Disclaimer: I own nothing. I don't own Inuyasha, I'm just renting them from Rumiko Takahashi, Viz, etc. I will make no money from this fic, I write for my own enjoyment and the enjoyment of my readers.

Soba: Mie dingin.


Sekarang, kau bisa berhenti bertanya-tanya di mana letak rahasiaku karena kau telah mengetahuinya. Kau benar, hubunganku dan Sesshoumaru berawal dari peristiwa konyol, bodoh, dan memalukan bagi kebanyakan orang, tak terkecuali diriku.

Itu adalah rahasia terbesarku.

Tapi, dongeng-bahagia-selamanya milik kami tidak dimulai begitu saja. Meski tidak ada kutukan yang harus dipatahkan, naga raksasa bengis yang harus dikalahkan atau penyihir wanita kejam yang harus disingkirkan, sudah tentu, banyak aral dan rintang di jalur yang harus kami lalui.

Dan, yang harus kau ketahui, Kawan, yang akan kuceritakan berikut ini adalah salah satu bagian terbaik dari kisahku.

.

.

.

Hari yang dinanti akhirnya menghampiri, aku bangun pagi-pagi sekali demi menyiapkan segala keperluan untuk di Osaka. Jumat sore, seusai jam kantor, kami berangkat menuju Bandara Haneda. Selama di mobil, Sesshoumaru seringkali sibuk dengan gawainya. Sepanjang waktu di pesawat, kami hanya bertukar kata seperlunya saja, itupun hanya pada sepuluh menit pertama. Menit-menit berikutnya Sesshoumaru sibuk membolak-balik majalah bisnis yang disediakan. Sedangkan aku? Aku mati kutu. Aku ingin sekali mendengarkan musik, tapi takut terkesan tidak sopan bila saja tiba-tiba Sesshoumaru ingin mengajakku bercakap-cakap. Aku berusaha membaca majalah yang diberikan oleh seorang pramugari cantik namun, rasanya amat sukar untuk fokus membaca bila duduk berhadap-hadapan dengan sang atasan.

Kala itu, aku sibuk menyesali keputusanku dalam hati. Seharusnya, aku bisa menolak ajakan untuk ikut perjalanan bisnis itu. Semestinya, aku ikut berjejalan di dalam pusat perbelanjaan, mencari barang diskon berkualitas tinggi untuk kado Natal Souta nanti, bukannya tenggelam dalam kecanggungan seperti saat itu. Jengkel dengan keadaan dan menemukan ide brilian disaat yang bersamaan, pada akhirnya, aku menyandarkan kepala ke sandaran kursi, dan membiarkan rambut yang tergerai menutupi sebagian wajahku.

Iya, aku tahu, itu sangat tidak profesional akan tetapi, mungkin itu adalah hal yang wajar yang dilakukan oleh wanita yang sedang kasmaran.

Satu jam−yang terasa sangat cepat−kemudian, aku terjaga dari tidur pura-puraku setelah tiga kali mendengar suara baritone itu memanggil, "Kagome." Setelah membuka mata dan memasang wajah baru bangun tidur terbaikku, pria itu memberitahu, "sepuluh menit lagi kita akan tiba di Bandara Itami."

Selagi menegakkan duduk, meminta maaf, dan merapikan diri, lekas-lekas aku menyahut, "baik." Tanggapan pria itu hanya sebuah anggukan kecil lalu, ia pun kembali memusatkan perhatian pada pemandangan di luar jendela.

Total perjalanan yang ditempuh dari kantor kami di Tokyo ke tempat kami menginap di Osaka adalah dua jam. Setibanya di hotel berbintang itu, kami segera masuk ke kamar masing-masing. Sesshoumaru membuatku memesan dua kamar serupa yang bersebelahan. Mungkin agar ia lebih mudah bila sewaktu-waktu membutuhkan bantuanku, pikirku.

Niat untuk merenggangkan punggung di ranjang barang sejenak terlupakan kala pertama kali aku memasuki kamar. Apa yang aku lihat di situs resmi hotel itu tidak menggambarkan dengan adil keaadaan aslinya. Kamar seluas seratus sepuluh meter yang kutempati untuk satu malam itu sangatlah elegan, karpet berwarna krem melapisi lantai, kasur empuk berbalut sprei putih menghadap ke jendela kaca setinggi dua meter, di balik tirai putihnya, pemandangan indah di Osaka pun terhampar. Tak jauh dari ranjang, berdiri kokoh lemari kayu yang berisi deretan botol alkohol mahal dari berbagai jenis. Dua langkah dari lemari itu terdapat meja kerja kecil. Dan di sudut lain ruangan, masih di dekat jendela, ada titik khusus untuk bersantai, dua sofa yang terlihat sangat nyaman mengapit satu meja baki berbentuk lingkaran.

