1. INTRODUCTION


"The beginning that prepares for the main part of the piece"

.

.

.

Lai Guanlin. Dari namanya terdengar jelas bahwa ia bukanlah seorang pribumi di Tanah Ginseng. Lelaki itu lahir dan tumbuh di sebuah negara kepulauan berukuran kecil yang terletak 180 kilometer di sebelah timur Negara Tiongkok. Iya, Taiwan.

Jika kau berpapasan dengan lelaki itu, maka bisa dipastikan kau tak akan mampu berpaling minimal selama sepuluh detik, bahkan tak jarang bisa lebih lama dari itu. Bahkan pada saat lelaki itu sudah berjalan melewatimu, maka kepalamu akan secara otomatis bergerak menoleh, mengikuti kemana lelaki itu melangkah. Kenapa? Karena Guanlin sangat amat tampan.

Tubuhnya tinggi (183 sentimeter), kulitnya putih mulus, sepasang matanya tajam, hidungnya mancung, bibirnya tebal nan seksi, dan semua paket komplit itu masih mendapat bonus berupa sebuah lesung pipit di pipi kirinya.

Anugerah yang diberikan oleh Sang Maha Kuasa tak berhenti sampai di situ. Sang lelaki Taiwan berumur tujuhbelas itu juga dikaruniai otak yang cemerlang. Bahasa Inggris dan Matematika adalah dua mata pelajaran yang paling ia kuasai. Selain itu, sang pemuda tampan juga pandai bermain alat musik dan mahir memantulkan benda bulat berwarna orange dan melesakkan benda itu ke dalam ring. Benar, Guanlin juga jago basket.

Si Pemuda Lai sudah meninggalkan tanah kelahirannya sejak ia berada di tingkat tiga sekolah menengah pertama. Usia yang masih sangat belia pastinya, tapi itu tak menyurutkan niatan orang tuanya untuk mengirim putra bungsunya ke tanah Korea. Tentu ada alasan di balik semua keputusan. Dan alasan itu berkaitan dengan kelemahan Guanlin.

Benar, sosok yang nyaris sempurna itu juga memiliki kelemahan. Di balik tampangnya yang menawan, tersimpan sesosok monster yang sebenarnya. Jangan terlalu berpikir positif tentang kata 'monster'. Terima saja kenyataan bahwa kata itu mengandung makna denotasi. Guanlin memang seorang monster. Lebih tepatnya, ia adalah vampir. Itulah alasan kenapa ia berakhir di tanah Korea. Benar, ia dibuang oleh orang tuanya. Sebuah cerita yang panjang. Percayalah.

Beruntung, seorang sobat lama bersedia menampung sang makhluk penghisap darah di Korea. Bukan, kawan lamanya itu bukanlah sesosok vampir seperti dirinya. Sosok itu hanyalah manusia biasa yang masih gemar mengonsumsi nasi dan pizza, bukan penikmat darah merah seperti Guanlin. Namun sosok itu memiliki hati malaikat sehingga bersedia menampung Guanlin meskipun telah mengetahui identitas pemuda itu yang sesungguhnya.

Berasal dari keluarga kaya, sosok sahabatnya itu bahkan menyediakan tempat tinggal pribadi dan juga mengurus kepindahannya di salah satu sekolah menengah pertama di Seoul saat itu. Sudah lebih dari satu tahun berlalu, tapi sampai saat ini kawan karibnya itu masih memfasilitasi Guanlin di Korea. Meskipun saat ini mereka berada di sekolah menengah atas yang berbeda, namun mereka tetap menjalin hubungan dekat dan Guanlin tetap bergantung pada kawannya itu seperti seekor kanguru yang bernaung di kantong induknya.

Guanlin sekarang berada di tingkat pertama sekolah menengah atas. Sudah satu semester lamanya ia menjadi siswa salah satu sekolah khusus pria di pusat Kota Seoul setelah ia berhasil menamatkan pendidikan pada level di bawahnya. Guanlin sendiri yang memilih sekolah itu dengan dalih bahwa ia tak mau berurusan dengan murid perempuan yang setiap hari akan mengekorinya layaknya anak ayam yang setia membuntuti induknya. Sudah cukup ia menikmati popularitasnya di sekolah menengah pertama. Sekarang ia ingin menjadi siswa biasa di sekolah khusus pria.

