Lenka tidak tahu bahwa banyak hal di dunia ini yang bisa digapai dengan harga mudah. Asas utama makhluk waras yang menapak di dunia masih sama, yaitu tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, jarang ada yang berpikir suatu kesempurnaan juga memiliki probabilitas tinggi untuk digapai dengan harga yang rendah.
Pertanyaan yang frekuen keluar: bukannya semakin mahal semakin baik? Lalu, semakin murah semakin buruk?
Lenka bisa menjawab, tidak juga. Ini lebih seperti kepada, masih banyak faktor duniawi selain uang yang dicari orang di dalam matamu.
Kadang kala afeksi, atensi, relasi.
Mata akuamarin Lenka menulis riuh rendah dan berbelok turun.
(Namun ia merona dan senang.)
Lenka tidak suka yang muluk-muluk. Lenka tidak suka yang mewah-mewah. Lenka tidak suka yang foya-foya.
Gadis pirang itu tersenyum hangat, membasuh lapisan basah gelas porselen terakhir di depan dapur, "Mikuo, hari ini kau akan pulang jam berapa?" tanyanya sedikit keras namun dengan nada sayang, karena Mikuo sudah ada di pekarangan rumah.
Pemuda berambut toska itu masuk ke dalam rumah dahulu, tidak tega juga melihat Lenka yang setiap hari bersusah payah menyiapkan ini itu. Mikuo meletakkan tas kerjanya terlebih dahulu, ikut masuk ke dapur.
"Pulang jam berapa?" beo Mikuo, Lenka mengangguk, tak lama tertawa kecil dan mengucap terimakasih ketika sang lelaki menaruh segelintir piring dan gelas ke dalam lemari kaca sebelah bak cuci piring, "Kurasa tidak terlalu malam."
Lenka sedikit sumrigah, Mikuo bisa membaca air muka yang lebih riang di wajah ayu itu, "Sungguh? Kupikir akan ada rapat pra akhir tahun dan tetekbengeknya?"
"Memang ada, tapi hari esok juga ada," Mikuo mengusak surai pirang Lenka yang masih terurai, siang-siang biasanya ia akan menguncir rambutnya satu ikatan tinggi, "panggil aku prokrastinator, tapi serius, aku akan pulang cepat hari ini."
Lenka tersenyum puas, meski kilasan kantuk masih ada di wajah, "Bisa kupegang kata-katamu?"
"Bisa," Mikuo mengecup sayang dahi Lenka, gadis itu tertawa manis, "tentu bisa, sayang."
(Keduanya terkekeh geli dan melambaikan tangan untuk memulai hari.)
Bila bertanya tentang hadiah Natal, hadiah akhir tahun, hadiah tahun baru, dan kawanannya, mungkin sebagian mayor orang akan memilih hadiah yang bertahan lama, elit dan sulit di dapat. Hadiah yang mungkin berbahan kulit, atau berharga fantastis, atau bermerek besar.
Lenka tertawa sembari menggelar matras marun di pekarangan rumah, Mikuo mengambil beberapa bantal mungil sebagai senderan. Lenka menaruh dua cangkir dan sekotak besar kue coklat meleleh, Mikuo meletakkan meja kecil tua di tengah matras sebagai tatakan sajian minum teh kecil-kecilan.
"Akhir tahun sudah di depan mata, ya," Mikuo tersenyum. Petang-petang begini rasanya cukup holistik dan nostagis, "rasanya baru kemarin lalu kita menaruh cincin di jari manis masing-masing. Ternyata sudah lewat tujuh bulan."
Lenka terkikik geli ketika Mikuo menarik tangannya lembut dan mencium punggung tangannya di bawah terik matahari yang enggan terbenam. Sore hari membuat mereka ingin bumbu-bumbu roman yang sejak awal masih kental dari awal hubungan.
"Kau benar," Lenka menengadah, langit rasanya memberkati mereka dengan tidak menangis, "waktu berjalan sangat cepat, tapi aku senang untuk terus menghabiskannya dengan Mikuo."
Mikuo tersenyum sembari menyesap tehnya, "Sungguh?"
Lenka mengangguk, gadis pirang itu tersenyum dengan alunan melodi Natal yang terdengar sayupnya di rumah-rumah. Betapa tenangnya, betapa melodramatisnya.
Tapi Lenka menyukainya.
"Mungkin terdengar klise, tapi aku lebih suka menghabiskan waktu dengan Mikuo daripada hadiah-hadiah di bawah pohon Natal."
(Ketika Mikuo merasakan hangat teh di mulut, ia sadar: Lenka adalah hadiah terindah untuknya, "Lenka, terimakasih!"
― tanpa harga, tanpa angka. Cuma cinta.)
end.