Naruto © Masashi Kishimoto
SasuNaru
Shounen ai / BL
T
Happy Reading
.
.
Pagi hari telah tiba, tidur nyenyak seorang pemuda berambut pirang terlihat mulai terganggu karena suara dari beberapa orang warga desa yang sedang beraktivitas di luar. Naruto ingin memutar tubuhnya, namun gerakannya terhenti karena beban yang ia rasakan di pinggangnya. Kelopak matanya terbuka perlahan, sinar matahari yang menerobos melalui jendela menyilaukan matanya, ia berkedip-kedip beberapa kali. Dengan mata yang masih setengah mengantuk Naruto mengangkat kepalanya untuk menengok kearah pinggangnya.
Dua buah tangan tergeletak di atas sana, memeluknya erat dari arah yang berlawanan, kanan dan kiri. Ia kemudian beralih menatap kanan-kirinya secara bergantian dan menemukan dua makhluk kembar terbaring di sebelahnya, satu dengan pakaian sweater dan satu lagi memakai kaos merah, jaket hitam yang dipakai sosok berkaos merah tadi malam terlihat tergeletak di atas kepalanya.
Kelopak mata tan itu berkedip-kedip untuk beberapa kali sebelum kemudian sebuah teriakan lolos dari mulutnya.
"WAAAAAAA...!"
Teriakannya membuat beberapa warga desa yang berada di luar sana terkejut, ketiga orang didekatnya pun tersentak kaget dari tidur mereka karena mendengar jeritan yang membuat telinga berdenging.
"Berisik! Untuk apa kau berteriak sepagi ini, Usuratonkachi!"
"Ka-ka-kalian, apa yang kalian lakukan di kasurku?"
Ketiga orang itu mengernyitkan alis kebingungan secara bersamaan.
"Apa maksudmu, Naruto? Ini bukan di atas kasur." Sasuke berkimono yang posisinya paling jauh dengan Naruto menjawab.
Naruto melihat sekeliling dan menyadari bahwa ia tidak berada di kasur, melainkan berada di atas futon bersama dengan ketiga Sasuke. Naruto kebingungan, ia tidak tahu kenapa ia bisa berada di sini, padahal ia yakin sekali kalau dia masih berada di atas kasurnya tadi malam. Apakah ia memiliki kebiasan tidur sambil berjalan?
"Bagaimana aku bisa sampai berada di sini?"
Naruto bertanya pada ketiga Sasuke. Kedua sosok hanya bisa membalas dengan raut wajah yang juga bingung, sedangkan satu sosok berkaos merah dengan wajah yang mengantuk, menggaruk kepalanya dan menjawab,
"Aku yang memindahkanmu tadi malam kesini."
Naruto melotot penuh ketidakpercayaan
"Kau yang memindahkanku? Untuk apa?"
Sosok Sasuke itu menguap sebentar. "Tidak adil jika kau saja yang tidur di kasur, jadi aku mengangkatmu ke sini."
Sepasang bola mata safir menyipit kesal. "Itu kasurku, jadi aku berhak untuk tidur di sana."
Naruto meraih bantal di dekatnya dan melemparnya ke wajah Sasuke dengan penuh kekesalan. Ia kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar mandi, hilang sudah keinginannya untuk tidur lebih lama. Padahal ini adalah libur pertamanya setelah menjalankan misi yang melelahkan selama beberapa hari.
Ketiga orang yang ditinggalkan masih berdiam diri di tempat mereka. Dua pasang mata berwarna onyx menatap dengan pandangan yang berbeda pada si Kaos Merah, satu dengan pandangan datar dan satu dengan pandangan prihatin.
"Apa yang kalian lihat?!" yang berkaos merah membentak tidak suka, sedang dua sosok lainnya hanya bersikap acuh tak acuh.
Mereka berdua tahu, kalau si Kaos Merah itu tadi berbohong, karena yang sebenarnya adalah si Kaos Merah itu hanyalah ingin berada dekat dengan Naruto. Ya, mereka berdua tahu. Karena mereka adalah sosok yang sama.
.
.
Naruto baru saja keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang segar, dan tepat beberapa langkah dari kamar mandi hidungnya langsung mencium aroma masakan yang enak. Ia berjalan menuju dapur, lalu sebuah tubuh terbalutkan kimono abu-abu dengan celemek melintas di depannya.
"Ah, kau sudah selesai mandi, Naruto. Kau ingin minum secangkir teh, atau minuman hangat yang lain?"
Naruto menggeleng, ia menengok pada panci yang mengepulkan uap. Hidungnya mencium aroma yang ia rasakan saat keluar dari kamar mandi.
"Aromanya enak. Ngomong-ngomong dimana yang lainnya?"
"Si Menyebalkan ada di luar, sedangkan yang satu lagi di balkon membersihkan salju yang menumpuk."
Naruto menaikkan salah satu alisnya lalu kemudian terkikik geli saat mendengar julukan yang disebutkan sosok di depannya. Rasanya jadi seperti mengejek diri sendiri. Atau memang begitulah sebenarnya.
"Ada apa?"
"Tidak, bukan apa-apa. Hanya saja aku merasa aneh saat kau mengatainya, padahal jelas sekali bahwa kalian itu adalah dari orang yang sama."
"Bukan hanya aku saja yang seperti itu."
Naruto terdiam, ia teringat akan sebutan 'Muka datar' yang diucapkan oleh si Jaket Hitam tadi malam pada orang di depannya ini.
"Ah... Kau benar juga."
Sasuke mendekat pada panci, ia mengaduk isi dari panci tersebut, menuang sedikit kuah ketangannya dan mencicipinya.
"Apa kau ingin kubantu?" Naruto menawarkan bantuan. Walaupun ia tidak seahli Sasuke dalam hal memasak, setidaknya pasti ada hal yang bisa ia lakukan.
Wajah pemuda Uchiha itu tersenyum samar mendengar kebaikan hati Naruto yang ingin membantunya. "Terima kasih, tapi kau tidak perlu membantu. Semuanya-"
"Itu benar, kau tidak perlu membantunya. Biarkan dia melakukan semuanya sendiri"
Sepasang tangan dari belakang memeluk Naruto secara tiba-tiba. Telapak tangan dingin menyentuh langsung pada perut Naruto yang tidak tertutupi kain. Beberapa butir salju menumpuk di atas jaket hitam yang dikenakan laki-laki di belakangnya. Dagu orang itu mendarat di bahu Naruto. Tangan berkulit putih itu bergerak pelan mengelus perutnya. Naruto mendelik pada sosok di belakang, ia menampar tangan yang berada di perutnya.
"Jangan coba-coba!"
Seringai tercipta di wajah Sasuke berjaket hitam. "Apa? Memangnya apa yang coba aku lakukan?"
Ia kembali ingin mengoda Naruto, namun tangan putih lain menghentikan aksinya.
"Masakannya sudah hampir siap. Kau sebaiknya memakai pakaianmu sembari menunggu masakannya siap, kau bisa kedinginan nanti jika tidak segera memakai baju." Sosok kimono itu menatap Naruto saat bicara, namun tangannya tetap menahan tangan sosok lain dirinya.
"Ah, baiklah."
Naruto pergi meninggalkan pertikaian yang mulai terjadi diantara makhluk kembar di belakangnya. Suara mengumpat dan ejekan terdengar nyaring, namun ia tidak mau mempedulikannya.
.
.
Naruto sedang mencari dompet kodoknya dalam lemari, ia tadi baru saja mengecek isi kulkasnya dan ternyata bahan makanan dalam sana sudah mulai habis. Naruto berencana pergi ke toko untuk membeli bahan makanan, di luar salju masih turun dan ia sebenarnya agak sedikit malas untuk keluar walaupun salju tidak turun begitu lebat saat ini.
Tiga sosok Sasuke tengah melakukan kegiatan mereka masing-masing, ada yang membersihkan rumah, bermalas-malasan di atas kasurnya, dan satu lagi sedang merapikan gulungan tadi malam. Hari sudah berganti, namun efek jutsu itu masihlah belum hilang. Jika seperti ini maka tidak ada pilihan lain selain menanyakan pada Hokage.
"Aku akan pergi keluar sebentar untuk belanja bahan makanan!"
Naruto berteriak dari arah depan sambil memasang alas kaki, sosok berkimono menyembul dari balik pintu dapur untuk membalas.
"Hati-hati di jalan!"
Naruto mengangguk, sedetik kemudian suara debaman pintu menjadi tanda kepergiaannya.
Sedangkan di kamar, Sasuke dengan sweater putih baru selesai membereskan semua gulungan dan memasukkan gulung yang diminta Tsunade ke dalam tas selempang, ia kemudian mengenakan syal coklatnya dan sepasang sarung tangan. Sepasang mata onyx miliknya tanpa sengaja menatap syal merah yang berada di atas lemari kecil. Ia membelalak terkejut.
"Ah!"
Secepatnya sosok itu mengenakan tasnya, lalu mengambil syal merah yang tergeletak di atas lemari dan dengan buru-buru berlari menuju pintu keluar.
"Aku pergi dulu!"
Sosok dari arah dapur kembali menyembul dari arah dapur.
"Hati-hati."
.
.
"Naruto-san!"
"Naruto-san!"
Naruto baru berjalan beberapa meter dari tempat tinggalnya dan saat sebuah suara yang begitu familiar terdengar ia membalikkan tubuhnya. Di belakang sana, sosok dengan pakaian sweater putih berlari tergesa-gesa, syal merah di tangannya berkibar-kibar diterjang angin, serta tas yang cukup besar memantul-mantul saat terbentur dengan tubuhnya.
Tubuh tinggi milik pemuda Uchiha tiba di depannya dengan napas yang terengah-engah. Pipinya terlihat memerah, entah karena cuaca yang dingin atau efek dari berlari.
"Naruto-san, kau melupakan syal milikmu."
Angin bertiup pelan, hawa dingin menusuk di bagian lehernya menyadarkan pemuda berkulit tan itu bahwa tidak ada sesuatu yang melindunginya di sana. Naruto meringis kecil menyadari kecerobohan yang ia lakukan lagi.
"Ah, kau benar."
Sasuke tersenyum maklum.
"Akan kupasangkan."
