Disclaimer: 17 (c) Pledis Entertainment


.

.

Moving On


Bulan pertama setelah berpisah dengan Mingyu dihabiskan Wonwoo dengan banyak menangis dan berkaca. Rasanya begitu sepi dan sedih sepeninggal kekasihnya. Wonwoo mendapati diri terjebak dalam ruang yang terlalu besar untuk ditinggalinya sendiri tanpa ada orang lain yang berbagi atmosfer yang sama.

Setiap hari Wonwoo tidur di atas kasur yang terlalu besar untuk digunakan sendiri. Dan pada malam yang dirasanya terlalu sepi tanpa mendengar napas teratur Mingyu yang terlelap di sebelahnya, Wonwoo memilih untuk tidur di sofa. Saat di pagi hari terbangun sendiri juga, Wonwoo berusaha keras menekan kesedihannya. Tapi sering sekali gagal melakukannya.

Pada hari-hari itu Wonwoo banyak menghela napas dan bertanya dalam hati apa yang mendorong Mingyu untuk membawa hubungan mereka sampai pada posisi ini. Cinta mereka yang dulu begitu luar biasa, bagaimana Mingyu mengkhianati itu?

Ada terlalu banyak pertanyaan yang tidak diketahui oleh Wonwoo jawabnya. Dan mungkin dia tidak akan pernah tahu untuk selamanya karena Mingyu lah satu-satunya orang yang bisa memuaskan rasa ingin tahu Wonwoo itu. Dan mereka bahkan sudah tidak lagi saling berbicara. Jadi pertanyaan-pertanyaan itu tinggal begitu saja dalam relung terdalam hati Wonwoo. Tinggal tak terjawab.

Sebab itu Wonwoo selalu membuat spekulasi sendiri sebagai ganti jawaban yang tidak pernah sempat diberi Mingyu. Karena Wonwoo selalu ingin tahu. Kenapa Mingyu membiarkan hatinya terikat dengan orang selain Wonwoo, bagaimana cara Yura menyusup dengan licik dalam hubungannya dengan Mingyu, apa alasan Mingyu menganggap Wonwoo saja tidak cukup untuknya hingga harus membawa Yura hadir memberi jarak antara hati mereka berdua.

Wonwoo akan selalu berusaha menggali dalam kepalanya segala kemungkinan yang telah mendorong Mingyu untuk melakukan segala yang sudah dia lakukan. Membiarkan Yura masuk dalam hubungan mereka, membagi cintanya, berpura-pura tetap mencintai Wonwoo di saat setengah dari hatinya sudah diserahkan kepada orang lain. Ada jutaan kombinasi jawaban yang ditawarkan neuron Wonwoo. Tapi tidak satupun yang terasa masuk akal. Lalu terkadang di saat sudah terlalu lelah mencoba menawarkan jawaban untuk dirinya sendiri, Wonwoo akan berpikir bahwa mungkin saja Mingyu memang tidak pernah mencintainya sejak awal. Tapi bahkan alasan itu pun terasa lebih tidak mungkin dari semua jawaban yang sudah dipikirkan Wonwoo.

.

Memasuki bulan kedua semenjak Mingyu absen dari ruang geraknya, Wonwoo mendapati diri semakin tidak sanggup melawan kesedihan yang melanda. Sampai Soonyoung dan Junhui tidak berhenti memandangnya dengan tatapan khawatir. Dan dia dengan sengaja mengajukan surat cuti untuk pekerjaannya dan masa libur yang didapatnya itu digunakan untuk urusan menumpahkan seluruh kesedihannya di tengah sesak kamar apartemen yang ditinggalkan Mingyu.

Dengan begitu dimulailah hari-hari Wonwoo yang berkurung diri dalam apartemen. Merenung di depan TV atau meja makan tanpa sekali pun melangkah keluar dari batas pintu.

Soonyoung dan Junhui semenjak itu bergantian mendatangi apartemennya untuk mengurus Wonwoo.