Waktu seakan berlalu dalam kerjapan mata, sesaat lalu, aku baru saja sampai di hotel, belum sempat mencoba bathtub besar di kamar mandi mewah berdinding marmer dan kini, aku sudah harus menyiapkan diri.

.

.

.

Jam menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh menit malam, tubuhku sudah terbalut oleh gaun hitam sebatas lutut dengan bagian lengan tiga perempat yang transparan dan berenda, juga gesper merah tipis yang melingkar di pinggang sebagai pemanis. Saat itu, aku sudah berada di dalam sebuah restoran Prancis yang sangat formal dan berkelas, duduk di samping Sesshoumaru, menghadiri pertemuan yang telah lama dijadwalkan dengan Totosai, sang Direktur Utama P. Corporation.

Persis roda ketiga pada sebuah kendaraan, aku kikuk dan canggung.

Beruntungnya, meski di luar kemeja putihnya Sesshoumaru mengenakan setelan baru yang berwarna biru navy dengan vest serta dasi yang senada dan melibatkan pihak dari perusahaan lain, pertemuan itu tidaklah dapat dikatakan resmi. Tidak seperti bayanganku, pembicaraan mengenai bisnis−yang sebenarnya dapat dilakukan lewat telepon−hanya terjadi tidak lebih dari lima belas menit lamanya. Setelah makanan pembuka habis, perbincangan yang terjadi beralih ke hal-hal lain yang lebih ringan.

Aku dan Sesshoumaru mendengarkan Totosai bercerita tentang banyak hal. Pria tua itu mengenakan setelan hitam, meski surai abu-abu di bagian atas kepalanya sudah meranggas tapi ia membiarkan bagian bawahnya memanjang hingga sebahu dan menguncirnya. Meski tubuhnya tergerus oleh usia, keramah-tamahan dan kewibawaan masih memancar dari kulit wajahnya yang mengendur dan penuh kerut.

Walaupun kebanyakan ceritanya berasal dari pengalaman pribadi yang seringkali membuat pendengarnya tertawa kecil tapi, menurutku, semua yang dikisahkan olehnya mempunyai satu pesan yang sama: jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan atau kau akan merasakan penyesalan.

Tentu saja, kurasa pesannya itu tidak berlaku untuk hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Pada akhirnya, menu utama dihidangkan. Sejenak, aku tertegun mengagumi dedikasi para koki pada potongan salmon yang dilapisi oleh irisan mangga dan dihiasi oleh es tipis berbentuk siluet ikan di atasnya. Ketika aku berhati-hati merusak seni yang menjadi makan malam itu, Totosai bertanya hanya kepadaku, "Apakah kau pernah ke kota ini sebelumnya?"

Aku memandangnya lalu mengangguk. "Tapi itu sudah lama sekali, dalam rangka kunjungan tahunan saat aku masih di sekolah dasar," ungkapku jujur.

Selagi mengunyah perlahan, aku mendengarkan pria tua itu berceloteh, "Kuanggap kau belum pernah mengunjungi restoran Takama."

Dengan sudut-sudut bibir yang tertarik ke atas secara sukarela, setelah menelan, aku menyahut, "aku yakin belum."

Kedua mata Totosai menerawang bagai melukiskan kembali masa lampau kala bercerita, "sebelum menjadi restoran berbintang, dahulu, tempat itu hanyalah sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Seiring waktu, mereka berkembang. Aku mengenal baik pemilik sekaligus kokinya, dia sangat ahli."

Setelah ia menyesap sedikit minuman yang ada di gelasnya, pria tua itu melirik ke arahku dan melanjutkan kisahnya dengan penuh semangat, "Kau dianggap belum pernah makan mie dingin hingga mencicipi soba di sana. Aku akan menyuruh asistenku memesankan tempat untuk kalian berdua besok siang. Kalian bisa menikmati makan siang di Takama sebelum kembali ke Tokyo."

Aku menatap Sesshoumaru tepat di waktu yang sama saat ia memutuskan untuk meneliti ekspresiku. Otomatis, aku tertunduk sedetik lamanya sebelum kembali mengalihkan perhatianku kepada pria tua yang sangat ramah itu.

Sesshoumaru berkata dengan suara dan wajah datar, "tentu, akan sangat menyenangkan."

"Terima kasih banyak, Tuan Totosai," imbuhku.

