sangat jauh di bawah susu sapi, Kim, kenapa tak kau analisis kadar Kalsium di susumu saja sekalian? Satu ton ubi manis kadar kalsiumnya bisa jadi hanya menyaingi setengah gelas susu sapi—atau justru tidak sama sekali." Hoseok Jung, mekanik sekaligus kepala laboran di departemen ini membolak-balik buku catatan Taehyung yang tebal, "kau bahkan membuat error komputer untuk intrumen SSA untuk data ini?"

Taehyung membetulkan posisi kacamatanya yang merosot, kepalanya menunduk sedari tadi. "Hyung, tak perlu berlagak sangar dan marah-marah padaku—kau tahu aku tidak serius, hanya main-main sedikit karena bosan. Toh aku melakukannya di luar jam kerja, kecelakaan jadi tanggung jawabku." Senyum kotaknya dilemparkan untuk yang mengajaknya berbicara lima belas menit sebelum jam istirahat departemen berakhir. "Hoseok-hyung tersayaaaaang, pacarku bekerja untuk lab mikro, kau tahu kan siapa kepala lab mikro? Ingin kubantu proses PDKT antara kau dengan Pak Min?" Pemuda itu mencoba mengalihkan topik pembicaraan, sudah lelah diceramahi soal biaya tambahan dari mendatangkan mekanik langsung dari supplier alat, dari Jepang.

"Kau tidak serius tapi SSA-nya rusak serius, kau sungguh tidak tahu atau bagaimana? Injektor alatnya patah dari dalam—bagaimana penjelasan logisnya, coba? Departemen sampai harus memanggil mekanik dari Jepang. Dari Jepang, Tae." Hoseok mendengus sebal sebab Taehyung hanya mengangkat kedua bahunya tidak peduli.

Taehyung melepas kacamata, merebut kembali buku catatannya dari tangan Hoseok. "Yang kubuat error hanya komputernya! Di luar itu aku tidak tahu—demi Wolfgang Pauli yang merasa aman-aman saja padahal kereta bawah tanah yang sedang melintas di bawahnya tiba-tiba anjlok, I have no responsibility for any shit caused by pauli effect. Aku bisa betulkan komputernya, tapi soal SSA aku kembalikan pada departemen dan mekanik yang seharusnya rutin melakukan perawatan. Ingatkan aku, siapa yang sudah mengalibrasi potensiometer bobrok di lab instrumen. Aku. Tanganku ini bukan hanya untuk merusak, karena aku memang bukan perusak."

"Apa yang kau bicarakan? Apa ini soal Jimin Park—pacarmu yang mengambil cuti panjang itu? Bicaramu penuh implikasi." Tangan Hoseok meraih lengan kemeja Taehyung yang tidak terkancing dan dililit asal hingga siku, membetulkannya dengan telaten bahkan tanpa banyak komentar memberi sebuah peniti untuk tepian kancing yang terlepas. Taehyung adalah teledor dan Hoseok menyadarinya lebih baik daripada Taehyung sendiri. "Pak Min sempat menghubungiku dan memintaku bertanya langsung tentang Jimin Park padamu. Katanya kau menghindari Pak Min, benar?"

Hoseok adalah sosok kakak bagi Taehyung, selisih usia keduanya hanya terpaut dua tahun dan Taehyung merasa mekanik departemen itu sudah menyayanginya layaknya adik sendiri. Seburuk apa pun kelakuan Taehyung, tetap saja Hoseok menaunginya setelah menceramahinya.

"Aku menghindari Pak Min karena malas ditanyai soal Jimin, Hyung, karena aku tidak tahu—aku tidak tahu harus apa." Kesetanan, Taehyung membuka bukunya cepat hingga suara gesekan antar lembar kertasnya terdengar kencang memekakkan. Terbuka di catatan lusuh Taehyung, beberapa sisinya penuh kerutan dari sisa tetes air mata Taehyung. "Jimin sakit," Remuk, dengan hatinya yang tercabik, Taehyung menunjuk lembaran penuh research-nya tentang haphephobia, "dia tidak bisa menerima sentuhan dari orang lain. Aku membuatnya lebih buruk karena fuck aku tidak tahu kenapa aku sangat mencintainya. Ini ironis, tanganku ini merusak sedangkan Jimin mudah rusak. Aku berpikir untuk berhenti memikirkan soal Jimin dan cuti bodohnya yang panjang—tapi aku berakhir begini mengenaskan, aku tahu seluk beluk tentang penyakit Jimin, aku mencari penyakit jiwa apa yang membuat hubungan kami menjadi semakin ironis, tapi Hyung—"

"Temui Jimin, kalau begitu, Tae-ya."

Rahang Taehyung mengencang. "Lalu apa? Jimin akan mati jika aku mendekat. Aku menyentuhnya lalu Jimin ambruk—aku menciumnya lalu Jimin mengambil cuti panjang dan menghilang entah ke mana."

"Ei, bayi besarku perlu dukungan." Jauh dari kata mengolok, justru dengan mengayomi Hoseok menarik Taehyung mendekat untuk memeluknya. Tidak protes ketika kemejanya dirembesi air mata Taehyung yang menangis dalam diam. "Pak Min tidak marah hanya karena kau membuat salah satu analisnya mengambil cuti panjang, dia hanya khawatir soal Jimin sebagaimana aku khawatir soal kau. Berhenti melakukan hal-hal bodoh dengan alasan kau bosan padahal kau sedang mengalihkan pikiran semrawutmu yang merasa bersalah pada Jimin. Serius, kawan, kau bisa temui Jimin untuk berbicara dan perlahan masuk meruntuhkan dinding privasinya."

Punggung Taehyung bergetar pelan, isakannya teredam dari belah bibirnya yang digigit kuat-kuat. "Jimin akan mati, aku sudah merusaknya, Hyung—"

"Mau kuantar ke tempat Jimin? Kuseret kau sampai depan pintu rumahnya."

Taehyung enggan menjawab, jika sudah begini Hoseok akan menyeretnya masuk ke dalam mobil dan menodongnya dengan samurai agar menunjukkan tempat tujuan mereka—yang Hoseok kehendaki, apartemen Jimin. Sekalipun Taehyung terus mendumal soal tidak perlu repot mengantar, nyatanya setelah jam kerja berakhir tubuhnya sudah terduduk di jok depan mobil. Pasrah ketika Hoseok terus bertanya arah belokan hingga separuh sadar kini Taehyung sudah berada di depan unit apartemen Jimin yang tertutup rapat.

