"Jangan lakukan sesuatu karena sebuah alasan, Sasuke. Meskipun alasan itu adalah orang lain."

"Kenapa?"

"Karena alasan itu hilang, kau akan berhenti melakukan hal itu."

.

.

.

ALASAN

Sasuke dan kawan-kawan milik Masashi Kishimoto

Story milik saya

One Shoot

Peringatan : Typo. OOC. Plot yang...

Main cast : SasuSaku

.

.

.

Gadis berambut merah muda itu melompati pagar sekolah yang cukup tinggi seperti atlet parkour. Roknya berkibar-kibar. Tentu saja aku yang ada dibawahnya melihat isinya. Ia memakai celana super pendek berwarna hitam. Aku malu menyaksikan hal itu, sedangkan yang dilihat sepertinya tidak peduli.

"Hei, hei,", panggilku dari balik pagar.

Ia berhenti dan berbalik padaku.

"Kau, kan, telat."

"Lalu apa aku akan berdiam diri diluar pagar sepertimu?"

Tanpa menunggu jawabanku, ia kembali berlari. Aku menengok ke arah lapangan sekolah. Kuikuti jejaknya. Melompati pagar setinggi dua meter. Sialnya ketika aku mendarat, aku diteriaki satpam sekolah. Ini yang kukhawatirkan. Berdiam diri saja pasti membuatku berakhir di ruang konseling. Jadi, aku berlari secepat kilat menuju kelasku.

Sial! Gara-gara gadis itu, ini menjadi kali pertama Uchiha Sasuke melanggar peraturan sekolah.

.

.

.

Itulah pertemuan pertamaku dengan gadis menyebalkan itu. Ketika aku mencari tahu tentang gadis itu, akulah satu-satunya orang yang tidak tahu tentangnya.

"Oh, Sakura, si tukang tidur di kelas?"

"Biarpun tukang tidur dia pasti dapat peringkat pertama paralel."

"Ah, ya, aku iri dengannya."

"Banyak laki-laki yang jadi penggemarnya."

Dan ketika aku bertanya tentang gadis itu kepada Naruto Uzumaki, teman sebangkuku yang kurang pergaulan dan sangat tidak populer, jawaban yang kuterima sangat mengejutkan.

"APA?! Kau hampir tiga tahun sekolah disini tapi tak tahu Haruno Sakura?!", teriaknya di kelas. Untung aku menanyakannya saat istirahat. Jadi, hanya beberapa orang yang mendengarnya.

"Memang dia seterkenal itu?"

"Kau bukan satu-satunya orang yang kerap dibicarakan di sekolah ini, Sasuke. Sakura itu banyak penggemarnya. Cantik, ramah, pintar." Naruto mengecilkan suaranya, "Jangan bilang siapa-siapa, ya, aku menyukainya."

"Setiap laki-laki di sekolah ini sepertinya menyukainya", balasku ketus.

"Aku berencana menyatakan perasaanku padanya sebelum lulus, Sasuke. Kau tahu, Sakura berencana masuk kedokteran. Karena aku bodoh di bidang sains, tentu saja aku tak bisa menyusulnya di kedokteran. Jadi, tahun ini adalah kesempatanku menyatakan cinta padanya."

"Aku yakin kau ditolaknya."

"Jahat sekali. Dia selalu membalas sapaanku."

Aku tahu Naruto bodoh. Tapi kebodohannya ini keterlaluan. Ia terlalu percaya diri dengan modal 'dia membalas sapaanku'. Karena aku teman yang baik, aku harus memberitahu kenyataannya, "Bukankah dia ramah?"

"Eh?"

Baguslah. Sadarlah Naruto. Jika ada orang se-perfect Haruno Sakura, ia tidak akan menyukaimu. Kau diluar kriterianya. Lagipula aku tidak yakin gadis bernama Sakura ini sesempurna itu. Aku berniat mendekatinya. Bukan karena dia cantik atau apapun yang dikatakan teman-teman sekelasku. Aku ingin melihat ketidaksempurnaan yang tak pernah ia perlihatkan pada orang lain.

.

.

.

Ramah?

Aku berpapasan dengannya saja, ia tidak menyapaku. Berkali-kali aku sengaja lewat dihadapannya tapi ia tidak pernah menyapaku. Apa aku harus menyapa duluan? Aku tidak biasa melakukan hal ini. Aku selalu disapa duluan, baik yang mengenalku atau tidak. Sepertinya Sakura adalah satu-satunya gadis yang tidak pernah menyapaku. Aku pun ambil inisiatif terlebih dahulu.

Kebetulan hari itu hujan. Ia terjebak di teras depan sekolah. Sepertinya ia tidak membawa payung. Tapi ia menolak setiap ajakan teman-temannya untuk memakai payung bersama. Aku berdiri agak berjauhan darinya. Sebenarnya ada payung lipat di tasku. Aku hanya menunggu kesempatan untuk bicara dengannya. Sekali-kali aku meliriknya. Ia hanya menengadah ke langit dan menampung air hujan di kedua tangannya. Ketika penuh, ia membuka kedua tangannya dan mengulang lagi. Senyum tipis tergambar di wajahnya yang terkena titik-titik air hujan. Matanya hijaunya berkilauan bagai zamrud. Ia sepertinya menikmati kegiatan membosankan itu.

Ketika hanya aku dan dia yang tersisa di teras itu. Aku berjalan ke arahnya. Hendak menyebut namanya. Namun, ia malah berlari ke arah hujan. Refleksku pun langsung menggenggam tangannya. Ia terkejut dengan tindakanku. Begitu juga aku.

"Kenapa?", tanyanya.

"Untuk apa menunggu jika akhirnya kau hujan-hujanan?" Hanya itu yang terpikirkan di otakku.

"Aku ingin hujan-hujanan."

"Hanya itu."

"Ya."