"Aku harap, kalian berdua akan kembali mengunjungiku di sini," kalimat itu ia tujukan pada Sesshoumaru. Pria itu menoleh, memberikanku senyum, dan berkata lagi, "Dan, Kagome, meski aku yakin kau akan setuju dengan pendapatku, suatu saat nanti kau harus bercerita secara langsung kepadaku tentang hidangan di Takama."

Aku dan Sesshoumaru mengangguk serentak.

Komisaris utama sekaligus pendiri P. Corp itu mengangkat gelas anggurnya, Sesshoumaru mengikuti, begitu juga diriku. "Semoga hubungan baru ini dapat melahirkan kesempatan baru bagi kita semua," ucapnya.

Dengan itu, kami pun bersulang dan mengakhiri pertemuan.

Aku menatap kepergian pria tua itu dengan senyum mengembang.

.

.

.

Waktu sudah merangkak pukul sebelas malam tatkala kami berjalan di lobi hotel tempat kami menginap, Sesshoumarulah yang pertama kali membuka mulut, "aku akan minum sebentar di restoran lantai tiga puluh dua."

Aku menoleh kepadanya, tak pelak, perdebatan di benakku kembali terjadi.

'Apa itu sebuah ajakan?'

'Sudah tentu bukan, itu hanya pemberitahuan. Dasar, Kagome bodoh!'

Akan terkesan terlalu percaya diri bila aku menganggap itu sebagai undangan terbuka, oleh sebab itulah, aku hanya mengangguk dan menjawab, "Hai!"

Elevator masih jauh dari jangkauan tapi pria itu memperlambat langkah, menatapku, lalu berkata, "Kau mau bergabung?"

Oke, kali ini aku tidak keliru. Setelah sadar dari keterpukauan mental, disertai anggukan, aku melisankan persetujuan, "Tentu."

Selama menanti angka-angka digital berwarna merah di atas pintu bertambah, pemikiran tak henti-hentinya menggodaku. Hotel dengan harga selangit yang Sesshoumaru pilih juga terkenal sebagai hotel yang romantis di Osaka. Fakta penting lain yang kian menggenangi hatiku dengan luapan antusiasme, spot romantis di hotel itu adalah tempat yang kami tuju sekarang. Dari beberapa artikel yang aku baca saat hendak memesan kamar, restoran yang berada di lantai tertinggi hotel itu seringkali dijadikan tempat bagi para pria melamar kekasihnya. Atas apa yang aku pikirkan, kedua mataku sontak melebar.

Lamunanku lekas buyar ketika pergerakan elevator terhenti. Denting lembut lift yang terdengar beralih rupa menjadi alat kejut jantung−otot sekepalan tangan yang ada di dalam rongga dadaku yang sempat terhenti kini kembali berdetak.

Kami telah sampai di lantai yang dimaksud, pintu terbuka, tanpa adanya sekat, restoran megah dan mewah itu pun terpampang; karpet tebal berwarna merah tua menutup semua lantai yang terlihat, meja dan kursi yang berjajar rapi sebagian besar telah terisi. Pot-pot tanaman hidup memberikan nuansa segar, lampu gantung di beberapa tempat memberi kesan hangat, dan di tengah-tengah ruangan, terdapat seorang musisi duduk di hadapan piano hitam besarnya. Tetapi, yang paling menyedot perhatianku adalah pemandangan malam kota yang terlihat dari seluruh sisi kanan dan kiri restoran yang terbuat dari kaca, sangat menakjubkan.

Seorang petugas reservasi menawarkan bantuan, dan Sesshoumaru menyebutkan namanya. Dengan senyum profesional, wanita itu menyuruh seorang rekannya mengantarkan kami ke meja yang ia maksud.

Saat Sesshoumaru menyebutkan namanya, aku tahu bahwa sebelumnya ia telah memesan sebuah meja di tempat ini. Aku menangkis semua bisik naluri yang 'kan menjadikanku besar kepala dan terus mengulang dalam hati bahwa mungkin saja pada mulanya pria itu berencana menghabiskan waktu seorang diri.

Setelah beberapa puluh langkah, kami tiba di tempat yang sudah disediakan: Sebuah meja dengan dua kursi yang berada dekat jendela kaca tebal namun jernih. Sang pelayan menarik kursi untukku, lalu Sesshoumaru duduk di seberangku. Karena jauh dari bar, sedikit menyudut, meja kami adalah posisi terbaik bagi mereka yang menginginkan privasi dan titik terbaik memandang keindahan malam kota Osaka.