Lutut Taehyung terasa lemas, gravitasi menarik tubuhnya jatuh di atas lantai dengan tangan yang meremas rambut frustasi. "Hyung, aku mau pulang—jika begini Jimin akan mati dalam neraka buatannya sendiri, begitu pula aku."

Kemudian ketika Hoseok meraih tangan Taehyung untuk membantunya berdiri, banyak rambut rontok yang jatuh. Bocah satu itu pasti menarik rambutnya keras sekali tadi, bahkan buku-buku jemarinya masih memutih kebas. Bibir Taehyung pucat pasi, rambut depannya menempel pada dahi yang dibasahi keringat dingin.

Mungkin Taehyung sakit jiwa, sebagaimana Jimin juga.

.

.

Pagi-pagi sekali Jimin membuka tirai di setiap sudut unit apartemennya, menguap lebar sambil menggusak matanya yang masih mengantuk. Dengan rambut berantakan, Jimin meregangkan persendiannya yang kaku, semalam tidurnya tidak nyenyak dan penuh mimpi buruk—dirinya jadi malas tidur tapi kelopak matanya selalu berkhianat.

Pemuda itu membawa langkahnya kembali ke atas kasur, bergelung di bawah selimut kuning. Tangannya memegang ponsel yang beberapa kali menyala, Taehyung terus menghubunginya sekalipun Jimin tidak memberi respons. Pandangan Jimin kosong, diam-diam menunggu kapan layar ponselnya akan kembali menyala, setidaknya memastikan jika Taehyung masih berusaha menghubunginya. Manusia kurang ajar seperti Taehyung harus diberi pelajaran sesekali.

Jimin pikir Taehyung adalah orang yang akan berdamai dengan penyakit jiwanya. Jimin pikir Taehyung cukup bijak untuk menghadapinya. Jimin pikir Taehyung orang baik. Namun semua pemikiran, anggapan manisnya soal Taehyung rubuh layaknya delusi semata di detik ketika Jimin mendapati kulit mereka bersentuhan satu sama lain. Terlalu intim. Bulu kuduk Jimin kembali berdiri, merinding membayangkan betapa dekatnya mereka berdua hari itu.

Tidak salah apabila Jimin mengambil jatah cuti tahunannya, dirinya hanya ingin menepi dari kesehariannya di tengah orang-orang yang mencoba mendobrak privasinya. Jimin hanya tidak suka jika orang yang tak dikehendakinya menyentuhnya sembarangan—hanya tidak suka, risih, tak ingin bersentuhan sama sekali.

Tubuh Jimin tersentak pelan, sedikit kaget ketika Seokjin Kim menghubunginya. "Ya, ada apa, Hyung?" Ia berdengung pelan menunggu jawaban dari pangkal sambungan telepon. "Aku oke, sedang tidak begitu butuh konsultasi. Kalau tidak begitu penting, aku putus sambungannya—"

"Kata Namjoon kau mengambil cuti panjang, mau pulang ke Busan? Kalau mau, nanti kujemput. Kau ternyata berubah jadi seleb departemen, seperti tak ada satu pun yang tak tahu siapa kau."

Decihan pelan lolos dari bibir Jimin yang masih berbaring, terlalu malas barang hanya untuk bangkit dan membuat sarapan. "Aku masih di Seoul beberapa hari ini, mungkin kalau ada waktu aku sempatkan pulang ke Busan." Akhirnya memilih untuk mengabaikan frasa artis departemen yang sedikit membuatnya tak nyaman, padahal maklum saja jika orang-orang di departemen tahu nama satu sama lain sesama rekan kerja. "Oh iya, progres penyakitku bagaimana? Kalau semisal aku mendadak takut berinteraksi lagi? Apa harus dari awal lagi penyesuaiannya? Atau hanya perlu menghindari apa pun yang menakutiku?"

"Uh oh, tadi ada yang bilang tak butuh konsultasi." Seokjin terkekeh menjengkelkan, terdengar jelas tawanya yang khas. "Ei, bayi besarku tidak konsisten."

Jimin tak lagi bisa mengabaikan frasa aneh yang Seokjin sematkan untuknya, bayi besar kedengarannya agak keterlaluan sehingga Jimin berakhir memutus sambungan teleponnya karena kesal. Mana ada soal bayi besar, Jimin sudah sepenuhnya legal dan pola pikirnya sudah dewasa. Mana ada bayi besar. Mana ada.

Bibirnya bergerak kecil, terus menggerutu dasar dokter sinting dan ketika ponselnya kembali membunyikan dering yang bising, tanpa pikir panjang Jimin mengangkatnya, berteriak kesal. "DASAR BAJINGAN—AKU BUKAN BAYI BESAR!"

"Anu, ini Jimin Park dari lab mikro?"

Kalimat Jimin terbungkam seketika, matanya panik melihat nama Taehyung Kim pada id yang kini terhubung dengannya lewat sambungan telepon. Akan tetapi ini bukanlah suara Taehyung, sepenuhnya Jimin tahu jika ini memang bukan suaranya. "Iya, saya sendiri. Ada apa? Tidak—kenapa ponsel Analis Kim ada padamu?"

Kekehan lolos dari pangkal sambungan, Jimin terlalu muak mendengar kekehan jahanam siapa pun sejak pagi begini. "Aku Hoseok Jung. Anggap saja aku abangnya Taehyung. Omong-omong kau oke? Kalau bisa respons sedikit ketika Taehyung menghubungimu, kasihan dia sekarat."

Kening Jimin mengernyit bingung, tidak paham pada bicara orang di pangkal sambungan. Yang sekarat harusnya Jimin, bukan Taehyung. "Ini siapa? Jika Taehyung menyuruhmu bicara seperti ini, maka—"

"Kalau Taehyung datang ke apartemenmu, apa kau akan menerimanya masuk?" Tanya dari sana terdengar penuh harap, Jimin tak sampai hati untuk menolaknya. Akan tetapi mentalnya juga belum tentu sanggup jika mendadak Taehyung berlebihan soal hubungan mereka lagi. Kemudian Jimin berdengung sebentar, menimang apakah dirinya akan baik-baik saja. "Kumohon, demi Taehyung. Atau jika ada waktu kau bisa bertemu denganku? Kita bicarakan dari awal sekali. Kau oke?"

"Aku tidak tahu," jawab Jimin seadanya, nada bicaranya turun menyiratkan penyesalan. "Aku tidak begitu yakin... tapi kau bisa jelaskan semuanya dari awal sekarang—maksudku, tak perlu bertemu juga bisa, kan?"

