HUNjustforHAN

Presents

.

.

.

.

.

SAFE WORD

.

1

.

.

.

.

.

Beauty is pain, but everything talks about beauty.

Mantra ajaib yang terlalu sinting.

Stiletto membuat kakiku sakit, tapi aku memakainya setiap hari. Ini adalah cara bagaimana wanita menambah kecantikan, berjalan di atas sebatang tulang sempit yang padat seolah betis yang membiru hanya sekadar gatal-gatal yang lekas sembuh. Kecantikan bukan lagi menjadi sebuah berkah, tapi sebuah standar gila yang membuat wanita era modern saling menerjang satu sama lain demi mencapai kata di atas layak.

Cover bagus lebih banyak dibeli daripada isi yang bermutu. Karena yang sering buta itu hati, bukan mata.

Aku melepas tali stiletto merah 12 centi dari kakiku ketika Jongin –si photographer tan seseksi coklat panas meleleh itu- melepaskan kamera dari lehernya. Dia tersenyum manis sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu dilakukannya setelah mendapatkan ratusan bahkan ribuan foto menarik dalam memori kameranya, dan kali ini aku adalah objek yang tersimpan di dalam memori kecil itu.

Kebanggaan tercurah di alis mataku karena senyum Jongin menampakkan kepuasan. Dia memang sosok murah senyum, tapi kedipan sebelah matanya menandakan dia benar-benar puas.

Kami berperang melawan pekerjaan sejak pukul 12 siang, kostumku sudah berganti sebanyak lima kali dan Jongin hanya mendapatkan segelas kopi dan sebatang rokok setiap istirahat. Tapi dia sangat ahli menyembunyikan rasa lelahnya. Lambungnya mungkin saja memberikan rasa perih, dan Jongin bisa menanganinya dengan baik; seperti pria yang layak dikencani. Aku mungkin akan berpikir mengencani Jongin kalau dia belum cinta mati sampai tidak sadarkan diri pada Park Kyungsoo, sahabatku.

Kyungsoo pernah menelponku dan mengatakan bahwa mereka akan bertunangan beberapa bulan ke depan, mungkin bulan Juli atau Agustus. Aku yakin Kyungsoo akan diperlakukan dengan cermat karena Jongin tipe laki-laki penyayang. Aku bisa berasumsi demikian karena Jongin punya tiga ekor anjing peliharaan di rumah, dan ketiganya terawat dengan begitu sehat. Itu hanya penggambaran mengenai sifat penyayangnya, bukan berarti aku mengatakan bahwa Kyungsoo akan dirawat seperti anjing peliharaan.

Alexa – si perempuan rambut blonde, managerku- datang dengan segelas iced Americano dan sepasang slipper yang langsung masuk ke kakiku. Ah! Batinku mendesah lega. Rasanya seperti surga. Urat-uratku rileks dan aliran darahku meluncur begitu senang.

Dengan tinggi 155 senti, Alexa terlihat begitu mungil. Aku suka melihatnya memakai dress alih-alih celana jeans, tapi Alexa lebih suka sebaliknya. Dia bilang lebih efisien memakai celana karena pekerjaan membuatnya harus melompat dari satu tangga ke tangga lain demi membawa perlengkapanku, kadang saling dorong dengan paparazzi dan beberapa fans yang anarkis juga.

Sudah beberapa kali aku menawarkannya seorang atau dua orang asisten, tapi Alexa sangat tidak percaya pada orang lain, dalam artian selama dia bisa melakukannya sendiri maka akan dilakukannya. Alexa paham kalau dirinya merupakan tipe yang mudah mengomel, dia lebih baik bekerja sendiri. Sesosok perempuan perfeksionis yang punya banyak sekali aturan.

Selebihnya, Alexa tidak pernah mengecewakan.

Gaun merah maroon membungkus dadaku ketat, tapi bawah gaunnya mekar seperti ekor merak hutan. Mekaran bunga di kepalaku juga tidak kalah beratnya. Seseorang membantuku mengangkat ekor gaun ketika kami menuju ruang ganti, sementara Alexa sibuk memeriksa jadwal di ponsel pintarnya yang berwarna emas pucat. Aku duduk di kursi, meletakkan iced Americano yang tinggal setengah ke meja rias lalu mengambil tisu, mengeringkan sisa embun dari gelas yang menempel di telapak tanganku.

Alexa berdiri di samping, menyandarkan tulang pinggulnya ke pinggiran meja. Kaca mata minus membingkai matanya yang bulat. Dia terlihat sangat profesional dan cerdik.

"Apa jadwalku besok?"

Aku bersandar pada punggung kursi ketika seseorang membantu melepaskan sekumpulan bunga yang tertanam di kulit kepalaku. Oh, para hairstylist itu pasti senang membangun sebuah kebun bunga di kepala para model, menganggapnya seperti sekapling tanah kosong yang bisa dijadikan lahan bercocok tanam.

"Pemotretan edisi bulan April majalah Vogue pukul delapan pagi. Lalu tanda tangan kontrak iklan lipstick setelah makan siang. Dan…"

"Dan?" Aku melirik curiga pada Alexa, lucu melihat gadis itu berusaha menyipitkan mata bulatnya yang besar.

"Dan selamat! Kau punya free time dua hari. God bless you, Luhan! Aku akan pergi ke spa."

Seperti baru saja dikejutkan dengan alat pacu jantung, aku nyaris melompat dari kursi. Untung saja aku sempat ingat pada bunga yang masih tertanam di kepalaku.

"Maksudmu aku free selama dua hari? Tolong jangan katakan ini April Mop! Sekarang masih tanggal 20 Maret. Ya Tuhan, akhirnya."