Tidak dalam jangka waktu lama setelah kami duduk nyaman, seorang pelayan memperkenalkan diri dan menanyakan apakah kami sudah siap memesan atau belum. Kemudian, pria itu pun mengimbuhkan bahwa ia akan menunjukkan menu terbaik yang mereka miliki bila kami berkehendak. Seusai pramusaji itu menyelesaikan kalimatnya, Sesshoumaru berkata bahwa kami hanya akan memesan minuman. Dengan satu senyum praktis, pria itu berkata bahwa itu adalah pilihan tepat di malam yang istimewa dan ia akan segera membawakan pesanan kami.

Sepeninggal pramusaji itu, Sesshoumaru merogoh kantung jas, dan beberapa saat kemudian, ia sudah kembali sibuk dengan gawainya.

Meredam kecanggungan, aku memalingkan wajah, dan memandang kejauhan di balik kaca. Di momen berikutnya, seluruh rasa gugup yang melandaku luruh seketika saat menyaksikan permadani malam bertabur ribuan kerlap-kerlip cahaya kecil berbagai warna nan mengagumkan, di langit, juga di bumi. Amat elok.

Tanpa diperintah, bola mataku bergerak, menatap Sesshoumaru dari ujung mata sebelum menoleh, lalu menatapnya. "Pemandangannya sangat indah!" Seruku dengan antusias.

Dorongan untuk berbagi perasaan indah yang tengah dirasakan sangatlah kuat dan aku pun mengerti: secara resmi, pada waktu itu, aku telah jatuh cinta pada Sesshoumaru.

Tepat di masa yang persis sama, bagian lain hatiku mempertanyakan: Apa itu pertanda buruk? Kuharap tidak.

Sebagai respons, Sesshoumaru lekas meletakkan gawainya di atas meja, memutar kepala untuk melihat obyek yang kukatakan, lalu menanggapi dengan sebuah gumaman, "hn."

Beberapa waktu setelahnya, kereta dorong dan seorang pramusaji mendekat. Botol berwarna gelap di dalam baki es pun diletakkan ke atas meja, pelayan yang sama lantas menuangkannya secara perlahan ke gelas kami. Dari tahun yang tertera di kertas kekuningan yang menempel di badan botol, aku tahu bahwa anggur yang akan kami minum sedikit lebih tua dari usiaku. Anggur itu mungkin memang tidak masuk dalam daftar sepuluh anggur termahal di dunia tapi, lagi-lagi aku tahu, bagiku dan kebanyakan orang, harga selangit melekat erat pada label minuman itu.

'Anggur, sama dengan alkohol. Dan alkohol, artinya mabuk.'

'Oh, tidak!'

Aku memperhatikan Sesshoumaru mengangkat gelas anggurnya, ia menggoyang-goyangkan gelas, kemudian mendekatkan hidungnya ke bibir gelas dan menyesap minuman itu. Meski bukan pencinta minuman beralkohol, bohong kalau aku mengatakan bahwa dengan melihat wajah puas pria itu, aku tidak tergiur mencicipi anggur yang sama. Akan tetapi, mengingat alkohol yang tidak terlalu bersahabat denganku, aku tidak bisa mengambil resiko.

Cukup sekali aku mempermalukan diri sendiri. Apalagi saat ini aku berada di hotel, berdua dengan Sesshoumaru, tidak ada yang mengenali kami. Bagi orang-orang di tempat ini, kami hanyalah seorang wanita dan pria asing yang berpergian bersama, seperti teman, sahabat, atau ... sepasang kekasih?

Eh, tunggu?! Mengapa alasan-alasan untuk tidak melakukan yang terlintas di benak malah terdengar seperti anjuran? Tidak, aku tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Apa sih yang aku pikirkan barusan?

Seraya menghela napas, aku mengumpat dalam hati, 'Baka!'

"Kau tidak minum?" tanya Sesshoumaru.

"Tentu, mengapa tidak?" Meski aku lekas menyahut, aku tahu, suaraku tidak terdengar meyakinkan. Aku mengangkat gelas anggurku, cairan itu bahkan tidak sampai ke lidahku dan hanya membasahi bibir, tapi aku sudah meletakkan kembali gelas itu ke atas meja.

Sesshoumaru memandangku lekat, seakan menunggu komentar. Aku yang tak tahu harus berkata apa hanya dapat balik menatapnya sambil memasang senyum kecil.

Kawan, kau juga pasti tahu apa yang orang tua petuahkan, 'Jangan pernah membiarkan sebuah perkara terpendam begitu saja di kepalamu. Tak peduli besar maupun kecil, prasangka yang kau miliki tak akan berhenti menggerogotimu.'

