Disclaimer :

Ilana Tan

Character :

Chanyeol

Baekhyun


In a Blue Moon


Bab Satu

"AKU sudah menemukan tunanganmu!"

Alis Park Chanyeol terangkat tinggi mendengar kata-kata kakeknya yang diucapkan dengan suara penuh semangat itu. Sebelah tangannya terangkat memegang ponsel yang tadi terjepit di antara telinga dan bahu sehingga kepalanya bisa ditegakkan kembali. "Tunggu sebentar, Pop," katanya singkat.

Ia menurunkan ponsel dari telinga dan memberi isyarat kepada salah seorang sous chef-nya, menyuruhnya mengambil alih pekerjaan. Setelah itu Chanyeol berjalan keluar dari dapur restorannya yang sibuk namun teratur ke arah ruang kerja pribadinya. Beberapa saat kemudian ia sudah duduk di balik meja kerjanya yang belum sempat dirapikannya selama beberapa hari. Ia menempelkan ponsel kembali ke telinga dan berkata,

"Nah, apa katamu tadi?"

"Aku sudah menemukan tunanganmu!" ulang kakeknya dengan suara yang lebih bersemangat lagi.

"Ada dua masalah di sini," kata Chanyeol sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan mengacungkan dua jari, walaupun kakeknya tidak bisa melihat.

"Satu, aku tidak tahu dia menghilang. Dua, aku bahkan tidak tahu aku sudah punya tunangan."

"Ya, kau sudah punya tunangan. Aku hanya tidak pernah memberitahumu selama ini," kata kakeknya dengan nada sambil lalu.

Chanyeol memejamkan mata dan mendesah. "Pop, kau ada dimana sekarang? Bukankah kau berencana menghadiri pernikahan temanmu malam ini?"

"Pernikahan cucu temanku," koreksi kakeknya. "Dan tunanganmu ada di sini. Makanya cepatlah kemari."

"Apakah semua ini gara-gara Miranda?"

"Siapa?"

"Miranda Young. Tinggi, cantik, rambut merah, mata hijau. Kau mengenalnya. Aku baru saja memperkenalkan kalian kemarin."

Miranda adalah model cantik yang juga adalah teman dekat Chanyeol. Wanita itu teman yang menyenangkan, selalu bersedia mendampingi Chanyeol ke acara apa pun yang harus dihadiri Chanyeol. Tentu saja Chanyeol menyadari salah satu alas an Miranda bersedia melakukannya karena ia juga ingin memperluas koneksi.

Chanyeol adalah koki kepala di Ramses, salah satu restoran paling terkenal di New York, jadi ia mengenal orang-orang yang mungkin bisa membantu Miranda dalam bidang pekerjaannya. Hubungan mereka dekat, namun hanya sebatas teman. Setidaknya bagi Chanyeol, dan setidaknya untuk sementara ini. Selama ini Chanyeol tidak pernah memperkenalkan wanita-wanita yang dekat dengannya kepada keluarganya. Ia sebenarnya juga tidak bermaksud memperkenalkan Miranda kepada kakeknya. Tetapi kemarin Miranda datang menemuinya di Ramses ketika kakeknya juga ada di sini, jadi Chanyeol terpaksa memperkenalkan mereka berdua. "Oh, dia," kata kakeknya di ujung sana.

"Ya, dia."

"Memangnya ada apa dengannya?"

"Apakah alasan kau tiba-tiba memutuskan bahwa aku sudah punya tunangan adalah karena Miranda?"

"Tentu saja bukan," bantah kakeknya. "Apakah kau serius dengannya?"

Chanyeol tersenyum kecil. "Entahlah. Mungkin aku berniat menikahinya," guraunya.

"Well, urungkan niatmu karena kau sudah punya tunangan," kata kakeknya. "Dan cepatlah kemari, Chanyeol. Aku butuh tumpangan pulang ke rumah. Apakah kau tega melihat kakekmu yang sudah renta ini naik taksi atau kereta bawah tanah di New York sendirian?"

Gordon Park memang sudah berumur 75 tahun, tetapi sama sekali tidak renta. Ia masih sangat sehat, sangat aktif, sangat mandiri, dan Chanyeol tahu benar otak kakeknya masih sangat tajam.

