Genre: Fantasy, Horror, Sci- Fi, Friendship, Romance, Mature-Seinen.
Summary: Tahap awal kiamat dunia sudah dimulai. Virus atau senjata bakteriologis bermutasi menjangkiti manusia dan membuat mereka berakhir menjadi seorang zombie. Naruto memang tidak ingin mati, dan selain itu dia juga tidak ingin memiliki ketidak jelasan seperti ini.
oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
Tahap awal kiamat dunia sudah dimulai. Virus atau senjata bakteriologis bermutasi menjangkiti manusia dan membuat mereka berakhir menjadi seorang zombie.
Virus ini diketahui berawal dari benua Afrika, merangkak semakin menyebar ke benua Amerika, dan terus menyebar sampai tepat pada malam Natal tiba infeksi pertama tampaknya dikonfirmasi sudah memasuki Jepang.
Berawal dari sebuah bandara, infeksi ini terus menyebar mengakibatkan kepanikan dan kerusuhan terjadi dimana-mana.
"Apa yang kau lakukan?"
Aku menghentikan kegiatanku memasang tanda SOS diatap supermarket. Menoleh kesamping kananku, aku menemukan seorang gadis muda berambut merah darah menatapku sambil memeluk tubuhnya.
"Aku sedang membuat tanda SOS."
"Kita tidak membutuhkannya! Ise-kun berjanji padaku bahwa dia akan kembali untuk membawa bala bantuan! Kita tidak perlu membuat tanda SOS yang akan memancing siapapun diluarsana datang kesini dan tentunya akan membebani persediaan makanan kami!"
Nadanya terdengar bercampur dengan kemarahan, dan nampaknya dia sangat menolak gagasanku membuat tanda SOS ini.
Berbicara tentang Ise-kun, dia adalah remaja yang bernama Hyoudou Issei, dan dia adalah kekasih gadis merah itu.
Selain itu, remaja bernama Issei itu juga adalah pemimpin dari kelompok siswa sekolah SMA yang berhasil bertahan. Akupun berhutang budi dengannya karena dia memimpin penyelamatan untuk menyelamatkanku dari gerombolan zombie yang bersiap menjadikanku kawanan dari mereka.
Untuk itu, selagi dia dan beberapa temannya menembus beberapa kawanan zombie untuk mendapatkan bantuan, aku harus melindungi kekasihnya. Aku tidak akan membiarkan gadis merah itu mati, gadis itu harus hidup untuk kembali berkumpul dengan kekasihnya.
"Ah, maaf. Aku terlalu ceroboh sehingga tidak memikirkan itu!"
Aku tidak ingin berdebat, segera aku kembali melepas tanda SOS itu.
Gadis itu menganggukan kepalanya sebelum mencondongkan tubuhnya dipagar besi untuk melihat keadaan dibawah sana.
Aku mengikutinya, berdiri disampingnya dan meluruskan pandanganku menatap para zombie yang berjalan linlung didepan supermarket.
"Apa kau tidak takut, ummm,,,"
"Namaku Nero Windstrom, panggil saja aku Naruto!"
Nero Windstrom adalah nama baratku, sedangkan nama Asia/Jepangku Namikaze Naruto. Aku adalah seorang pria blasteran Amerika/Jepang berusia 28 tahun, pendidikanku S1 dan memiliki pekerjaan sebagai akuntansi disebuah perusahaan tersohor dikota ini.
"Naruto? Apa kau bercanda?"
Gadis itu menoleh, terkekeh anggun menertawakan panggilanku yang aku tahu itu bermakna sebuah hiasan Ramen yang menjadi favoritku.
"Aku tahu nama itu terdengar konyol, tapi Ibu Jepangku memilih nama itu karena memiliki makna sebuah pusaran! Maaf saja, Naruto bukan hiasan Ramen yang kau siratkan itu!"
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud seperti itu!"
Dia sekilas membungkukan tubuhnya dan berakhir menatapku dengan sinar mata penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, kau bukan orang pertama yang memiliki pemikiran seperti itu!"
Selesai mengatakan itu aku menyunggingkan senyum ramah, memberi isyarat bahwa aku memang memakluminya.
