MASK'S STORY

Bonus Chapter

Pair : Kageyama Tobio x Fem!Hinata Shouyou

Original Story : Haikyuu! By Furudate Haruichi

.

.

.

primroselin

.

.

Enjoy

.

Kageyama adalah pemuda yang tampan.

Super tampan.

Dan Hinata tahu itu.

Ia juga tahu akan resiko yang dia hadapi selama berpacaran dengan Kageyama.

Sebelum menutup maskernya, Kageyama membiarkan wajah tampannya telanjang tanpa pelindung selama kurang lebih dua tahun. Tentunya tidak sedikit wanita yang tahu akan wajah di balik masker itu. Tak jarang bagi Hinata bertemu dengan para gadis pelanggan di kedainya yang membicarakan si surai hitam yang membuat Hinata harus bersabar mengelus dada. Bahkan terkadang Sugawara harus membantu menurunkan kecemburuannya dengan mengingatkannya bahwa Kageyama termasuk seseorang yang cuek dengan siapapun kecuali orang yang dikenalnya dengan baik, bahkan wanita cantik sekalipun.

Tapi khawatir tetap khawatir. Dia memang mempercayai Kageyama. Tapi tidak ada satu orang pun yang tahu isi otak orang lain. Meski penampilan luar seorang wanita bisa dibilang begitu sopan dan menarik, bisa saja dia akan menggunakan cara busuk untuk mendapatkan pemuda rambut hitamnya.

Termasuk, hari ini.

Ada sekitar lima atau enam gadis yang sedang mengobrol di ujung ruang kedainya. Mereka semua sangat cantik. Kontras dengan Hinata yang hanya memakai kaos dan jeans sederhana setiap hari, mereka tampak menggunakan totalitas dalam berdandan dan berpakaian. Hinata semula menganggumi cara mereka memperelok penampilan mereka, bahkan membayangkan reaksi Kageyama kalau melihat dia berdandan seperti itu.

Dengan sengaja, Hinata mendatangi mereka. Dirasa, ia akan punya kesempatan untuk bertanya-tanya soal make up pada mereka sembari menerima pesanan. Tentunya dia juga berharap mendapat kesempatan untuk berteman dengan mereka, mengingat beberapa dari mereka sering ke kedai Karasuno.

"Dua Tonkatsu*, dua Chanpon*, dan satu Kushiage*." Kata salah satu gadis itu, mengulangi semua pesanan dari teman-temannya.

Hampir saja Hinata menanyakan menu minuman yang ingin dipesan oleh mereka kalau saja salah satunya tidak mulai bertanya.

"Minumnya ma-"

"Hei, hei, kalian tahu si tukang tattoo yang ada di kios sebelah, tidak?" Tanya seorang gadis yang kebetulan tempat duduknya pas di sebelah Hinata.

Mendengar Kageyama disebut, rahang Hinata menegang. Keningnya berkerut seketika.

"Oh, si rambut hitam yang tiap hari pakai masker itu?" Sahut salah satu dari mereka, entah yang mana. Tapi yang jelas semuanya langsung tertarik.

"Iya, kau pernah lihat wajah aslinya? Dia tampan sekali loh."

"Yang benar?"

"Aku punya fotonya."

Rahang Hinata membuka pelan saat si gadis yang ada di sampingnya dan menunjukkan sebuah foto ke teman-temannya yang lain. Mata karamelnya membulat. Itu jelas-jelas Kageyama. Di foto itu Kageyama terlihat sedikit lebih muda. Menunjukkan kalau foto itu sudah lama diambil.

Di foto setengah badan itu, tak ada masker yang selalu menggantung di lehernya seperti yang selama ini Hinata tahu. Tangannya memegang susu kotak favortinya dengan mata yang sedang melirik ke samping. Meski terlihat buram karena foto itu diambil dari jarak jauh dengan diam-diam, paras tampannya masih benar-benar terlihat.

Para gadis itu mulai bercicit kagum dan bertanya pada si pemilik foto. Kehadiran Hinata segera dilupakan dalam sekejap.

"Tampan sekali!"

"Kau dapat foto ini darimana?"

"Aku selama ini tahu dia, tapi dia selalu memakai masker."

"Jadi selama ini dia setampan ini?"

Rasa cemburu segera merayapi keseluruhan pembulu nadinya, merayap sampai ke ubun-ubun. Tangannya menggenggam erat buku pesanan. Mungkin sedikit lagi bolpoinnya bisa patah karena dia meremasnya terlalu kuat. Rasa penasarannya pada gadis-gadis itu langsung lenyap tanpa sisa.