Ia bahkan rela berpisah dengan sahabatnya yang ogah terjerumus dalam sekolah yang penuh dengan testosteron dan lebih memilih bersekolah di sekolah umum. Ia tidak tahu saja bahwa di sekolah yang isinya pria semua itu terdapat banyak oknum yang orientasinya menyimpang, dan pada akhirnya ia tetap dikagumi oleh teman-teman yang sebenarnya sejenis dengannya.

Hari ini Guanlin memasuki kelas tepat pada saat bel masuk diperdengarkan. Meskipun ia memiliki otak cemerlang, namun Guanlin bukanlah tipe siswa rajin yang akan tiba di sekolah tigapuluh menit sebelum bel berbunyi.

Lelaki tinggi semampai itu menempati bangkunya yang berada tepat di samping jendela. Bangku yang terletak di pojok belakang kelas, tempat terbaik untuk melamun. Ah, tidak. Guanlin jarang melamun kok saat di kelas.

"Kukira kau terlambat."

Nama pria yang bersuara itu adalah Park Woojin, sosok lelaki berkulit gelap eksotis yang duduk tepat di depan bangkunya namun saat ini menolehkan kepalanya ke arah Guanlin.

"Biasanya aku memang datang jam segini. Tidak perlu mengkhawatirkanku."

Balasan dingin dan acuh dari Guanlin membuat Woojin mendengus dan memutar kepalanya kembali menatap ke depan. Lelaki bergingsul itu menyesal sudah susah-susah menyapa sahabatnya yang super narsis itu.

Dingin dan acuh. Image itulah yang dibangun oleh Guanlin semenjak ia pindah ke Korea. Benteng kokoh tak kasat mata ia bangun dengan kuat, tak membiarkan siapapun mendobraknya. Iya, siapapun, kecuali Park Woojin yang berhasil mengecoh pertahanan Guanlin dan menyelinap masuk. Mencuri satu tempat di hati Guanlin sebagai satu-satunya sahabat di sekolah. Walaupun hingga detik ini Woojin tak tahu identitas Guanlin yang sebenarnya.

Seorang guru yang diketahui mengampu mata pelajaran Kimia memasuki ruang kelas itu, membuat duapuluh empat siswa yang berada di dalam kelas langsung duduk dengan tenang. Sang ketua kelas yang duduk di pojok depan lantas memimpin prosesi pemberian salam yang diikuti oleh teman-temannya.

Sang guru yang juga berjenis kelamin laki-laki itu menjawab sapaan dengan senyuman tipis. "Selamat pagi juga, Anak-anak. Hari ini kalian sangat bersemangat, ya?" ia bertanya penuh basa-basi yang dibalas dengan malas oleh para siswa. Sudah jelas siswa-siswanya terlihat loyo begitu, tapi malah disebut bersemangat. Bermaksud menyindir?

Sedikit terkekeh geli, sang guru melanjutkan, "Hari ini kita kedatangan murid baru pindahan dari Pohang." Pria berumur 40-an itu menatap ke arah pintu yang masih terbuka dan memberi isyarat pada seseorang yang berdiri di depan pintu. "Ayo masuk dan perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu."

Tak lama kemudian, sesosok siswa tinggi memasuki ruang kelas. Siswa itu terlihat menonjol dengan kacamata bulat dan rambut jamur berwarna hitam.

Siswa baru itu berdiri di samping sang guru, kemudian membungkukkan badan. "Halo, semuanya. Saya Yoo Seonho dari Desa Songak di Pohang. Salam kenal."

Suara bisik-bisik riuh mulai terdengar di dalam kelas usai Seonho menuntaskan sesi perkenalannya.

"Dari desa, ya? Pantas penampilannya norak begitu."

Seorang siswa yang duduk di bagian tengah kelas tiba-tiba mengejek, membuahkan tawa dari para siswa yang lain. Mereka mulai membicarakan penampilan Seonho yang dapat dikatakan cupu itu. Kemeja putih yang dikancingkan sampai kancing teratas dan ditutup oleh simpul dasi, blazer sekolah yang dikancing rapi, celana panjang yang disetrika dengan garis vertikal di bagian depannya, serta sebuah ransel besar berwarna kuning yang menggantung di punggung anak itu. Argumen yang cukup kuat.