Sebuah helaan napas pelan terdengar dari pangkal sambungan. "Pertama, maaf jika keadaanmu sekarang buruk karena Taehyung—atas namanya, aku sungguh meminta maaf. Apa kau tahu kalau sore kemarin aku mengantar Taehyung ke tempatmu? Siangnya Taehyung bilang kau sakit, makanya aku menyuruhnya untuk menjengukmu." Hoseok menjeda sebentar, menunggu Jimin mencerna semua perkataannya. "Tadi Taehyung meninggalkan ponselnya di dapur setelah menyeduh kopi instan, mungkin dia tidak sadar ponselnya tertinggal. Aku melihat notifikasinya penuh dengan panggilan gagal padamu, kebetulan kau angkat ketika aku penasaran—untuk itu juga aku minta maaf jika aku ikut campur, tapi Taehyung sudah kuanggap adikku dan aku menyayanginya—well, aku melihat Taehyung seperti cangkang kosong sekarang."

"Taehyung bukan orang yang seperti itu, efek pauli saja bahkan tidak bisa membuatnya begitu—jangan mengada-ada karena aku kenal Taehyung," Jimin menggertakkan giginya kesal, ingin memutus sambungan teleponnya tetapi sebersit pemikirannya memaksa Jimin untuk terus mendengarkan penjelasan dari orang yang mengaku abangnya Taehyung. "jadi jangan menukar seolah ini semua salahku, aku tidak tahu apa Taehyung menceritakan ini padamu atau tidak. Mestinya aku korban di sini, bukan Taehyung."

Kepala Jimin masih sekeras batu, walau hatinya mulai sakit mendengar bahwa orang yang masih dicintainya tidak hidup dengan baik.

Hoseok menggeram, berusaha mati-matian menahan emosinya yang siap meledak. "Taehyung tidak percaya pada efek pauli, tapi bocah bengal itu percaya pada perasaan tulusnya padamu. Kelemahannya berlaku mutlak ketika dia betul-betul percaya. Kau jelas egois jika terus menganggap dirimu serapuh kaca dan Taehyung sekokoh baja. Ubah pola pikirmu sedikit, kalian sama-sama pria."

Jimin bungkam, tidak menemukan argumen lain—pikirannya pecah, menyalahkan dirinya sendiri dan segala trauma tidak pentingnya. Sebelumnya Jimin pernah mengencani banyak orang, entah pria atau wanita—yang menurut Jimin akan menerimanya, yang akan berdamai pada penyakitnya. Akan tetapi sejauh ini hanya Taehyung yang benar-benar hancur menyerpih ketika Jimin kehilangan kepercayaan dan pergi menjauh.

Perasaan berkecamuk menggempur Jimin, kepalanya mendadak kosong. Sudut matanya berair dan tahu-tahu pipinya sudah basah. Rahangnya mengencang. Tangan Jimin masih menjaga ponselnya dekat dengan telinga, mencoba mendengar dengan seksama setiap kalimat Hoseok yang menamparnya.

"Aku pernah menyukai Taehyung, tapi aku bilang padanya jika aku menyukai kepala lab mikro sebab aku lebih dari tahunyatanya kau adalah satu-satunya yang diinginkan Taehyung. Aku tidak akan menahan diri untuk menghajarmu jika nanti Taehyung datang kepadaku sambil menangis karenamu." Nada bicara Hoseok tidak seramah awalnya, napasnya berat menahan angkara yang terlanjur menghanguskan kesabarannya. "Aku akan mengembalikan ponsel Taehyung—ada pesan yang ingin kau sampaikan?"

Hening beberapa sekon, sebelum Hoseok mendecih.

Kemudian sambungan teleponnya diputus oleh Hoseok sebelum Jimin berbicara barang hanya sepatah kata.

.

.

"TAE?!"

Jimin tengah melamun memandangi langit berbintang malam ini ketika tiba-tiba seekor kucing mengeong tepat di jendela di hadapan Jimin. Ini adalah kucing yang Taehyung belikan dulu sebagai permintaan maaf setelah menggeplak kepala Jimin—plus permintaan maaf karena mobilnya mogok di tengah jalan.

Biner Jimin berkilat antusias ketika menggendong kucingnya dan membawanya ke dalam pelukan. Dirinya menyamankan diri untuk duduk di tepi jendela sambil menikmati langit malam, kini ditemani kucing yang dinamainya Taetae.

Jimin merengut sambil menggoyangkan tubuh kucing itu gemas. "Ke mana saja kau, Mister Tae? Kupikir kau mengawini kucing jalanan kemudian mati kelaparan di gang kumuh. Apa aku tidak mengurusmu dengan cukup baik, hm? Apa iya?"

Pemuda itu terus berdengung, memeluk kucingnya gemas sebab sudah hampir seminggu kucingnya itu tidak pulang. Jimin memang tidak mengurung kucingnya, jadi Jimin tidak akan pernah tahu kapan Taetae pergi dan kapan Taetae akan pulang.

Senyum tipis perlahan pudar. Jimin jadi merindukan Taehyung jika sudah bersama dengan kucing ini. Dulu Taehyung ada bersama Jimin ketika dirinya memberi nama Taetae pada kucingnya. Sebetulnya Taehyung jengkel, kelihatan sekali dari bibirnya yang terus terkatup dan tak bicara banyak. Jimin jail memang, benar-benar tahu sejengkel apa pun Taehyung padanya, kekasihnya itu tidak akan pernah akan menyentuh Jimin.

Dan Taehyung memunggunginya sambil merokok. "Marahnya sudah, Tae?" Ketika itu suara Jimin mendecit, seperti anak kecil—tentu saja sengaja dibuat-buat melengking. "Aku bicara padamu, Tae... Jangan lama-lama marahnya."

Taehyung langsung mematikan rokoknya, berbalik dengan senyum gemas membayangkan Jimin yang mendadak imut padahal di keseluruhan waktu Jimin adalah bedebah kurang ajar. Namun detik itu juga Taehyung menyesal telah menghadapkan diri pada Jimin yang nampaknya sedang kasmaran pada seekor kucing.

Nyatanya Jimin sedang berdengung manja pada kucing di pelukannya. Bulu cokelat terangnya digusak oleh telapak tangan Jimin yang mungil. Setelah Jimin mendapati Taehyung yang kembali memunggunginya sambil mendecih, pemuda itu berkata, "Oh iya, kau tidak bisa bicara apa yang membuatmu kesal—kau kan kucing, aku lupa. Kucing manja milikku, yeah?" Matanya mengerling ke arah Taehyung yang masih saja mendumal.