Sepasang tangan melilitkan syal merah di leher pemuda di depannya. Naruto menunduk dan tersenyum kecil saat syal itu sudah terpasang di lehernya. Ia mengarahkan tangannya menarik syal itu untuk menutupi senyum di wajahnya.
"Terima kasih."
Bola mata sekelam langit malam menatap tangan berkulit tan yang tidak terlindungi apapun.
"Naruto-san, kau juga melupakan sarung tanganmu?"
Naruto mengangkat tangannya hanya untuk mendapati tangan itu tidak terbalut apapun untuk menghangatkannya.
"Tunggu sebentar!"
Sasuke meronggoh ke dalam kantong tasnya dan mengeluarkan sepasang sarung tangan berwarna biru. Ia memasangkan sarung tangan itu pada Naruto.
"Bukankah sekarang jadi lebih hangat?"
Naruto mengangguk menanggapi.
"Naruto-san, bukankah kau ingin pergi membeli bahan makanan? Bagaimana jika aku menemanimu?"
"Eh?! Apa kau tidak masalah?"
Kepala dengan helaian rambut hitam menggeleng pelan.
"Tidak, tidak apa-apa."
"Baiklah kalau begitu."
Sasuke tersenyum senang. "Tapi sebelum itu aku harus ke kantor Hokage terlebih dulu untuk mengantarkan gulungan yang minta Hokage-sama. Apa tidak apa-apa?"
Dia bilang kantor Hokage. Bukankah itu artinya Naruto juga bisa sekaligus menanyakan perihal masalah yang dialami Sasuke.
"Um, baiklah."
.
.
Naruto dan Sasuke sudah tiba di kantor Hokage. Di ruangan yang penuh dengan tumpukan dokumen itu hanya ada Tsunade sendiri, entah dimana asistennya yang bernama Shizune itu.
"Hokage-sama, ini adalah gulungan perjanjian yang anda minta."
Sasuke meletakkan tas yang ia bawa di atas. Tsunade meraih beberapa gulungan yang berada di dalam tas dan membukanya. Ia mengangguk puas saat mengetahui semua gulungan itu adalah yang ia perlukan.
"Terima kasih sudah melakukan ini untukku."
"Tidak masalah." Balas Sasuke dengan sebuah senyuman tercipta di wajahnya
Tsunade terbelalak dan mengeryit alis ditengah keterkejutannya. Apakah itu salah lihat atau memang pemuda Uchiha itu tersenyum untuknya? Sepertinya cuaca yang begitu dingin mempengaruhi sikap pemuda di depannya ini.
"Baiklah, karena tugasmu sudah selesai kau bisa pergi sekarang."
Tsunade berucap begitu, namun dua orang di depannya sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Ia mengalihkan pandangannya dari kertas dokumen yang akan ia baca kepada dua orang tersebut. Dalam diam, kedua mata Tsunade seakan menyiratkan ungkapan 'Ada apa?'.
"A, um... sebenarnya..."
Entah kenapa rasa gugup tiba-tiba menyerang Sasuke, ia kemudian melemparkan pandangan pada Naruto untuk meminta bantuan. Naruto mengangguk paham dan melangkah sedikit lebih maju.
"Baa-Chan, ada yang ingin aku tanyakan." Naruto mengeluarkan sebuah gulungan yang dibawa oleh Sasuke dan diserahkan padanya saat dalam perjalanan kemari. Ia membuka gulungan itu dan menunjukkannya pada Tsunade. "Apa kau tahu gulungan ini?"
Hokage kelima itu mengambil gulungan yang ada pada Naruto dan membacanya. Tak lama kemudian ia mengangkat kepalanya dan menjawab, "Ya, aku tahu gulungan ini. Jutsu yang ada dalam gulungan ini sebenarnya cukup menarik, tapi sayangnya jutsu ini masih memiliki cacat dibeberapa bagian, seperti kontrol diri pada setiap klon yang tercipta dan juga lamanya waktu agar jutsu itu menghilang."
"Kalau begitu, apa kau tahu sampai kapan efek dari jutsu itu akan berlangsung bagi sang pemakai?" tanya Naruto.
"Hm?" Tsunade sebenarnya bingung dengan sikap Naruto yang tiba-tiba menanyakan hal itu, namun ia tetap melanjutkan ucapannya. "Aku tidak tahu sampai kapan, bisa berminggu-minggu, bulan, tahun, atau bahkan sampai puluhan tahun agar jutsu itu menghilang. Ada apa kau menanyakan hal tersebut?"
Wajah kedua pemuda di ruangan Hokage itu berubah pucat. "Bahkan sampai puluhan tahun?"
Tsunade memandang curiga pada perubahan wajah kedua orang di depannnya. "Ada apa dengan wajah kalian itu? Apa terjadi sesuatu?"
"Ah, Itu..." Naruto menatap Sasuke yang berada di belakang dan meminta agar dirinya sendiri yang menjelaskan masalah tersebut. Sasuke menghela napas pasrah menanggapi Naruto.
Kedua tangan putih itu saling menggenggam satu sama lain untuk mengusir kegugupan yang tiba-tiba melanda. "Se, sebenarnya kemarin malam... diriku yang sebelumnya tidak sengaja menggunakan jutsu itu. Dan oleh karena itu... tercipta aku dan juga dua sosok lainnya."
Tsunade yang mendengar hal itu melebarkan mata kaget, ia tidak menyangka kalau pemuda Uchiha yang dikenal pintar ini akan melakukan kesalahan dan kecerobohan seperti ini. Tanpa ingin mengambil pusing Tsunade mengambil kertas dokumen yang sempat ia abaikan dan lalu berkata, "Sudahlah, kau tidak perlu terlalu khawatir. Jutsu ini tidak membahayakan penggunanya, walaupun waktu menghilangnya efek jutsu itu tidak bisa dipastikan. Kita berharap saja kalau itu akan segera menghilang dalam waktu dekat. Sudah, sebaiknya kalian cepat pergi. Aku sedang sibuk."
Dua pemuda itu saling tatap dan masing-masing dalam hati berucap syukur mengetahui bahwa jutsu ini tidak membahayakan penggunanya, walaupun mereka juga agak khawatir dengan waktu kapan jutsu ini akan menghilang.
"Baiklah, kalau begitu kami permisi dulu, Hokage-sama."
Tsunade mengangguk untuk mempersilahkan kedua orang itu pergi.
.
.
Awan kelabu menggantung di atas langit sana menurunkan salju sedikit lebih lebat menjelang siang ini. Enggan untuk menghadapi angin musim dingin yang membekukan, sebagian besar warga desa lebih memilih berada di dalam rumah yang begitu hangat.
Di depan sebuah toko, Sasuke berdiri sambil menatap jalanan, Naruto masih berada di dalam untuk membayar uang belanja, sedangkan dia memilih untuk menunggu di luar. Tidak ada sesuatu yang bisa dilakukan, ia lebih memilih menghitung setiap orang yang lewat di depannya. Satu, dua, ..., delapan, ..., sebelas, dua belas. Jalanan begitu sepi, hanya beberapa orang tua dan dua orang anak kecil laki-laki dan perempuan dengan kisaran usia enam dan tujuh tahun yang saat ini tengah berjalan di depannya.
Dua anak kecil yang melintas di depan Sasuke itu tiba-tiba berhenti. Anak laki-laki berjongkok sambil menggenggam kedua tangannya dan meniup-niupnya, sedang anak perempuan terlihat khawatir dan mencoba membujuk anak laki-laki itu.
"Kaoki, ayo kembali berdiri!"
"Tapi tanganku kedinginan, Nee-san."
"Karena itu kita harus cepat pulang, jadi kau tidak akan kedinginan lagi."
Anak perempuan itu mencoba membujuk, namun anak laki-laki yang merupakan adiknya itu tetap keras kepala tidak ingin berdiri.
Sasuke memperhatikan mereka sedari awal. Kakinya perlahan melangkah mendekati kedua anak kecil itu dan mencoba bertanya, "Ada apa dengan adikmu?"
Dua anak kecil itu menoleh kearahnya. Sang kakak menjawab, "Kami terlalu lama berada di luar dan tangan Kaoki mulai kedinginan."
Sasuke menatap tangan bocah laki-laki yang mulai memucat, ia lalu menyadari bahwa tangan anak perempuan itu juga sedikit pucat karena tidak memakai sarung tangan.
Melepaskan sarung tangan yang ia pakai dan lalu menyodorkannya pada dua anak kecil itu, Sasuke kemudian berucap, "Aku hanya punya sepasang sarung tangan ini. Kalian bisa saling berbagi memakainya, setidaknya itu bisa sedikit menghangatkan tangan kalian."
"Tapi Bagaimana dengan Nii-san?"
Sasuke tersenyum kecil, "Aku bisa menahannya. Ayo, kalian pakai saja."
Kedua anak itu terlihat senang. Tanpa ragu anak itu menerima sarung tangan yang diberikan Sasuke. Ia memakai satu di tangan kanan adiknya dan satu di tangan kirinya. Tangan yang tidak terlindungi dari udara dingin saling berpegangan untuk menghangatkan.
"Arigatou, Nii-san!"
Sasuke kembali tersenyum untuk membalas. Kedua anak itu kemudian berpamitan. Dua bola mata hitam menatap kepergian dua anak kecil itu, ia melambai saat mereka berdua berpaling menatapnya.
"Apa yang kau lakukan, Sasuke?"
Suara itu berasal dari arah belakangnya. Pemuda dengan rambut pirang terlihat tengah menenteng beberapa plastik belanjaan yang cukup besar.
"Bukan apa-apa. Tadi kulihat dua anak itu tidak memakai sarung tangan, jadi aku memberikan milikku untuk mereka pakai." sepasang mata hitam menatap belanjaan yang Naruto bawa. "Naruto-san, biar aku bantu bawakan."
Sasuke mengambil sebagian kantong plastik yang Naruto bawa. Naruto yang melihat sepasang tangan berkulit putih itu tidak terbungkus apapun merasa sedikit tidak enak. Ia menurunkan sebentar kantong belanjaannya dan melepaskan sarung tangan sebelah kiri miliknya lalu memakaikannya pada Sasuke.