Tapi sepertinya, Seonho tak terima. "Kau menghina orang desa, ya?" Anak itu menggertak kesal. "Iya, aku memang orang desa, lahir dari keluarga petani di desa sana, hidup dikelilingi gunung dan hutan. Lalu kenapa, hah? Kau orang kota menggantungkan hidup pada kami. Kau pikir berasal dari mana sayur dan buah yang masuk ke perut gendutmu setiap hari?"

Seisi kelas kini balas menertawakan siswa yang tadi mengejek Seonho. Merasa geli mendengar kata 'gendut' yang disuarakan oleh si anak baru tanpa kenal takut.

Merasa dipermalukan, si gendut segera bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Seonho. Tangan gempalnya meraih kerah kemeja Seonho walaupun ia harus berjinjit karena tubuhnya kalah tinggi. "KAU MENGATAIKU GENDUT, HAH?" Bentakan itu terdengar keras dan lantang.

Sang guru hanya bisa menggelengkan kepala melihat perselisihan dua siswa di depannya. Sebelum semua semakin berlarut, ia menengahi, "Skornya 1-1. Park Jihoon, lepaskan Yoo Seonho."

Meskipun merasa bingung, tapi siswa bernama Park Jihoon itu membebaskan kerah kemeja Seonho. "Skor apa, Pak? Kami tidak sedang bertanding," tanya anak itu kebingungan.

"Kau menyebut Yoo Seonho orang desa, dan Yoo Seonho menyebutmu gendut. Kalian berdua sama-sama membicarakan kebenaran. Skornya imbang sekarang."

Jihoon mendengus keras, sementara Seonho menyeringai puas. Toh sejak tadi Seonho memang santai meskipun lelaki pendek di depannya terlihat amat murka seolah ingin mencabut nyawanya tanpa sisa.

"Urusan kalian selesai, oke? Saya tidak mau mendengar ada berita bullying setelah ini. Kalian tahu kalau sekolah ini tidak memberikan toleransi pada kasus bullying, 'kan? Jadi sebaiknya lupakan semuanya dan duduklah di kursi kalian—Yoo Seonho, kau bisa menempati bangku kosong di depan bangku Park Jihoon."

"Kenapa harus di depan bangku saya, Pak? Kenapa tidak di tempat lain?"

"Kau lihat ada bangku kosong selain di depan bangkumu, Park Jihoon?"

Jihoon memandang sekitar, dan benar saja, hanya tersisa satu bangku kosong di kelasnya. Lelaki berpipi tembam itu bahkan harus berjengit kaget ketika tangan kanannya tiba-tiba saja diangkat dan bersentuhan dengan tangan lain secara paksa.

"Maafkan aku, Kak Jihoon. Tadi aku hanya bercanda kok. Kita berteman saja, ya?"

Ternyata Seonho yang menjabat tangan kanan Jihoon secara paksa. Siswa baru itu kini tersenyum lebar sampai dua pipi gemuknya tertarik ke samping. Hidungnya kembang-kempis dan mata bulatnya mengedip lucu. Sungguh imut hingga Jihoon tanpa sadar melepaskan tangannya dari genggaman Seonho dan memindahkan tangan itu ke pipi Seonho—mencubitnya gemas.

"Kau imut sekali, sih? Jadi adikku ya mulai sekarang!"

Seisi kelas dibuat bengong melihat pemandangan aneh itu. Tadi Jihoon mengamuk dan ingin menghabisi Seonho, tapi sekarang lelaki pendek itu justru sedang memainkan pipi gemuk Seonho layaknya sedang bermain squishy. Lalu kenapa pula seenaknya Seonho memanggil Jihoon dengan sebutan 'kak' dan Jihoon pun mengklaim Seonho sebagai adiknya? Mereka saja belum tahu siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda. Sungguh, sajian drama di depan kelas berakhir antiklimaks.

Seonho pun akhirnya hanya bisa pasrah saat sepasang pipi gempalnya ditarik gemas dari dua arah yang berlawanan. Pasti akan merah, pikirnya. Lelaki bertubuh tinggi itu tanpa sadar mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kelas untuk melupakan rasa sakit yang dideritanya, dan tanpa sadar pula sorot matanya terpaku pada sosok Guanlin yang juga sedang menatapnya. Seonho tiba-tiba tak bisa berpaling. Sebongkah magnet nampaknya terus menarik atensinya pada pemuda berkulit putih pucat di belakang sana. Benar, setidaknya orang akan terpaku selama sepuluh detik saat pertama melihat Guanlin. Dan secara rinci, Seonho terpaku selama duapuluh tiga detik sebelum sang guru menginterupsi dan memintanya untuk duduk.