Sugawara yang sedang membersihkan meja sebelah melihat Hinata dengan iba. Hinata menggigit bibir. Sugawara mengisyaratkan untuk tetap tenang. Sementara gadis-gadis di depannya mulai menggumam dan bertanya-tanya seolah ada yang akan menjawabnya.

"Waah, aku mau yang begini!"

"Matanya indah sekali ya!"

"Dia umur berapa?"

"Apa dia asli daerah sini?"

"Dia sudah punya pacar belum ya?"

SUDAH! AKU ORANGNYA! PEMUDA TAMPAN ITU MILIKKU! Teriak Hinata dalam hati dengan sengit. Ingin Hinata melabrak gadis-gadis di depannya tapi dia berpikir dua kali untuk tidak membuat keributan di kedai. Muak dengan obrolan mereka yang semakin berisik, Hinata berdeham kencang.

"Maaf mengganggu, tapi apa hanya ini pesanannya?" Dengan sekuat tenaga, Hinata berusaha bertanya senormal mungkin. Tapi tetap saja ada suara kekesalan yang berhasil lolos dalam kata-katanya.

"Ah, oh, sudah." Gadis yang ada di dekatnya menoleh kaget, seolah baru mengingat kehadiran Hinata di antara mereka, lalu bertanya pada yang lain. "Kalian mau pesan minuman?"

"Aku tambah es teh satu." Sahut yang saat ini sedang menggenggam handphone dengan foto Kageyama di layarnya. Disusul oleh minuman-minuman yang lain.

Hinata berjalan kembali ke kasir dengan muka memanas. Sugawara sampai harus menenangkannya berkali-kali sampai Hinata tenang. Para gadis itu terus berceloteh soal Kageyama sampai siang hari datang. Bahkan sampai Kageyama mulai membuka studionya. Sambil terus mengawasi gerak gerik Kageyama yang sedang bersiap di depan kiosnya, mereka berencana untuk mendekati Kageyama satu per satu. Bertaruh siapa yang berhasil mendapatkan si tattoo artist. Dan Hinata mendengar semuanya. Bahkan Asahi dan Ennoshita juga jadi ikut khawatir dengannya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Sugawara. Jemarinya yang putih langsing mengelus ujung kepala Hinata.

"Aku tidak apa-apa Sugawara-san." Jawabnya walapun dia sendiri tidak yakin dengan ucapannya sendiri.

"Ke dapur saja, bekerjalah di belakang. Tenangkan pikiranmu di sana. Ada cucian piring yang belum tersentuh. Di sini sepi, aku bisa mengatasinya sendiri."

Hinata mengangguk dan melakukan ada yang diperintahkan seniornya tanpa protes. Memang itu yang dia butuhkan. Dia butuh suasana sepi. Karena dia mulai muak mendengar suara-suara berisik yang ada di kedainya.

.

.

.

.

Hinata merapat ke tembok studio Kageyama. Dia mengintip ke dalam. Benar saja, salah satu dari gadis yang sebelumnya ada di kedainya sedang meminta di tattoo, yang membuat Hinata marah, karena tattoo itu ada di punggung, yang mau tidak mau membuat sang wanita harus melepas baju. Sang gadis sedang tidur telungkup. Tanpa atasan.

Hinata memilih tidak bersuara, tidak juga menunjukkan diri. Ia hanya diam sambil mendengarkan dari jauh.

"Sudah."

Terdengar suara derit dari ranjang tattoo Kageyama, gadis itu sedang bangkit dari telungkupnya.

"Bagus sekali!" Terdengar suara si gadis dengan nada manja, yang membuat kepala Hinata terasa mendidih.

"Syukurlah jika anda suka."

Hinata mengintip ke dalam. Sang gadis sedang memakai bajunya. Kageyama nampak cuek dengan memunggungi dan sibuk membersihkan coil mesinnya.

"Ehm..." Si gadis mendekat, hampir menempel," apa nanti aku boleh meminta tattoo lagi?"

"Tentu."

"Kalau begitu..." Gadis itu kini benar-benar menempel. Hinata ingin sekali menyeruak ke dalam. Tapi ia ingin tahu reaksi Kageyama. "Boleh minta nomormu? Jadi nanti aku bisa menghubungimu kalau ingin di tattoo lagi. Kau melayani permintaan ke rumah, bukan?"