Percayalah, Kawan, aku paham benar. Karena itulah yang tepatnya kualami saat ini. Hanya dengan memikirkan isu yang ada antara aku dan Sesshoumaru membuat kepalaku terasa seperti hendak meledak.

Setelah menit berselang, aku membuka percakapan, "A-ano, Tuan Sesshoumaru, aku-"

"Kita tidak sedang di kantor, panggil saja aku dengan namaku," ujar pria itu.

Meski sedikit sukar, aku bertekad untuk berusaha membiasakan diri menggunakan panggilan yang ia inginkan. "Se-Sesshoumaru," sembari mengangkat gelas berisi cairan bening, aku berkata, "kurasa aku akan minum air mineral saja."

Dengan suara beratnya, pria itu bertanya lagi, "Apa yang kau takutkan?"

"Aku hanya tidak ingin mempermalukanmu lagi di depan publik," sahutku jujur.

"Kau tidak pernah membuat malu Sesshoumaru ini."

"Aku harap begitu."

Kalimat tambahan Sesshoumaru berikutnya membuat aku terdiam, "Aku dapat menjamin hal itu," katanya dengan suara yang serius.

Lagi-lagi, aku pun tahu apa yang para orang bijak 'kan nasihatkan seandainya mereka mengetahui keadaanku saat ini; 'agar lekas terbebas dari semua genangan pikiran, seharusnya aku langsung saja memulai konfrontasi dengan pria itu.'

Akan tetapi, itu tak semudah yang kau dan aku bayangkan, bukan?

"Benarkah? Ba-bagaimana dengan ..." suaraku lenyap di tengah jalan, bibir atas dan bawahku terpisah, kalimat tanya saling berpacu di dalam benak, tapi kalimatku tak jua lengkap.

"Apa yang hendak kau utarakan?" tanya pria itu.

Dengan satu tarikan napas panjang, aku menjejalkan semua serpihan keberanian yang melayang di udara, lalu mengutarakan isi pikiranku, "Sejujurnya, aku sudah berusaha keras untuk melupakan hal itu namun," aku menggeleng kecil, "aku tidak berhasil. Hal 'itu' masih terus mengganjal di kepala, aku ingin tahu ..."

Waktu terentang cukup lama. Aku hanya menatapnya lurus-lurus, begitu juga sebaliknya. Sungguh, menatap matanya tak membuat rangkaian kalimat yang selama ini berjejalan di dalam otak mudah keluar secara verbal.

"Aku mendengarkan," dorong sang Direktur Teknologi T. Corp setelah belasan detik aku tak juga melanjutkan.

Dua kata itu membuatku sedikit jengkel. Tidak sulit bagi Sesshoumaru memasang wajah tenang karena ia yang berada di posisi mendengarkan dan bukan di posisi menerangkan.

Tanpa sadar badanku condong ke depan. "Aku, um ..." aku mengambil jeda sejenak. "Kau, aku, maksudku ... "

Bagai dapat membaca isi pikiranku, Sesshoumaru menjelaskan, "Tidak ada yang terjadi pada malam acara penggalangan dana jika benar itu yang kau khawatirkan."

Dua insan, berbeda jenis kelamin, kehilangan kesadaran karena alkohol, minim pakaian, berbagi ranjang yang sama, tidak sulit berasumsi bahwa ada sesuatu yang terjadi pada malam itu.

"Kurasa kau pun cukup mabuk untuk mengingatnya." Aku tertawa kering.

Kalimat pria itu berikutnya membuat mataku sedikit terbelalak, "aku tidak terlalu mabuk pada malam itu."

"Kau, tidak ... " aku tertawa garing, berusaha mengubur rasa malu sebesar Gunung Fuji yang tiba-tiba muncul di balik punggung. Mencemooh kedunguanku sendiri, aku menambahkan dengan nada sinis, "tidak semabuk diriku."

Sebagai tanggapan, Sesshoumaru mengangguk.

Ugh, saat-saat seperti inilah aku ingin menendang bokongku sendiri kencang-kencang.

"Baiklah," aku mengangguk beberapa kali selagi sel-sel kelabuku sibuk menelaah fakta yang baru kuterima. "Lalu?" Aku menelan ludah, membuka mulut, ingin sekali memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; 'lalu, apa yang sebenarnya kita lakukan malam itu? Bila ia tidak terlalu mabuk seperti yang dikatakan, mengapa ia lebih memilih tinggal dan bukannya pergi dari apartemenku? Dari semua yang terlintas di benak, hanya satu kata yang berhasil menyelinap, "Mengapa?"