"Bukankah kau berangkat bersama salah seorang temanmu tadi sore? Apakah dia tidak bisa mengantarmu pulang?"

"Aku tidak ingin merepotkannya. Kau cucuku, jadi aku berhak merepotkanmu." Chanyeol tertawa.

"Entahlah, Pop," katanya, masih pura-pura enggan. "Ramses ramai sekali malam ini."

"Lalu kenapa?" balas kakeknya.

"Ramses memang selalu ramai. Aku yakin Sehun bisa menangani semuanya dengan sangat baik."

Saat itu laki-laki yang disebut-sebut kakeknya muncul di ambang pintu ruang kerja Chanyeol yang terbuka. Oh Sehun yang bertubuh ramping, berkulit pucat, dan berambut pirang ikal adalah manajer Ramses.

"Ya, Sehun memang bisa diandalkan," Chanyeol membenarkan, membuat Sehun mengangkat alis mendengar namanya disebut-sebut.

"Baiklah, kau menang. Berikan alamatnya kepadaku." Setelah menutup telepon, ia mengangkat wajah menatap Sehun. "Ada apa?"

Sehun melangkah masuk dan tersenyum lebar. "Kuharap itu tadi salah seorang teman Miranda yang ingin berkenalan denganku."

"Sayang sekali, Sobat. Itu tadi kakekku," sahut Chanyeol.

"Aduh." Sehun meringis.

"Jadi ada apa?" tanya Chanyeol lagi.

Sehun menggerakkan ibu jarinya ke arah dapur. "Ellie lagilagi bertingkah. Sebaiknya kau menenangkannya. Kalau tidak, tamu-tamu kita akan terlambat mendapat hidangan penutup." Chanyeol berdiri dan mulai melepaskan celemek biru gelap yang melilit pinggangnya. "Sepertinya kau yang harus menghadapinya hari ini, Sehun. Aku harus menemui kakekku."

"Ada masalah?" tanya Sehun.

"Tidak, tidak." Chanyeol mengibaskan sebelah tangan. "Aku hanya berharap dia tidak menimbulkan masalah. Kalau tidak, dia akan mendapati dirinya terbang kembali ke Chicago lebih awal daripada yang direncanakannya."


In a Blue Moon


Satu jam kemudian, Chanyeol sudah tiba di tempat resepsi pernikahan. Sepertinya penjaga pintu sudah diberitahu tentang kedatangannya, karena ia langsung diizinkan masuk setelah menyebutkan namanya. Ruang pesta itu didekorasi dengan indah, didominasi warna cokelat, putih, dan emas. Tampaknya acara makan malam sudah selesai, karena sebagian tamu sedang berdansa diiringi alunan lagu lembut dari orchestra sementara tamu-tamu lain saling mengobrol dan menikmati sampanye yang diedarkan oleh para pelayan berseragam hitam putih.

Seorang pelayan menyodorkan senampan sampanye ke arahnya. Chanyeol menatap gelas-gelas sampanye yang berkilau itu dengan tatapan menyesal, lalu tersenyum dan menggelengkan kepala kepada si pelayan. Ia harus mengemudi malam ini, jadi tidak boleh minum, walaupun saat ini ia mungkin membutuhkan kekuatan yang bisa diberikan minuman itu. Chanyeol mendesah dan memandang ke sekeliling ruangan.

Melihat penampilan para tamu yang hadir di sana saat itu, Chanyeol merasa pakaiannya terlalu sederhana. Walaupun ia mengenakan jas berpotongan bagus dan kemeja yang rapi, pakaiannya terlihat lebih cocok dipakai untuk menghadiri acara semiformal di siang hari. Apa boleh buat. Ia tidak mungkin pulang ke apartemennya untuk bertukar pakaian lebih dulu sebelum datang ke sini, bukan? Lagi pula, ia hanya datang ke sini untuk menjemput kakeknya.

Omong-omong tentang kakeknya...

Matanya segera menemukan orang yang dicarinya. Gordon Park sedang duduk mengobrol dengan seseorang di seberang ruangan. Chanyeol pun segera berjalan dengan langkah lebar dan pasti ke arah kakeknya.