Gadis itu mengangguk setelah itu dia membalas senyumanku.
"Ngomong-ngomong, Namaku Rias Gremory, panggil saja aku Rias!"
o
Line break-o
o
Saat ini aku sedang duduk sendirian di sofa yang menghadap langsung kekaca jendela.
Seminggu telah berlalu setelah hari perkenalan itu, aku dan Rias sesekali ngobrol untuk mendekatkan diri. Kami hanya berdua disini, untuk itulah kami harus mencoba untuk berteman.
Hari-hari sebelumnya dia selalu menghindariku, apalagi ketika malam telah tiba, dia akan menjauhkan dirinya dengan segala cara untuk tidak bisa terlihat oleh kedua mataku.
Aku tahu dan mengerti tentang ketakutannya itu, dia memiliki kehawatiran sendiri jika pria dewasa sepertiku akan memperkosanya. Namun setelah hari perkenalan itu kewaspadaannya semakin melemah, dia selalu menempel padaku dan hampir setiap waktu dia selalu mendekatiku untuk sekedar membunuh waktu mengajakku mengobrol.
Tingkahnya yang selalu tiba-tiba mendatangiku berhasil mendatangkan kiamat kecil untukku. Dua malam yang lalu, Rias secara kebetulan mendapatiku sedang masturbasi diruang pribadiku.
Jeritannya cukup kencang, tubuh gadis itu perlahan mundur dengan tubuh yang gemetar, dan setelah itu dia berbalik pergi menutup diri disebuah ruangan staf supermarket yang ada dilantai tiga.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tertangkap basah dan tentu saja aku tidak memiliki alasan untuk menyangkal perbuatan tidak senonoh itu. Aku sadar sebagai pria dewasa, aku tidak bisa menahan kebutuhanku untuk menyalurkan libidoku, dan alasan aku memilih masturbasi adalah karena aku masih memiliki etiket untuk tidak memperkosa Rias.
Oh, kekasihku yang ada diluar sana,,, Apakah kau selamat? Aku hanya bisa berharap kau akan baik-baik saja diluarsana!
Pernah terpikir olehku untuk menjemputnya, namun situasi dan kondisi tentang para zombie yang mengepung tempat ini dari segala arah membuatku urung melakukannya. Bukannya aku takut mati, aku hanya tidak ingin mati mengenaskan dimangsa oleh mereka.
Aku menghela nafas kasar. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengisi waktu membosankan ini. Biasanya kitai berdua selalu mengobrol tentang diri kita masing-masing, pengalaman masa lalu dan beberapa omong kosong tak penting tapi sanggup mengocok perut kita untuk tertawa.
Sudah tiga hari aku bergelung dengan suasana sepi ini. Rias nampaknya cukup nyaman ditempat pribadinya sendiri, dia kembali kedirinya dulu yang penuh kewaspadaan.
Setelah melihatku memainkan barangku sendiri, apakah kehawatirannya diperkosa olehku sudah kembali? Kemungkinan besar memang begitu.
"Apakah ada makanan yang tersisa, Naruto-san?"
Aku tersadar, menoleh dan menemukan Rias sudah terduduk disampingku.
Mengingat tentang makanan, aku jadi mengingat tentang kepergian Issei dan teman-temannya. Mereka sudah pergi dari sebulan yang lalu, dan menurut perhitungan itu berarti makanan yang dia tinggalkan untuk kami berdua seharusnya sudah habis dari lima hari yang lalu.
"Apakah makananmu sudah habis?"
"Ya, persediaan makananku harusnya sudah habis dari seminggu yang lalu. Tapi karena aku perempuan, aku tidak terlalu rakus untuk menjaga tubuh idealku." Aku akui pernyataan itu memang benar, tubuhnya terlihat lebih berkembang dari remaja gadis seusianya. "Selain itu, aku sama sekali tak tahu jumlah porsi yang dimakan oleh seorang pria dewasa!"
"Apa maksudmu?"
Dari perkataannya, dia mencurigaiku berbuat curang dalam pembagian makanan itu.
"Apakah Naruto-san benar-benar membagikan makanan itu dengan jumlah yang sama denganku?"