Ia menarik tangannya. Entah mengapa aku malah mengikuti langkah gadis itu. Aku hujan-hujanan bersama gadis itu. Aku mengejarnya dan terkadang ia mengejarku. Kami tertawa bersama. Bermain bersama. Melompat ke genangan air. Menarik-narik dahan pohon. Dan tindakan kekanak-kanakan lainnya.

Bersamanya, waktu terasa berhenti. Segala hukum fisika tidak berlaku. Bahkan rasanya air hujan tidak turun ke bawah. Berhenti di satu titik. Dan aku tak merasakan bajuku basah. Namun semua itu kembali normal ketika aku berpisah dengannya. Aku pun kembali ke kenyataan. Teringat hal-hal yang baru saja kulakukan, aku merasa konyol.

"Kau itu sudah SMA, kenapa bertingkah seperti bocah SD", kataku sebelum berpisah.

"Lalu kenapa kau mengikuti bocah SD?", balasnya.

"Karena menyenangkan."

"Asal menyenangkan tak masalah, kan, meski itu jadi bocah SD sekalipun."

Aku mengangguk setuju.

"Aku duluan", katanya.

Ia berbalik. Dia akan pulang. Besok dia akan berangkat sekolah. Besok apakah di sekolah, ia bisa bercanda bersamaku seperti ini. Apakah aku bisa menyapanya. Apakah dia akan menyapaku. Apakah aku akan datang ke kelasnya. Aku ingin bersamanya lebih lama lagi. Itulah yang menggerakkanku untuk menyusulnya dan menarik tangannya lagi.

"Kudengar kau berencana masuk kedokteran", kataku.

"Ya, kenapa?"

"Bisa tolong ajari aku beberapa hal. Aku juga ingin masuk kedokteran."

Ia mengangguk. Tapi kutahu, sebelum ia berbalik raut wajahnya yang penuh keceriaan tadi berubah muram. Aku tak tahu apa itu ada hubungannya denganku. Aku berusaha melupakan itu dengan kegiatan kami yang menyenangkan.

.

.

.

Sejak hari itu aku memang dekat dengan Haruno Sakura. Aku sering belajar bersama dengannya sehabis pulang sekolah. Aku mematahkan ratusan hati murid laki-laki yang memendam perasaan terhadap gadis itu. Mereka tidak bisa melawanku, yang disebut-sebut laki-laki paling tampan se Konoha High School. Laki-laki dengan sebutan pria es, bahkan kudengar dari Naruto aku punya fans club sendiri. Untung Naruto rela jika aku berpasangan dengan Sakura.

Tapi semakin dekat dengan Sakura, aku malah membencinya. Aneh, bukan? Seseorang yang menarik bagimu menjadi orang yang paling kau benci. Aku punya sejuta alasan untuk membencinya. Aku benci dia yang selalu terlambat datang ke sekolah dan tidak pernah mendapatkan hukuman karena ia melompat pagar. Aku benci dia yang selalu tidur di kelas tapi selalu mendapat nilai tertinggi. Aku benci dia yang seenaknya bolos dari pelajaran olahraga dan malah pergi ke kedai Ichiraku untuk makan ramen. Dia bahkan lompat pagar lagi untuk melakukan hal itu. Aku benci dia karena guru-guru tak pernah memarahinya ketika ia tidur di kelas. Aku benci dia karena dia bertanya hal-hal konyol kepada guru. Aku benci dia karena meski ia murid teladan, ia tak segan-segan mengerjai guru dengan meletakkan penghapus di atas pintu. Aku benci dia karena bersembunyi di gudang memainkan pspnya agar tidak direpotkan mengurus kelasnya ketika festival budaya. Aku membencinya karena banyak hal yang ia lakukan seenaknya tanpa mengorbankan apapun. Itu membuatnya menjadi sosok yang sempurna dimataku.

Sampai suatu hari aku muak dengan ide konyolnya. Semakin ia lakukan semua ide-ide konyolnya semakin aku membencinya.

"Sasuke, bagaimana kalau kita menyelinap ke ruang guru dan mencuri novel ero milik Kakashi-sensei?"

"Kenapa kau selalu seenaknya sendiri?"

"Aku tidak seenaknya saja."

"Lalu apa namanya kalau tidak seenaknya saja. Kau selalu terlambat. Kau bahkan mengerjai guru Kakashi. Kau tidur di kelas. Kau bolos hanya demi diskon 50% kedai Ichiraku. Sekarang mencuri novel?", kataku sinis.

Ia tertawa renyah. "Aku hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan, Sasuke. Apa itu salah?"

"Tentu saja salah karena semua orang tidak punya kesempatan yang sama denganmu untuk melakukan hal yang ingin mereka lakukan", kataku dengan nada tinggi.

"Jika tidak punya kesempatan, maka akan kuciptakan kesempatan itu", balas Sakura tenang. Tak ada keraguan di matanya.

"Lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin hidup lebih lama tapi punya penyakit mematikan. Mereka tidak punya kesempatan yang sama dengan kita, Sakura", ujarku frustasi.

"Aku iri dengan mereka."

Aku membelalakan mataku tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu dengan mudah. Orang-orang yang punya mematikan bahkan iri terhadap kau Sakura. Kenapa kau justru malah iri terhadap mereka. Apa ini lelucon, Sakura?

"Iri? Kau tidak salah, Sakura?"

"Tidak. Apa yang akan kau lakukan jika kau akan mati besok?"

"Tentu saja mencari cara agar hidupku lebih panjang dan tidak mati besok."

Ia tersenyum. Senyum yang mengejekku. "Aku akan menikmati setiap detik di hidupku agar aku tidak mati dengan penyesalan. Aku akan melakukan apapun yang kuinginkan agar aku tidak mati dengan penyesalan. Ketika kita tahu batas kita, kita akan benar-benar melakukan apapun semaksimal mungkin, kan?"