"Hai, Pop," sapanya setelah ia berhenti di samping kursi kakeknya.

"Oh, Chanyeol. Kau sudah datang," seru kakeknya sambil tersenyum lebar. "Ini, perkenalkan ini temanku, Thomas Byun. Dan Thomas, ini cucuku, Chanyeol."

Chanyeol mengalihkan perhatiannya kepada pria tua bertubuh kurus dan berambut putih tipis yang duduk di samping kakeknya. "Halo, Sir. Senang berkenalan dengan Anda," sapanya sopan. "Maafkan pakaianku yang kurang pantas ini."

"Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Tidak perlu mencemaskan pakaian. Aku tahu kakekmu yang memaksamu datang ke sini," kata Thomas Byun dengan suaranya yang rendah dan serak. "Duduklah, Nak. Kakekmu sudah sering menyeritakanmu.

Thomas Byun bertubuh kecil, rapuh, dan bersuara halus. Walaupun terlihat tua dan rapuh, tangannya yang keriput menjabat tangan Chanyeol dengan tegas.

"Kuharap Anda mendengar cerita-cerita yang baik," gumam Chanyeol dan menempati kursi di samping kakeknya. Mata biru pucat Thomas Byun berkilat-kilat ketika ia tersenyum. "Jangan khawatir. Kakekmu sangat bangga padamu."

"Nah, di mana cucumu yang manis itu, Thomas?" sela

kakek Chanyeol tanpa basa-basi. "Aku ingin memperkenalkan mereka berdua."

Oh, demi Tuhan, erang Chanyeol dalam hati. Beri aku kekuatan. Chanyeol sudah berusaha menjaga raut wajahnya tetap datar,tetapi sepertinya Thomas Byun bisa menebak apa yang dipikirkannya,karena teman kakeknya itu melirik Chanyeol sekilas,tersenyum kecil, dan kembali menatap kakek Chanyeol.

"Kau masih saja blak-blakan seperti dulu, Gordon."

"Memangnya kenapa?" balas Gordon. "Sejak dulu aku memang sudah ingin menikahkan anak-anak kita. Aku agak kecewa ketika anak-anak kita berdua ternyata laki-laki. Kau tidak bisa membayangkan betapa gembiranya aku ketika aku tahu kau punya cucu perempuan. Nah, apa lagi yang kita tunggu?"

Seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawarkan senampan air mineral. Chanyeol pun menyambar segelas, walaupun sebenarnya ia membutuhkan minuman yang jauh lebih keras saat ini.

"Ah, itu dia Baekhyun-mu, Thomas," kata kakeknya. "Panggil dia kemari."

Chanyeol meneguk air putihnya dan berdoa sekali lagi dalam hati. Beri aku kekuatan. Tetapi setidaknya cucu Thomas Byun memiliki nama yang bagus. Nama yang sebenarnya membangkitkan kenangan yang tidak ingin diingat Chanyeol saat ini.

"Hai, Gramps, Mr. Park. Kalian bersenang-senang?" Suara bernada riang dan feminin itu membuat Chanyeol mengangkat wajah. Dan tertegun. Gadis yang berdiri di antara kursi kakek Chanyeol dan Thomas Byun itu berwajah Asia. Rambutnya yang hitam memiliki potongan bob yang feminin dan tubuhnya yang kecil terbalut gaun malam berwarna merah marun. Chanyeol tidak bisa melihat warna matanya dari tempat ia duduk, namun ia tahu warna mata gadis itu cokelat tua. Ia yakin warna mata itu cokelat tua, karena...

"Baekhyun, aku ingin memperkenalkanmu dengan cucuku, Chanyeol." Suara Gordon Park membuyarkan lamunannya, dan Chanyeol segera berdiri dari kursi. "Chanyeol, ini Byun Baekhyun." Mata Chanyeol tidak pernah dialihkan dari wajah gadis itu. Itulah sebabnya ia bisa melihat dengan jelas perubahan di wajah Byun Baekhyun. Ketika gadis itu menoleh ke arahnya, senyum yang tadinya tersungging di bibirnya perlahan-lahan memudar. Mata cokelatnya yang tadi bersinar ramah pun perlahan-lahan berubah datar dan dingin.