.

Bulan ketiga adalah masa terberat. Bahkan untuk mengangkat tubuhnya bangun dari ranjang pun Wonwoo rasanya tidak mampu. Setiap hari dia lebih memilih untuk membungkus diri di bawah selimut. Dan dia memutuskan untuk mundur sepenuhnya dari pekerjaannya. Wonwoo menutup diri seutuhnya dari dunia luar.

Soonyoung yang baik hati setiap hari datang kepada Wonwoo dan menghibur hati Wonwoo yang lara. Sementara Junhui akan berkata dengan marah setiap kali.

"Kenapa kau membuat dirimu menjadi menyedihkan karena kesalahan yang dia lakukan? Bukan kau yang seharusnya menjadi hancur begini, bodoh."

Dan Wonwoo tahu kalau kata-kata Junhui benar adanya. Tidak seharusnya Wonwoo membiarkan diri terlarut dalam kesedihan sepeninggal Mingyu. Karena apa yang dia lakukan sekarang hanya menjadi bukti seberapa lemahnya Wonwoo. Seberapa tidak berdaya dirinya tanpa tangan Mingyu membantu menopang tiap langkahnya.

Seharusnya Wonwoo membenci Mingyu. Tapi tidak seberkaspun rasa benci kepada pemuda lainnya dapat ditemui Wonwoo dalam hatinya. Rasa cintanya masih begitu besar. Karena memang rasanya mustahil untuk dapat melupakan begitu saja di saat Wonwoo masih bisa merasakan jejak sentuhan Mingyu dalam hatinya dan suara bariton (mantan) kekasihnya seolah masih setia bergema hingga bagian terdalam tulangnya pun gambaran gigi taringnya yang masih melekat sempurna dalam pandangan Wonwoo.

Terkadang bagian hatinya yang terlalu merindukan Mingyu suka meletakkan kesalahan pada kenaifannya untuk melepas Mingyu. Dan di hari tertentu saat dia bangun dari tidurnya, Wonwoo akan mengambil napas panjang, menyeret tubuh untuk bangun dari ranjang king size yang ditinggal Mingyu untuk ditidurinya sendiri, dan bertanya dalam hati jika hari itu Mingyu juga akan merindukan dirinya sebesar Wonwoo merindukan yang lebih muda. Wonwoo akan secara otomatis mengambil ponsel dari nakas di sebelah ranjang, dan menelan pil kecewa saat tidak ada nama Mingyu menghiasi riwayat panggilannya.

.

Pada hari keseratus Wonwoo berada dalam kondisi setengah matinya, Junhui memutuskan bahwa ini semua sudah cukup dan tidak lagi tertahankan olehnya. Jadi pemuda Cina itu, tanpa menghiraukan Wonwoo yang berteriak marah dan wajah khawatir Soonyoung di belakangnya, memaksa memasangkan jaket terbaik Wonwoo dan membawanya menjauh dari bantal dan selimutnya.

"Jangan main-main denganku lagi, ini adalah yang kau butuhkan," Junhui berbicara tegas dengan rahang dikeraskan. Dalam sorot pandangnya Junhui membuat jelas bahwa dia tidak akan menerima 'tidak' sebagai jawaban. Baik dari Wonwoo maupun Soonyoung. Dan Wonwoo memang tidak berani berkata tidak kepada Junhui yang berwajah marah. Alih-alih dia menundukkan kepala, memandang kaki telanjangnya. Dan mendapat erangan frustasi dari Junhui.

Kemudian Junhui merendahkan kepala untuk menatap sejajar mata Wonwoo yang menunduk lalu kembali berbicara sambil memakukan dua pasang netra mereka, "Kumohon Won. Kumohon. Beri saja waktu untuk hatimu. Mungkin waktu tidak akan menyembuhkannya secara utuh, tapi dia akan mengobati lukamu perlahan, satu demi satu sampai nanti kau akan bisa mengingat kegagalan hubunganmu dengan Mingyu sambil tertawa, bukan menangis. Yang paling penting adalah kau mau mencoba."