"Anak itu lucu juga, ya?"

Guanlin mengerjap setelah mendengar bisikan lirih dari arah depannya. "Siapa?" ia balas bertanya.

"Yoo Seonho. Bisa-bisanya ia menaklukan si pemarah Park Jihoon hanya dalam waktu enam menit dan sebelas detik sejak mereka bertemu. Menggemaskan sekali."

"Kau sudah punya Hyungseob. Ingat?"

Ah, benar. Woojin merupakan salah satu siswa dengan orientasi menyimpang di sekolah itu. Pemuda pemilik nama depan Park itu telah menjalin hubungan rahasia dengan salah satu teman sekelasnya. Iya, rahasia. Hanya beberapa orang saja yang mengetahuinya.

Meskipun sulit, tapi fakta bahwa salah satu orang terdekatnya memilih jalan yang menyimpang coba diterima dengan lapang dada oleh Guanlin. Lagipula bukan salah Woojin jika anak itu jatuh cinta pada seorang anak laki-laki yang bernama Hyungseob itu. Faktanya, pemilik hati seorang Park Woojin itu memiliki paras yang tak kalah cantik dengan gadis manapun. Tak heran jika Woojin takluk di bawah kaki sang lelaki berparas ayu.

Merasa kalah berdebat dengan Guanlin, Woojin pun akhirnya memilih untuk memfokuskan atensinya kembali ke depan, meninggalkan sahabatnya yang entah karena apa kini malah memandang misterius ke satu arah, tepatnya ke meja si anak baru.

—Ӂ—

Begitu bel istirahat terdengar, tiga kepala tampak mengitari bangku si anak baru. Park Jihoon, Ahn Hyungseob, dan Justin Huang. Itulah tiga nama yang tertera pada name tag seragam tiga siswa itu.

"Jadi, kau benar-benar berasal dari desa, ya? Kenapa pindah ke Seoul setelah satu semester berlalu? Apa hidup di desa tidak menyenangkan?"

"Iya, benar. Kenapa tiba-tiba pindah? Apa Seonho sudah bosan tinggal di desa? Di sana tidak ada wanita cantik, ya?"

"Hyungseob, Justin, hentikan. Kalian membuat adikku bingung dengan pertanyaan-pertanyaan kalian."

Seonho tersenyum melihat perdebatan tiga siswa yang sejak tadi berisik mengelilinginya. Lucu juga anak-anak kelas ini, pikirnya.

"Kau itu kenapa, Park Jihoon? Seenaknya saja mengklaim Seonho sebagai adikmu. Memangnya kau lebih tua darinya, hah?"

"Biarkan saja. Kau sebenarnya iri 'kan karena tidak bisa mendapatkan adik selucu dia, Ahn Hyungseob?"

"Iiih.. Kalian kenapa, sih? Justin gagal paham!"

Maklum, Nak. Otakmu memang masih 2G, belum sempat diupgrade.

"Kakak-kakak ini kenapa? Aku tidak masalah kok kalau harus menjadi adik dari semua orang di sini. Aku malah suka."

Jihoon, Hyungseob, dan Justin sontak berhenti memperdebatkan hal yang tidak penting dan beralih menatap Seonho. Si siswa baru saat ini mendongak menatap mereka dengan puppy eyes-nya yang sangat menggemaskan.

"Ya ampun! Kenapa kau bisa selucu ini, sih? Kau juga adikku mulai sekarang. Ayo coba panggil aku 'Kak Hyungseob'. Ayo cobalah, Adikku."

Seonho meringis senang mendengar perintah Hyungseob yang terdengar seperti seorang ibu yang sedang melatih putranya untuk berbicara. Tapi mau tak mau, lelaki berbibir tipis itu akhirnya menurut juga. "Iya, Kak Hyungseob..."

Dengan gemas si pemilik nama mencubiti pipi Seonho. Ya... Walaupun detik berikutnya lelaki berkulit putih mulus itu harus berebut dengan seorang Park Jihoon untuk bisa memainkan squishy hidup di depan mereka.

"Justin benar-benar tidak mengerti. Tapi yang penting, jangan panggil Justin dengan panggilan 'kak' ya, Seonho? Justin tidak mau punya adik! Nanti kasih sayang ibu dan ayah Justin berkurang kalau Justin punya adik."