Sasuke terkejut dan hendak menyampaikan protes, namun sepasang safir itu melotot tidak ingin dibantah. Di balik syal menutupi sebagian wajahnya, Sasuke tersenyum penuh kegembiraan menerima perhatian Naruto.
"A-Arigatou, Naruto-san!"
Naruto membalas dengan cengiran lebar.
Lalu tanpa ragu Sasuke meraih tangan kiri Naruto dan menggenggamnya. Kali ini Naruto yang mengalami keterkejutan.
Mengetahui hal itu, Sasuke menjelaskan. "Dengan begini, tangan kita yang lain juga tidak akan kedinginan." Senyum cerah sedikit memperlihatkan deretan giginya terlihat di wajah putih Sasuke.
Naruto menunduk dan memerah saat melihat senyuman itu. Ia bisa mendengar suara jantungnya yang berdetak-detak cepat saat ini. jika bisa pergi dan bersembunyi, maka hal itu pasti ia lakukan untuk menutupi wajahnya yang saat ini terlihat memalukan. Namun sayangnya, tangan putih yang menggenggam erat tangannya mencegahnya untuk melakukan hal itu.
Ditemani jutaan salju yang turun dari langit, dua orang itu berjalan menuju rumah. Dengan masing-masing wajah yang memerah menahan malu, mereka tetap saling berpegangan tangan. Namun, satu dengan disertai raut wajah gugup dan satu dengan senyum kecil tertahan dibibirnya.
.
.
Di ruang dapur tempat tinggal Naruto, Sasuke tengah menyiapkan makan siang. Suara dentingan peralatan masak sesekali terdengar dalam rumah Naruto yang cukup sepi. Hanya ada dirinya sendiri di sana, sedang yang lainnya pergi keluar. Naruto entah sedang melakukan apa di bawah sana dengan tumpukan salju, sedangkan dirinya yang lain pergi untuk mengantar tumpukan gulungan ke gudang arsip kantor Hokage yang lupa untuk ia bawa sekaligus tadi, lalu si Brandal itu tidak diketahui keberadaannya setelah keluar beberapa jam lalu.
Tuk!
Mangkuk kosong membentur meja. Semua hidangan untuk makan siang sudah berada di atas meja. Sasuke melepaskan apron dan menggantungnya di dinding. Ia melangkah menuju balkon di kamar Naruto, tepat saat membuka pintu balkon angin menerpa tubuhnya dan melambai-lambaikan pelan pakaian kimono miliknya. Salju masih tetap turun dari awan kelabu, namun tidaklah selebat beberapa jam lalu. Saat kaki miliknya membawanya melangkah ke tepi balkon, ia bisa melihat Naruto masih di bawah sana bermain dengan tumpukkan salju. Melihat hal itu Sasuke segera kembali ke dalam, mengambil Haori miliknya untuk menyelimuti tubuhnya, dan kemudian berjalan keluar menyusul Naruto.
"Apa kau itu anak kecil?"
Itu adalah kalimat pertama yang Sasuke lontarkan setelah tiba di bawah.
Naruto menoleh dan kemudian terkejut, tubuhnya terjatuh dari posisi jongkoknya. Sosok berpakaian kimono abu-abu dan haori biru menunduk tepat di sampingnya dengan wajah yang begitu dekat dengan miliknya hingga tak heran bila Naruto merasa kaget. Naruto bangkit dari posisinya dan menepuk salju yang menempel di pakaiannya.
"Aku bukan anak kecil, tapi hanya seorang Ninja calon Hokage yang terlalu bosan dan tidak mempunyai kegiatan untuk dilakukan."
Naruto berjongkok, tangannya kembali melanjutkan kegiatan untuk membuat boneka salju yang hampir selesai.
"Makan siang sudah siap, sebaiknya kita segera kembali ke dalam sebelum makanannya mendingin."
"Ah... tapi boneka salju milikku belum selesai. Tunggu sebentar lagi."
Kepulan uap terlihat di depan mulut Sasuke saat ia menghela napas mendengar balasan Naruto. Mungkin tidak ada salahnya ia menunggu sedikit lebih lama, lagipula boneka salju itu hampir selesai, hanya perlu menambahkan beberapa bagian saja agar tumpukan salju itu terlihat seperti boneka salju.
Tak ingin hanya berdiam diri saja, Sasuke mengambil sejumlah salju dan membentuknya menjadi oval. Ia mengambil beberapa kerikil dan juga memetik daun dari pohon terdekat. Naruto yang saat itu tengah meletakkan kerikil yang merupakan mata pada boneka saljunya dibuat heran saat melihat tingkah Sasuke.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya.
Sasuke tidak menjawab, ia menempelkan kerikil pada salju yang dibuatnya untuk menjadi sepasang mata, lalu kemudian memasangkan dua helai daun yang ia petik untuk menjadi sepasang telinga. Ia menunjukkan hasil karyanya itu pada Naruto.
Sepasang safir itu memandang dengan penuh binar pada sebuah tumpukan salju berbentuk lucu di tangan Sasuke. "Wah...! Itu kelinci?! Itu kelinci, bukan?"
"Hn."
Sepasang mata Naruto tidak bisa lepas dari boneka salju buatan Sasuke. "Ah... boneka saljunya terlihat sangat lucu. Sasuke, bagaimana kalau kau letakkan punyamu di samping boneka saljuku." Naruto menarik Sasuke menuju boneka salju miliknya. "Ayo, ayo, letakkan di samping milikku!"
Boneka salju berbentuk kelinci kecil itu perlahan-lahan diletakkan di samping milik Naruto.
"Hehe... dengan begini bukankan boneka salju kita jadi memiliki teman."
Naruto tersenyum lebar melihat dua buah boneka salju yang saling berdampingan tersebut. Sedang Sasuke hanya bisa mendengus geli mendengar kalimat itu. "Heh, kau ini sungguh kekanakkan. Boneka salju ini hanyalah benda mati."
"Jangan mengejekku!" wajah Naruto mengerucut kesal.
"Kau sudah selesai, bukan. Kalau begitu kita segera masuk."
Sasuke menarik Naruto, namun kemudian ia ditahan oleh orang yang ia tarik.
"Tunggu dulu! Ada yang belum kupasang."
Naruto melepaskan syal dan sarung tangan miliknya, lalu memasangkan syal dan sarung tangan itu pada boneka salju.
"Nah, bukankah dengan begini dia jadi lebih bagus." Naruto menyengir lebar kearah Sasuke.
Lagi-lagi helaan napas Sasuke keluarkan saat melihat tingkah Naruto. Melepaskan miliknya sendiri hanya untuk sebuah boneka salju, yah memang apa yang bisa ia harapkan dari pemuda polos seperti Naruto. Walaupun ia akui kalau boneka salju itu terlihat lebih lucu dengan syal dan sarung tangan itu. Sasuke kemudian melepas Haori yang ia kenakan dan meletakkannya di bahu Naruto.
"Baiklah, terserah kau. Ayo masuk!"
Sepasang tangan putih itu merangkul tubuh pemuda yang satu dan mendorongya berjalan masuk, meninggalkan jejak-jejak kaki mereka di atas tumpukan salju. Dua buah boneka salju berbeda bentuk dengan setia berada di luar, memberikan senyuman yang ada pada wajah manusia salju pada setiap warga desa yang berlalu lalang dan memberikan kebahagian bagi anak-anak yang tidak sengaja melihat mereka.
.
.
BLAM!
Suara pintu tertutup terdengar begitu jelas di tempat tinggal yang sederhana. Suhu hangat ruangan segera menyambut Naruto setibanya ia di dalam rumah. Sasuke mengambil Haori miliknya pada Naruto dan menyampirkan di bahu kanannya.
"Lihat dirimu, banyak sekali salju yang jatuh di atas rambutmu. Kau terlalu lama berada di luar." Tangan berkulit putih itu bergerak menyapu semua salju yang menempel di rambut Naruto, lalu kemudian beralih menggenggam kedua tangan pemuda pirang itu. "Bahkan tanganmu juga begitu dingin." Sasuke mendekatkan sepasang telapak tangan yang berada di genggaman mendekati mulutnya. Dia meniup-niup kedua tangan itu dan juga sesekali menggosoknya agar menjadi sedikt hangat.
Naruto merasa tidak nyaman diperlakukan seperti itu, ia berusaha menarik-narik tangannya agar bisa lepas dari genggaman Sasuke.
"Sasuke, sudahlah. Aku bisa melakukannya sendiri."
Sasuke diam memperhatikan saat Naruto mencoba menghangatkan tangannya sendiri. Kedua pipi tan itu terlihat merah, mungkin karena terlalu lama bermain salju di luar. Naruto yang berada di depannya ini benar-benar sangat ceroboh, dia bisa saja jadi sakit karena tingkahnya itu. Kedua tangan milik Sasuke menyentuh pipi Naruto dan menggosok-gosok kecil agar menghangat. Naruto bereaksi atas kejadian itu, ia tersentak kecil dan berusaha menjauhkan kedua telapak tangan Sasuke dari wajahnya. Namun pemuda Uchiha itu tetap keras kepala, dan kali ini giliran Naruto yang harus menanggapi dengan pasrah.
"Bagaimana dengan telingamu? Apakah terasa dingin juga?"
Suara Sasuke mengalun dengan tenang pada sepasang telinganya, namun Naruto hanya bisa membalas dengan sedikit gugup. "Uh... sedikit." Naruto menjawab pelan, matanya menatap pada lantai karena tidak berani melihat wajah Sasuke di depannya.
"Biar kuperiksa."
"Eh?! A-"
Belum selesai Naruto berucap Sasuke sudah menyentuhkan tangannya pada kedua daun telinga Naruto. Dengan sekejap Naruto menutup kedua matanya erat-erat saat sensasi hangat kedua tangan itu terasa pada telinganya. Tidak disadarinya, Sasuke mendekatkan wajahnya pada salah satu telinga Naruto, meniupkan napas hangatnya secara tiba-tiba.
Naruto terkejut dalam diam, ia menahan napas dan tidak berani membuka kedua matanya namun kini pipinya terlihat lebih merah dari sebelumnya.
'UWAAAAAAA! APA YANG KAU LAKUKAN, SASUKEEE!'