"Maksudku ... "aku berdeham, meraih gelas berisi anggur yang berada di hadapanku dan meneguk isinya. Setelah itu, barulah aku memiliki secuil nyali. "Apakah kita ... " tangan kananku terangkat, dengan punggung tangan menghadap pria itu, aku menunjuk pada diri sendiri. Kemudian, dengan telapak tangan mengarah ke atas, aku menunjuk Sesshoumaru ketika bertanya walau dengan suara pelan, "apakah aku, dan ka-"

Sebelum aku yang tercekat oleh suaraku sendiri mati perlahan-lahan karena kikuk, beruntungnya, Sesshoumaru berbaik hati dan memberikan jawaban, "belum."

Aku menurunkan tangan kiri yang entah sejak kapan menutupi sebagian wajahku dan melebarkan mata yang tadinya memicing karena takut. Dengan nada rendah, aku mengulang satu kata yang membuka kemungkinan di masa mendatang, "Belum?"

"Kita bercumbu, tapi tak lama setelah itu kau jatuh tertidur." Lekuk mungil tercipta di antara kedua alis Sesshoumaru Taisho, dengan air muka yang menyatakan ketidaknyamanannya, pria itu menambahkan, "Jawabannya adalah tidak. Kita tidak melakukannya malam itu."

"Syukurlah ..." Satu kata spontan yang terlontar dari mulutku itu membuat wajah Sesshoumaru pecah oleh selapis tipis kebingungan. Dengan kedua tangan yang aktif bergerak-gerak di udara demi menambah penjelasan, lekas-lekas aku menyambung, "ma-maksudku, syukurlah, bukan syukurlah aku lega." Berharap pria itu mengerti maksud sebenarnya, aku mengubah nada satu kata yang menimbulkan keambiguan itu. "Tapi, syukurlah-syukurlah, kau mengerti, 'kan?"

Pria itu bergumam tanda paham tapi, keheranan masih terpancar jelas dari kedua alisnya yang sedikit terangkat. Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat dan menyesali racauan yang baru saja kusemburkan. Aku telah berusaha membedakan nada saat mengucapkan kata 'syukurlah,' meski begitu, aku sadar itu tak berarti banyak.

Mungkin Sesshoumaru akan salah mengerti tapi tak mengapa. Sebab, tak mungkin pula aku mengatakan alasan yang sebenar-benarnya: 'Syukurlah, karena aku akan sangat menyesal bila telah melakukan itu denganmu tapi tidak mengingatnya.'

Itu sangat mustahil, ya 'kan, Kawan?

Kali ini, pria tegap itulah yang memecah keheningan yang menjadi tembok tak kasat mata di antara kami. "Sebut saja aku kolot, Sesshoumaru ini pantang meniduri wanita yang tidak sadarkan diri."

Berkat kalimat itu, semua kegugupanku lantas sirna, dan aku pun tertawa. Apa yang Sesshoumaru tuturkan memang menenangkan hati, tapi tak ayal, kata-kata seperti 'wanita yang tak sadarkan diri' membuat rasa malu yang menerjangku kian dahsyat.

Jari-jemariku menempel di kening sesaat sebelum kedua tanganku kembali ke sisi tubuh. "Oh, Kami-sama, aku ingin mengubur diriku saat ini."

Pingsan karena mabuk, mulut terbuka, posisi tidur yang amat mungkin jauh dari kata cantik, dan disaksikan langsung oleh pria yang disukai? Membayangkan hal itu saja membuatku bergidik malu.

"Aku pasti terlihat sangat mengerikan," gumamku.

"Tidak," Sesshoumaru berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang hanya dapat diartikan dengan kekaguman, kemudian berucap, "seperti biasanya, kau terlihat menawan."

Seketika itu juga, darah mengalir lebih banyak ke pipiku. Entah efek alkohol yang sudah mengalir dalam nadi atau sebab lain aku tak tahu pasti, secara perlahan, kecanggunganku memudar, dan kepercayaan diriku pun berlipat ganda.

"Baiklah," aku tersenyum otomatis. "Jika hanya aku yang mabuk berat," tanpa ragu, aku mencetuskan pertanyaan yang mendadak muncul, "Mengapa malam itu kau tidak pergi?"

"Karena sebelum terlelap, kau memintaku untuk tetap tinggal."