Alexa tersenyum sama cerianya denganku. Setelah dua bulan non-stop tunggang langgang dari satu kota ke kota lain, dari satu lensa ke lensa lain, akhirnya kami bisa meletakkan pantat ke kasur dengan nyaman, dan buang air besar dengan nyaman pula di toilet.

"Istirahat yang cukup. Tapi jangan sampai aku menemukan pipi dan matamu sembab karena terlalu banyak tidur."

"Kau bisa mempercayaiku." Aku tersenyum.

Ini saatnya menonton televisi sambil menghitung berapa banyak angka nol yang tercetak di rekeningku dan apa yang sekiranya akan kulakukan untuk menikmatinya, menikmati hasil dari penderitaan yang kudapatkan setiap kali me-waxing seluruh bulu di tubuhku. Aku pikir membeli beberapa kotak coklat tanpa sepengetahuan Alexa adalah ide brilian. Aku suka makan.

"Ada apa dengan otak kecil itu? Lupakan pikiran tentang berkotak-kotak coklat yang akan kau beli diam-diam. Aku akan tetap mengontrol makananmu, baby girl, karena kau cukup keras kepala dan licik untuk mengelabuiku."

Aku menampilkan muka kecut dan kesal, sepenuhnya menyerah pada insting perempuan London ini. Dia lebih kuat daripada besi. Dia bisa membaca pikiranku dengan mudah hanya melalui bulu mataku. Terkadang Alexa diselimuti aura mistis. Aku tidak akan mengatakan padanya tentang itu karena Alexa tidak akan segan-segan memukul keningku lagi seperti terakhir kali aku bertanya apakah dia memiliki kekuatan supranatural atau sejenisnya.

Hell! London terlalu berisik untuk para penyihir.

"Free day tanpa coklat itu sama dengan satu juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan koma sembilan dikali nol. Itu terdengar sangat curang." Argumenku masih berlanjut, menuntut kemerdekaannya sendiri.

"Kalori. Masalah terbesar bagi para top model adalah kalori, tidak terkecuali kau. Meski harus kuakui berat badanmu selalu stabil seberapa banyakpun kau makan. Tapi tetap saja, Luhan, tidak untuk coklat, tidak untuk dua hari ke depan."

"Kenapa? Apa dua hari ke depan adalah hari kebangkitan coklat internasional sehingga aku akan dikenakan hukum pidana jika memakannya? Tolong masuk akal sedikit, mrs. Johnson."

Alexa mendengus, tidak setuju setiap kali aku memanggil nama belakangnya. Dia punya beberapa alasan untuk membenci ayahnya. Mirip sepertiku, yang membenci ayahku karena dia menikah dengan perempuan lain. Kami punya filosofi keluarga yang tidak mengenakkan.

Merogoh sesuatu dari dalam tas ungu mudanya lalu mengeluarkan kertas silver tebal dengan tali biru yang anggun, Alexa memberikannya padaku.

Itu sebuah undangan.

Sekilas pandang, kueja dalam hati tulisan 'Shapire Entertainment' yang meliuk-liuk begitu terampil di bagian depan, berwarna biru seperti tali dan namanya. Shapire. Agensi tempatku dan puluhan top model London lain bernaung.

"Pesta penyambutan?" Keningku berkerut, tidak menutup-nutupi lagi rasa bingung.

"Mrs. Gloria resmi mengambil cuti melahirkan besok. Tidak ada yang tau apakah dia akan kembali dengan cepat ataupun tidak sama sekali. Ini kehamilan pertamanya sejak delapan tahun menikah. Aku mengerti kenapa dia mengambil masa cuti begitu panjang. Lagipula, suaminya kepala divisi ahli bedah syaraf di Rumah Sakit besar. Materi tidak akan menjadi masalah bagi orang-orang seperti mereka."

Sejujurnya, aku tidak penasaran dengan itu. Maksudku, well, aku turut berbahagia atas kehamilannya, tapi ada sesuatu yang lain tiba-tiba mengusikku.

"Jadi yang mengisi kursinya?"

Pertanyaan itu terlempar dari mulutku begitu saja. Mrs. Gloria adalah atasan terbaik yang pernah kumiliki. Aku tidak pernah berpikir bisa menemukan atasan yang memberikan keputusan penuh di tangan modelnya untuk mengambil pekerjaan apapun yang mereka inginkan, bukan hanya masalah uang dan ketenaran.

Dalam visualku, Mrs. Gloria seperti payung tempat berteduh. Itu membuatku bertanya-tanya tentang siapa yang akan menggantikan posisinya. Apa seseorang yang lebih baik ataukah sebaliknya. Kenapa ini tiba-tiba membuatku gugup?

"Adik laki-lakinya."

Aku tersadar dari lamunanku ketika suara Alexa berdengung.

"Stevalen Oh. Kau pernah dengar?"

Aku menggeleng pelan, ragu apakah aku pernah mendengarnya atau tidak, tapi tidak memungkiri bahwa nama itu terdengar familiar. Mungkin aku pernah mendengarnya sesekali. Dalam serial Disney atau serial tv lainnya yang kutonton saat libur, aku tidak yakin. Aku seseorang yang payah mengingat nama.

"Nama Korea-nya Oh Sehun. CEO Shapire Enterprise Holding Inc."

Alexa melanjutkan penjelasannya. Saat aku tidak menunjukkan reaksi apapun, bola mata Alexa berputar.

"Demi Tuhan! Kau bekerja sebagai model di salah satu cabang perusahaannya dan kau tidak kenal CEO Oh? Itu sebuah penghinaan yang teramat dan terlalu kejam. Kau pantas didenda untuk itu."

Si dramatis Alexa mulai keluar. Seharusnya dia mencoba peruntungan di ruang audisi.

"Dia- maksudku Oh Sehun itu, adik laki-laki Mrs. Gloria? Berarti di bawah 35?"