Naruto menggigit bibirnya erat, berusaha agar teriakan batinnya tidak terlontar keluar dari mulutnya. Ia masih tidak mau membuka mata, tubuhnya terdiam berdiri kaku tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Untuk kedua kalinya jantungnya berdetak dengan kencang, ibarat kembang api yang meledak di atas langit. Dalam hati Naruto terus merapalkan kata-kata, 'Jangan dengar, jangan dengar, jangan dengar.' Berharap agar Sasuke sama sekali tidak mendengar suara dentuman berisik yang berasal dari dadanya.
Sensasi hangat itu di telingannya perlahan menghilang. Kedua tangan putih itu sudah kembali di samping tubuh pemiliknya. Naruto pelahan-lahan mulai membuka kedua matanya.
"Aku akan ambilkan air hangat, jadi kau bisa merendam tanganmu."
Sepeninggalnya Sasuke, tubuh Naruto perlahan mulai merosot ke lantai. Wajahnya memerah padam dengan napas yang terengah-engah karena terlalu lama menahan napas.
"Jika jantungku berdetak seperti ini terus, kurasa aku akan cepat mati muda."
"Memangnya ada apa dengan jantungmu, Naruto-san?"
Naruto tersentak kaget mengetahui ada sosok lain Sasuke yang mendengar gumamannya.
Sosok dengan pakaian sweater itu berjongkok di hadapan Naruto dan meletakkan telinganya tepat di depan dada Naruto. Detik itu asap mengepul dari kepala Naruto. Suara detak jantung yang begitu cepat terdengar di telinga dan semakin lama dentuman itu semakin kencang setiap sepersekian detiknya.
"Na-Naruto-san, detak jantungmu cepat sekali! Apa kau sakit?!" Sasuke bertanya khawatir.
"A-Aku jadi ingin mati sekarang saja..."
BRUK!
Tubuh milik pemuda Uzumaki itu ambruk di lantai akibat tidak kuat menahan malu. Sosok Sasuke yang berada di hadapannya ditinggalkan dengan keadaaan panik dan terus berusaha mengguncang-guncang tubuhnya
"EH?! Kenapa kau berkata seperti itu?! Naruto-san! Naruto-san!"
.
.
Langit dari balik jendela kamar Naruto sudah terlihat gelap. Bulan dan juga bintang tidak nampak karena tertutupi awan kelabu pembawa salju. Makan malam baru saja selesai dan kini Naruto tengah bergelung dalam selimut miliknya. Pikirannya sedang berkelana pada beberapa kejadian yang terjadi hari ini. Ini adalah pertama kalinya bagi Naruto bisa melihat sikap Sasuke yang begitu berbeda. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan Sasuke akan bersikap sangat lembut dan pemalu seperti itu. Ingin rasanya ia bisa terus mendapat semua perlakuan dari Sasuke untuk selamanya, tapi kalau dipikir-pikir rasanya tidak mungkin.
Naruto menghela napas. Sepasang safir menatap pada jam yang menggantung di dinding. Tubuhnya terasa sedikit lelah hari ini, tidur sedikit lebih cepat mungkin tidak ada salahnya.
Sepasang kelopak mata menutup. Beberapa menit kemudian sebuah tangan menggoyang-goyangkan tubuh Naruto. Terusik akan hal itu, Naruto kembali membuka matanya. Sosok dengan jaket hitam berdiri di samping tempat tidurnya.
"Ada apa?"
"Ikut denganku keluar. Ada yang ingin aku tunjukkan padamu."
"Hah... kau tunjukkan besok saja. Aku sedang ingin tidur." Naruto menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya dan memutar tubuh membelakangi Sasuke.
"Ck, dasar pemalas. Perlukah aku menggotongmu sendiri dengan tanganku supaya kau menjauh dari kasur."
"..."
Urat kekesalan muncul di kening Sasuke saat itu juga karena tidak mendapat jawaban. "Baiklah kalau itu yang kau mau."
Selimut ditarik dengan paksa, tubuh Naruto diangkat dan diletakkan di bahu kanan Sasuke. Naruto otomatis berontak. Ia menendang-nendang kesegala arah dan memukul-mukul punggung sosok yang mengangkatnya.
"Dasar Teme! Turunkan aku sekarang juga!"
Sasuke tidak menghiraukan. Ia mengambil baju orange, sarung tangan dan syal milik Naruto , lalu berjalan menuju pintu keluar. Sosok Sasuke lainnya yang mendengar teriakan Naruto segera menghampiri.
"Apa yang kau lakukan pada Naruto? Cepat turunkan dia!"
Sasuke yang sudah mengenakan alas kakinya itu berpaling untuk menjawab sosok lain dirinya, "Kami akan pergi keluar sebentar. Tidak usah khawatir, akan kupastikan dia kembali dengan baik-baik saja."
Setelah kalimat berakhir, kedua sosok itu menghilang dari balik pintu yang menutup. Dua sosok yang tertinggal hanya bisa terdiam mematung.
"Ja-jadi apa yang harus kita lakukan? Apakah kita harus menyusul mereka?"
Kedua tangan putih dimasukkan ke dalam lengan Kimono, sebuah helaan napas keluar dari sepasang bibirnya. "Biarkan saja. Aku yakin dia tidak akan melakukan sesuatu yang aneh dengan Naruto." Tubuh dengan pakaian tradisional itu berbalik membelakangi pintu dan berjalan menjauh. Meninggalkan satu sosok yang menatap diam daun pintu yang tertutup.
"Ung... Baiklah."
.
.
Dua pasang jejak kaki terlihat di atas tumpukan salju. Sepasang jejak kaki tercetak dengan langkah kaki yang lebar dilihat dari jarak satu kaki dengan kaki lainnya yang cukup jauh, sedangkan sepasang jejak kaki yang lain terlihat dengan jelas seperti langkah kaki yang terseret-seret.
"Oi Teme, Sebenarnya kau mau membawaku kemana?"
"Sudahlah, kau diam saja dan tutup mulutmu yang cerewet itu. Kita akan sampai sebentar lagi."
Naruto benar-benar tidak bisa memikirkan tempat seperti apa yang membuat Sasuke menyeretnya di tengah hujan salju seperti ini. Mereka sudah berjalan cukup jauh menuju pinggir desa, yang dapat ia lihat dari keadaan di sekelilingnya adalah suasana yang begitu sepi, beberapa rumah warga desa yang terlihat mulai jarang dan lebih banyak didominasi oleh puluhan pohon yang timbuni oleh salju di batang dan rantingnya. Jalan yang mereka lewati juga cukup gelap, hanya lampu dari rumah-rumah yang berada di sekitar mereka yang menjadi penerangan di tempat itu. Naruto jadi berpikir, apakah sebenarnya Sasuke ingin melakukan sesuatu yang mengerikan padanya. Bukankah tempat dan suasana seperti ini begitu wajar untuk digunakan sebagai waktu yang tepat melakukan tindakan kriminal.
"Um... Sasuke, mungkin sebaiknya kita pulang saja. Lagipula udara di luar lumayan dingin."
Naruto berniat berbalik, namun tangannya kembali ditahan Sasuke.
"Tidak bisa, kita sudah hampir sampai. Aku tidak akan membiarkanmu kembali begitu saja."
'Dan aku tidak ingin menjadi korban dari tindakan kriminalmu!' Naruto menangis dalam hati mendengar nada suara Sasuke yang menuntut.
"Pokoknya aku tidak mau, aku hanya ingin pulaaanng!" Naruto meronta-ronta mencoba melepaskan paksa genggaman Sasuke yang begitu kuat di tangannya. Teriakannya yang nyaring bisa saja membuat beberapa orang warga yang berada dalam rumah mendengar.
Sasuke berdecih kesal. "Ck, pelankan suaramu. Kau bisa mengganggu orang lain." Walaupun begitu Naruto tetap berusaha melepaskan tangannya dan berteriak. "Dasar keras kepala!" tidak ada pilihan lain, Sasuke meraih syal yang terpasang di leher Naruto.
"Ekkk...! Apa yang kau lakukan, apa kau mau mencekikku dengan itu!"
"Bukan untuk mencekikmu, tapi untuk membekap mulutmu supaya aku bisa menculikmu dengan tenang!"
Tepat setelah menyelesaikan ucapannya, Sasuke dengan cepat mendorong Naruto ketumpukan salju, menahan pergerakkannya dan mengikatkan syal itu di depan mulut Naruto, sisa dari bagian syal yang panjang diikatkan pada kedua tangan Naruto.
Otak Naruto berteriak panik dan tubuhnya berkeringat dingin. Ternyata Sasuke benar-benar akan melakukan sesuatu yang buruk padanya. Tapi sekarang sudah terlambat untuk mencegah, pergerakkannya sudah ditahan dan mulutnya juga dihalangin oleh syal. Jantungnya semakin berdetak cepat seiring dengan rasa takutnya yang menjadi-jadi.
Sasuke mengangkat tubuh Naruto secara tiba-tiba dan membawanya seperti karung beras. Ia kembali melanjutkan perjalanannya sembari menahan tubuh Naruto yang agak meronta-ronta.
.
.
Naruto terus merasa panik. Suasana disekitar mereka sudah begitu sepi, hanya terlihat pohon-pohon saja yang berada di samping kanan-kiri jalan. Suara gesekan kaki dengan salju yang menumpuk dibawah semakin memacu detak jantung Naruto ketahap yang lebih kencang dan nyaring. Dan ia yakin, pemuda yang sedang membawanya ini bisa mengetahui seperti apa keadaan jantungnya saat ini. Suara langkah kaki di bawah benar-benar membuatnya kesal, seakan-akan langkah kaki itu mengejeknya dan menjadi penghitung mundur untuk menuju kematiannya.
Tap!
Langkah kaki itu berhenti setelah berjalan untuk beberapa saat.
"Kita sudah sampai."
Kalimat itu terus bergema dalam telinga Naruto. Ia bisa membayang detik itu juga jantungnya akan melompat keluar dari dadanya. Tubuhnya yang sudah lelah menggantung-gantung di bahu Sasuke diturunkan oleh pemuda Uchiha itu. Sepasang tangan putih itu bergerak melepaskan ikatan pada mulut Naruto.
"Dasar Brengs*k! Apa yang sebenarnya ingin kau-"
Tubuh Naruto dibalik dengan paksa oleh Sasuke. Sepasang mata safir itu kini tercengang melihat pemandangan yang ada di hadapannya.