Ya. Kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan tanpa pengorbanan, tanpa penyesalan, dan kau menikmatinya. Hidupmu sangat sempurna, Sakura. Kau memang pantas dibenci.

"Kau menyebalkan."

.

.

.

Percakapan hari itu adalah terakhir kalinya aku belajar bersama Sakura. Aku tak bertukar pesan apapun lagi. Kami digosipkan putus padahal kami tak pernah berpacaran. Aku memilih mengikuti bimbel di luar. Biarpun tidak dibantu Sakura, aku harus bisa masuk fakultas kedokteran. Bagaimanapun caranya aku harus masuk fakultas kedokteran dan mewujudkan harapannya. Harapan gadis yang berpacaran denganku hampir tiga tahun ini. Hinata.

Hinata adalah pasien ayahku. Ia menderita leukimia. Karena aku sering mengunjungi rumah sakit milik ayahku untuk menemui Itachi atau mengantarkan makanan untuk ayah, aku sering bertemu dengannya. Ia sering menyapaku tapi aku mengabaikannya. Sampai ketika aku akan masuk SMA, ia mengucapkan permintaan padaku. Ia ingin di sisa hidupnya, ia menjadi pacarku. Aku menyetujuinya.

Toh, ia memperhatikanku. Ia selalu menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Ia selalu menanyakan bagaimana sekolahku. Bagaimana keseharianku. Bagaimana latihan pianoku. Dan yang paling kusukai ia selalu mendengarkan permainan pianoku meski lewat handphone. Aku suka dengan orang-orang yang mengorbankan waktunya hanya untuk mendengarkan permainan pianoku.

Hingga saat aku di kelas tiga, ia memutuskan sesuatu yang membuatku merasa tak berguna dihadapannya,

"Aku akan menjalani pengobatan di luar negeri, Sasuke."

"Kenapa? Disini ada aku yang memainkan piano untukmu? Apa kau tidak bosan hanya mendengar permainanku melalui telepon", kataku.

"Aku tidak ingin hanya mendengarmu bermain piano saja, Sasuke." Ia mulai terisak-isak dan memelukku erat. "Aku juga ingin hidup bersamamu. Setidaknya menemanimu hingga tua nanti. Aku ingin hidup menua bersamamu. Aku ingin membesarkan anak-anak kita nanti. Aku ingin melihat anak kita tumbuh dewasa nanti. Itu impianku, Sasuke. Tapi... tapi... penyakit sialan ini malah merusak semuanya."

Aku hanya terdiam mendengar jeritan Hinata. Ia sangat frustasi, marah, dan sedih. Semua terdengar menyakitkan di telingaku. Kupikir dia sekuat yang kuduga. Kupikir dengan aku bersamanya sudah mampu membuatnya cukup bertahan hidup. Tapi aku salah. Banyak hal yang tidak kuketahui tentang bertahan hidup. Jadi, aku memutuskan sesuatu untuk membahagiakannya.

"Akan kuwujudkan impianmu. Akan kusembuhkan penyakitmu. Aku berjanji."

Ia semakin memelukku erat.

"Aku akan belajar jadi dokter", kataku lirih.

"Baiklah, Sasuke. Aku akan menunggumu di sini."

Meski harus mengorbankan impianku sebagai pianis.

.

.

.

Akhirnya tiba hari kelulusan kami. Kami semua diwajibkan hadir bersama orang tua kami untuk upacara kelulusan. Setelah serangkaian acara, akhirnya dipilih penghargaan sebagai siswa siswi terbaik. Sakura menjadi siswi terbaik. Sedangkan siswa terbaiknya adalah Nara Shikamaru. Beruntung nilaiku dibawah Shikamaru persis, sehingga aku tak perlu bersanding dengannya di panggung itu.

Aku duduk disamping Itachi yang mewakili orang tuaku. Ayahku ada jadwal operasi dan ibuku ada jadwal praktek di rumah. Ketika Sakura dipanggil untuk naik ke panggung, Itachi berkomentar, "Cantik juga. Pintar. Kau tertarik padanya tidak, Sasuke?"

"Cih. Dia menyebalkan."

"Bilang saja kau suka."

Kuinjak kaki Itachi agar diam saja. Dia tidak tahu betapa menyebalkannya gadis itu. Lihatlah gadis itu. Ia malah terbengong-bengong di depan panggung. Apalagi ketika pembawa acara memberinya mikrofon. Ia malah menengok berkali-kali ke guru Kakashi. Jangan-jangan dia menjilat guru Kakashi demi nilai bagusnya.

"Nggg, sebenarnya aku merasa aneh dipilih sebagai siswi terbaik", kata Sakura memulai pidatonya, "Mungkin guru-guru disana salah menilaiku padahal aku jahat dengan mereka. Hehe."

Aku berdiri.

"Kenapa Sasuke?", tanya Itachi.

"Ke toilet."

Aku berjalan menuju pintu keluar aula. Masih kudengar pidato Haruno Sakura yang memuakkan.

"Maafkan aku guru-guru. Terutama Kakashi-sensei..."

Aku menutup pintu aula. Menuju toilet. Menyalakan kran di wastafel tanpa melakukan apa-apa. Hanya memandang aliran air yang akhirnya terhisap ke dalam lubang wastafel. Pikiranku melayang-layang ke masa depan. Sebentar lagi aku akan masuk ke kedokteran. Aku akan benar-benar berhenti jadi pianis. Tiap memikirkan ini hatiku sakit. Dadaku nyeri.

Aku mencuci mukaku. Berharap rasa sakit ini akan larut dalam air dan ikut terbuang ke saluran pembuangan. Kumatikan kran. Aku memandang diriku yang terperangkap di cermin. Kutanyakan padanya, 'Apa kau siap meninggalkan pianomu?'