"Byun Baekhyun," gumam Chanyeol sambil mengulurkan tangan, "sudah lama tidak bertemu."

"Tunggu. Kalian sudah saling kenal?" tanya kakek Chanyeol dengan nada kaget dan heran. "Kami dulu teman satu sekolah," sahut Chanyeol. Tangannya masih tetap terulur dan tidak dijabat.

Byun Baekhyun melirik tangan Chanyeol yang terulur, lalu kembali menatap wajah Chanyeol. Chanyeol tahu gadis itu mengertakkan gigi, melihat betapa kakunya wajah gadis itu. Setelah menunggu beberapa detik, Byun Baekhyun akhirnya menjabat tangan Chanyeol dengan cepat dan berkata, "Kami hanya bersekolah di SMA yang sama. Tidak bisa dibilang berteman."

"Astaga. Coba lihat ini, Thomas. Kita berusaha memperkenalkan mereka berdua, tetapi ternyata mereka sudah saling kenal. Bukankah ini kejutan yang menyenangkan?" lanjut Gordon Park sambil tertawa gembira. Sepertinya ia tidak mendengar kata-kata Byun Baekhyun yang terakhir. Atau ia sengaja mengabaikannya.

"Duduklah, Baekhyun. Duduklah."

Byun Baekhyun tidak langsung duduk. Ia menatap kakek Chanyeol dengan ragu, lalu menoleh ke arah kakeknya sendiri. Chanyeol melihat Thomas Byun menepuk kursi kosong di sampingnya dengan pelan, dan Byun Baekhyun pun duduk.

Setelah gadis itu duduk, Chanyeol baru duduk kembali. Kakek Chanyeol mulai berbicara, tetapi Chanyeol tidak terlalu mendengarkan. Pikirannya dipenuhi satu pertanyaan: Apakah Byun Baekhyun masih membencinya?

"Jadi, Chanyeol yang bertanggung jawab mengurus Ramses di New York, sementara ayahnya mengurus Ramses di Chicago," jelas Gordon Park dengan nada bangga. "Oh, Ramses?" kata kakek Baekhyun. "Kita juga pernah mencoba memesan meja di sana, bukan, Baekhyun? Tapi tidak berhasil." Baekhyun memaksakan seulas senyum kecil untuk berbasa-basi.

Mereka memang pernah ingin memesan meja di Ramses, tetapi itu sebelum Baekhyun tahu siapa kokinya. Sekarang setelah ia tahu? Ha! Ia tidak sudi pergi ke sana lagi. "Benarkah? Aku minta maaf," ujar Park Chanyeol. "Beritahu aku kapan kalian ingin datang, dan akan kupastikan kalian mendapat meja."

Baekhyun ingin mendengus, tetapi ia menahan diri. Sebagai gantinya ia menyesap anggur merahnya dan memandang ke sekeliling ruangan. Di mana Jongdae ketika aku membutuhkan dirinya?

Saat itu seorang pelayan menghampiri meja mereka dan menawarkan potongan-potongan kue pengantin. "Omong-omong, Chanyeol, kau belum mencicipi kue pengantinnya, bukan?" lanjut Gordon Park. "Kuenya enak sekali. Baekhyun yang membuatnya. Dia membuka toko kue di... Dimana, Thomas? Apakah di Madison Avenue?" Kakek Baekhyun membenarkan. "Kalian benar. Kue ini benar-benar enak." Baekhyun menoleh dan mendapati Park Chanyeol menatapnya sambil tersenyum kecil. "Aku ingat dari dulu kue buatanmu memang enak."

Tiba-tiba saja kekesalan Baekhyun memuncak. Cengkeramannya di gelas anggurnya semakin kencang. Ia yakin apabila ditambah sedikit tekanan lagi, gelas itu pasti hancur berkeping- keping. Ia sama sekali tidak suka melihat Park Chanyeol duduk di sana dan berbicara kepadanya seolah-olah mereka adalah teman lama. Mereka bukan teman. Mereka tidak pernah berteman. Mereka...