"Ka-kau... ada apa dengan semua ini?"
Pemandangan di depan Naruto tidaklah segelap yang ada di belakangnya. Lampion-lampion dengan nyala api di dalamnya menjadi penerang di tempat itu dan berjejer membentuk jalan menuju sebuah pohon yang lumayan besar di depan sana. Pohon itu juga dihiasi oleh beberapa lampion dibeberapa sisi, lalu ditambah dengan bohlam-bohlam kecil bergantungan yang memantulkan cahaya dari lampion. Beberapa es yang terbentuk di ranting-ranting pohon juga menjadi hiasan yang memperindah tampilan pohon itu.
"Kau selalu mengeluh tentang diriku yang tidak pernah bisa bersikap seperti seorang kekasih pada umumnya. Sulit diajak menghabiskan waktu bersama, tidak bisa memperlakukanmu dengan romantis begitu sering, mengacau saat kita mencoba menjadi layaknya sepasang kekasih saat berada di luar rumah. Dan aku ingin menunjukkan semua yang tidak bisa kita lakukan itu malam ini."
Sasuke mengulurkan tangan kanannya pada Naruto dan Narutopun menerima uluran tangan itu. Bersama-sama mereka berjalan di tengah-tengah lampion yang berjejer menuju pohon besar. Sampai di depan pohon itu Sasuke memanjat lebih dulu, lalu kemudian kembali mengulurkan tangannya untuk membantu Naruto memanjat. Mereka duduk bersama ditangkai pohon yang lumayan kuat untuk menopang mereka berdua. Pemandangan dari atas pohon terlihat menakjubkan bagi sepasang safir yang berbinar senang. Butiran salju yang turun melalui celah-celah ranting pohon terlihat seperti sebuah daun yang jatuh berguguran.
"Sejak kapan kau membuat ini?" Naruto mengawali pembicaraan diantara mereka berdua. "Dan kenapa... tiba-tiba kau melakukan semua ini?"
Sasuke terdiam untuk sesaat. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan sebuah uap terlihat di depan mulut saat ia menghela napas. "Saat aku pergi siang tadi. Dan kenapa tiba-tiba melakukannya..." Sasuke berhenti berucap. Ia mendongakkan kepalanya ke atas menatap langit tanpa bintang dan kembali menghela napas. "Jika aku menjadi diriku yang semula, mungkin akan sulit untukku melakukan hal ini."
Naruto mengeryitkan alisnya kebingungan. Ia sama sekali tidak mengerti dengan perkataan Sasuke.
"Dobe, kau tahu bukan kalau kami bertiga memiliki perbedaan sikap satu sama lain." Naruto balas mengangguk walaupun ia tahu kalau itu bukanlah sebuah pertanyaan. "Dan apa kau juga tahu, kalau sebenarnya kami mewakili setiap sikap dari Sasuke sebelumnya? Yah, walaupun sebenarnya ada beberapa sikap yang dimodifikasi dan ditambahkan pada diri kami."
Naruto terdiam, otak bekerja untuk membandingkan tiga sosok Sasuke dengan Sasuke yang semula. Ia tidak yakin apa mereka mewakili setiap sifat Sasuke sebelumnya. Jika sosok yang memakai kimono dan sosok yang memakai jaket mungkin sedikit agak meyakinkan, karena salah satunya tidak begitu berekspresi dan satu begitu suka mengejeknya. Tapi untuk sosok yang memakai Sweater ia tidak terlalu begitu yakin.
"Aku mewakili sikap terbuka dari Sasuke. Sikap yang tidak segan untuk mengatakan sesuatu yang sebenarnya, bahkan jika itu menyakiti orang tersebut. Mengekspresikan secara langsung apabila aku tidak menyukai atau menyukai sesuatu. Sedangkan si Muka datar, seperti julukan yang kuberikan itu, dia tidak terlalu banyak memiliki ekspresi, tidak bisa menunjukkan apa yang ia rasakan melalui mimik wajah, dan juga... terkadang menahan perasaan yang ia miliki karena takut akan menerima penolakan dan rasa tidak suka . Contohnya seperti pagi tadi, saat aku meraba perutmu." Wajah Naruto memerah mendengar kata-kata terakhir. Entah kenapa tangannya terasa gatal untuk menampar mulut Sasuke. "Dia hanya menghentikan tanganku dan menyuruhmu untuk segera memakai pakaian. Jika aku menjadi dia mungkin aku akan menyingkirkan orang itu darimu, lalu mengancamnya dan mengatakan bahwa kau itu milikku." Sasuke mendengus, mencemooh sosok berkimono. "Hah, bukankah dia terlihat seperti pengecut."
"Bukankah kalian sosok yang sama, jadi kurasa tidak perlu bersikap berlebihan seperti itu."
"Tapi bagaimana jika itu orang lain?"
Naruto bungkam, ia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Otaknya terasa membeku seketika hingga ia tak mampu berpikir.
"Haah... kurasa bukan suatu hal yang mengherankan kenapa kami berdua saling tidak menyukai satu sama lain. Sikap kami terlalu berlawanan. Jika hal ini dimasukkan pada keadaan saat tubuh kami masih satu, maka hal itu akan seperti keadaan saat aku mencoba menunjukkan kasih sayang yang kumiliki untukmu melalui tindakan, namun perasaan takut dalam hatiku yang berpikir kau mungkin tidak akan menyukainya membuatku mengurungkan niat."
Setelah penjelasan yang panjang itu suasana diantara mereka hening untuk sesaat, namun Naruto kembali melanjutkan percakapan.
"Lalu bagaimana dengan sosok yang satunya. Aku tidak melihat sebuah ciri khas dari Sasuke yang semula ada pada dirinya."
Sasuke mengangkat salah satu alisnya dan tersenyum lucu mendengar kalimat terakhir dari Naruto. "Pfth... haha... hahaha..." Naruto memandang heran, apakah ada yang salah dengan yang ia ucapkan tadi.
"Kau mungkin akan merasa lucu saat mendengar tentang dirinya. Tapi bukankah menurutmu dia merupakan sosok yang pengertian. Dia mengantarkan sarung tangan dan syal untukmu, membantu membawa barang belanjaan, dan bahkan memberikan sarung tangan miliknya pada orang lain, sehingga kalian harus pulang dengan salah satu tangan agak dingin."
Jika Naruto pikir-pikir Sasuke yang semula juga memiliki sifat pengertian, dia bahkan dulu rela melakukan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan misi dan membantu dirinya.
"Tapi..." Sasuke kembali melanjutkan, dan kini perhatian Naruto tertuju penuh padanya karena ingin mendengar lebih banyak mengenai diri Sasuke yang selama ini bersama dirinya. "Aku yakin, hal paling mengejutkan untukmu adalah mengenai sifat mudah gugup dan rasa malu yang dimilikinya. Sebenarnya ini adalah rahasia yang ingin kusimpan sendiri. Tapi sekarang aku ingin kau mengetahui, mengenal lebih baik, dan menerima semua yang ada pada diriku." Sasuke menghela napas panjang sebelum kembali berucap. "Sosok itu sebenarnya mewakili perasaan yang selama ini selalu kusembunyikan. Naruto, saat kau mencoba memperlakukanku penuh perhatian dan juga saat kau menunjukkan rasa cintamu melalui tindakan, aku merasa kalau otakku berhenti dan wajahku memanas. Aku merasa senang namun aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin membalas perlakuanmu dengan hal serupa dan mengatakan kalau aku mencintaimu, namun aku selalu berakhir dengan mengacaukannya. Kata-kata yang awalnya tersusun di dalam kepalaku sebagai kalimat yang menyampaikan kasih sayang, dan karena kegugupan yang kurasakan berakhir dengan keluar sebagai kalimat ejekan dan olokkan yang pasti membuatmu kesal. Tindakan itu membuatku terlihat menyedihkan, aku sama sekali tidak bisa memperlakukanmu dengan baik. Bukankah menurutmu ini sungguh lucu, Uchiha Sasuke yang terkenal dengan tampang stoic dan sikap dinginnya ternyata bisa menjadi salah tingkah saat menerima perlakuan seperti itu darimu."
"Aku tidak merasa seperti itu." Naruto berucap tegas, iris safirnya menatap lekat pada sepasang mata hitam Sasuke. "Justru aku merasa senang dengan hal itu. Apa kau tahu, dari dulu aku selalu ragu dan bertanya-tanya apakah kau benar-benar menyukaiku, dan pernahkah kau merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan saat aku bersamamu. Kalimat-kalimat itu selalu berada dalam otakku dan membuat takut. Tapi..."
Senyum mengembang di wajah Naruto, di sudut matanya terlihat air mata yang menggenang, namun itu bukanlah air mata kesedihan, melainkan sebuah genangan air mata yang mewakili kebahagiaan. Kedua buah tangan berkulit tan menumpuk di atas tangan Sasuke dan menggenggamnya dengan erat.
"Tapi aku mengenalmu, Sasuke. Kau adalah orang yang selalu menjaga harga dirimu, tidak pernah ingin terlihat memalukan di depan orang lain, menyembunyikan perasaanmu. Kau adalah orang yang seperti itu. Dan karena sifat yang kau miliki itu, aku mencoba menyakinkan diriku bahwa kau memang menyukaiku dan hanya saja tidak ingin menunjukkannya padaku. Dan karena sekarang kau telah mengatakannya padaku, aku tidak akan ragu lagi."
Angin terus bertiup dan butiran saljupun tak henti-hentinya untuk jatuh di atas tubuh mereka, namun entah kenapa tangan Naruto yang menggenggam miliknya tetap terasa hangat. Senyum layaknya bulan sabit terukir di wajah putih pucat Sasuke. Tangannya yang lain terulur menuju wajah Naruto dan mendaratkan sebuah jentikan di kening pemuda pirang. Naruto otomatis menyentuh keningnya dan meringis kesakitan. Hancur sudah suasana romantis diantara mereka.