'Tidak', jawabnya. Setengah dari diriku tidak siap meninggalkan pianoku dan terjun ke dunia kedokteran. Aku benci dunia kedokteran. Ayah, ibu, dan kakak semuanya menjadi dokter dan itu membuatku tak ingin menjadi seorang dokter. Aku terpaksa menjadi dokter demi janji yang kubuat untuk seseorang.

Seandainya saja. Seandainya saja aku adalah gadis menyebalkan itu. Seandainya saja aku adalah Sakura, aku akan mengingkari janji itu dengan alasan, 'aku melakukan apa yang ingin kulakukan.' Sial! Aku bukan Sakura! Aku punya tanggung jawab memegang nyawa seseorang.

Ketika aku keluar dari toilet, aku berpapasan dengannya. Ia terkejut melihatku, tapi sedetik kemudian ia menyapaku, "Hei, Sasuke."

"Hn. Selamat jadi siswi terbaik", pujiku sebagai basa-basi.

"Terima kasih. Aneh rasanya melakukan sesuatu untuk diri sendiri tapi mendapatkan hasil yang bisa membanggakan orang tua. Seperti bonus."

Lagi-lagi dia menyebalkan. "Kau selalu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?"

Ia tertawa renyah. "Ya. Karena aku jika melakukan sesuatu untuk orang lain atau sesuatu, itu berarti aku melakukan sesuatu karena alasan. Ketika alasan itu hilang maka aku berhenti melakukan hal itu."

Aku terkejut. Aku pernah mendengar hal itu dari seseorang. Sebagai balasan untuknya aku hanya mengangguk. Ia kemudian berjalan melewatiku. Saat itulah aku memanggil namanya kembali, "Sakura."

Aku menoleh ke belakang. Memberikan senyum terbaikku sambil berkata,

"Kau benar-benar menyebalkan."

.

.

.

Keputusanku sudah bulat. Seperti yang pernah dikatakan Itachi ketika ia menolak keputusanku menjadi keputusanku menjadi dokter. Jika aku melakukan sesuatu demi orang lain, ketika orang lain itu pergi dari hidupku, maka aku akan berhenti melakukan hal itu. Saat itu aku mengejek bahwa hal itu tidak mungkin terjadi. Namun, Sakura membuatku memahami hal itu.

Jika dia bisa seenaknya sendiri, maka aku juga bisa. Mungkin ini kejam, tapi inilah aku. Aku memasuki kamar VIP bernomer 213. Kamar tempat gadis berambut indigo biasa dirawat. Ia sedang membaca buku saat aku masuk kamarnya. Diletakkan buku itu di nakas begitu aku berjalan ke arahnya.

"Sasuke, bagaimana ujian masukmu?", tanyanya lembut.

Aku tersenyum tipis. "Hinata, kau hanya punya waktu singkat untuk hidup jadi apa yang kau lakukan dalam jangka waktu yang singkat itu."

"Tentu saja menghabiskan waktu bersamamu."

"Berhentilah menjadikan aku sebagai alasanmu untuk hidup. Aku tidak ingin ketika aku menghilang dari hidupmu, kau akan mati begitu saja. Aku bukan Tuhan yang memegang hidup dan matimu."

"Aku tidak menganggapmu sebagai Tuhan, Sasuke." Nada bicara Hinata terdengar putus asa. Ia berusaha meraihku yang berdiri jauh darinya. "Bukankah kau berjanji mewujudkan impianku."

"Maaf. Aku harus mengingkari janjiku, Hinata."

"Aku mencintaimu, Sasuke."

"Aku mencintaimu juga. Tapi aku tak bisa menjadikanmu sebagai alasan untuk melakukan apapun dihidupku."

Itu kalimat terakhir yang kuucapkan pada Hinata. Meski kudengar tangisannya, aku tetap keluar dari ruangan itu. Mematahkan kartu SIMku agar dia dan keluarganya tidak bisa menghubungiku sama sekali. Semua itu harus kulakukan agar dia menghargai hidupnya. Semua manusia hidup untuk dirinya sendiri. Tidak seharusnya manusia menggantungkan hidupnya, bahkan menyerahkan hidupnya untuk orang lain. Merendahkan hidupnya dibawah hidup orang lain. Kebahagiaan tidak ditentukan orang lain, kan? Kebahagiaan ditentukan diri sendiri. Meski kau sendirian.

Jadi, Hinata, aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintaimu. Aku juga tidak mengerti mengapa kau menjadikan aku sebagai tujuan hidupmu. Kuharap kau bisa menikmati setiap detik yang kau punya tanpa aku.

.

.

.

Terkadang demi mencapai sesuatu kau harus mengorbankan sesuatu lainnya.

Mungkin yang kukorbankan adalah nurani.

"Kak Itachi, apakah aku keji?"

"Tidak ada kejahatan yang lebih keji daripada pengelabuan jati diri."

.

.

.

Waktu berlalu. Aku tidak pernah mengikuti ujian masuk untuk kuliah kedokteran. Aku masuk ke Oto University of Arts. Sekolah tinggi kesenian yang terkenal dengan jurusan musiknya. Awalnya aku pesimis bisa lolos ujian masuk karena setahun belakangan aku jarang latihan. Tapi takdir memihakku, aku berhasil lolos audisi dan menjadi mahasiswa seni musik.

Aku bertemu banyak orang. Membentuk band, manggung di kafe-kafe untuk menambah uang jajan. Menjadi pianis di orkestra-orkestra. Bekerja sama dengan mahasiswa perfilman untuk mengisi score film*). Sampai akhirnya aku bertemu dengan laki-laki bermuka mayat bernama Sai. Kemampuanku bagus di bidang musik tradisional dan orkestra sedangkan Sai mahir di alat musik modern dan elektronik. Kami bertukar pikiran. Lalu mencoba membuat komposisi dengan memadukannya.

Musik kami disukai banyak orang. Kami mendapat proyek untuk mengisi suatu score film untuk festival. Film tersebut mencuri perhatian sehingga kami pun mulai dikenal. Proyek-proyek lain mengalir, aku dan Sai pun mendirikan studio sendiri.