Aku mengulang tiga kata itu berkali-kali dalam hati. Pada pengulangan ke sepuluh, aku sadar bahwa kepalaku sudah mengambang jauh di atas awan meski kakiku masih menjejak lantai.

"Karena aku memintamu," gemaku lirih.

"Hn." Pria itu sedikit menarik kepalanya ke bawah.

"Dan kau mengabulkannya," imbuhku.

Menit-menit berikutnya, cukup lama aku tertarik dalam pusaran denting nada piano lembut nan indah yang mengalir di udara, berupaya melerai kebimbangan di tiap embus napas, dan berusaha tidak tenggelam dalam aneka macam perasaan yang menelanku ditiap detik kala itu. Aku terhempas dari keterpukauan manakala suara itu memanggil namaku.

Sesshoumaru, melafalkan namaku ...

"Kagome," panggil pria itu dengan nada tak yakin, tidak seperti biasanya. Aku menatap emas miliknya yang hangat ketika ia bertutur, "aku telah kehabisan alasan untuk menyangkal, kurasa kita harus lebih saling mengenal."

"Mengenal?" gaungku.

Apa yang pria itu utarakan kemudian kian berat dengan romantisme berkat jari-jemari pawai seorang pianis yang menari di atas puluhan tuts-tuts hitam dan putih piano, "Sesshoumaru ini ingin mengenalmu lebih dekat."

"Tentu." Aku dapat merasakan senyum merekah di wajahku yang terbakar, "dengan senang hati."

Sekilas, tapi aku dapat melihat sudut-sudut bibir pria itu tertarik ke atas.

Aku tertawa kecil. "Jadi ... "

Dia menatapku dengan penasaran.

Aku bertanya, "Kita mulai sekarang?"

"Jika kau bersedia."

"Apa ini bisa disebut sebagai kencan?" cetusku dengan niat hanya sebagai gurauan belaka.

Ia mengangguk. "Kau dapat menyebutnya sebagai kencan pertama kita."

Kencan pertama, berarti akan ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya ...

"Kau membuatku tambah gugup sekarang." Aku menegakkan dudukku dan berdeham. Sedetik kemudian, aku kembali tersenyum lebar.

"Baiklah," aku mengangguk, sejenak terdiam, kemudian aku tertawa pendek seraya menggeleng kecil. "Hanya saja, sudah lama sekali aku tidak berkencan. Sejujurnya, aku sedang berpikir apa yang biasanya mereka bicarakan di kencan pertama," ungkapku.

"Aku mengerti."

Sesshoumaru menatapku, dan aku membalasnya. Aku tidak mungkin salah, meski wajahnya tetap terlihat tanpa emosi, ada keriaan yang terpancar dari sepasang emas miliknya.

"Ceritakanlah tentang dirimu," pintanya.

Aku meletakkan siku kananku di tepi meja, tanganku menangkup pipi kananku sedetik lamanya sebelum mengusap kening lalu menyelipkan anak rambut ke belakang daun telingaku, dan kembali meletakkan kedua lengan di pangkuan.

"Tentang diriku, ya ..." aku menarik napas, dan memberikan apa yang ia inginkan. "Seperti yang mungkin telah kau ketahui, aku besar di lingkungan kuil. Di sana, aku tinggal bersama mama, jii-chan, dan Souta, adik laki-lakiku."

"Teruskan," ujar Sesshoumaru.

"Kau yakin ingin memberikanku kesempatan untuk bercerita? Karena aku bisa saja membuatmu bosan." Menanggapi itu, Sesshoumaru memasang raut muka yang mendorongku untuk berbicara lebih jauh lagi. Oleh karena itu, aku melanjutkan, "Masa kecilku biasa saja, tapi keluarga yang kumiliki adalah anugerah. Mama adalah sosok yang penyayang. Dia akan membuat siapapun yang menjadi anak perempuannya merasa tidak akan bisa menjadi seorang ibu yang lebih baik darinya," kicauku dengan semangat.

"Sedangkan Souta, ia adalah adik manis yang sangat perhatian. Meski perhatiannya itu terkadang menjengkelkan dan terkesan menerobos batas privasi, tapi ia sangat mudah dirindukan. Dan Jii-chan, akan butuh semalaman untuk menceritakan keunikannya."

Puluhan menit berlalu, tanpa sadar, aku telah bercerita banyak hal kepada Sesshoumaru: Tentang diriku, keluargaku, tentang hal-hal yang membuatku tersenyum bahkan tertawa kala mengingatnya. Beberapa kali aku bertanya sedikit tentang dirinya namun, ia malah menjawabnya dengan pertanyaan yang memancingku untuk lebih banyak mengoceh.