"Dasar Dobe, berani-beraninya kau meragukan perasaanku. Jika aku memang tidak menyukaimu lalu untuk apa aku harus sering ke rumahmu hanya untuk memasak sesuatu dan memastikan kau tidak sering makan ramen, membiarkan kau memelukku bahkan menciumku. Jika aku tidak menyukaimu, maka aku tidak akan mau menerima semua hal itu." Tangan putih menyentuh kening Naruto tepat dimana ruam merah terlihat akibat jentikan sebelum. Ia menggosok-gosoknya dengan ibu jari, berharap akan sedikit mengurangi rasa sakit di sana. "Oleh karena itu, mulai sekarang kau tidak boleh meragukan diriku lagi, jangan pernah. Bahkan meskipun aku mengejek, membentak, atau menyakitimu seperti ini, kau sama sekali tidak boleh meragukanku. Apa kau mengerti?"
Kepala dengan helaian rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi," Naruto menghentikan tangan Sasuke yang berada di keningnya dan menatap dengan wajah cemberut pada keturunan Uchiha tersebut. "Apa maksudmu dengan mengejek, membentak, dan menyakitiku? Apa kau berniat akan tetap melakukan itu padaku? Aku ini pacarmu Sasuke, dan bisa-bisanya kau memperlakukanku seperti itu!" dan dimulailah drama Naruto. dengan sikap layak seorang istri yang dianiaya serta air mata buayanya ia bertingkah di depan Sasuke. "Ah... sebenarnya kesalahan apa yang kulakukan dulu sehingga harus menerima kutukan untuk mencintai seorang laki-laki dengan sikap dingin, ekspresi wajah yang sebelas dua belas dengan patung para Hokage, dan kelakuannya yang agak Tsundere."
Urat kekesalan muncul di kening Sasuke, entah kenapa melihat tingkah konyol Naruto sekarang membuatnya ingin memukul kepala pirang itu.
"Ah... tidak bisakah kau berhenti mengejek dan bersikap kasar padaku? Jika itu dua sosok dirimu yang lain pasti mereka tidak akan seperti itu dan memperlakukanku dengan baik." Naruto terus melanjutkan ucapannya dan tidak terlalu memperhatikan ekspresi Sasuke yang berubah kaku ketika mendengar kalimat Naruto barusan. "Kalau kau berhenti mengejekku dan berperilaku baik, aku mungkin juga tidak akan sering merasa kesal padamu."
"Naruto, aku ingin bertanya sesuatu padamu."
Naruto menghentikan tingkah konyolnya. Suara Sasuke yang mengalun begitu dalam dan tenang membuatnya tidak tega untuk mengabaikan kalimat yang keluar dari celah bibir pemuda raven itu.
"Seandainya saja tubuh kami tidak kembali seperti semula dan akan terus seperti ini untuk selamanya. Dan jika kau diminta untuk memilih salah satu dari kami yang paling kau sukai, maka siapa yang akan kau pilih?" mata onyx itu menyorot tajam dengan wajah seriusnya, namun entah kenapa ada nada sarat dengan kesedihan terselip diantara kalimat yang diucapkannya. Atmosfer diantara keduanya pun berubah menjadi tidak nyaman.
"A-apa yang kau katakan Sasuke. Bukankah Tsunade Baa-chan bilang kalau jutsu itu akan menghilang."
"Tapi waktunya tidak bisa dipastikan, bukan? Dan bagaimana jika sampai aku mati ternyata jutsu ini tetap tidak menghilang?"
Naruto terdiam. Isi otaknya penuh dengan pertanyaan Sasuke. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Sasuke menanyakan sesuatu seperti itu. Kenapa ia diminta untuk memilih salah satu diantara mereka. Dan jika ia menjawab pertanyaan itu, apakah tidak menimbulkan masalah? Lalu akan seperti apa reaksi yang diberikan Sasuke.
Hening yang mencekik mendominasi kedua sosok itu. Paduan cantik dari cahaya lampion dan hujan salju sama sekali tidak mencairkan suasana canggung antara keduanya. Naruto masih tidak bicara sama sekali, sedangkan Sasuke termenung dalam pikirannya sendiri. Pemuda dengan helaian rambut raven itu sebenarnya sama sekali tidak berniat untuk melontarkan pertanyaan tersebut. Ia juga tidak mengerti, kenapa setelah mendengar ucapan Naruto sebelumnya, ia menjadi sedikit emosi. Otaknya seakan bekerja sendiri dan menghasilkan pikiran-pikiran buruk. Menganggap seakan-akan keberandaannya...
Tidak diinginkan Naruto.
"Sudahlah, kau tidak usah menanggapi pertanyaanku dengan serius." Tangan milik Sasuke mengusap kasar rambut Naruto hingga menyadarkan pemuda pirang itu dari lautan pikiran. "Dan sebaiknya kita segera pulang, malam sudah semakin larut dan udara juga semakin dingin."
Sepasang safir yang sedari tadi menghindari tatapan Sasuke langsung menatap protes mendengar ajakan pulang pemuda keturunan Uchiha itu. "Ehhh... tapi aku masih ingin berada disini."
Kepala dengan rambut raven itu menggeleng-geleng. "Tidak, tidak. Aku tidak ingin berakhir diomeli karena membuatmu menjadi sakit besok. Lagipula jika kau memang suka sesuatu seperti ini, kalau aku ada kesempatan, aku akan membuatkannya untukmu lagi nanti."
"Eh? Benarkah? Benarkah?" Kedua mata berwarna safir itu melebar dengan penuh harap, senyum kegembiraan terukir di wajahnya. Dalam sekejap ia sudah melupakan pertanyaan yang diajukan Sasuke yang membuat otaknya berpikir keras.
"Hn."
Senyum itu berubah menjadi cengiran lebar, tanpa ditahan lagi ia berteriak dengan keras. "Yeeeyy... terima kasih Sasuke." Naruto menubrukkan tubuh Sasuke, melingkarkan tangan di leher Sasuke, dan memeluknya dengan erat.
"Hn. Ayo turun!"
Naruto melepaskan pelukannya. Bersama-sama mereka turun dari batang pohon itu dengan cara melompat. Kedua mendarat dengan baik, tumpukkan salju di tanah membentuk jejak akibat tekanan dari kedua pasang kaki yang melangkah. Sasuke berjalan lebih dulu sedangkan Naruto berada di belakang mengikuti. Namun belum jauh melangkah dari pohon yang mereka tempati sebelumnya kedua kaki Sasuke tiba-tiba berhenti, tubuhnya berbalik untuk menghadap Naruto.
"Oh, Dobe. Ada satu hal yang kulupakan."
Sepasang safir memutar jengah ketika mendengar sebutan untuknya. "Memangnya apa yang kau lupakan?"
Sasuke maju selangkah mendekati Naruto, jarak wajahnya dengan Naruto terlihat cukup dekat. Sepasang bola mata safir pun melebar dalam keterkejutan.
"Dengar ini baik-baik, mungkin ini akan menjadi pertama kalinya aku yang memulainya lebih dulu. Ah! Tunggu, tunggu. Bukankah aku juga melakukannya kemarin malam. Tapi karena itu untuk ucapan selamat malam kukira itu tidak usah dihitung."
Raut kebingungan terlihat di wajah Naruto, ia tidak mengerti dengan maksud sebenarnya pemuda raven itu. Apa hal yang dilupakannya? Lalu pertama kali, kemarin malam, dan ucapan selamat tidur itu apa?
Tangan hangat milik Sasuke menyentuh wajah Naruto, sepasang raven menatap lekat pada bola mata dengan warna safir. Jantung Naruto mulai berdetak dengan tidak tenang, matanya semakin terbuka melebar melihat jarak wajah Sasuke yang begitu dekat dengan wajahnya. Tatapan mata itu entah kenapa membuat tubuhnya terdiam kaku. Ia bisa merasakan kalau darahnya berkumpul disekitar wajahnya, menimbulkan sebuah semu merah di sana dan juga panas yang terasa olehnya.
"Naruto, kuharap kau mengingat kejadian ini baik-baik."
Suara Sasuke terdengar samar-samar di telinga Naruto, ia tidak bisa mendengar semuanya dengan jelas. Fokusnya kini hanya pada wajah Sasuke yang semakin dekat dengan wajahnya. Bibir Sasuke menyentuh miliknya. Panas di wajah Naruto semakin meningkat. Di tengah hujan salju yang turun dan suasana hening di sekitar jantung Naruto berdetak dengan nyaring dan kencang, bahkan ia bisa pastikan kalau Sasuke bisa mendengar detak jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Jadi inikah yang dimaksud Sasuke tadi. ini memang bisa dibilang pertama kalinya Sasuke yang mulai menciumnya lebih dulu. Ciuman ini mungkin terasa dingin karena cuaca yang membekukan bibir mereka, namun entah kenapa menimbulkan rasa hangat di rongga dadanya.
Sentuhan di bibir itu perlahan menghilang. Dua sosok itu saling tatap satu sama lain dengan wajah yang masing-masing memerah. Tidak ingin wajah memalukannya dilihat, Sasuke membalikkan tubuhnya dan menyeret Naruto.
"Ayo pulang!"
Naruto hanya diam menurut, iapun tidak tahu apa yang harus dilakukan dikondisi yang canggung ini.
.
.
Sesampainya di rumah Naruto langsung berganti dengan pakaian yang lebih hangat, duduk bersila di lantai kamar dengan selimut tebal di tubuhnya dan ditemani secangkir coklat panas yang dibuatkan khusus oleh sosok berpakaian Kimono. Dari balik jendela kamar yang memperlihatkan suasana di luar, Naruto bisa melihat salju turun dengan lebat disertai angin kencang. Atap dan jendela sesekali terdengar bergetar pelan saat diterpa angin.
Beruntung mereka berdua sampai di rumah tepat sebelum cuaca bertambah buruk, jika saja mereka terlambat beberapa menit mungkin mereka akan terjebak dalam badai di luar sana. Naruto menjadi terpikir dengan pohon yang mereka kunjungi tadi. Dengan cuaca yang begitu buruk seperti ini pasti lampion dan lampu kecil yang ada di pohon itu sudah rusak, padahal ia sangat suka tempat itu. Jika besok pagi cuaca sudah membaik mungkin ia bisa mencoba menjenguk tempat itu.
Ah... Dan sialnya karena memikirkan pohon itu mau tidak mau Naruto pun jadi teringat kembali dengan pertanyaan Sasuke.