Itu membuatku terlambat lulus, tapi tak masalah karena aku sudah menjadi bos untuk diriku sendiri. Meski ini membuat Itachi kesal karena aku jarang pulang ke Konoha. Aku tak mungkin meninggalkan karirku di Oto. Rasanya menyenangkan ketika kau melakukan sesuatu yang kau sukai dan dibayar.

Hingga suatu hari seorang dosenku dulu tiba-tiba menghubungiku,

"Sasuke, apa kau berminat menyelenggarakan konser perdanamu?", tanya Orochimaru melalui telepon.

"Promotor macam apa yang mau men-sponsoriku konser. Aku, kan, pianis kontemporer. Bukan klasik."

" Dan juga komposer. Ingat kau sudah jadi komposer. Tobi, pemilik concert hall di Konoha. Concert hall itu habis direnovasi dan untuk promosi, dia ingin mengadakan konser yang fresh. Bukan sekedar orkestra biasa. Jadi aku merekomendasikanmu, dia setuju. Lagipula kau tampan."

"Ini bukan konser boyband. Aku tak ingin ada wanita yang teriak-teriak menyebutkan namaku, sensei."

"Hahaha. Tapi kau tak akan menolak, kan?"

"Ya, tentu saja."

Bagiku hidup dengan mengandalkan musik sudah cukup. Semua itu kulakukan untuk diriku sendiri. Tapi aku mendapatkan lebih dari cukup. Konser merupakan sebuah kehormatan bagiku. Memainkan komposisi yang ku buat. Ratusan orang akan mengorbankan waktunya untuk mendengarkan pianoku. Membayangkan diriku menjadi perhatian dan disorot lampu di atas panggung bersama Grand Piano. Aku harus menghubungi banyak orang karena aku sampai di titik ini karena mereka. Dan aku takkan berdiri di atas panggung tanpa mereka.

.

.

.

"Ino?"

"Kalian saling kenal?"

"Kami satu SMA."

Saat aku meminta Sai segera menemuiku, dia datang bersama seorang gadis seksi berambut pirang. Yamanaka Ino. Aku pun menyilakan mereka duduk di kursi dihadapanku. Suasana kafe yang remang-remang membuatku lebih mudah menghadapi Ino. Agar ekspresi gugupku tidak kentara. Jujur saja, bertemu dengan seseorang di masa lalumu punya resiko mereka akan membongkar aib masa lalumu/ Itulah yang membuatku gugup.

"Jadi", kata Sai lagi, "kalian benar-benar satu SMA?"

"Aku tak menyangka kau bisa berteman dengan orang menyebalkan yang fetish*) dengan pianonya. Sekolah cuma belajar, istirahat di ruang musik. Dia itu disukai banyak perempuan tapi ia malah lebih memilih pacaran dengan piano", cerocos Ino tanpa kenal rem.

"Sampai sekarang juga seperti itu", jawab Sai sambil tersenyum dengan lengkungan sempurna. Senyum yang dibuat-buat yang khas dia sekali.

"Lalu kenapa kau bisa pacaran dengan Sai?"

"Karena dia yang jadi pengisi BGM di iklan yang aku bintangi. Aku bertemu dengannya saat ikut rapat tim produksi", jawab Ino tidak sabaran.

"Baguslah. Tidak ada lagi fans club Sasuke karena ketuanya sudah pacaran dengan muka mayat ini", ejekku. Sudah kubilang bertemu seseorang di masa lalu hanya akan membuatmu mendengar aib masa lalumu. Aku hanya tahu Ino sebatas dia ketua fans club Sasuke saja. Itupun dari Naruto. Selebihnya, aku tidak tahu.

"Karena Ino sudah tahu bahwa muka mayat ini lebih tampan, cerdas, dan berbakat daripada si rambut pantat ayam", balas Sai. Tak lupa dengan senyum menyebalkannya itu.

Aku kalah telak. Tapi takkan kubiarkan aku kalah begitu saja dengan si muka mayat menyebalkan ini. "Tapi tanpa aku, kau tentu tidak mendapatkan kesempatan ini, kan?"

"Benar, Sasuke. Ayo kita buat konser yang heboh."

Kemudian aku membicarakan hal-hal teknis dengan Sai. Siapa kandidat-kandidat yang akan tampil sebagai pembuka, siapa pemain alat musik lain yang akan membantuku, dan lagu apa saja yang kumainkan. Kami, para pemusik tidak pernah main-main dalam memainkan musik. Satu nada tidak sempurna akan merusak keseluruhan. Karena itu aku selalu memberikan yang terbaik dari sebelum tampil hingga nanti.

Ino hanya menyimak. Ia tak mengerti hal-hal seperti ini. Ia tak pernah mengerti betapa pentingnya hal ini bagiku dan Sai. Ia hanya memasang wajah cemberut ketika kekasihnya mencurahkan perhatiannya padaku. Begitu aku selesai dengan hal-hal penting, dia langsung mengajak Sai pergi dari sini.

"Ayo, Sai, ini sudah selesai, kan?"

"Sebenarnya masih banyak hal lain yang akan kami bicarakan", jelas Sai.

"Lain kali saja. Aku harus kembali ke Konoha. Kau tahu, kan, aku ada janji dengan dokter Sakura."

Mendengar namanya saja darahku berdesir. Berbagai pertanyaan tentang gadis itu hadir di kepalaku. Hanya satu yang mampu kukatakan,

"Dokter? Tukang tidur itu jadi dokter? Ajaib sekali."