"Kawin saja sama kucing," gerutu Taehyung, asap rokok masih mengepul di sekitarnya. "paling-paling nanti wajahmu habis dicakar."

"Oh, Taehyungie-ku cemburu rupanya, aih, manisnya," Jimin mulai mengolok Taehyung, nadanya seperti sedang mencoba berbaik hati tapi tangannya masih saja memeluk kucing. "Hei bangsat! Berbaliklah, aku ingin damai!" Akhirnya Jimin menyalak karena sebal, menunggu Taehyung mematikan rokoknya yang masih setengah utuh dan berbalik.

Mata Taehyung menyipit. "Apa? Sudah selesai mesra-mesraan dengan Mister Tae?"

"Ih dasar rendahan, masa cemburunya pada kucing?!" Sebelum Taehyung menjawab ocehannya, Jimin buru-buru menyela, "Sekarang aku peluk-peluk dulu Taetae versi kucing, nanti kalau sudah lancar, aku bisa peluk-peluk Taehyung versi manusianya! Dulu juga sebelum menggunakan motor aku lancar dengan sepeda dulu!"

Kemudian Taehyung mengisyaratkan agar Jimin melepas kucing itu dari pelukan dan memberikannya pada Taehyung. Pemuda itu lantas memeluk kucing yang aromanya tak beda jauh dengan Jimin—aroma kekasihnya itu sampai menempel di bulu kucing saking lama dan eratnya Jimin memeluk dari tadi. "Kalau begitu, Taetae versi kucing, aku titip Jimin, ya—selama Jimin belum bisa kusentuh, dia punyamu. Tapi jangan lupa jaga dia, kalau dia nakal, cakar atau gigit saja. Kalau bisa buang kotoranmu di wajahnya jika Jimin masih saja nakal."

"HEI! Kau membuatku terdengar seperti peliharaannya peliharaanku!"

Taehyung tersenyum lebar. "Kau tidak bisa dititipkan ke manusia, kan? Jadi kutitipkan saja ke kucing. Kau hanya tidak nyaman dengan manusia kan? Kau yang bilang."

Kini, Jimin hanya terkekeh pelan—rasanya menyakitkan—mengingat adu bicaranya dengan Taehyung hari itu. Segalanya terdengar terlalu menggemaskan ketika Taehyung langsung dekat sekali dengan kucingnya—seperti melihat Taehyung berbicara dengan kucing sebab tiap kali Taehyung selesai dengan kalimatnya, Taetae akan mengeong seolah menjawab. Kedengarannya Taehyung langsung berdamai dan telah membuat aliansi dengan kucingnya begitu kucing itu mengeong menjawab semua instruksi Taehyung untuk menjaga Jimin.

Jimin merindukan Taehyung, bagian dari hatinya yang tersudutkan sungguh merindukan Taehyung hingga rasanya sesak, penuh dengan memori manisnya ketika Taehyung menjaganya betul-betul. Tidak mau tahu, tidak akan pernah tahu apa yang ada di pikiran Taehyung saat kekasihnya itu telak membuat Jimin sekarat. Dirinya hanya ingin persetan kemudian melempar canda satu sama lain layaknya mereka sebelum semuanya menjadi semrawut.

Sudut mata Jimin berair, lengannya memeluk Taetae lebih erat.

"Aku sangat merindukanmu, kau tahu, hm?"

Perasaan Jimin seutuhnya ingin Taehyung datang, berbincang dengannya lagi, kemudian sedikit demi sedikit menjadi lebih dekat dengannya. Akan tetapi separuh dirinya gemetar ketakutan, sungguh tak ingin Taehyung datang dan masuk ke dalam area privasinya. Jimin sungguh tak tahu apa yang tengah dipikirkannya, pada akhirnya tangannya meraih ponsel, mengirim sebuah pesan singkat pada Taehyung.

'Ke tempatku besok malam?'

'Aku ingin bertemu.'

'Rindu.'

.

.

Taehyung tidak tahu pasti sejak kapan dirinya melewatkan makan dan terus menyeduh kopi instan untuk tetap membuatnya terjaga. Ujung lidahnya sampai-sampai terasa pahit, menurunkan nafsu makannya secara drastis. Yang juga tidak Taehyung ketahui pasti adalah kenapa harus dirinya merasa bersalah jika Jimin mengambil cuti panjang—momennya saja memang kebetulan setelah hubungan mereka yang merenggang.

Rasanya berat, dirinya menanggung semua rasa bersalah. Taehyung terus mengintimidasi batinnya sendiri, menyalahkan bahwa semua yang sekarang ini terjadi adalah salahnya—hanyalah kesalahannya yang mutlak. Kejadian di mana kulitnya kurang ajar menyentuh Jimin terus terulang di benaknya yang kosong melompong tak mampu memikirkan apa pun dengan jernih.

Jalan Taehyung sempoyongan mencari ponselnya—belakangan ia nyaris selalu lupa di mana ponselnya ia simpan—untuk mencoba menghubungi Jimin dan sedikit mengurangi rasa bersalahnya dengan meminta maaf dengan tulus. Masalahnya, Jimin belum juga sudi mengangkat sambungan teleponnya.

Hingga ketika Taehyung menemukan ponsel dan menyalakan layarnya, tiga pesan singkat yang masuk dari ID Jimin membuat matanya melotot tidak percaya hingga nyaris keluar dari tempatnya. Mulutnya menganga dengan kening mengerut tak paham. Tanpa sadar Taehyung meraih outer kotak-kotak dengan tergesa sambil berlari menuju lantai dasar parkiran apartemennya dengan kunci mobil di genggamannya.

Dan di sini Taehyung kini berdiri mematung, di depan unit apartemen yang baru dua kali dikunjunginya. Sekali dengan Jimin dan sekali lagi dengan Hoseok. Dentuman jantungnya terdengar bising di telinga Taehyung sehingga beberapa kali dengan tangannya sendiri ia memukul telinganya. Bibir Taehyung pucat, tanpa warna. Demi seisi laboratorium analitik, sejak kemarin sore Taehyung belum menyantap makanan berat apa pun.

Pemuda itu terduduk di samping pintu, menumpukan punggungnya yang lemas pada tembok di sana sambil menata napasnya yang tak beraturan. Pandangannya memburam, tak terlihat apa pun ketika semua bising tak terdengar lagi. Deru napas Taehyung ribut dan tak beraturan, gambaran nyata dari bagaimana dirinya juga rusak setelah hari-hari yang dilaluinya tanpa nyawa.