"29. Tapi secara keseluruhan, dia 27. Masih tampan, bugar, dan seksi. Dan…" Alexa berkedip genit. "Single." Katanya riang yang membuat hidungku mengkerut.

Bagaimana bisa pria 29 tahun tiba-tiba menjadi 27 hanya karena dia single?

Aku tidak peduli, by the way. Dari namanya aku sudah bisa membayangkan berapa banyak wanita yang menjadi ice cream vanilla di ranjangnya.

"Jadi pesta konyol ini miliknya? Milik orang itu?" Celaku sambil melempar undangan itu ke meja, disamping cup iced Americano yang mulai basah. Kulirik sekilas wanita yang sedang melepas hair clip di rambutku lewat cermin, berharap dia tidak mengadu pada siapapun tentang seberapa kurang ajarnya mulut seorang Luhan Wu –sial, aku juga tidak menyukai nama belakangku. Dan sepertinya dia mengerti apa yang kuinginkan. Berharap saja ekspresi di wajahnya tidak menipu.

"Gaun-mu kukirimkan sehari sebelum pesta."

"Aku tidak bilang akan pergi."

"Kau harus. Setidaknya sapa dia dan tunjukkan dagu lancipmu itu padanya. Setelah itu, kau bisa pergi men-cat kuku. Dan aku tidak akan menemanimu. Kau tau, kencan."

"Berhenti bertingkah seperti gadis kasmaran 17 tahun sebelum aku memasukkan penggaris ke matamu. Kumohon sadarlah dan ingat umur. Kencan bukan lagi bahasa yang pas untuk kalian berdua kalau dari awal sampai akhir kau hanya akan berada di ranjang hot mister-mu itu dan merengek menginginkannya bergerak lebih cepat dari yang bisa dia lakukan." Alexa mengkerutkan hidungnya dan itu membuatku terhibur, sejenak.

"Terkadang, dia cukup hebat, kok."

Giliran bola mataku yang berputar, mengabaikan sepenuhnya Alexa dan segala pembelaannya terhadap laki-laki yang dikencaninya. Apa semua pasangan kencan memang begitu? Aku tidak tau. Pengalamanku sangat minim.

"Apa seluruh Shapire ladies diundang?" Potongku cepat, merasa benar-benar terusik entah karena apa.

Mengangkat rendah kedua bahunya, "Sepertinya begitu," jawaban Alexa mengecewakan. Dia tau hal seperti ini selalu ingin kuhindari.

"Jangan kirimkan gaun apapun. Aku tidak akan datang selama ular betina itu ada disana."

.

.

.

Aku mengenal Park Chanyeol saat berada di tingkat dua Junior High School. Kyungsoo adalah adik perempuannya, sahabat karibku. Kami sering bertemu sekilas setiap kali aku berkunjung ke rumah Kyungsoo untuk mengerjakan tugas sekolah ataupun hanya untuk lari dari rumah. Chanyeol terkenal di kalangan siswa perempuan. Aku tau, karena kami berbagi area sekolah yang sama meskipun dia di tingkat Senior High School.

Park Chanyeol punya tekat yang kuat. Suatu hari pada bulan Maret, dari lantai dua, aku dan Kyungsoo mendengarnya beradu argumen dengan orangtuanya tentang masa depan. Tuan dan Nyonya Park ingin Chanyeol menjadi seorang pilot, seperti ayahnya, tapi laki-laki itu berterus terang bahwa dia ingin menjadi seorang Model. Chanyeol tidak suka mengemudi, dia suka berjalan di atas catwalk.

Jalan keluar yang kudengar dari perdebatan dua jam mereka adalah Chanyeol boleh menjadi model asalkan dia tetap menyelesaikan kuliah dan mendapat gelar sarjana. Seperti tidak punya pilihan lain, laki-laki itu menyetujuinya dan memilih jurusan seni sebagai teman hidupnya kurang lebih lima tahun ke depan. Sebulan kemudian aku mendapat kabar bahwa Chanyeol sudah terbang ke Amerika, spesifiknya New York.

Aku masih rutin berkunjung ke rumah Kyungsoo. Nyonya Park sering memasakkan kami ayam dan ikan dan bermacam-macam sayuran segar. Beberapa kali aku membantunya di dapur meskipun hanya mengiris tomat.

Nyonya Park sangat senang bercerita. Dari situ pula aku mendapat kabar bahwa Chanyeol mengambil beberapa job pemotretan di sela jadwal kuliahnya. Tekatnya untuk menjadi model tidak main-main. Bahkan Nyonya Park menunjukkan sebuah majalah terkenal di New York yang mencetak foto Chanyeol dan seorang model perempuan seksi pada sebuah halaman di majalah tersebut. Sepertinya dia memang berhasil.

Lima tahun kemudian Chanyeol pulang, semakin tinggi dan tampan, dengan anting hitam di sebelah telinganya dan snapback yang keren. Kulitnya menjadi sedikit gelap, sementara lensa kontak abu-abu di bola matanya membuat Chanyeol lebih Amerika.

Aku penasaran apakah dia membuat beberapa tattoo di balik baju kaus hitamnya. Tapi kuharap tidak. Chanyeol sudah berada di atas kata seksi dengan otot lengannya, dan satu-satunya yang kuharapkan adalah dia tidak merusak kulitnya dengan tattoo.

Aku mengintipnya diam-diam dari balik buku soal persiapan ujian akhir, kemudian segera menciutkan kepalaku ketika dia menemukanku.

"Kau Luhan?"

Buku terlepas dari jariku seketika, antara kaget dan gugup, itu malah membuat Chanyeol geli dan duduk di hadapanku. Oh, kuharap Kyungsoo segera datang membawa teh hijau yang sedang diseduhnya di dapur.