"Kau tidak tahu apa-apa tentang dia. Dia tidur karena dia punya alasan. Kau tahu dia setiap malam kerja sambilan untuk mendapatkan uang tambahan. Uang itu ia gunakan untuk beli buku dan mengikuti bimbel pada sore hari. Karena lelah kerja sambilan, maka setelah istirahat pertama biasanya ia tidur di kelas, tapi ia sudah menyiapkan recorder di laci meja guru. Guru-guru tahu itu jadi ia tak pernah dihukum karena dia pun sudah menjelaskannya. Guru Kakashi lah yang membela Sakura di hadapan guru lain. Makanya, ia cukup dekat dengan guru Kakashi. Ketika kerja sambilan, ia mendengarkan rekaman tersebut. Keluarganya adalah keluarga yang pas-pasan. Menjadi dokter sepertinya mustahil jika tidak mendapat beasiswa karena itu Sakura belajar mati-matian setiap hari. Mempunyai teman seperti dia, membuatku jadi termotivasi. Aku takkan setengah-setengah menggapai impianku. Kau lihat, kan, sekarang aku jadi model?"

Sekarang ia memasang wajah centil di hadapanku.

Sebagai jawabanku, "Hn."

"Dasar sok keren. Ayo, Sai, kita pergi."

Sai tersenyum padaku dan kemudian mengikuti pacarnya keluar. Dari jendela, bisa kulihat mereka menuju mobil hitam yang terparkir di depan kafe ini. Ino melambaikan tangannya ke arahku sebelum masuk ke mobil sedangkan Sai cuma tersenyum. Aku hanya membalas dengan senyuman tipis.

Ketika aku melihat refleksi diriku di kaca, aku melihat pipiku basah. Sejak kapan aku menangis. Dadaku memang terasa nyeri saat Ino mengatakan kebenaran tentang Sakura. Aku merasa sakit ternyata selama ini aku tidak tahu apa-apa tentangnya.

Selama ini aku salah.

Dia tidak sempurna. Dia tidak ajaib. Dia sama sepertiku. Orang-orang yang berusaha keras demi mencapai impiannya. Bahkan ia berusaha lebih keras demi mencapai impiannya. Hanya saja ia lebih tahu bagaimana cara menikmati hidupnya dibalik kerja kerasnya. Cih, menyebalkan.

Aku punya sejuta alasan untuk membencinya.

Tidak.

Aku hanya punya satu alasan untuk membencinya.

Karena aku tidak pernah tahu tentang ketidaksempurnaan dirinya.

.

.

.

Demi mencapai sesuatu kau harus mengorbankan sesuatu lainnya.

Dia juga mengorbankan sesuatu.

Waktu. Tenaga. Masa remaja yang berbeda denngan remaja lainnya.

.

.

.

Konser ada didepan mata. Sayangnya takdir kadang tak berpihak padamu. Tinggal satu bulan lagi namun aku malah mendapatkan cedera tangan. Mau tidak mau aku harus kembali ke rumah sakit ayahku setelah sekian lama. Potongan-potongan masa lalu mulai muncul ke permukaan. Tapi entah kenapa kenangan tentang Hinata adalah kenangan yang menyakitkan untukku. Bukan perasaan bersalah melainkan betapa tersiksanya aku saat menjalani hubungan dengan Hinata.

Rumah sakit ini mengalami beberapa renovasi. Dulu dinding rumah di cat putih dengan garis biru muda ditengahnya. Sekarang dibuat dengan warna biru itu berupa pola-pola. Ini pasti saran Itachi. Taman di rumah sakit juga lebih banyak. Kursi ruang tunggunya juga diubah menjadi kursi yang lebih modern. Banyak perawat-perawat dan dokter muda baru yang bisik-bisik saat melihatku. Tapi letak ruang direktur masih sama. Di gedung paling pendek, sebelah kiri gedung utama, berada di ujung koridor. Tanpa permisi aku langsung masuk ruangan itu.

"Ayah."

Dua orang yang duduk di sofa di dalam ruangan itu menatapku heran. Aku terkejut. Dua orang itu adalah kakakku dan gadis menyebalkan dengan warna rambut yang mencolok. Apa yang mereka lakukan? Berdua? Di ruang tertutup?

"Jadi, dimana ayah?", tanyaku memecah keheningan.

"Dia ada urusan, Sasuke. Kudengar tanganmu cedera, maka ibu menyuruhmu ke sini."

"Siapa yang akan menanganiku?"

Itachi hanya menoleh ke Sakura. Aku mengernyitkan dahiku.

"Tenang saja, dia itu residen*) bimbingan ayah. Jadi, kau tak usah khawatir." Dia menoleh ke Sakura dan berkata, "Dokter Sakura tolong rawat adikku yang bodoh, ya?"

.

.

.

Kupikir Sakura akan seperti Ino yang membicarakan sedikit masa lalu. Sakura tidak begitu, ia tidak membicarakan apapun kecuali prosedur perawatanku. Ia bahkan tak berniat membicarakan hal lain untuk mencairkan suasana yang kaku antara pasien dan dokter. Padahal kulihat jika ia menangani pasien lain, ia tak sekaku jika berhadapan denganku.

Sudah dua minggu aku diterapi oleh dia. Ini hari terakhirku diterapi. Dan ia masih saja bicara hal-hal prosedural. Apa dia berusaha jadi sosok dokter sempurna di mataku?

"Apa masih sakit?", katanya sambil menekan beberapa bagian di telapak tanganku.

"Tidak."

"Baguslah. Kau bisa latihan lagi tapi jangan terlalu diforsir, nanti bisa kambuh saat hari H. Jika hari H kambuh, kau bisa menahan sakitnya dengan pain killer", jelasnya.

"Bisakah kau datang ke konserku?"

Ia tertawa. Tawa renyah yang tak pernah kudengar setelah sekian lama. Biasanya jika ia tertawa seperti itu ia akan mengatakan, 'aku melakukan apa yang ingin kau lakukan.' Aku merindukan masa-masa menyebalkan bersamanya. Bisakah aku menjadi anak SMA lagi?

"Tidak. Aku ada jadwal jaga."