Tepat pada saat itu seseorang menyentuh pundak Baekhyundan sentuhan yang tidak asing itu dengan cepat meredakan ketegangannya. Ia mendongak dan tersenyum.

"Halo, Adik Kecil," kata Jongdae Byun ketika Baekhyun mendongak menatapnya.

"Ah, ini cucuku, Jongdae," kata kakek Baekhyun. Jongdae menyunggingkan senyumnya yang menawan sambil berjabat tangan dengan Park Chanyeol dan kakeknya. "Selamat atas pernikahanmu," kata Park Chanyeol ketika ia menjabat tangan Jongdae.

"Oh, pengantin prianya bukan aku, melainkan kakakku, Joonmyun. Dan kau Park Chanyeol dari Ramses? Senang bertemu denganmu," balas Jongdae ramah. "Kuharap kalian tidak keberatan aku menculik Baekhyun sebentar. Dia sudah berjanji akan berdansa denganku malam ini."

"Ke mana saja kau dari tadi?" gerutu Baekhyun ketika mereka sudah bergabung bersama pasangan-pasangan lain di lantai dansa. "Kau tidak tahu pipiku nyaris retak karena harus memaksa diri tersenyum terus."

Jongdae memutar Baekhyun dan mereka pun mulai berayun mengikuti irama musik dengan mudah. "Aku melihatmu," sahutnya tenang. "Karena itulah aku datang menyelamatkanmu sebelum kau menyemburkan api—atau minumanmu—ke wajah Park Chanyeol." Baekhyun meringis.

"Apa yang sudah dilakukan Park Chanyeol sampai kau terlihat seolah-olah ingin mencakarnya? Kau bukan jenis orang yang membenci seseorang pada pertemuan pertama."

Baekhyun tahu ia tidak bisa membohongi kakak-kakaknya, tetapi itu tidak berarti ia harus menceritakan segalanya saat ini juga. Jadi ia memilih versi yang jauh lebih singkat dan sederhana. "Kami dulu bersekolah di SMA yang sama. Dia pernah menggangguku, dan karena itulah aku tidak menyukainya."

Jongdae menatap Baekhyun dengan mata disipitkan, seolah-olah berusaha membaca pikiran Baekhyun yang sebenarnya. Lalu wajahnya mendadak berubah serius. "Apakah dia orang yang dulu mengganggumu karena kau anak adopsi? Orang yang membuatmu menangis setiap hari setiap kali kau pulang dari sekolah?"

"Oh, sst! Pelankan suaramu," sela Baekhyun sambil melotot.

"Kejadian itu sepuluh tahun yang lalu. Dan aku tidak menangis setiap hari."

"Aku tidak peduli itu kejadian hari ini, kemarin, atau sepuluh tahun yang lalu.

"Kalau ada orang yang berani membuat adikku menangis, dia harus menanggung akibatnya."

Jongdae yang periang dan santai kini berubah menjadi Jongdae yang serius dan protektif, yang tanpa ragu akan menghajar siapa pun yang berani mengganggu adiknya. Baekhyun menempelkan kedua telapak tangannya ke bahu Jongdae, untuk menenangkannya sekaligus menahannya. "Dengar, aku baik-baik saja. Aku bisa mengurus masalah ini sendiri. Lagi pula, apakah kau benar-benar ingin menghajarnya di tengah-tengah pesta pernikahan Joonmyun?"

"Jongdae ingin menghajar siapa di pesta pernikahanku?" Baekhyun dan Jongdae serentak menoleh ke arah kakak sulung mereka yang mendadak sudah berdiri di samping mereka.

"Tidak ada," Baekhyun menjawab dengan cepat. Ia kembali menatap Jongdae dan berkata penuh tekanan, "Kita baik-baik saja, bukan, Jongdae?" Jongdae kembali menyipitkan mata menatap Baekhyun. "Ya, kita baik-baik saja. Untuk sementara ini," desahnya. Lalu dengan suara yang lebih pelan, ia menambahkan, "Tapi jangan berpikir aku akan melupakan masalah ini, Adik Kecil." Joonmyun meraih tangan Baekhyun yang ada dalam genggaman Jongdae dan memutar Baekhyun ke hadapannya. "Berdansalah denganku, Baekhyun. Kau tahu aku lebih jago berdansa daripada Jongdae." Baekhyun tertawa dan membiarkan dirinya ditarik ke arah kakak sulungnya.