Jadi hari itu Wonwoo menyerah. Karena dilihatnya betapa frustasi Junhui untuk menyeretnya kembali ke tengah cahaya, ke tempat di mana seharusnya dia berada. Dengan kepala tertunduk dan bahu sengaja dibuat lunglai, Wonwoo membiarkan Junhui menyeret dirinya keluar dari bangunan apartemen. Dan cahaya matahari yang menyentuh kulit Wonwoo untuk pertama kali sejak sekian lama entah bagaimana membuat Wonwoo merasa sedikit hidup. Itu adalah kali pertama Wonwoo merasa hidup semenjak ditinggalkan Mingyu.

.

Junhui dan Soonyoung menyelamatkan Wonwoo dari jurang kesedihan. Secara perlahan tapi pasti Wonwoo kembali menemukan bagian kosong dalam hatinya yang dibawa pergi Mingyu bersama kopernya pada pagi terakhir mereka bersama. Dan menggantinya dengan keceriaan baru yang diberikan oleh dua sahabatnya.

Wonwoo seperti tidak bisa berterima kasih lebih banyak lagi kepada dua orang yang sudah berhasil mengembalikan senyumnya itu. Atas setiap usaha yang telah mereka beri untuk Wonwoo, atas segala lelucon konyol yang diceritakan demi memancing tawa Wonwoo, atas tiap detik yang diberikan Junhui dan Soonyoung untuknya.

Meski rasanya berat, Wonwoo pada akhirnya menuruti keinginan Junhui. Membiarkan waktu untuk bekerja dengan dirinya. Memperbaiki apa yang sudah dirusak oleh Mingyu. Dan nyatanya, kontras dengan kepercayaan awal Wonwoo, dia mampu menghadapinya.

Pelan-pelan, selangkah demi selangkah Wonwoo semakin kembali mendekati dirinya yang normal. Matanya kembali hidup. Bibirnya kembali mengingat cara untuk melengkung membentuk pelangi terbalik. Dia memperoleh kembali sedikit berat badan yang hilang selama masa setengah hidupnya. Dan alih-alih bergelung dalam selimut, Wonwoo meletakkan kakinya dengan bebas di atas paha Junhui pada malam mereka berkumpul.

Seperti terlahir kembali. Wonwoo membersihkan apartemennya setiap pagi tanpa menunggu Soonyoung maupun Junhui melakukannya untuknya. Memasak sendiri sarapan untuk dirinya. Menyetel alarm untuk bangun, berlari di sekitar apartement untuk menyegarkan tubuhnya yang kaku.

Wonwoo menurunkan lukisan starry night Mingyu dan menjualnya dengan harga murah dan berhenti memenuhi kulkas dengan merek bir kesukaan Mingyu, sebagai gantinya dia menjejalkan berkotak-kotak sunkist jeruk permintaan Junhui ke dalamnya.

Soonyoung tertawa bersamanya pada hari Wonwoo akhirnya mendekorasi ulang seluruh apartemennya dan menghilangkan seluruh jejak Mingyu dari sana. Seraya memamerkan senyum bangga kepadanya, Soonyoung berbicara lembut "Inilah uniknya cinta. Tidak ada yang bisa menebak kemana dia akan membawamu. Setelah meninggalkan hatimu patah mengenaskan seperti itu sekarang kau kembali ceria karena cintaku dan Junhui untukmu."

Jika itu diucapkan Soonyoung pada hari-hari biasa maka Wonwoo pasti akan menanggapinya dengan memutar bola mata. Tapi itu bukanlah hari biasa. Tidak ada hari yang terasa biasa semenjak Mingyu pergi. Jadi Wonwoo menanggapi kata-kata Soonyoung dengan tertawa. Lalu dia menatap wajah temannya dan berbicara dengan tulus untuk pertama kali sejak delapan tahun pertemanan mereka, "Terima kasih Young."