"Ya." Jawab Kageyama pendek. "Nomornya ada di spanduk depan."

"Tapi aku ingin nomor pribadimu. Jadi…" terdengar jeda sesaat. "Kita bisa ngobrol pribadi kapan-kapan."

"Saya tidak punya yang seperti itu" Sahutnya bohong, "Nomor saya hanya satu. Dan sudah saya tunjukkan di spanduk itu."

"Oh…"Si gadis berpikir sejenak. "Kalau begitu, apa kau ada waktu hari ini?"

"Saya lelah." Kageyama berdiri mendadak dan mulai membereskan peralatannya. Si gadis tampak sedikit terkejut dan mundur, "Ini sudah malam, saya ingin segera pulang."

"Eh, tapi…."

"Anda juga pulanglah." Kageyama memotong cepat, "Bahaya bagi wanita secantik anda tetap berada di luar sampai malam begini."

Si gadis tampak salah tingkah sejenak saat Kageyama memujinya. Tapi begitu ia melihat Kageyama kembali berberes, ia langsung kebingungan. Bibirnya tampak ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada yang keluar. Setelah cukup lama kehabisan bahan pertanyaan, akhirnya si gadis menyerah.

"Baiklah kalau begitu, saya permisi." Jawabnya ketus. Lalu menaruh uang jasa Kageyama di meja.

Hinata segera kembali bersembunyi. Sang gadis pergi dengan berdecak berkali-kali. Hinata menunggu sedikit waktu sampai dia benar-benar menghilang. Si rambut tinta cina terlihat sedang kesal sambil menghitung uang si gadis saat Hinata melangkah masuk.

"Maaf, saya sudah tu-" Hinata agak terkejut saat disambut oleh omongan ketus Kageyama begitu dia masuk ke studio. Nampaknya Kageyama baru sadar siapa yang datang, "Ah, Hinata. Kupikir siapa."

Melihat perubahan pandangan Kageyama yang langsung melembut begitu melihatnya, membuat Hinata tersentuh, merasa disayang. Si tattoo artist menjejalkan uangnya begitu saja di dompet dan mendatangi Hinata. Sebuah kecupan super hangat mendarat di kepala senja.

"Ada apa dengan uangnya?" Muka Hinata bersemu merah. Jarang sekali Kageyama mencium keningnya dengan begitu intens. Biasanya hanya seringan kapas saja.

"Kurang. Aku membuatnya kesal dan dia membayar dengan kurang dan pergi begitu saja. Kupikir kau sudah pulang."

Hinata menggeleng, "Aku menunggumu."

"Menu-..." Kageyama terdiam sejenak, "Kalau begitu, kau lihat apa yang dilakukan gadis barusan?"

"Begitulah, mereka sudah merencanakan itu di kedai tadi siang."

"'Mereka'? Jadi tidak hanya gadis itu saja?"

Hinata mengangkat pundaknya.

"Berapa orang?"

"Lima atau enam. Entahlah."

"Maksudnya? Mereka bertaruh, begitu?"

Kageyama terdengar menggerutu emosi begitu Hinata mengiyakan. Keduanya duduk bersamaan di sofa. Mata blueberry memandang sejenak."Jadi itu penyebab raut wajahmu jelek begini?"

"Berisik!" Sahut Hinata ketus. Tanpa sadar dia menolehkan wajahnya ke arah kaca studio Kageyama, yang ternyata memang sedang jelek sekali. "Siapa yang tidak emosi kalau tahu pacarnya dijadikan taruhan seperti itu?"

"Tapi kau percaya padaku, bukan?"

"Aku percaya padamu." Hinata melirik sejenak, dan melanjutkan, "Tapi aku benci mereka."

"Baiklah. Asal kau percaya padaku, itu sudah cukup."

Keheningan mengambang di udara. Hinata menoleh memandang si surai hitam yang sedang menatap ke depan. Entah sedang melihat apa. Maskernya sudah turun sampai leher dan kini menampilkan wajahnya menawan. Mata itu mengawasi dengan tajam. Terlihat ada sisa emosi di sana. Tapi selebihnya hanya pandangan seriusnya yang biasa. Jauh berbeda dengan mata yang ia buat sebelum Hinata datang.

Dan pandangan seperti ini adalah pandangan yang paling disukai Hinata.

"Kau tampan." Hinata berkomentar jujur.

"Dan itu menyebalkan."

"Kau benar."