"Oh, baiklah," desah Jongdae sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dan mengerdip ke arah Baekhyun.

"Kalau begitu aku akan berdansa dengan istrimu yang kauabaikan, Joonmyun." Sepeninggal Jongdae, Joonmyun menunduk menatap Baekhyun sambil tersenyum. "Jadi apa yang kalian bicarakan tadi, Adik Kecil?"

"Tidak ada yang penting," balas Baekhyun sambil tertawa.

Joonmyun dan Jongdae masing-masing berusia delapan danenam tahun lebih tua daripada Baekhyun. Apabila melihat dari penampilan luar, semua orang pasti tahu bahwa Baekhyun bukan saudara kandung mereka berdua. Joonmyun dan Jongdae bertubuh jangkung, berambut cokelat terang, dan bermata biru cerah. Tetapi, walaupun mereka bukan kakak-kakak kandung Baekhyun, mereka selalu memperlakukan Baekhyun seperti adik kandung mereka sendiri.

Ketika orangtua mereka meninggal dunia dalam kecelakaan lalu lintas, Baekhyun yang masih duduk di bangku SMA pun pindah dari Chicago ke New York untuk tinggal bersama kakek dan neneknya. Saat itu Joonmyun baru mulai bekerja di perusahaan iklan New York dan Jongdae masih menjalani kuliah kedokterannya di Pennsylvania, namun mereka berdua memastikan Baekhyun melanjutkan sekolah dan kuliahnya di New York. Mereka jugalah yang pada akhirnya membantu mewujudkan impian Baekhyun membuka toko kue.

"Apakah kau bahagia?" tanya Baekhyun kepada Joonmyun sementara mereka berdansa dengan ringan. Almarhum orangtua mereka dulu suka berdansa, dan kesukaan itu sepertinya menurun kepada anak-anak mereka.

"Melihat adikku bahagia membuatku bahagia," balas Joonmyun. Lalu ia menambahkan dengan nada yang lebih serius,

"Dengar, Baekhyun, aku ingin kau tahu bahwa pernikahanku ini tidak mengubah apa-apa. Kau tetap orang terpenting bagiku.

Kau mengerti?"

"Oh, Joonmyun," desah Baekhyun sambil tersenyum sayang. "Kau beruntung Yixing eonni wanita yang baik." Tidak semua wanita bersedia menerima kenyataan bahwa dirinya bukan wanita paling penting bagi suaminya.

"Ya, dia memang wanita yang baik," Joonmyun membenarkan.

"Tapi aku bersungguh-sungguh, Baekhyun. Tidak ada yang berubah. Apa pun yang kau butuhkan..."

"Kau akan menggerakkan langit dan bumi untuk mewujudkannya," sela Baekhyun. "Aku tahu, Joonmyun. Karena itu aku sangat menyayangimu. Tapi hari ini adalah hari pernikahanmu, jadi sebaiknya kau memikirkan dirimu sendiri dan bersenang- senang. Jangan cemaskan aku."

"Sebagai kakak, aku memang bertugas mencemaskanmu."

"Biarkan Jongdae yang mencemaskanku untuk sementara ini," lanjut Baekhyun. "Aku yakin dia bisa melakukan tugas itu dengan sangat baik. Setelah kau kembali dari bulan madumu, kau boleh kembali mencemaskanku. Oke?" Joonmyun terlihat ragu.

"Joonmyun, nikmati pesta pernikahanmu," Baekhyun menegaskan sekali lagi.

Akhirnya Joonmyun mengembuskan napas dan tersenyum. "Baiklah, Adik Kecil. Baiklah."


Haii ~~

Terima Kasih sudah membaca

Cerita ini adalah In a Blue Moon - Ilana Tan, bagi kalian penggemar novel romance pasti gak asing kan sama nama ini, saya disini hanya me-remake ke ver Chanbaek

Review Juseyo...