"Jangan ambruk. Sial—"

Gumaman pelan terakhir Taehyung tak menjadi sugesti agar dirinya tetap terjaga. Perlahan kesadaran terenggut mengenaskan, tanpa suara, Taehyung kehilangan seutuh kesadarannya. Punggung masih bersandar pada dinding di samping pintu unit apartemen Jimin.

Lantas ponselnya menyala, menampilkan pesan Jimin yang berisi serapah.

'Sudah kubilang aku rindu, Keparat! Respons aku, di mana kau sekarang?!'

'Kususul sekarang—sial! Beri aku alamatmu.'

.

.

"Kamu merusaknya, Kim!"

Taehyung di usianya yang masih terlalu belia memeluk lututnya gentar, terisak ketika disudutkan teman-teman sebayanya yang menyalahkan Taehyung atas mainan mereka yang rusak. Bahkan salah satu dari mereka menunjuk luka di tubuhnya, lagi-lagi menyalahkan Taehyung.

Sebuah ranting kecil dilempar, tidak menyakiti tubuh Taehyung hanya saja lebih dari cukup untuk membuat isakannya mengencang. Tidak terima. "Semuanya rusak olehmu! Kamu perusak!"

Masa lalu Taehyung dihabiskannya dengan caci maki dari teman sebayanya, terus menyalahkan Taehyung sebab segala kerusakan yang belum tentu benar Taehyung penyebabnya. Bocah bau kencur semacam Taehyung dulu tidak tahu apa maksudnya dari segala kesialan yang ada di sekitarnya—pikirnya, mungkin, mungkin saja, memang telah waktunya rusak. Dia tak punya tanggung jawab apa pun.

"Aku tidak merusaknya, aku bukan Pauli seperti apa yang selalu teman-temanku bilang—aku Taehyung. Hanya Kim Taehyung."

Taehyung berkeringat, nyaris tiap inci tubuhnya bersemu efek dari demam tingginya. Merasakan keningnya yang ditindih handuk dingin membuat Taehyung sedikit-sedikit membuka matanya yang berkunang-kunang. Beberapa kali mengerjap menyesuaikan kondisi di sekitarnya—terasa asing tetapi aromanya pernah Taehyung cium sebelumnya.

Aroma ruangan yang paling enggan Taehyung cium, aroma dari banyak lilin hias yang tercampur menjadi satu.

Kamar Jimin.

Taehyung masih setengah sadar, telunjuk mungil mengetuk puncak hidungnya beberapa kali. Suaranya melengking dibuat-buat, tapi pecah dan menyedihkan. "Hei, tampan, bangun, bangun...," ujar suara yang Taehyung sangat rindukan. Jimin. Isakan lepas dari suara Jimin, kemudian pemuda itu melanjutkan, "aku memang bisa mencintaimu kalau kau tidur, tapi apa benar kau bisa mencintaiku kalau sedang tidur? Bangun, bayi besarnya Hoseok Jung—kau perlu makan malam, sudah kubuatkan bubur, apa kau tega tidak memakannya, nanti buburnya menangis."

Mata sayu Taehyung melirik ke samping untuk menemukan Jimin yang tengah menatapnya khawatir. "Jimin—sayang, maafkan aku," bisiknya, belum kuat berbicara entah kenapa. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi selembek roti basi, padahal Taehyung yakin dirinya tidak cukup sakit untuk berbaring di atas ranjang Jimin dan menerima perawatan ala kadarnya dari Jimin yang sebetulnya tidak perlu sejauh ini demi Taehyung.

"Makan dulu, ya? Kalau tidak bisa bangun kusuapi."

Jimin mengurus Taehyung dengan sabar. Walau sesekali perlu menghapus titik darah yang menetes dari hidungnya—walau tiap kali Taehyung bertanya apa Jimin oke sedekat ini dengannya, kekasihnya itu hanya akan menjawab, aku mimisan memang karena pusing, phobia-ku manja sekali, berdoa saja aku tidak muntah di buburmu karena aku juga sedang menahan mual, sudah diam saja dasar berengsek cepatlah sembuh sebelum aku mampus. Kemudian Jimin menyendok buburnya di ujung sendok untuk disuapkan ke mulut Taehyung yang terbuka tipis. Omongan dan aksinya tidak sinkron, dan jikalau Taehyung cukup sehat untuk mencebik gemas, pastilah Taehyung sudah kehabisan suara karena menjerit mengatai Jimin manis sekali.

Taehyung benar-benar tidak paham.

Tidak paham sama sekali.

Melihat dari posisinya sekarang ini, seratus per seratus kemungkinannya hanya Jimin yang menemukan Taehyung di sisi pintu unit apartemennya. Kemudian hanya Jimin juga yang mungkin cukup sinting untuk melawan phobia sialannya dan membaringkan tubuh Taehyung di atas ranjangnya—dan hanya Jimin juga yang mengeluarkan semua lilin di kamar ini untuk menyalakan salah satunya dan membuat aroma wangi di kamar ini senyaman mungkin bagi Taehyung.

Jimin menyimpan mangkuk kosongnya setelah selesai menyuapi si-berengsek-yang-manja-dan-sakit. Di hidungnya tersumbat sapu tangan, tepiannya memerah dan hanya melihatnya saja sudah membuat Taehyung dapat mencium bau karat. Sudut mata Taehyung berair, tidak tega melihat kekasihnya sebegini tersiksa hanya untuk bersandingan dengannya.

Tangan Taehyung melepas kompres di dahinya sambil membuang napasnya berat. "Kalau bersama denganku itu berat buatmu, aku tak apa kalau kau ingin tak lagi mengenalku." Dirinya baru akan bangkit dari atas ranjang Jimin andaikata sang empunya ranjang justru mendorongnya untuk kembali berbaring, tangannya cekatan memasang kembali kompres di dahi Taehyung. "Jangan paksakan dirimu, Jim, melihatmu begini—kau sungguh berniat menyiksaku?"

Yang ditanya malah terkekeh, mendengar suara serak dari kekehnya membuat Taehyung ingin mati—tidak sanggup. "Demammu tinggi sekali, man, kau sampai mengigau, lihat? Tubuhmu berkeringat bukan main, jadi lengket. Kau pasti tidak nyaman kan? Biar kusapu badanmu dengan air hangat, kau akan merasa lebih baik." Jimin melinting kaus panjangnya hingga siku, menunjukkan satu setel pakaian pada Taehyung yang mengernyit tak paham. "Sudah kusiapkan baju gantinya, mungkin cukup di badanmu karena ukurannya agak besar. Ayo, bayi besar, angkat tanganmu agar aku bisa lepas kausmu yang bau keringat itu."