Terserah kau saja, Justin Huang. Jalan pikiranmu memang sudah sangat melenceng dan sukar untuk diluruskan.

Seonho dengan susah payah berusaha mengangguk dan segera melepaskan diri dari cengkeraman dua kakak barunya. "Sudah ya, Kakak-kakak? Aku ingin menjawab serentetan pertanyaan kalian tadi. Oke?"

Untungnya Jihoon dan Hyungseob menurut dan mengangguk. Tiga manusia aneh yang sejak tadi berdiri itu pun akhirnya mengambil tiga kursi kosong dan mendudukinya menghadap Seonho.

"Jadi, aku memang berasal dari desa, dan aku pindah ke Seoul karena pesan mendiang kakekku dua bulan lalu. Beliau yang memintaku pindah ke sini. Hidup di desa sebenarnya menyenangkan, tapi sayangnya aku harus menempuh perjalanan jauh ke kota untuk sekolah. Dan di desa sebenarnya banyak wanita cantik kok. Tidak hanya di kota."

Tiga manusia lain yang ada di sana mencoba mencerna penjelasan Seonho yang lumayan panjang itu. Si anak baru benar-benar merangkum jawaban untuk pertanyaan Hyungseob dan Justin.

"Jadi, karena kakekmu ya kau akhirnya pindah ke sini? Tapi kenapa beliau memintamu untuk meninggalkan desa dan pindah ke kota?" Jihoon yang pertama memberi respon.

"Sejak aku berumur delapan tahun, aku tinggal bersama kakekku karena orang tuaku meninggal saat itu. Dan dua bulan lalu kakekku juga meninggal karena beliau sudah sangat tua. Sebelum meninggal, kakekku memberiku sejumlah uang dan memintaku untuk pindah ke Seoul karena suatu alasan."

Hyungseob mengangguk paham. "Alasannya apa?" Meskipun pada akhirnya lelaki berperawakan mungil itu melempar tanya.

"Itu rahasia. Aku tidak bisa mengatakannya pada kalian."

"Ih, Seonho sok main rahasia pada kami! Justin tidak suka!"

"Justin, jangan begitu! Seonho berhak menyimpan rahasia, tahu!"

Justin pun mengerucutkan bibirnya sebal mendengar teguran Jihoon.

"Lalu sekarang kau tinggal dengan siapa di Seoul?" Kali ini Hyungseob kembali memberi pertanyaan.

"Aku tinggal sendirian. Uang yang diberikan oleh kakekku tidak begitu banyak, jadi aku menyewa sebuah flat kecil di pinggiran kota."

"Di pinggiran kota? Itu artinya, tempat itu sangat jauh dari sini? Kau naik apa saat ke sekolah?" Kali ini Jihoon yang bertanya.

"Aku naik kereta bawah tanah, lalu naik bus. Di kota sarana transportasinya lengkap, jadi tidak masalah."

Anak itu bisa-bisanya nyengir santai padahal hidupnya jelas tidak mudah karena harus menempuh perjalanan panjang dengan beragam jenis sarana transportasi.

"Repot sekali sih, Seonho? Lebih baik tinggal sama Justin di rumah Justin. Dekat kok dari sini. Lagipula, nanti bisa diantar-jemput oleh kakak Justin."

Seonho tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya menanggapi tawaran Justin. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja kok. Setelah ini aku akan mencari pekerjaan sampingan untuk menyambung hidup. Kalian tenang saja."

Sedikit aneh memang. Tiga orang itu baru saja mengenal Seonho, tapi mereka sudah sangat peduli pada Seonho. Saat ini mereka bahkan menatap Seonho dengan pandangan sendu. Tanpa aba-aba, tiga siswa yang sedikit unik itu berdiri lalu menyergap Seonho dengan pelukan erat. Seonho sedikit terhuyung karena perlakuan dadakan itu.

Tapi lelaki rambut jamur itu akhirnya tersenyum dan membalas pelukan tiga kawan sebayanya. Senyum itu baru pudar ketika mata besarnya yang dibingkai oleh kacamata bundar menangkap pemandangan dua sosok lelaki dengan tinggi badan yang berbeda berjalan tanpa suara keluar dari kelas. Lebih tepatnya, mata cantik itu menatap sosok pemuda tinggi berkulit putih pucat yang sebelumnya menempati kursi pojok belakang kelas.

TO BE CONTINUED