"Kau sudah tumbuh dewasa. Terakhir kali aku melihatmu, ponimu setengah kening." Tawa renyahnya membuktikan bahwa Chanyeol hanya bercanda, jadi aku menarik sedikit ujung bibirku untuk menghargainya. "Berapa tinggimu?"

Ragu-ragu, aku bergumam "170" Itu ukuran terakhir yang kulakukan enam bulan lalu. Tidak yakin apakah panjang kakiku masih sama. Entah kenapa Chanyeol memilih pertanyaan tidak penting itu dari sekian banyak pertanyaan yang bisa ditanyakan. Kenapa dia tidak bertanya ukuran bra-ku saja? Sialan!

Kepala Chanyeol bergerak-gerak kecil, aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Sulit menebak otak seorang sarjana seni.

"Sudah berpikir mengerjakan sesuatu setelah lulus? Aku tau otakmu lebih berisi daripada Kyungsoo."

Kyungsoo akan melemparnya dengan pisau kalau dia tau saudara laki-lakinya sedang meremehkan kemampuan otaknya.

Pertanyaan itu, terdengar sederhana tapi kenapa sulit sekali mencairkan jawaban di bibirku. Kemudian kuputuskan memberinya jawaban lewat kendikan bahu. "Entahlah. Aku bingung."

"Kuliah atau…"

"Aku hanya ingin segera lulus." Jawabku singkat seperti memberi sebuah penalti.

"Belum punya tujuan?"

Pembicaraan ini mulai tidak menarik, jadi aku mengabaikannya dan fokus lagi pada soal ujian. Ini mungkin tidak sopan, tapi aku malas menjawab pertanyaan tentang masa depan.

Tentu saja aku mau kuliah. Tapi keinginanku keluar dari rumah lebih besar. Otakku mulai disibukkan tentang bekerja lalu menghasilkan uang dan hidup sendiri di sebuah kamar kos sempit dan murah. Aku tidak harus memberitahu Chanyeol masalah keluargaku.

Soal ujian di hadapanku tiba-tiba melayang, sedetik kemudian aku mendapatkannya berada di jepitan jari Chanyeol.

"Mau ikut denganku ke London?"

.

.

.

Aku mengambil keputusan terbesar dalam hidupku saat umur 17. Seminggu setelah ujian nasional, tanpa memberitahu siapapun yang ada di rumah dan menggunakan tabungan yang kusimpan selama tiga tahun, aku pergi ke London bersama Chanyeol.

Saat itu aku benar-benar hanya seorang anak remaja perempuan yang terlalu membenci rumah. Di kepalaku hanya berisi pergi tanpa tau benar apa yang akan kulakukan selanjutnya, apa yang akan kumakan dan dimana aku bisa tidur. Chanyeol bilang dia punya teman yang memiliki koneksi di sebuah agensi model besar di London, dan entah bagaimana caranya dia mendapatkan satu kursi kosong untukku.

Menjadi model sama sekali bukan tujuan hidupku, tapi aku melakukannya atas tuntutan hidup dan keinginan tidak menyulitkan Chanyeol lebih banyak. Kami bisa berbagi biaya sewa apartemen, meskipun Chanyeol menolaknya mentah-mentah dan hanya memintaku membuatkannya secangkir kopi setiap pagi.

Kalau dipikir-pikir, waktu itu aku sangat gegabah. Memikirkannya membuatku merinding. Bagaimana bisa seorang gadis 17 tahun kabur bersama seorang pria ke London dan tinggal di satu apartemen?

Tapi itulah yang terjadi. Resiko besar melahirkan hasil yang tidak kalah besar pula.

Butuh lima tahun bagiku sampai di tingkat ini. Butuh tiga kali operasi pada pergelangan kaki untuk menguatkan betis dan namaku berjalan di atas catwalk tanpa terpeleset. Semuanya tidak didapatkan secara instan. Aku tidak akan mengeluh tentang berapa banyak jurang berapi yang kulompati dan berapa kali hampir terjatuh ke dalamnya.

Kami mulai hidup terpisah sejak dua tahun lalu, ketika uang di rekeningku cukup untuk menyewa sebilik apartemen di Westminster - yang harganya secara mengejutkan sangat terjangkau- dan ketika aku lebih awal menyadari perhatian Chanyeol lebih dari sekadar kata wajar.

Dia menyukaiku. Aku mengetahuinya ketika Tommy –teman Chanyeol- mengatakan kebenaran itu saat dia mabuk. Dan aku tidak pernah berpikir bahwa kami bisa tinggal satu apartemen lagi dengan kenyataan seperti itu, dengan kenyataan bahwa Chanyeol adalah laki-laki yang paling aku hormati dan dia menaruh perasaan istimewa untukku. Aku mencoba menghargainya saat dia menciumku, dan aku memilih menghindar daripada Chanyeol berharap sesuatu yang lebih.

Aku tidak bisa dengannya. Aku tidak bisa berhubungan seksual dengan seseorang yang kusanjung seperti sebuah doa.

Meskipun bisa menjauh, tapi aku tetap tidak bisa menghindar dari Park Chanyeol. Dia adalah tangga yang membantuku menapak. Dan sepertinya dia mengerti alasan kenapa kami harus hidup dalam apartemen terpisah. Chanyeol tidak pernah menyinggungnya, dia berusaha dengan baik untuk menjadi Park Chanyeol yang dulu. Kami harus tau batas masing-masing.

.

.

.

Ponselku berbunyi ketika aku menatap gaun perak di dalam kotak yang Alexa kirimkan kemarin, lengkap dengan perhiasaan dan juga stilettonya. Uh, aku benci ini. Dua hari bebasku terpotong dengan sebuah pesta penyambutan super sialan yang sama sekali tidak penting. Aku masih berada di ambang ragu untuk mengenakan gaun itu atau malah masuk kembali dalam selimut.