Detik berikutnya Taehyung mendapati dirinya menangis. "Jangan alihkan topik pembicaraan, Analis Park—jangan paksakan dirimu, jangan peduli lagi padaku." Tatapannya menusuk Jimin, kepal tangannya yang lemas hanya sanggup mencengkeram sprei di bawahnya. "Kalau ini leluconmu, kalau kau mau aku terbahak—aku tidak bisa turuti maumu. Aku egois—dan aku lebih egois lagi kalau aku menikmati kau yang tersiksa begini, hentikan, Park, aku tak sanggup melihatmu begini, aku tak mau lagi melihatmu begini."

"Diam dan biarkan aku mengurusmu," jawab Jimin dengan suara sengaunya, mati-matian agar tidak ikut menangis dan tak mampu menopang Taehyung yang tengah berada di dasar batas kemampuan bertahannya. "Biarkan aku berhenti berpura-pura lemah dan membantumu—kita ini larutan netral, bukan? Atau larutan penyangga, ya? Habisnya seperti aku asam lemah dan kau basa yang terlalu kuat."

Pada akhirnya tangis meluncur dari pelupuk Jimin yang sedari tadi digenangi air mata, meluncur bebas hingga garis rahangnya yang tajam. Kepalanya pusing, perutnya mual, ketakutannya melonjak hingga puncak—Jimin pikir dirinya tak akan bisa bertahan jika tidak punya nyali segila ini demi memperbaiki Taehyung yang telanjur rusak begini. Batin Jimin terus merapal, baik-baik saja, aku baik-baik saja, di tiap sekon kulitnya bersentuhan dengan Taehyung.

"Kau tak perlu sampai sejauh ini, Jimin-ah, aku bisa mencintaimu jika kau ingin. Aku juga bisa membencimu jika kau ingin. Tapi kau tak bisa memaksaku untuk melihatmu kacau begini—kuakui aku sakit, hidupku berantakan, sekali lagi bukan berarti kau yang harus bertanggung jawab. Aku ini lelaki dewasa, loh," Taehyung memaksakan senyumnya, menahan tangannya agar tidak mengusap air mata Jimin walaupun seutuh perasaannya menjerit agar Taehyung menyapu sudut mata Jimin yang tak kunjung mengering, "aku hanya ingin memikirkan soal dirimu lebih dulu, alright?"

"Aku minta maaf, Tae, maafkan aku." Jimin menarik napas putus-putus, air matanya mengalir deras. Lantas ketika melihat tangan Taehyung yang ragu-ragu meraih pipinya untuk menghapus air mata di sana, Jimin hanya masa bodoh dengan penyakitnya kemudian meraih tangan Taehyung untuk ditempelkan di pipinya. "Aku mencintaimu, Taehyung, jangan pergi pada orang lain, aku hanya ingin kau."

Mata Taehyung membola sepenuhnya, tidak menyangka Jimin akan meraih tangannya. Dapat Taehyung rasakan tangan Jimin yang basah berkeringat dingin. Akan tetapi melihat Jimin yang sudah masa bodoh, Taehyung juga ingin masa bodoh. Berkali-kali ibu jari Taehyung mengusap sudut mata Jimin, berbisik menenangkan jikalau Taehyung tak akan pergi untuk siapa pun.

Sapu tangan yang menyumbat hidung Jimin terlepas, Taehyung hanya tersenyum sayang sambil sesekali mengusap darah baru yang menetes dari sana. Keduanya tetap dalam posisi begini sebelum Taehyung menarik tubuhnya hingga sisi terjauh ranjang, meminta Jimin untuk naik ke atas dan berhenti mimisan karena demi Tuhan, Taehyung lama-lama khawatir darah kekasihnya akan habis.

"Jangan minta maaf, apalagi sampai menangis. Kau tak pernah salah." Taehyung berujar menenangkan Jimin, tangannya belum lepas dari pipi tirus kekasihnya itu. "Harusnya aku yang minta maaf, tapi kau malah membuat seolah aku yang korban. Kekasihmu ini harus bagaimana, coba, hm?"

"Menginap malam ini, aku tak akan biarkan kamu pulang sebelum pulih—" Jimin menggenggam tangan Taehyung di pipinya, menciumnya lama dan hati-hati, berbisik pelan, "—tapi badanmu lengket, serius, biarkan aku usap tubuhmu dengan air hangat, lalu kita tidur. Aku penasaran apa betul kau menyihirku, sebab kenyataannya sihirmu berhasil. Kau lakukan apa padaku sampai aku tak bisa berhenti memikirkanmu?"

Taehyung menarik kedua sudut bibirnya, membentuk senyum kotak yang menggemaskan. "Asal kau janji akan berhenti nangis dan mimisan, kubuka bajuku dan biarkan kau usap tubuhku dengan air hangat. Tidak mau aku meniduri ranjangmu dengan tubuh lengket, ya? Tega."

.

.

"Taetae mana?" Taehyung terkekeh berat dengan suaranya yang serak, dikuasai penuh oleh gairah sejak Jimin merangkak di atas tubuhnya yang tanpa menggunakan atasan. "Dia bisa cemburu melihat kita tidur begini."

"Dasar rendahan, kau takut Taetae cemburu? Dasar rendahan," cibir Jimin.

Setelah mengusap tubuh Taehyung dengan air hangat, Jimin tak langsung memakaikan Taehyung baju yang kering dan bersih dan wangi. Matanya terus menatap Taehyung yang mengernyit tak mengerti, wajahnya turun untuk memberikan kecupan mengambang di sepanjang garis rahang Taehyung.

Jimin berbisik, "Kalau aku bisa menahan pusing dan mualnya, aku bisa lakukan apa saja padamu."

Bibir keduanya bersatu tak sabaran. Gemeretak dari gigi yang beradu justru membuat Jimin tersenyum puas. Kembali mencium Taehyung di bawahnya. Sedangkan Taehyung tak memberi sedikit pun penolakan, tangannya bertengger di belakang tengkuk Jimin menariknya agar terus mencium lebih dalam—lebih panas.

Entahlah. Taehyung tak begitu bisa membedakan ini hanya efek dari demamnya atau memang di sini terasa sangat panas sekali. Pandangannya berkunang-kunang entah karena Taehyung sakit atau gigitan Jimin di selangkanya yang membuatnya pusing bukan kepalang. Apa pun sensasinya, yang jelas Taehyung suka dan tak ingin menjadikan demamnya alasan agar Jimin berhenti. Begitu pula penyakit Jimin.