Kami bukan anak SMA lagi. Kami punya tanggung jawab masing-masing yang tak bisa kami tinggalkan. Atau jangan-jangan...

"Kupikir kau tidak ingin datang."

"Aku menggantikan dokter Itachi biar dia bisa datang ke konsermu."

Aku bungkam. Jika disuruh memilih apakah Itachi atau Sakura yang datang tentu saja aku ingin memilih Itachi yang datang. Selama ini Itachi adalah orang yang paling mendukungku. Toh, jika bukan karena dia aku takkan mengenal musik. Jika saja ia tidak menyerah dengan les pianonya dan menyerahkan pianonya pada Sasuke umur 4 tahun, mungkin aku tak pernah jadi pianis ataupun komposer.

.

.

.

Di sela-sela penampilanku, aku harus mengistirahakan tanganku. Maraton memainkan banyak lagu membuat nyeri di jari-jariku terasa. Lima belas menit jeda kugunakan untuk menemui Itachi di backstage. Itachi datang sebagai tim medisku. Ia memeriksa tanganku dan kemudian menyemprotkan banyak pain killer.

Saat itu aku melihat handphone Itachi menyala dengan keadaan telepon yang tersambung. Dr. Sakura yang berada di telepon ini.

"Kau membiarkan begitu saja teleponmu?"

"Ini bayaran agar aku bisa datang ke sini, bodoh. Aku harus menelfon Sakura dan mendengarkan semua lagu yang kau mainkan."

Aku terkekeh. Ia selalu punya cara untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Aku meminta sesuatu kepada timku. Aku ingin di akhir konser aku ingin melakukan solo. Lampu panggung akan padam kemudian hanya satu yang menyorotku di panggung. Hanya aku dan piano yang kumainkan sebagai persembahan untuknya. Sebagai permintaan maafku telah menilainya salah. Sebagai rasa kagumku karena dia punya kekuatan untuk mengorbankan sesuatu. Sebagai pujianku karena ia bisa melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Dasar gadis menyebalkan. Dia bisa membuatku merasa senang hanya dengan mengajakku hujan-hujanan sepulang sekolah. Dia mengajariku bagaimana masuk sekolah saat terlambat dengan cara kurang ajar. Dia mengajakku menghilang dari festival budaya dengan main game di gudang. Dia mengajakku bagaimana cara menikmati hidup. Aku tak butuh diajari hal itu karena sekarang aku sudah menikmati hidupku.

Jadi, lewat permainan pianoku kali ini, kuucapkan,

"Terima kasih."

Standing applause diberikan para penonton untukku. Suara tepukan tangan menggema di concert hall ini. Aku memberikan penghormatan sekali lagi sebelum kembali ke backstage. Selepas konser banyak wartawan mewawancaraiku. Banyak juga orang terkenal memberikan kartu nama padaku. Banyak juga karangan bunga dan buket yang kuterima.

Ino juga datang. Ia memberikan buket bunga untukku. Untukku. Bukan untuk Sai.

"Aku tak menyangka ternyata kau benar-benar keren. Kuharap Sakura bisa datang, tapi ia memilih jaga."

"Hn."

Setelah berbasa-basi dengan beberapa orang penting, aku memutuskan untuk pulang. Bersama Itachi dan keluargaku tentu saja. Di mobil, dia mengajak rambutku berkali-kali.

"Akhirnya adikku jadi orang keren juga."

"Bagaimana tanganmu, Sasuke?", tanya ibuku.

"Sepertinya dia harus rehat lebih lama agar tidak bertambah parah", jelas Itachi.

"Kau dengar itu, Sasuke. Untuk sementara jangan latihan dulu", tambah ayah.

"Hn."

"Itachi tolong tangani dia."

"Tidak. Biar ia ditangani dokter Sakura saja, yah. Aku berniat menjodohkan mereka, kok."

Ayahku mengerem mendadak. Kepalaku terbentur jok depan. Kupikir ayah kaget mendengar perkataan Itachi tapi ternyata memang kebetulan saja lampu merah. Ibuku dan ayah kompak menoleh ke belakang. Memandang Itachi penuh curiga. Apalagi aku. Mataku tak lepas dari dia yang senyum-senyum penuh arti.

.

.

.

Favoritku saat SMA adalah ruang musik 2. Disana ada baby grand piano*) yang cukup bagus. Ketika tidak ada pelajaran aku sering ke sana dan memainkan piano. Di ruang musik 2, itulah Haruno Sakura membolos. Ia benci dengan sekolah karena begitu lulus sekolah ia akan kuliah menjadi pegawai kantoran dan mengulang siklus berangkat pagi pulang petang setiap week days. Dia tidak mau menjalani hidup seperti itu nantinya. Ia memutuskan membolos biar ia tidak mengerti apapun dan tak diterima kuliah dimanapun. Ia merasa dunia tidak adil karena dunia tidak mendukungnya untuk melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Di ruang musik 2, aku melihat seorang gadis tidur melingkar seperti bayi di lantai. Aku melepas jasku dan kugunakan untuk menyelimutinya. Karena dia seperti bayi, aku mainkan twinkle twinkle little stars untuknya. Biarlah dia tidur dan melupakan semua tentang dunia.

Sakura tidak tidur. Meski ia memejamkan mata, ia mendengarkan dengan seksama permainan pianoku hari itu. Permainan yang bisa menyentuh hati seseorang, katanya. Ia diam-diam menangis karena terlalu indah. Ia mengerti aku memainkan piano dengan sepenuh hatiku. Memainkan dengan segala yang terbaik dariku. Memainkan piano seakan hari terakhirku bermain.

Sejak hari itu, Sakura mulai hidup seakan hari ini adalah hari terakhirnya untuk hidup.

Hanya karena permainan pianoku.

Sebuah kisah tentang Sakura yang Itachi ceritakan padaku. Sebuah kisah yang terlupakan olehku.