Aku hanya butuh tidur setelah Alexa menyita seluruh kotak coklat dari kulkas enam jam yang lalu.

"Kau juga akan membujukku pergi ke pesta sialan itu?" aku menyerangnya, sedetik setelah panggilan itu kuterima.

Laki-laki di seberang tertawa dengan suara serak, sementara aku duduk menghadap cermin, menatap diriku sendiri dalam balutan bathrobe dan sedang menunjukkan ekspresi bingung yang begitu bodoh.

"Kujemput setengah jam lagi."

"Aku bilang aku tidak akan pergi. Kenapa orang-orang di sekitarku mendadak tuli dan tidak berperasaan?"

"Segelas greentea bisa meredakanmu?"

"Tidak! Jangan coba-coba. Aku tidak akan keluar dari bathrobe-ku. Kau tidak akan menjemput siapapun malam ini, Park Chanyeol."

"Bagus. Aku senang meletakkan gadis dengan bathrobe ke pundakku dan mengajaknya berdansa di tengah pesta. Serius Luhan, aku sama sekali tidak takut menggendongmu keluar hanya dengan bathrobe."

"Damn Park Chanyeol!"

"See you, baby girl."

Aku meremas kulit kepalaku begitu Chanyeol memutuskan sambungan telepon. Kenapa semua orang ingin menjebakku masuk ke pesta itu dalam kondisi perut lapar seperti ini. Oh, seharusnya ada coklat yang bisa kukunyah kalau saja aku menyembunyikan coklat itu di bawah tempat tidur, bukannya di kulkas dan terjaring oleh Alexa.

.

.

.

"Apa kalian berdua sekongkol?" tuduhku langsung pada Chanyeol yang baru saja meletakkan pantatnya di belakang stir. Rambutnya berwarna coklat gelap, seperti madu, disisir rapi ke atas dan melemahkanku.

"Sekongkol apanya?"

"Kau, dan Alexa. Membuatku terdampar dalam pesta konyol ini, memberi peluang aku bertemu dengan ular betina itu."

Chanyeol tersenyum kecut, mulai bermain pada pedal gas. "Pertama, aku tidak sekongkol dengan Alexa. Kedua, aku tidak akan memberi komentar tentang ular betina. Ketiga, si pemilik pesta ini adalah temanku, jadi kau wajib datang."

Jidat Chanyeol adalah jidat laki-laki paling sempurna yang pernah aku temui di muka bumi sampai detik ini. Tapi itu tidak cukup untuk menarikku terlempar di atas kasurnya dan berhubungan badan.

Bulu leherku merinding. Apa yang baru saja aku pikirkan!

Cepat-cepat aku melenyapkan pikiran kotor itu dari benakku.

"Itu temanmu. Kenapa aku harus?"

"Dia yang memberimu kursi kosong."

"Kursi apanya? Kursi pantai untuk aku berjemur saat musim panas? Atau kursi roda yang akan mengangkutku ke toilet saat aku malas berjalan?"

"Kursi kosongmu beberapa tahun lalu, Luhan. Kau tidak mendapatkannya hanya karena beruntung."

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Chanyeol yang terdengar seperti puisi perjuangan. Dan ketika aku berhasil mengolah informasinya dalam kepala kecilku, mataku melotot.

"Dia-"

"Ya, dia orangnya. Oh Sehun. Jadi, kencangkan ikatan gaun di lehermu sekarang."

Aku tidak tau apa hubungan ini dengan semuanya, tapi aku benar-benar mengencangkan ikatan tali di belakang leherku.

.

.

.

Chanyeol mengerang begitu mendapati kursi kami tidak berada di meja yang sama. Dia selalu begitu, selalu protektif. Terkadang itu membuatku nyaman dan terkadang pula membuatku risih.

Halsey duduk di sampingku dengan gaun merah bata yang seksi. Rambut orange-nya berselisih dengan matanya yang sehijau zamrud. Pertama kali bertemu perempuan Rusia ini, kupikir dia memakai lensa kontak hijau zamrud itu setiap hari, tapi ternyata itu mata asli yang dimilikinya sejak lahir. Hal itu membuatku terkagum-kagum.

Lima belas menit berlalu dan hanya diisi dengan omongan tidak penting MC berkepala botak di atas panggung membuatku bosan. Ini yang tidak kusukai dari pesta. Saat tidak ada yang benar-benar menghibur, aku harus mati-matian menahan mulutku agar tidak menguap. Kuharap MC botak itu menyempatkan diri masuk kelas humor agar bisa bertahan pada pekerjaannya. Atau dia akan menjadi terapi tidur yang baik bagi para penderita insomnia dengan lawakan garingnya yang berantakan.

Masih mencoba menikmati acara konyol ini, aku terselamatkan dengan kedatangan pelayan yang meletakkan makanan dan minuman di meja. Mataku melirik dengan riang. Ada potongan cheesecake, cake coklat, salad, cherry, anggur, air mineral, orange juice dan wine.

Oh, terimakasih. Mungkin ini akan mengurangi rasa menyesalku datang ke pesta penyambutan tuan Oh yang terhormat itu dalam keadaan merana karena lapar.

Aku mengambil sepiring cheesecake sebagai pembuka, memasukkan sesuap yang luar biasa lezat ke dalam mulutku. Lalu tanpa sadar suapan-suapan berikutnya menyusul. Ketika aku selesai dengan sepiring cheesecake yang membuat roh-ku melayang, tatatapan-tatapan ngeri itu berdatangan.