Dan begitulah, di kencan pertama dengan Sesshoumaru, kurasa aku sudah membuat telinganya panas. Aku sadar telah memonopoli percakapan, tapi itupun atas kehendak pria itu. Sebab faktanya, aku ingin sekali mengenal apa warna, makanan, minuman, dan musik kesukaan Sesshoumaru. Aku ingin mempelajari segala tentangnya. Hal-hal kecil maupun besar namun penting yang harus kuketahui bila memang kami mengarah ke dalam suatu hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan.

Masa terus bergulir, entah berapa lama waktu yang aku habiskan bermonolog, tiba-tiba, waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam lebih dua puluh menit. Kala itulah, gawai Sesshoumaru bergetar, membetot perhatian kami berdua.

Dengan jelas−walau dalam keadaan terbalik−aku dapat melihat nama si penelepon. Di layar hitam itu tertera satu nama, nama wanita yang membuatku terpana: Kagura.

'Oops!'

Yang lebih membuatku tertegun adalah sikap Sesshoumaru.

"Maaf, aku harus menerima ini," katanya sambil bangkit berdiri. Satu tangan mengaitkan kancing jasnya, tangan yang lain menggeser layar alat komunikasi itu. Lalu, pria itu berjalan ke pojok restoran. Jauh dari area pendengaranku tapi tidak lepas dari zona penglihatanku.

Aku dapat melihat bagaimana ia berbicara panjang lebar sambil mengangguk sekali-kali. Dan, beberapa menit kemudian, sebelum panggilan itu berakhir, aku melihatnya tersenyum.

Kala itu, ratusan kelopak mawar fantasi berwarna merah muda yang berterbangan di sekitarku lantas lenyap tanpa sisa. Ribuan sayap kupu-kupu imaji yang semula menggelitik perutku sontak enyah entah ke mana.

'Oh, bodohnya aku!'

Pria itu mendekati meja dan kembali duduk di tempatnya. Dengan intonasi datar, ia bertutur, "Malam kian larut. Kau harus segera beristirahat."

Saat itu, aku hanya dapat mengangguk.

Tak lama, seorang pelayan datang menghampiri meja kami.

"Ada sesuatu yang anda perlukan, Tuan?"

"Bawakan tagihannya."

"Baik, Tuan."

Tidak dalam tempo lama, kami sudah berjalan bersandingan. Sesshoumaru mengantarku hingga ke depan pintu kamar. Kami berdiri berhadap-hadapan, aku menengadah, menatap sosoknya yang tinggi menjulang. Beberapa detik kami lalui dengan saling bertatapan lekat.

Jantungku bertalu kencang. Hatiku tak lagi mengacuhkan panggilan yang beberapa saat lalu Sesshoumaru terima dan keraguan tentang apa yang sebenarnya pria itu rasakan untukku. Sangat sederhana, yang kuinginkan saat itu adalah kecupan selamat malam darinya.

Sesshoumaru mendekat, tapi gerakannya terhenti mendadak. Alih-alih menghadiahkan sebuah ciuman, ia malah memberi saran, "Sebaiknya kau lekas istirahat, Kagome."

Lagi-lagi, aku mengangguk. Saat pria itu memutar tumit hendak pergi, cepat-cepat aku memanggil, "Sesshoumaru!" Pria itu membalik badan dan aku tersenyum. "Terima kasih untuk malam ini," tuturku sepenuh hati.

Ia menarik kepalanya ke bawah.

Dan, kami pun berpisah.

.

.

.

Malam itu, walau berendam di bak mandi luas nan mewah berlama-lama, beban pikiran tak jua berkurang. Dengan bahu lunglai dan langkah gontai, aku berjalan menuju ranjang. Berkali-kali aku menghela napas super berat selagi berbaring di atas kasur empuk tapi terlalu besar itu dan menatap langit-langit kamar.

'Kagura, ya?'

.

.

.

~TBC~


End notes: Dgn lagu Little Mix ft Charlie Puth berjudul 'Oops' di latar belakang, nulis bab ini jadi super duper menyenangkan!

Oh, iya, terima kasih yang sebesar-besarnya utk semua yg turut andil membuat 'Nightingale' meraih Best Hurt/Comfort Multichapter IFA 2017 *deepbow.

Gak lupa, mau ngucapin selamat untuk fic-fic SessKag; 'Nightwish: Treasure' dan 'When The Moonlight Scratch On The Window' karya Emma Griselda yang udah menyabet beberapa kategori IFA.

For all reader, minna saiko arigatou^^