.

.

.

"Apa masih sakit?"

Aku menggeleng. Sakura kemudian menuliskan sesuatu di kertas yang berada dihadapannya. Selanjutnya ia akan memberitahuku ini itu agar aku aku tidak cedera lagi. Aku mengiyakannya kemudian dia akan menyilakan aku keluar dari ruangan.

Begitulah rutinitas kami. Tidak ada hubungan romantis yang Itachi harapkan. Ini sesi terakhir aku terapi bersama Sakura, apakah kali ini berakhir seperti yang kubayangkan? Mungkin aku harus mencoba mengubah khirnya.

"Ng, Sakura, apa benar yang dikatakan Itachi? Di ruang musik 2?"

Sakura menghentikan kegiatannya dan menatapku keheranan. "Kau percaya? Itu hanya alasan agar dia mau menelfonku dan aku bisa mendengar konsermu."

Tentu saja aku percaya karena aku ingat menemukan jasku terlipat rapi di ruang musik keesokan harinya. Padahal aku berharap ia mengakui perasaannya dan kemudian percaya bahwa harapan Itachi tidak konyol. Aku pun kembali mengejarnya dengan memberi pertanyaan, "Lalu kenapa kau ingin mendengar konserku?"

Sakura tertawa renyah. Ia kemudian akan mengatakan, "aku hanya ingin melakukan apa yang ingin kulakukan."

"Cih. Sepertinya apapun itu adalah hal yang ingin kau lakukan. Apa ada hal yang tidak ingin kau lakukan?"

"Ada. Aku tidak ingin pergi ke bulan. Biar bagaimanapun jadi astronot itu keliatannya tidak sesuai denganku."

Bahkan sudah jadi dokter pun jawabannya tetap seenaknya sendiri.

"Aku penasaran." Aku menatapnya intens. Dia tak menunjukkan respon apapun. Mata hijau itu masih sama. Tetap berkilauan seperti permata. Penuh keceriaan.

Lalu aku mengucapkan sebuah pertanyaan membuat mata itu berubah sendu,

"Apakah ada hal yang sangat ingin dilakukan Haruno Sakura tapi ia tidak bisa lakukan?"

"Ada."

Aku mengangkat sebelah alisku.

"Berhenti mencintai Uchiha Sasuke."

Pengakuan Sakura membuat koneksi neuron-neuron di otakku putus. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, kukatakan atau apapun itu. Aku hanya ingin menghilang dari ruangan ini dan memikirkan perkataan Sakura lebih lanjut atau meminta pendapat Itachi bagaimana caranya menghadapi situasi seperti ini. Sejauh yang aku tahu, tak ada satupun tindakannya yang menunjukkan dia menyukaiku sejak pertama bertemu. Bahkan ia menyangkal tentang kejadian di ruang musik, lalu dari mana ia mencintaiku?

Tatapan Sakura melembut, ia tersenyum lebar ke arahku dan dengan percaya diri mengatakan,

"Aku tidak bisa melakukannya karena aku mencintai Uchiha Sasuke tanpa alasan."

Jika tanpa alasan, kau tak akan bisa berhenti mencintaiku, bodoh. Inilah mengapa,

"Kau benar-benar sangat menyebalkan."

.

.

.

Tanpa alasan.

Tanpa pertanyaan.

Hanya kita berdua.

Dan biarkan waktu berhenti.

.

.

.Fin.

Catatan Author :

score film : backsound film, lagu latar (ost) yang tampil di film biasanya disebut score

fetish : kata gugel, sih, sebagian dari manusia yang bikin lebih nafsu, misal kaki aja, atau leher aja bikin nafsu

residen : dokter yang ngambil pendidikan spesialis

baby grand piano : grand piano tp ukuran lebih kecil.

Karena pada nanya sekuel, saya tambahin dikit tapi dari sudut pandang Sakura.

Curhat Author : (panjang, skip aja)

Well, ini fic masih belum memuaskan aku ( .-. ) Tadinya ga mau di publish tapi aku bikin fic ini mengorbankan nilai UTSku. Udah nulis ulang mpe 4 kali karena ga puas sama plotnya. Udah riset ini itu. Dari dibikin sett pas kuliah sampe mencoba bikin dari POV orang ketiga. Awalnya yang mau kubikin sakit itu Karin, tapi karena paling ga suka pair SasuHina, trus aku bikin aja Hinata *evilsmirk*. Sebenernya aku bikin fic ini buat ngungkapin pemikiranku aja, sih, jadi plotnya malah amburadul. Aku mikir : apa benar kita harus melakukan sesuatu demi orang lain seperti 'aku pengen jadi ini demi membahagiakan si ini', 'aku pengen jadi ini karena dia', dsb. Dan sengaja aku bikin Sasuke tega banget ma Hinata krn aku lihat disekitarku kebanyakan orang merasa terkekang dengan alasan nurani. Seperti, 'aku masih pacaran sama dia karena kasihan dia sendirian' atau 'aku masih ikut klub nyebelin karena ga enak kalo mau keluar'. Toh, Sasuke emang raja tega :v (alasan jadi fans Sasuke :3).

Btw, covernya jelek krn ga niat bikin. Maaf abang Sasu, kamu jadi jelek.

Btw lagi, kalimat ini : "Tidak ada kejahatan yang lebih keji daripada pengelabuan jati diri." - Aku ambil dari buku Supernova-nya Dee Lestari yang ke-6, Intelegensi Embun Pagi.

Btw lagi, fic ini mau kupost di tumblrku.

Fic ini buat saya persembahkan buat temen saya yang depresi dan orang-orang depresi lainnya, para first reader first fic saya (maaf, males nyebut satu-satu), juga buat yang mau mampir. Dan orang-orang yang berusaha melakukan apa yang ingin dilakukannya. Keep fighting!

Thanks buat yang udah mau mampir. :3