Makan adalah hal manusiawi, tapi merupakan hal paling mengerikan dan berdosa di kalangan model. Sial! Mereka memperhatikanku seperti aku baru saja mengunyah seekor tikus hidup-hidup.

Sejujurnya itu sangat mengganggu, tapi sayangnya, perutku terlalu lapar untuk peduli. Mendapatkan dua tegukan air mineral di tenggorokanku, aku melanjutkan lagi dengan sepiring cake coklat. Sekelilingku menjadi horor dalam sekejab. Damn! Save your eyes! Aku hanya makan, bukan merampok! Dan yang terpenting, aku harus mengisi ulang energiku sebagai persiapan untuk bertemu Tuan Oh yang terhormat dan mulia itu.

"Kau punya nafsu makan yang menakjubkan." Halsey akhirnya berkomentar. Dia hanya mengisi lambungnya dengan orange juice. Aku tau dia punya keingingan untuk mengisi perutnya sama sepertiku, sayangnya dia tidak punya keberanian mempercayai metabolisme tubuhnya sendiri.

"Aku lapar. MC itu terus mengucapkan sesuatu yang disebutnya humor padahal sama sekali tidak layak ditertawakan. Daripada aku melemparnya dengan stiletto, lebih baik aku makan. Kau punya pendapat lain?"

Dia mengulum senyum, mengangguk ringan sehingga anting berliannya ikut bergoyang.

"Sebenarnya aku sedang berusaha menahan agar gelasku tidak terbang ke kepalanya." Halsey hampir saja membuatku tersedak, puas pada kenyataan bahwa kami punya pemikiran yang sama konyol. "Aku senang melihatmu makan. Kau seperti manusia yang benar-benar manusia." Dia berkomentar lagi dengan segala kejujurannya. Itu membuat dadaku mengembang.

"Terimakasih. Senang ada seseorang yang mengerti bahwa makan adalah hal paling manusiawi."

"Dan sepertinya bukan hanya aku yang senang melihatmu makan."

"Maaf?"

Perkataannya membuatku bingung, tapi segera hilang ketika tepuk tangan meriah dari seluruh gedung merenggut kami masuk kembali ke dalam formalitas pesta. Aku melepaskan sendok agar bisa menyumbang tepuk tangan tanpa benar-benar tau kenapa aku harus melakukannya. Setelah selesai, aku meraih gelas orange juice-ku.

"Dia memang layak menjadi fantasi liar seluruh Shapire ladies."

Aku melirik pada Halsey, memintanya memberikan penjelasan lebih lanjut dari arti senyum menahan hasrat yang menempel di bibirnya. "Siapa?"

Dagunya bergerak ke depan. "Bos baru kita yang seksi. Stevalen Oh."

Kepalaku bergerak mengikuti pandangannya.

GOSH!

Seketika seluruh rambutku rasanya akan rontok. Aku menemukan laki-laki itu, seorang jantan yang membuatku secara otomatis mengencangkan ikatan tali di balik leherku. Dia sedang berada disana, berdiri di belakang podium, berbicara dengan tatapan matanya yang misterius. Setelan dan rambut hitamnya sangat mencolok di atas kulitnya yang putih. Alam bawah sadarku tiba-tiba melonjak dan setuju pada pendapat individualnya tentang betapa muda dan segar laki-laki ini, secara keseluruhan membuatku bergairah.

Astaga, sialan! Apa yang baru saja aku pikirkan?

Cepat-cepat aku menarik mataku darinya, memasukkan satu bulatan penuh anggur ke dalam mulutku dan mulai mengunyah. Aku harus mendinginkan diri.

Entah berapa lama dia mengambil waktu untuk bicara, sebelum tepuk tangan kembali memberiku petunjuk bahwa dia sudah selesai dan pesta penyambutan ini resmi dimulai.

Oh Sehun seperti gula yang jatuh dari sendok. Ketika dia turun dari panggung kecil itu, para shapire ladies yang cantik jelita sudah menunggu di bawah untuk menghampirinya. Halsey menepuk pundakku, bertanya apakah aku ingin bergabung menjadi segerombolan semut betina itu atau tidak.

Dan aku menggelengkan kepala. Terimakasih. Coklat di hadapanku terlihat lebih menjanjikan.

Dia meninggalkanku, dengan semangat membara-bara di balik mata zamrud-nya.

"Gaun perak itu terlalu sensual di tubuhmu, dan kau terlalu pemalas untuk menyadarinya."

Suara berat dan serak. Chanyeol duduk di kursi yang Halsey tinggalkan. Tanpa menoleh pun aku tau itu dia.

"Kau tidak pergi menyapanya? Dia temanmu kan?"

"Maksudmu aku harus berada di tengah sekumpulan perempuan-perempuan ganas disana dan merelakan kakiku diinjak oleh tumit stiletto mereka yang kejam? Oh, tidak. Terimakasih banyak."

Aku mengeluarkan seulas senyuman. Chanyeol ternyata datang dengan segelas wine di tangannya. Laki-laki memang tidak butuh orange juice.

"Jadi, apa kita bisa pulang sekarang?" Kali ini buah Cherry yang masuk ke dalam mulutku.

"Belum. Seperti rencana awal, kita akan menyapanya terlebih dahulu."

"Katamu kau tidak mau kakimu terinjak stiletto."

"Memang. Maka dari itu kita menemuinya di belakang, bukan disini."

Mukaku mengeluarkan raut tidak berminat yang sangat kentara. Sejujurnya, aku tidak ingin bertemu laki-laki bermarga Oh itu secara langsung. Entah kenapa dia membuatku takut, tatapan matanya seperti akan mempengaruhiku dalam sekejab. Dia laki-laki berbahaya, itu hipotesis awalku.