Ujung mata Hinata menoleh begitu dia melihat dua sosok gadis yang ada di ujung jalan. Mereka berjalan mendekat, sambil nampak bersiap-siap. Penampilan mereka lebih seksi dari pada saat di kedai. Kali ini mereka hanya memakai hotpans dan tanktop. Sepatu ber-heels super tinggi sampai Hinata rasanya ingin terantuk jatuh hanya dengan melihatnya saja. Mereka tidak bisa melihat ke dalam karena kaca yang gelap, jadi mereka tidak menyadari kehadiran Hinata. Tapi Hinata bisa melihat mereka dengan jelas. Alis Hinata menukik tajam dengan segera.

"Datang lagi, ya." Tanya Kageyama. "Dua orang sekaligus."

"Harusnya kita langsung pulang saja tadi."

"Tidak, ini kesempatan bagus."

"Eh?" Hinata melihat sekelebat gerakan saat Kageyama berdiri. Tahu-tahu dalam sekejap mata Kageyama melingkarkan tangannya ke pinggul Hinata.

Hinata merasa badannya melayang ke udara. Kageyama mengangkatnya dan mendudukkannya di meja. Dan tanpa menunggu lama, pemuda itu menciumnya. Tepat di bibir. Di saat yang bersamaan dengan sampainya kedua gadis itu di depan pintu.

Menyadari apa yang direncanakan Kageyama, Hinata segera menutup mata.

"Permi-"Terdengar suara dua orang gadis yang terpotong di udara.

Kageyama menoleh kencang seolah kaget dengan kehadiran mereka. "Ah maaf." Dia memandang Hinata lagi, dan mengecupnya sejenak sebelum kembali ke arah keduanya.

"Maaf, ada yang bisa saya bantu?"

Kedua gadis itu membeku. Entah membeku karena melihat wajah Kageyama yang dengan SANGAT sengaja tidak ditutup olehnya, atau kaget melihatnya berciuman dengan Hinata, atau keduanya. Yang jelas mereka pasti mengingat Hinata. Termasuk mengingat saat mereka merencanakan taruhan itu tepat di bawah hidungnya.

Hinata menyipitkan pandangannya dengan tajam ke arah mereka. Keduanya memasang wajah ngeri.

"Sebenarnya saya sudah mau tutup. Tapi saya rasa tidak apa-apa untuk sebuah tattoo sederhana." Kageyama membalik ke arahnya, "Kau mau menunggu lagi kan, sayang?"

Hinata yang sedikit tercekat dengan panggilan 'sayang' (selama ini Kageyama tidak pernah memanggilnya demikian) mengangguk dan berusaha menjawab sesinis mungkin. "Tentu."

Kedua gadis yang membeku itu melirik takut-takut ke arah Hinata dan menjawab dengan gugup.

"A-ah… tidak. Tidak jadi kalau begitu."

"Kenapa?"

"Ka-kami kira kau akan b-buka sampai malam," Gadis yang berambut pendek menyahut cepat, "jadi…. Sepertinya tidak cukup waktu… be-begitu."

"Oh, baik." Jawab Kageyama.

"Maaf- kami mengganggu."

"Tidak masalah."

"Baik. Ka-kami permisi."

Kedua gadis tersebut berlari pelan, seolah ingin menyingkir dari sana tapi terhalang oleh heels mereka yang tinggi. Kageyama menghela nafas lega. Hinata awalnya tertawa tertahan. Tapi selanjutnya lepas begitu saja begitu para gadis itu jauh.

Setelah kejadian itu, tak ada satupun dari mereka yang datang ke studio Kageyama. Bahkan mereka tidak pernah lagi terlihat di kedai Karasuno. Ia tahu suatu saat nanti pasti akan datang gadis-gadis dengan tujuan yang sama. Tapi mereka sudah punya cara menyelesaikannya saat ini. Dan Hinata tak pernah lebih puas daripada itu selama hidupnya.

.

.

The end.

Waw di sini Kageyama OOC sekali /tertawa.

*Tonkatsu : masakan Jepang yang terdiri atas irisan daging babi yang dilapis tepung panir dan digoreng dalam minyak yang banyak.

*Chanpon : Mi rebus khas kota Nagasaki. Bahan berupa daging babi, makanan laut yang sedang musim, kamaboko (itu loh daging yg dihaluskan trus dibentuk memanjang trus direbus dan ntar tinggal motong2), dan sayur-sayuran (kubis, tauge) ditumis dengan lemak babi.

*Kushiage : daging tusuk dengan sayur goreng.