"Terima kasih untuk?"

"Semuanya. Tapi terutama untuk membuatku bangun dari keterpurukan."

"Jangan konyol, Junhuilah yang melakukan semua. Yang kulakukan hanya ikut-ikutan sedih denganmu saja."

"Kalau begitu terima kasih sudah menjadi pembantuku dengan membersihkan apartemenku setiap hari."

Soonyoung memamerkan senyumnya begitu Wonwoo selesai berbicara. Mata sipitnya hilang sepenuhnya dalam senyuman itu. Lalu dia membalas jenaka, "Simpan terima kasihmu dan traktir saja aku dan Junhui makan daging. Daging yang mahal ya."

Wonwoo mengangguk setuju seraya membalas senyum Soonyoung dengan kadar keceriaan yang baru ditemuinya lagi setelah sekian lama.

Junhui dan Soonyoung pantas mendapat lebih dari sekedar daging mahal untuk apa yang mereka lakukan.

.

Wonwoo tidak tahu hari itu sudah berapa lama sejak dia berpisah dengan Mingyu. Rasanya sudah terlalu lama semenjak dia berhenti menghitung. Dan Wonwoo yakin hatinya pun sudah lama melupakan Mingyu.

Tapi saat dia tidak sengaja berseberang jalan dengan pemuda itu lagi, Wonwoo entah bagaimana kembali mengingat hari-hari yang dihabiskannya untuk menangisi pemuda itu. Seluruh residu memori akan Mingyu kembali berkelebat dalam bayang Wonwoo.

Wonwoo mengingat Mingyu dengan segala janji yang tidak ditepatinya. Dan bagaimana Mingyu membuatnya jatuh cinta, dengan cara Wonwoo belum pernah jatuh cinta kepada orang lain sebelumnya. Bagaimana hanya dengan mendengar nama Mingyu saja akan menggambarkan senyum di wajahnya dan bagaimana nama itu juga membuatnya menangis pada bulan-bulan awal perpisahan mereka.

Menggenggam tangan Junhui yang berjalan di sampingnya dengan erat, Wonwoo berusaha mempertahankan keseimbangannya dengan gravitasi.

Tapi yang dirasakan Wonwoo hari itu bukanlah perasaan yang sama dengan yang menghantuinya dulu. Wonwoo malah merasa gembira. Melihat Mingyu masih bersama dengan Yura. Itu adalah perasaan yang tidak mampu dijelaskan Wonwoo dengan kata. Tapi dia memang benar merasa gembira. Karena memandang dua orang itu tidak lagi memancing air mata Wonwoo. Persis yang dikatakan Junhui, pada akhirnya dia bisa mengingat Mingyu sambil tersenyum dan bukan dengan air mata.

Karenanya saat Yura berjalan melewati Wonwoo sore itu, dengan lelaki yang dulu milik Wonwoo di sisinya, Wonwoo tersenyum. Membalas senyum bangga Yura yang menempel ke Mingyu dengan senyum paling tulus yang bisa dia berikan. Menahan Junhui yang terlihat akan memaki dua orang itu kapan saja. Memandang kepada Mingyu yang tidak berani mempertemukan pandangan dengannya.

"Terima kasih sudah membawa pengkhianat ini keluar dari hidupku." Wonwoo kemudian berkata seraya memasang senyum manis, kontras dengan perkataan yang menohok.

Lalu Wonwoo membawa Junhui untuk berjalan lebih dulu melewati kedua orang itu. Bersyukur akhirnya mengucapkan terima kasih yang sudah ingin diucapkannya sejak lama kepada orang yang sudah mencuri lelakinya.

Karena memang, pelajaran lain dari mencintai adalah mengikhlaskan bukan?


-kkeut-


a.n apa masih ada penyesalan?