"Nah, aku memberikanmu porsi yang cukup banyak. Bahkan aku merelakan sedikit makananku untuk kubagi denganmu!"
"Omong kosong,,,"
Rias menyangkal dengan mata memelototiku.
"Jangan menatapku seperti itu!" Naruto balas menyipitkan matanya. "Sepertiga bagianku aku berikan kepadamu, dan aku sama sekali tidak berbohong!"
Dia menatap perhatian menuju kedua bola mataku, berusaha mencari sebuah kebohongan dari sana.
Sejujurnya memang seperti itu, aku memberikan sepertiga bagianku untuk Rias. Itulah niatku dari awal, aku memiliki hutang budi kepada kekasihnya, jadi tidak apa-apa jika aku sendiri hanya mengisi perutku satu hari sekali.
"Jika itu benar, berarti,,,"
Rias menunduk sedih memegangi perutnya. Nampaknya dia sudah menyadari kebenaran tentang situasinya saat ini.
Porsi tentang menjaga pola makannya tidak berhasil menghemat makanannya, sekarang dia lapar dan dia sudah tidak memiliki makanan yang tersisa untuk menyambung hidupnya.
Melihat kegundahannya aku beranjak pergi ke kamarku, dan beberapa menit kemudian aku kembali membawa sekantong makanan untuk diberikan kepada Rias.
"K- kau memberikan ini untukku?"
Rias bertanya setelah menerima kantong plastik tersebut.
"Aku masih memiliki beberapa makanan yang tersisa."
Empat batang rokok, setengah botol bir dan satu makanan kaleng. Seurius?
"T- terimakasih!"
Rias berkata dengan malu-malu, dia membuka plastik dan meraih satu buah roti kering dari sana.
Aku hanya tersenyum memandanginya yang sedang lahap menyantap makanannya.
Dua hari, itulah waktu yang tersisa untukku mendapatkan kembali persediaan makanan kami.
Zombie memiliki penglihatan yang sangat buruk, untuk itu aku tidak bisa mendapatkan makanan dari etalase penjualan di supermarket ini, dan kemungkinan mendapatkan makanan adalah dari gudang penyimpanan yang gelap itu.
Apakah aku harus memasuki gudang penyimpanan supermarket ini? Ya, mau tidak mau aku harus melakukannya.
Kami butuh makanan untuk bertahan hidup didalam kiamat ini.
oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo
Aku tahu cerita tentang zombie memang kurang menarik dibandingkan dengan cerita lainnya di arsip Naruto-Highschool DXD, namun aku ingin mencoba menjawab tantangan yang diberikan oleh salah-satu temanku, membuat cerita zombie yang bisa menarik perhatian para pembaca.
Oh, iya,,, Aku menggunakan sudut pandang protagonis 1, aku rasa sudut pandang seperti ini akan sangat cocok untuk tema ceritaku yang ini.
Protagonis:
Namikaze Naruto, Usia 28 tahun. Tinggi 186 cm dan berat 72 kg. Rambut pirang klimis (Style rambut Naruto Hokage), mata biru shafire, dan kulit berwarna tan (Kedua tanda kumis yang menjadi aksesoris dari Jinchuriki tidak ada dipipinya).
oo
Bonus:
Aku berbisik kepada putraku.
"Naruto, kau tak perlu takut dengan yang namanya hantu!"
"Tapi ayah,,,"
"Ssstt,,," Putraku tidak sempat melanjutkan kata-katanya. Aku terlebih dahulu mencoba menenangkannya dengan cara memeluk tubuh gemetarnya semakin erat. ",,,Hantu tidak nyata, sayang! Mereka hanya tahayul!"
"T- tapi,,," Semakin erat aku memeluknya, tubuh putraku bergetar semakin keras karena ketakutan yang dia alami saat ini.
"Tidak apa-apa, Ayah ada disini sayang!"
"Lalu kenapa kau bisa ada disini?" Putraku balas bertanya membuatku hanya mampu berkerut bingung. "Bukankah kau sendiri sudah mati?"
Aku sudah mati? Jadi, apakah itu alasan putraku terkejut dan merasa takut ketika melihatku?
Ah, aku sangat ceroboh!