'Jika kau diminta untuk memilih salah satu dari kami yang paling kau sukai, maka siapa yang akan kau pilih?'
Kalimat itu kembali berdengung dalam otak disertai ekspresi yang digunakan Sasuke waktu itu. Ekspresi Sasuke waktu itu entah kenapa terlihat menyedih untuknya, sosok itu seakan-akan menyimpan sebuah kekhawatiran yang tidak ingin ia tunjukkan.
Naruto mengeratkan genggamannya pada selimut. Dadanya tiba-tiba saja terasa begitu sakit saat suara Sasuke waktu itu terbayang jelas di otaknya. Ia tidak akan pernah menyukai nada suara Sasuke yang seperti itu dan tidak akan pernah mau untuk mendengarnya lagi. Nada suara itu penuh dengan kesedihan, ketakutan, dan kekhawatiran. Membuat hatinya seakan-akan teriris mendengar setiap kata yang keluar.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Naruto?"
Kepala berambut pirang itu menoleh, tepat di depan pintu kamar sana ketiga sosok berwajah mirip itu berdiri. Kepalanya menggeleng menanggapi pertanyaan pria berpakaian kimono.
"Bukan apa-apa."
Tiga sosok mendekat, mereka memposisikan diri masing-masing duduk di dekat Naruto. Satu berada di belakangnya, mencoba menyampirkan kembali selimut yang terlihat melorot dari bahunya, dan sisanya berada di kanan dan kirinya.
"Otakmu itu tidak dirancang untuk digunakan berpikir, jadi jangan kau paksakan untuk memikirkan hal yang rumit." Sasuke berjaket hitam yang berada di sebelah kanannya berucap, secara seenaknya ia mendaratkan kepala berhiaskan helaian rambut raven miliknya di atas paha Naruto yang bersila dan menjadikannya sebuah bantal dadakan. Kedua pasang kelopak matanya menutup, berusaha menidurkan diri dalam pangkuan Naruto.
Naruto mengerucutkan bibirnya kesal, ia ingin sekali memberikan sebuah pukulan pada kepala yang seenaknya menjadinya bantal, namun ia terlalu enggan untuk mengeluarkan tangannya dari balik selimutnya yang hangat.
"Naruto-san, jika kau ada masalah cerita saja pada kami. Tidak usah untuk memendamnya sendiri." sosok berpakaian sweater yang berada di samping kirinya tersenyum lembut. Senyuman itu berhasil menenangkan hati Naruto yang merasa kesal. Naruto pun balas tersenyum untuk menyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
"Um... Naruto-san." sosok Sasuke bersweater itu kembali berucap, Naruto menyahut dengan menggumam kecil. Kedua tangan berkulit putih saling menggenggam erat, tingkahnya terlihat agak gugup dengan sepasang mata menatap ke bawah dan pipi yang terlihat sedikit bersemu merah. "Bolehkah... Aku meletakkan kepalaku di bahumu?"
Naruto tercengang. Apakah ia salah dengar, atau memang sosok di sebelah kirinya ini sedang meminta izin untuk menyandarkan kepala di bahunya. Memangnya seberapa sopannya laki-laki ini hingga harus meminta izin seperti itu pada pacarnya sendiri?
Naruto masih tercengang dengan mulut sedikit terbuka, hingga kemudian ia kembali tersadar setelah dipanggil oleh sosok Sasuke itu.
"A... Um... Kurasa tidak apa-apa. Aku tidak masalah sama sekali." jawab Naruto dengan suara pelan.
Senyum mengembang di wajah pemuda keturunan Uchiha itu. Ia mengucapkan terima kasih dan tanpa ragu meletakkan kepalanya di bahu Naruto.
"Ah... Seperti yang kupikirkan, ternyata di samping Naruto-san hangat dan nyaman."
Kalimat itu meluncur mulus tanpa beban. Ia hanya terus tersenyum sambil menyamankan posisinya, tidak tahu bahwa kalimatnya barusan begitu berdampak besar bagi Sang Pemuda Uzumaki yang saat ini wajahnya mulai merah.
Naruto hanya bisa terduduk kaku. Wajahnya benar-benar terasa panas, bahkan mungkin suhu ruangan yang cukup dingin tidak akan terasa lagi di kulit wajahnya. Naruto terlalu fokus pada dirinya hingga tidak menyadari sosok di belakangnya yang menatapnya dalam diam. Sosok berkimono itu duduk di belakang, lalu dengan tiba-tiba menyenderkan tubuh pada Naruto dengan posisi miring. Kedua matanya setengah terpejam, namun mulutnya menggumam dengan pelan.
"Jika berkumpul seperti ini rasa seperti sekelompok pinguin."
Naruto sedikit terkejut dengan beban di tubuhnya yang bertambah. Suara itu terdengar begitu kecil, namun Naruto masih bisa mendengarnya. Walaupun begitu ia hanya bisa mengernyitkan sepasang alis karena heran mendengar kalimat tersebut.
Memangnya ada dengan pinguin?
Ah, tunggu. Sepertinya sekarang ia bisa sedikit mengerti. Pinguin selalu berkumpul satu sama lain untuk bisa menghangatkan diri, bukan? Tolong jangan tanya darimana dia tahu hal itu. Walaupun ia tidak pernah melihat pinguin secara langsung, setidaknya selembar kertas usang yang ia temukan di perpustakaan saat menemani Sakura, dengan gambar makhluk serupa burung namun tidak bisa terbang di atas kertas itu sudah cukup untuknya bisa membayangkan seperti apa hewan bernama pinguin ini.
Beban di belakang tubuhnya tiba-tiba semakin bertambah, sosok Sasuke berkimono itu tidaklah lagi menumpukan sebagian berat badannya, melainkan menyandarkan seluruh berat tubuhnya pada punggung Naruto. Napas tenang nan teratur sedikit terdengar dari laki-laki tersebut disertai dengan kedua matanya yang juga tertutup, menandakan bahwa ia sedang tertidur.
Kamar itu terasa begitu hening hingga Naruto harus mengalihkan pandangan pada dua sosok lain yang ternyata juga tertidur pulas.
Pemuda berambut pirang itu tersenyum kecil melihat ekspresi tenang di wajah keduanya. Sepasang safir menatap jam yang bergantung di dinding, suara detiknya terdengar begitu jelas dalam ruangan yang sunyi ini. Jarum panjang dan pendek pada jam itu menunjukkan jam delapan lewat, ini tentu belum waktunya untuk tidur. Tapi sepertinya hari ini begitu melelahkan bagi mereka, hingga mereka semua tertidur dengan begitu cepat.
Pergerakan pelan dirasakan Naruto di bahu kirinya, sosok berpakaian sweater itu terlihat mencari posisi nyaman untuk meletakkan kepalanya namun yang ada kepala berambut raven itu hampir tergelincir dari bahu Naruto. Naruto dengan sigap menangkap kepala itu agar tidak terjatuh dan meletakkan kembali kebahunya. Ia tersenyum geli melihat kejadian tersebut.
Dari balik jendela, salju masih turun dengan begitu lebat, sama sekali tidak ada tanda-tanda akan segera mereda. Suhu dalam kamar itu mulai turun, bahkan keadaan secangkir coklat panas yang sempat terabaikan kini mulai mendingin, padahal Naruto baru meminumnya sedikit.
Ah! Tapi rasanya dia tidak memerlukan coklat panas itu lagi. Karena...
Dia memiliki mereka. Ia sudah memiliki Sasuke. Baginya, suhu tubuh Sasuke yang menembus lapisan pakaian dan menyentuh kulitnya terasa lebih hangat dan nyaman daripada secangkir coklat panas. Kehangatan yang terasa di permukaan kulitnya, lalu menembus hingga ke darah yang mengalir dan berakhir menuju jantungnya. Semuanya terasa begitu menyenangkan. Dadanya berdebar-debar kencang dan ia tidak henti-hentinya tersenyum lebar.
Semua ini berkat Sasuke.
.
.
Pagi menjelang dengan begitu cepat, langit di luar terlihat begitu cukup cerah walaupun masih ada sisa-sisa awan kelabu pembawa badai tadi malam. Sinar matahari yang berhasil menembus celah awan menyinari jendela kamar Naruto dan mengusik sepasang bola mata safir yang bersembunyi dibalik kelopak mata berkulit tan. Tubuh berselimut itu menggeliat, ia mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya yang terasa silau saat terkena sinar matahari. Ia bangkit dari kasurnya dan baru ia sadari di salah satu ruang kosong di kasurnya terbaring sesosok tubuh terbungkus selimut. Rambut hitam milik sosok itu mencuat dari balik selimut.
Naruto diam terpaku, bertanya-tanya siapa gerangan sosok Sasuke yang berani tidur di kasurnya ini. Tergerak oleh rasa penasaran tangan Naruto bergerak membuka sedikit selimut yang menutupi kepala.
Wajah tenang dengan kelopak mata yang masih tertutup terpampang di wajah putih itu. Naruto terdiam sesaat hanya untuk memandang wajah tidur laki-laki di depannya. Dari wajah yang terlihat tidur dengan nyenyak itu Naruto beralih menatap telinga kiri Sasuke yang tidak terpasang anting. Yang berarti orang yang tidur di kasurnya ini bukanlah sosok Sasuke yang bermulut pedas itu.
Tangan Naruto kembali menarik selimut itu hingga sebatas dada dan menemukan bahwa tubuh itu tidaklah memakai kimono maupun sweater, tapi hanya mengenakan kaos berlengan pendek berwarna biru. Itu adalah pakaian yang dikenakan Sasuke sebelum dia terkena efek jutsu.
Sepasang alis pirang mengeryit memikirkan sesuatu.
Apakah Sasuke sudah kembali seperti semula?
Mencoba memastikan pemikiran yang melintas di dalam otaknya, Naruto memanggil dan menepuk-nepuk pelan pipi Sasuke agar orang itu terbangun. Setelah beberapa saat kemudian usaha Narutopun berhasil membangunkan Sasuke.
Kelopak mata milik Sasuke perlahan terbuka karena terusik oleh ulah Naruto. Dengan tubuh yang masih berbaring di kasur ia bertanya pada Naruto dengan suara serak khas bangun tidur.
"Ada apa kau membangunkanku, Naruto?"