Chanyeol menghabiskan wine-nya dua puluh menit kemudian. Aku sudah cukup kenyang. Sekitar sepuluh Cherry dan lima belas anggur siap memberiku energi. Lalu ketika Chanyeol meraih tanganku, itu tandanya kami harus pergi.

.

.

.

"Apa harus di ruang privat seperti ini?"

Aku mengeluarkan pertanyaanku begitu Chanyeol menuntunku duduk pada sebuah kursi kayu hitam. Lagi-lagi mataku dihadapkan pada makanan yang beraneka ragam, mereka berbinar-binar seperti lupa bahwa aku baru saja mengatakan kenyang sepuluh menit lalu.

"Ini jauh lebih baik daripada di luar." Jawabnya, mengambil kursi di sampingku. "Kita akan sulit bicara ketika perempuan-perempuan disana sibuk mengejarnya."

"Apa dia memang selayak itu?"

Chanyeol menoleh padaku dengan ketidakpercayaan menguasai ekspresinya, seolah dia baru saja bertanya 'hey, kau masih waras kan?' dan aku ingin menonjok pipinya untuk memberitahu bahwa aku sudah gila!

Tapi sedetik kemudian, Chanyeol tersenyum begitu cemerlang. "Senang mendengarnya." Katanya membuatku bingung.

"Kenapa?"

"Dengar, Luhan. Banyak laki-laki baik yang sangat –terlalu- layak untukmu di dunia ini, tapi Sehun bukan salah satu kandidatnya. Dia memang tampan, kaya dan brilian. Tapi dia laki-laki yang rumit. Perempuan butuh otak dan hati khusus untuk mendampingi laki-laki yang rumit. Itu tampak sulit dicerna."

Rumit seperti apa?

Aku ingin bertanya seperti itu pada Chanyeol, tapi lidahku terlanjur menekuk.

"Kupikir kau temannya." Itulah yang keluar dari mulutku. Luhan Wu yang sering memanipulasi kalimatnya sendiri.

"Memang. Karena itu aku memperingatkanmu dari awal."

"Apa aku mengatakan aku tertarik padanya?"

"Sedetik lalu aku pikir, iya."

"I'll kiss you if I 'do'."

Chanyeol mendengus. "Kau membuatku terhimpit di antara dua lapisan neraka. Di satu sisi aku tidak menginginkanmu bersamanya, disisi lain aku menginginkanmu menciumku. Wartawan itu benar, otakmu cerdas."

Sudut bibirku bergerak ke atas, membentuk sebuah senyum yang tidak sepenuhnya jadi. Hal ini masih terasa canggung meski kami menganggapnya sebuah lelucon.

Aku baru saja akan bertanya apakah aku boleh minum atau tidak ketika derit pintu mengejutkanku. Otomatis, tulang belakangku tegak.

"Apa aku membuat kalian menunggu?"

Oh my! Dia datang!

Laki-laki rumit yang baru saja kami bahas menunjukkan batang hidungnya yang mancung.

Ini pertama kali aku mendengar suaranya langsung, tanpa pengeras suara, dan dia berbicara dari balik bibirnya yang tipis. Suaranya berat, tapi lebih bersih dibanding Chanyeol. Aku berdiri, tanpa sungkan mengamati visualnya dan bertaruh seratus ribu dolar untuk rahangnya yang tegas. Dia bisa menggigit banteng dengan rahang sekuat itu.

Mereka menyapa dengan saling membenturkan kepalan tangan masing-masing, seperti remaja nakal yang baru saja lulus sekolah. Dia bertanya pada Chanyeol kenapa tidak lagi mengunjunginya (ke New York) sejak sembilan bulan terakhir, dan Chanyeol membalasnya dengan lelucon bahwa dia baru saja melahirkan dan masih dalam masa pemulihan.

Aku menahan senyumku, mereka terlihat bahagia dan muda.

Lalu tiba-tiba matanya menabrakku, rambut hitamnya dan tatapan misteriusnya sedang mencoba mempengaruhiku. Oh Tuhan, dia mantra sihir yang harus kutangkis atau aku akan tenggelam selamanya di garis tangannya.

"Jadi, ini yang namanya Luhan." Dia tidak bertanya, tapi membenarkan tebakannya. Kata 'ini' yang dia gunakan sedikit menusukku, seperti aku adalah barang paketan yang baru saja datang ke pintu rumahnya dan membuat dia penasaran. Tangannya terulur padaku, dalam hati aku berdoa agar tanganku tetap kering. "Oh Sehun."

Aku menyambutnya. "Luhan. Wu Luhan. Nice to meet you, Mr. Oh" Segera menarik tanganku sebelum mereka berkeringat dan membuatku malu.

"Nice to meet you, Mrs. Wu. Chanyeol banyak bercerita tentang perempuan bernama Luhan. Dan dia benar tentang satu hal. Kau cantik."

Aku tidak tau harus memberikan penghargaan apa atas pujiannya. Mungkin menamparnya dengan pantatku bolak-balik. Dia terlihat berbakat dan pemain yang handal. Aku ingin memutar bola mataku tapi masih terhalang sopan santun untuk tidak melakukannya.

Faktanya, dia bos-ku. Menguasai agensi tempatku bekerja dan perusahaan-perusahaan lain yang tidak kuketaui berapa banyak jumlahnya. Aku hanya harus pura-pura tersanjung sebelum memuntahkan semuanya ke wastafel.

"Oh Sehun?" Belum sempat aku membalas ucapan Bos Oh-ku itu, Chanyeol tiba-tiba berbunyi dengan kedua alis menekuk. "Kau mengenalkan diri dengan nama aslimu?"

"Itu namaku, aku bebas menggunakannya."

"Well, kau benar. Hanya saja sedikit di luar kebiasaan."

"Aku seseorang yang sangat terbuka pada inovasi."