"Tunjukkan apa saja yang bisa kau lakukan padaku?" Jemari Taehyung memainkan rambut di pelipis Jimin yang tak Taehyung sadari sejak kapan basah dan lembab oleh keringat. Senyum Jimin menandakan kekasihnya itu baik-baik saja walau bibirnya masih sepucat mayat—bahkan setelah banyak sekali digunakan untuk menciumi Taehyung. "Kalau kau mimisan lagi, aku tak tahu harus bagaimana—kalau muntah?"

"Mimisanku berhenti, ya? Darahnya mengalir ke tempat lain, sih," ucap Jimin, menuntun tangan Taehyung untuk sampai pada ereksinya. "Tae, ingin dengar bagaimana peraturan mainku?"

Taehyung separuh peduli dan separuh tidak. Melanjutkan tangannya untuk bermain di bawah sana, menikmati tiap helaan napas Jimin yang putus-putus dan bergetar. "Perlu aturan, ya?"

"Hm, perlu." Jimin menegaskan, bibirnya segera mencium Taehyung, menyisipkan lidahnya masuk sedalam mungkin dan meraup semua yang ada di sana. Suara kecipak yang ditimbulkannya justru membuat Jimin senang bukan kepalang. Rasanya hanya menyenangkan. Tak ada yang lain. Jimin berbisik di atas bibir Taehyung, masih tersambung liur dari sisa ciuman mereka. "Aku lupa pada efek pauli milikmu, dan kau lupa pada haphephobia milikku. Kita lihat batas paling sinting dari kegilaan ini."

"Hm?" Taehyung menggumam tidak jelas. Rambutnya yang basah berkeringat menempel di dahi, sebelum akhirnya Jimin mengusapnya ke samping untuk mengecup dahinya lama sekali. Taehyung tak betul-betul tahu ini nyata atau hanya sekarang halusinasinya. Tangan Taehyung meraih-raih udara, ingin Jimin memenuhi tiap sela jemarinya. "Tangan, Jim, tangan."

"Heh, lihat siapa yang lebih kuat, apa kau yang berhasil merusakku—atau aku yang mempermalukanmu karena kau bahkan tak mampu membuat lebam di leherku."

Taehyung tidak tahu. Apa ini hanya halusinasi dari demamnya, atau memang nyata terjadi. Ketika Jimin dengan pelan sekali membuka celananya hingga membuat seluruh tubuhnya tak di tutupi apa pun. Ketika Jimin berbisik, kau demam, jangan sampai tubuhmu kedinginan, sambil menarik naik selimut yang melorot untuk menutupi tubuh keduanya yang bahkan tidak Taehyung ketahui pastinya kapan Jimin menjadi sama-sama telanjang tak ubahnya dirinya. Ketika selimut yang telah Jimin tarik naik pada akhirnya tertendang Taehyung ke bawah ranjang sebab gerakan jemari Jimin terlalu gila di bawah sana, bicara Jimin terlalu kotor di depan telinganya, liur Jimin terlalu panas dan dingin di saat bersamaan membungkus tiap jengkal tubuhnya.

Taehyung benar-benar tak memiliki ide cemerlang soal apa yang tengah terjadi.

Tangannya menggenggam jemari Jimin begitu erat. Jimin masuk perlahan dan menyiksa, Taehyung menangis—tak tahu rasa aneh macam apa yang membakar tubuh demamnya hingga habis menjadi abu di tangan Jimin yang berkeringat dingin. Bibir pucat Jimin tak juga beranjak dari dadanya, Taehyung menjerit tanpa suara. Jimin terlalu ahli, tubuh Taehyung terlalu responsif di bawah telapak tangan Jimin yang memeta tubuh Taehyung sebagai ladang titik paling sensitif.

Taehyung tidak tahu mana yang nyata dan mana yang halusinasi.

Pinggulnya bergerak berlawanan dengan Jimin. Derit ranjang yang suaranya bising di telinga Taehyung tak seberapa dibanding bisikan kasar dari bibir pucat Jimin yang menempel di telinganya tak mau lepas. "Taehyung, kau bisa sentuh milikmu sendiri untukku, hm? Kalau kau terus genggam tanganku begini, aku tak bisa membantumu. Aku harus topang tubuhku agar tak menindihmu dan bisa terus bergerak."

"Persetan—" ucap Taehyung beserta desah pasrah, satu tangannya yang tadi mencakari punggung Jimin beranjak untuk menyentuh tubuhnya sendiri. Panas. Taehyung ingin segera keluar dan selesai.

Ingin besok pagi segera datang dan logika kembali berteman baik dengannya. Malam ini buram. Jimin mematikan lampu sambil membuang air hangat bekas mengusap tubuh Taehyung yang berkeringat—sekalipun rasa-rasanya percuma sebab sekarang ini sepertinya justru tubuh keduanya yang basah berkeringat.

Di bayangan Taehyung, Jimin hanya akan tidur di sampingnya. Dan Taehyung hanya perlu menjaga jarak supaya tak bersentuhan. Di bayangan Taehyung yang lain, Jimin menggagahinya semalaman suntuk dengan suara kecipak ribut dan basah sana-sini sebab ini-itu.

Pikiran Taehyung terbagi dua.

Entah Jimin hanya mengangkat selimut dan tidur di sampingnya. Entah Jimin membantu Taehyung menyingkirkan selimut dan menidurinya.

"Memikirkan apa, Sayang?" Gerakan Jimin melambat, Taehyung dapat merasakannya dengan jelas—meski masih sangsi apa ini nyata atau hanya mimpinya. Menjadikan Taehyung mengerang frustasi. "Kau cantik—cantik sekali, kenapa aku baru sadar kau terlalu cantik untuk ukuran lelaki dewasa?"

Bibir Jimin mengecupi tiap lekuk wajah Taehyung dan dirinya gila. Waras Taehyung terkikis habis, rengekan tak suka keluar dari bibirnya yang basah berliur, bisa jadi liurnya, bisa jadi liur Jimin, bisa jadi keduanya. "Gerak yang benar—ah, Jim," Taehyung menggenggam tangan Jimin lebih erat, hingga kukunya menembus kulit Jimin hingga lecet.

Hingga sejauh ini, Taehyung tak sadar.