"Sasuke, kau benar-benar Sasuke yang asli, kan?"
Alis hitam itu menukik dalam kebingungan, dia baru saja bangun dari tidur dengan pikiran kosong yang melayang-layang dan dia sudah langsung diberikan pertanyaan aneh seperti itu. "Apa maksudmu? Ini memang aku. Apa kau bermimpi ada seseorang yang menyamar menjadi diriku, sehingga kau menanyakan sesuatu yang konyol sepagi ini."
"Tidak, tidak, bukan begitu. Apa kau tidak ingat, dimalam saat aku pulang kau mempraktekkan Jutsu yang aneh dan akhirnya kau berubah menjadi tiga sosok yang berbeda!" Naruto berucap dengan cukup keras, ia berusaha untuk mengembalikan ingatan Sasuke mengenai hari-hari sebelumnya.
Dibawah kesadaran yang sebagian masih melayang-layang karena baru bangun tidur, Sasuke mengingat-ingat kejadian dua malam lalu. Kepalanya terasa sedikit sakit saat mencoba mengingatnya, namun samar-samar ia bisa ingat dengan kejadian waktu itu. Dimulai saat ia membaca gulungan itu, lalu asap yang muncul, setelahnya ia tidak bisa mengingat dengan jelas. Ia bisa melihat sosok yang berwajah mirip dengannya. Dua? tiga? Ah... ia tidak yakin ada berapa. Otaknya terasa sakit saat ia mencoba memperjelas ingatnya itu.
"Kurasa aku sedikit bisa mengingatnya, tapi tidak begitu jelas. Ingatanku seakan-akan tercampur menjadi satu." Kepala Sasuke berdenyut sakit secara tiba-tiba. Semua kejadian yang terekam dalam otaknya sejak hari itu sampai sekarang melesak masuk secara bersamaan, hal itu tentu saja membuatnya mengalami pusing mendadak.
Naruto menatap khawatir pada Sasuke yang menahan sakit di kepalanya. "Mungkin ini karena efek dari jutsu itu, kau berubah menjadi tiga orang, dan saat tubuhmu kembali seperti semula mungkin saja ingatan dari ketiga orang itu menumpuk menjadi satu. Kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk mengingat semua kejadian itu."
Sasuke menerima saran Naruto, ia mencoba untuk tidak memaksakan diri mengingat semua memori kejadian yang masuk dalam otaknya. Nyeri di kepalanya mulai mereda, ia akhirnya bisa sedikit rileks. Namun ia tersentak kaget ketika Naruto menghempaskan diri ketubuhnya yang masih berbaring di kasur. Pemuda berambut pirang itu memeluknya dengan erat sekaligus berbisik kecil,
"Sasukeee~ akhirnya kau kembali seperti semula. Aku senang sekali."
Bisikan itu mengalun dengan nada manja di dekat telinga Sasuke. Kedua tangannya bergerak untuk memberikan pelukan juga pada Naruto yang masih berada di atas tubuhnya.
"Memangnya ada sesuatu yang buruk terjadi saat aku berada dalam efek jutsu itu, sehingga kau senang sekali saat aku kembali seperti semula?"
"Tidak, itu bukan sesuatu yang buruk, malah itu sebenarnya itu kejadian yang menyenangkan untukku. Yah... walaupun ada juga kejadian yang membuatku shock." Naruto tersenyum kecil ketika mengingat salah satu sosok Sasuke yang memanggilnya dengan embel-embel 'San'. "Aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu jika kau terus seperti itu untuk waktu yang cukup lama. Dan juga pertanyaan yang kau berikan tadi malam benar-benar menggangguku."
Raut kebingungan terlihat di wajah Sasuke, ia sama sekali tidak ingat pertanyaan apa yang dimaksudkan Naruto.
"Jika aku disuruh memilih, maka siapa yang akan aku pilih? Aku mencoba mencari jawaban dari pertanyaan itu sepanjang malam. Tapi sekarang aku sudah tahu jawabannya."
Naruto mengangkat kepalanya, namun tangannya masih memeluk erat tubuh laki-laki di bawahnya. Sebuah senyum lembut ia tujukan pada Sasuke.
"Aku tidak bisa memilih."
"Itu adalah jawabanku. Aku mencintaimu, aku mencintai semua bagian dari dirimu, bahkan juga kekuranganmu; Sasuke yang tidak tahu caranya menunjukkan sikap romantis, Sasuke yang menyembunyikan perasaannya, dan Sasuke yang selalu berucap kasar. Jika cinta memang bisa memilih, maka pasti sudah lama aku akan mencari orang yang lebih baik dari dirimu. Tapi, karena kenyataannya adalah sebaliknya, maka aku menerima semua kebaikan dan keburukanmu. Bagiku seperti apapun Sasuke, aku akan tetap mencintaimu. Karena aku hanya menginginkan Sasuke, tidak peduli bagaimanapun dia."
Sepasang mata berwarna onyx itu masih bisa melihat senyum lembut yang Naruto ditujukan padanya. Perlahan-lahan Sasuke bisa merasakan wajahnya mulai terasa panas dan bersemu merah. Untuk kesekian kalinya sejak Naruto mengajaknya menjadi sepasang kekasih, Sasuke bisa merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat. Naruto memang sering mengatakan kata-kata cinta padanya, dan itu secara diam-diam membuatnya merasa senang. Namun kali ini terasa berbeda, bukan berbeda dalam artian yang jauh. Ia tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaan ini. Ia tidak tahu kata apa yang bisa menyiratkan kegembiraannya yang begitu besar ini saat mendengar kata-kata tulus Naruto.
Sasuke menggigit pelan bibir bagian dalamnya dengan wajah yang sepenuhnya memerah. Ia benar-benar malu dengan dirinya sendiri, kali ini ia kembali membiarkan Naruto lebih dulu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Kenapa dia tidak bisa menjadi yang pertama mengucapkannya?
Sasuke menarik Naruto kedalam pelukannya secara tiba-tiba, laki-laki berambut pirang itu sedikit terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba itu. Wajah Naruto menyentuh dada Sasuke, ia bisa mendengar detak jantung pria itu yang begitu cepat.
"Maafkan aku. Aku yakin pasti berat untukmu mencintai orang sepertiku. Dari awal, kau yang selalu berinsiatif lebih dulu dalam hubungan kita, dan aku hanya diam atau menolak."
Naruto menggeleng pelan dalam pelukan Sasuke, "Itu tidak benar. Bukankah sudah ku bilang, kalau aku tidak mempermasalahkannya. Selama aku mencintaimu dan kau juga mencintaiku, itu semua sudah lebih dari cukup."
Sasuke terdiam, kali ini ia benar-benar tidak tahu harus apa lagi. Hanya bermodal insting hatinya dan tanpa campur tangan pikiran, tangannya menyentuh wajah Naruto yang berada di atas dada, meminta Naruto untuk mengangkat kepala dan menatapnya.
Senyum indah tercipta di wajah putih itu, Naruto bahkan terpana menatap wajah yang jarang menampilkan ekspresi tersebut. "Terima kasih. Dan..." Sasuke mendekatkan wajahnya pada Naruto, entah kenapa ia bisa begitu jelas mendengar hembusan napas pemuda itu, dan matanya hanya bisa fokus pada sepasang bola mata safir yang menatapnya begitu hangat. Sasuke semakin mendekat, ia mendaratkan sebuah ciuman singkat di pipi laki-laki itu.
"Aku juga mencintaimu." bisiknya pelan di samping telinga Naruto, tepat setelah ia memberikan ciuman di pipinya.
Kedua belah pipi tan perlahan memerah. Detak jantung Naruto berdetak cepat seirama dengan milik Sasuke. Mendengar kata-kata romantis yang jarang keluar dari mulut Sasuke tentulah membuat Naruto senang tak terhingga. Naruto mengeratkan pelukkannya pada tubuh hangat Sasuke.
Walaupun di luar sana angin masih berhembus, walaupun semua yang ada di balik dinding membeku oleh musim dingin. Dua tubuh di balik selimut mendekap erat satu sama lain, memberi kehangatan yang mungkin tidak akan bisa diberikan oleh yang lain. Saling menunjukkan perasaan mereka melalui eratnya pelukan yang mereka terima. Dan menunjukkan pada dunia, bahwa ada sebuah kisah cinta yang begitu hangat layaknya musim panas di tengah-tengah musim dingin ini.
The End
.
.
Balasan review!
aka-chan : Iyaaa! Mereka semua memang manis . tapi aku paling suka sama yang pake sweater, tingkahnya agak-agak polos jadinya lucu. Haha... Maafnya Sasuke kamu kujadi'in kayak gitu.
sekaina : Supaya nggak rebutan lagi nanti Sasukenya satu-satu dikasih bunshin Naruto, kalau mau kasih sepuluh masing-masing juga bisa, nanti biar puas XD
w : Naruto dapat satu Sasuke aja udah klepek-klepek, kalo dapat dua lagi udah terbang kelangit ketujuh tuh. Naruto kalo udah terbang balik, yaaa, nanti dicari'in Sasuke, loh. :D
Chichi123 : OMG! Khayalan rated M! XD Sayangnya nggak bisa bikin adegan mesem-mesum, jadi silahkan khayalkan sendiri untuk kepuasan pribadi XP #plak tapi kalo ada orang yang bisa, boleh aku request? Hehehe... #peace
abiesevensnl : Yang fic Naruto-nii, ya? Aduh, gimana ya... -.-a Hm... Ficnya bakal dilanjut, kok. Yah, cuma nggak dalam waktu dekat ini. Yang chapter selanjutnya sebenarnya sudah ada sebagian diketik, cuman cara penyampaian ceritanya beda banget sama chapter yang sebelum-sebelumnya waktu aku baca ulang. Dan takutnya kalo dipaksain lanjut malah jadi aneh kesannya ;( Sampai sekarang aku lagi usahain gimana caranya supaya cara penulisannya bisa kayak chapter sebelumnya. Jadi intinya bersabar aja dulu deh, ya :)
A/n : Akhirnya selesai juga. Ya! Terima kasih buat semua yang udah review, follow, fav, dan juga yang sudah bersedia membaca. Padahal pengennya jadi fic oneshot, tapi malah panjang banget wordnya. -_-