Chanyeol mengendikkan bahu tidak peduli, sementara aku bergelung pada kebingunganku mengenai apa yang mereka bicarakan. Oh Sehun memang punya dua nama, tidak ada yang salah dari laki-laki timur yang memiliki dua nama di luar ketimurannya. Aku juga sempat ingin mengubah namaku, tapi Luhan adalah nama yang ibuku berikan. Sementara marga Wu, tidak semudah itu berganti marga.

"Silahkan duduk."

Aku mengelus kain di bawah pantatku untuk memastikan gaunku tidak kusut. Dia terlihat santai namun setelannya membuat Oh Sehun tampak begitu formal.

Sup jagung kental tersaji di hadapanku dalam mangkuk putih, aku menghirup aromanya diam-diam dan begitu terpikat. Jika tidak sedang bersama Bos Oh-ku yang brilian ini, mungkin mangkuk itu sudah berada di mulutku.

Aku memanipulasi suapanku menjadi seperempat sendok dan memakannya seperti ogah-ogahan agar image top model yang kusandang terjaga di depan Oh Sehun. Aku tidak ingin terlihat aneh di depannya hanya karena nafsu makan yang ajaib.

"Cream soup-nya tidak sesuai seleramu?"

Aku meliriknya di balik bulu mata palsuku yang tebal, dia masih terukir begitu dominan. Satu hal yang baru kusadari, dasinya tidak lagi terpasang, itu memberi kesempatan mataku yang genit mengintip dada bidang di balik krah kemeja hitamnya yang terbuka. Dia pasti suka berolahraga.

Astaga! Aku merutuki diriku sendiri dan pikiran bodoh itu.

"Tidak. Ini sangat lezat." Elakku memasukkan satu suap lagi.

"Kenapa aku melihat seperti kau enggan memasukkannya ke mulutmu?"

"Aku menjaga lipstick-ku. Mungkin itu bukan alasan logis bagi laki-laki, tapi bagi perempuan itu sangat masuk akal."

"Tapi aku suka melihatmu mengunyah."

Kedua alisku menekuk, membentuk lembah dalam di tengah. "Kupikir ini adalah pertemuan dan makan malam pertama kita."

"Masing-masing sepiring cheesecake dan chocolate cake, anggur dan cherry, air mineral dan orange juice. Kau terlihat gembira dengan semuanya."

Sialan! Ternyata dia juga memperhatikan Luhan-yang-lapar-sedang-makan di pesta tadi. Aku pasti terlihat begitu rakus, seperti monyet liar mendapatkan setandan pisang. Salah satu rongga hatinya pasti sedang menertawakanku. Otak kecilnya bahkan menghapal apa-apa saja yang kumakan.

Apa dia tidak punya pekerjaan lain untuk dilakukan?

"Aku manusia. Aku makan saat lapar." Ini mungkin terdengar sarkastik, tapi sialan, aku tidak mau tau lagi pendapatnya.

"Yang kutau model profesional tidak semudah itu membiarkan kalori menguasai seluruh dinding mulutnya. Apa aku salah?"

"Tidak peduli berapa banyak kalori yang masuk ke lambungmu, selama jarum masih menunjuk angka 55, kau selamat. Apa anda keberatan?"

Uh, aku mulai panas ketika dia menyinggung ketidakprofesionalan hanya dari porsi makan.

"Aku suka prinsipmu."

Damn! Kenapa dia menyudahi debat pendapat yang baru saja akan dimulai?

Aku menyendok cream soup dalam porsi sedikit lebih banyak ketika ponsel Chanyeol menginterupsi dari dalam saku celananya. Dia menerima banyak tawaran iklan akhir-akhir ini. Salah satu favoritku adalah foto iklan gel rambut dimana mereka mengekspose jidat sempurna milik Chanyeol tanpa ampun. Aku menyimpan foto itu di galeri ponselku dan tidak akan pernah memberitahu Chanyeol bahwa aku mengaguminya.

Biar kuperjelas, kagum dan suka itu beda definisi.

"Aku permisi." Dia bergegas menuju pintu di samping kiri, membukanya dan keluar, menyisakan aku bersama Bos Oh-ku yang tampan dan suka berkomentar.

Aku mengaduk cream soup yang mulai dingin dengan gerakan memutar, tidak ingin melihat Bos Oh-ku, tidak ingin tau apa yang sedang dia lakukan untuk memperbaiki ataukah memperburuk kondisi canggung ini. Aku juga tidak ingin memulai sebuah pembicaraan terlebih dulu.

"Kau dan Chanyeol…"

Dia mengejutkanku lagi dengan suara beratnya, ketika aku mendongak, Oh Sehun terlihat dingin. Apa yang terjadi dengan laki-laki ini? Darimana dia mendapatkan kekuatan seorang dominan sekuat itu? Tatapannya begitu primitif, seperti sedang melilitkan sebuah tali kapal ke leherku lalu mengencangkannya.

Aku tidak ingin kalah, hanya saja mulutku kehilangan fungsi. Jadi yang kulakukan hanya menunggunya menyelesaikan kalimat. Tapi segera setelah kalimatnya terselesaikan, kusebut itu sebagai penyesalan.

"Kalian berhubungan seks?"

.

.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

.

.

A/N:

Katakan 'Selamat Datang' untuk Fanfic Baru…

Yeay!

Well, apa kalian merasa tertipu karena covernya? Karena sesungguhnya ini gak se-erotic imajinasi kalian. Aku sengaja bikin fanfic ini sedikit bertele-tele, jadi silahkan menyumpahiku dengan sesuatu yang romantis. Kekeke

Kalau tidak ada halangan, chapter 2 akan dipublish minggu depan. Yeay!

Mohon dukungannya untuk fanfic ini ya ^^

AI LOP YU :* :* :*