Lonjakan tubuhnya menggila dan yang bisa didengar oleh telinganya hanya rengekan terbata sejak Jimin bergerak tak beraturan—kacau, Taehyung menyukainya, kesadarannya dikeruk habis, tak lagi bisa melihat bibir pucat Jimin dan tetes darah yang jatuh ke atas tubuhnya. Bersatu dengan peluhnya.

Kemudian Taehyung hanya masa bodoh, kembali meminta Jimin bergerak sekalipun keduanya sudah keluar berkali-kali. Sekalipun Taehyung terlalu lelah untuk berpikir apa ini mimpi atau bukan. Sekalipun Taehyung bisa merasakan kental darah mimisan Jimin di lehernya. Sekalipun Taehyung menangis.

"Aku sangat—sangat sangat mencintaimu, Taehyung, jangan pergi dengan orang lain."

.

.

Sinar mentari pagi yang menembus tirai di kamar Jimin membuat Taehyung terbangun. Kepalanya masih pusing tetapi sepertinya demamnya sudah turun. Tubuhnya tertutup selimut kuning dan dibalut baju yang kering dan wangi. Ada lilin beraroma yang dinyalakan di sudut ruangan, sepertinya belum terlalu lama dinyalakan sumbunya. Wanginya masih sangat pekat.

Jimin tak berbaring di sampingnya. Taehyung tak bisa menemukan pemuda yang seharian kemarin mengurusnya telaten. Kemudian Taehyung bangkit, melepas handuk yang dijadikan kompres di dahinya dan meletakkannya di atas nakas—di sana ada baki yang kemarin Jimin gunakan untuk menampung air dingin guna mengompresnya.

Sekarang Jimin justru tidak ada di tempatnya. Maka Taehyung terhuyung bangkit dari ranjang, berniat berkeliling apartemen Jimin untuk menemukannya. Hanya saja, belum sempat keluar dari kamar, Jimin sudah mencegat jalannya di tepi pintu. "Mau ke mana?" tanyanya pelan, memegang sepotong roti selai kacang di tangannya. Lantas Jimin menyodorkannya pada Jimin.

Taehyung mengernyit tak mengerti, memilih untuk mengambil roti dari tangan Jimin dan menghabiskannya cepat. Diam-diam melirik Jimin yang sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk yang tersampir di bahu. Bibirnya masih pucat—Jimin tidak oke bagaimanapun cara kekasihnya itu mencoba menyembunyikannya dari Taehyung.

"Bajingan, kau sudah sembuh belum, sih?"

Dengan santai, Jimin menarik belakang tengkuk Taehyung kemudian membenturkan dahi keduanya. Mata Taehyung melebar, kaget bukan main pada interaksi keduanya. "Jimin—"

Jimin menggumam berlagak paham. "Demammu sudah turun. Masih pusing? Mau kubuatkan roti lapis dengan telur dan sayur untuk sarapan?"

"A-aku—aku mau pulang, Jim, titip salam pada Taetae, bilang padanya... semalam sungguh aku tak bermaksud tidur di atas ranjang Jimin Park."

"Ei," Jimin terkekeh main-main, masih menyatukan dahi keduanya walau Taehyung bersikeras ingin mundur, "doktermu ini bilang kau masih perlu di sini, setidaknya sampai kau sehat betul."

Taehyung refleks berontak mundur, lepas dari kekangan Jimin yang bibirnya pucat, tangannya berkeringat dingin. Dirinya tahu pasti Jimin sedang menahan pusing dan mualnya. "Aku harus mendatangi dokter—sungguh, Jim, terima kasih, dan—uh, aku minta maaf soal kejadian beberapa waktu ke belakang. Pak Min sering menanyakanmu, kapan cutimu itu berakhir?"

Kedua bahu Jimin terangkat. "Entahlah, aku ingin santai dulu, bilang saja pada Pak Min kalau tidak bisa menunggu cutiku berakhir, pecat juga tak apa. Tapi Pak Min suka padaku, jadi tak mungkin aku dipecat—bercanda!" Telunjuk Jimin mendorong dahi Taehyung hingga empunya terhuyung tanpa tenaga ke belakang. "Tertawalah sedikit, Tae, kau membuatku takut."

"Kau yang membuatku takut, Jim—kau oke?"

"Aku—" Bicara Jimin terpotong, jarinya mengusap kasar darah yang baru keluar dari hidungnya. "Aku oke, apa yang kau maksud dengan tatapanmu itu? Kau pikir aku tidak oke? Ya sudah, temuilah dokter sana biar cepat sembuh. Outer yang kau pakai kemarin aku gantung di belakang pintu masuk apartemen, ada dompet dan kunci mobilmu. Aku belum sarapan jadi kalau kau tidak mau sarapan denganku pulang saja sana—aku ingin sarapan."

Penuh implikasi.

Taehyung dapat menangkap maksud dari Jimin agar dirinya segera keluar. Maka Taehyung menunduk berterima kasih dan baru akan pergi andai Jimin tidak melempar syal telak mengenai kepalanya.

"Semalam Taetae cemburu sebab kau tidur di ranjangku, dia menggigit dan mencakarimu—jadi jangan aneh kalau badanmu banyak memar dan bekas gigitannya. Hati-hati di jalan ya! Awas jangan selingkuh!"

.

.

Jimin memuntahkan kembali sarapannya ke kloset sebelum merangkak menyedihkan seraya menyeret tubuhnya untuk berbaring di atas ranjang. Menutupi tubuhnya dengan selimut kuning yang aromanya persis tubuh Taehyung. Mual dan pusingnya semakin menggila, dan Jimin tak bisa melakukan apa pun untuk menolong tubuhnya sendiri.

Penyakitnya ini kurang ajar sekali.

Ponselnya digunakan Jimin untuk menghubungi Seokjin Kim—mendadak butuh bantuan dokter yang lebih sering dikatainya sinting padahal telah menangani sedikit-sedikit penyakit jiwa Jimin.

Dan ketika panggilannya tersambung, Jimin menangis kencang.

"Hyung, kumohon—Hyung, jemput aku ke Busan."

Bibirnya yang pucat bergetar hebat, suara Seokjin di pangkal sambungan tak terdefinisi kecuali sebagai suara mengiang yang membuatnya semakin jauh dari warasnya.

"Aku sakit. Kurung aku."

.

.

- To be continued –

Note:

Halo! Setelah sekian abad akhinya bisa kelanjut—syukur-syukur bisa keketik xD

Maafkan saya yang lebih sering khilafnya dibanding lurusnya xD semoga suka dan terakhir...

Review booing-booing-poppo-muahh please?

- La Demencia -