Sambil terengah-engah mereka melepaskan pagutan mereka. Namjoon menatap sayu ke arah pemuda manis yang baru lima detik lalu membawanya melambung tinggi. Siapa ya tadi nama si cantik ini? Entahlah. Namjoon tidak terlalu tertarik untuk mengingatnya. Yang penting si cantik ini bisa membuatnya melolong penuh kepuasan. Cukup itu saja.
Mereka melepaskan diri dan saling menatap penuh rasa terima kasih. Lalu keduanya bergantian ke kamar mandi. Selesai bersih-bersih, Namjoon mengambil dompetnya dan memberikan beberapa lembar won pada pemuda yang masih belum bisa ia ingat namanya. Si cantik itupun terpekik senang dan memberikan ciuman gemas di bibir Namjoon.
"Jika kau ingin memakaiku lagi, cari aku di tempat biasa ya." Lalu ia mengedipkan mata dan keluar dari kamar hotel.
Namjoon tertawa kelu. Ampun ya, untuk kesekian kalinya Namjoon one night stand dengan seseorang yang tidak ia ingat namanya. Tadi malam asal pilih saja yang penting cantik. Mungkin si rambut pink tadi juga lagi perlu uang, jadi oke-oke saja ditarik oleh Namjoon ke hotel. Lagipula sama-sama untung.
Ponselnya berdering. Malas-malasan Namjoon menerima panggilan.
"Ya? Kenapa?"
"Aku minta maaf soal semalam. Bukan maksudnya untuk tidak menghargai, tapi timing-nya tidak pas, Namjoon-ah."
Timing kepalamu! Namjoon menggerutu sambil melangkah ke balkon. Ia buka pintu balkon lebar-lebar.
"Ya sudahlah, kita juga sudah berakhir kan? Apa lagi, Yoongi-ah?"
Yoongi menghela nafas pelan. "Kita kembali lagi, ya? Semalam aku emosi. Lagipula kenapa kau harus mengajakku ke bioskop saat aku lagi sibuk mengurus pasienku, Joon? Ya jelas saja aku emosi." Ujar Yoongi dengan intonasi manja–suara yang jarang akan ia keluarkan di depan orang banyak. Namjoon termasuk yang beruntung untuk bisa mendengarnya. "Kita juga sudah sepakat untuk tidak komplain dengan kesibukan masing-masing."
Namjoon diam beberapa saat. Sebenernya ingin langsung mengiyakan ajakan Yoongi. Tapi ia masih teringat saat semalam Yoongi mengomelinya panjang kali lebar lalu setelah mengatakan mereka berakhir, sambungan telfon dimatikan. Tidak aktif lagi sampai barusan Yoongi yang menelfon.
"Joonie, kau akan memaafkanku, kan?"
Namjoon mengalah. Sudahlah, ia tidak akan sanggup jika sudah mendengar suara manja Min Yoongi itu.
"Kapan aku bisa bertahan lama marah padamu, Yoongs? Kau itu punya kemampuan yang bisa membuat semua orang luluh, dan kau tahu itu."
Di ujung sana Yoongi tertawa. "Sebagai permintaan maaf, hari ini aku cuti dari rumah sakit dan kuberi hadiah waktuku satu hari penuh untukmu."
"Benarkah? Yes, yes, yes!" Namjoon loncat-loncat sangking senangnya. "No phone no call, ya?"
"Iya, Namjooniee. Jemput aku sekarang."
"Sipp, My Sugar."
###
Sambil membolak-balik berkas, Namjoon sesekali mencuri pandang ke ponselnya. Ia intip layar ponsel tersebut lalu mendengus. Huh, Min Yoongi ke mana? Kenapa pesannya tidak dibalas? Namjoon jadi sebal sendiri. Ia tutup map yang ia pegang, lalu bersandar di kursi. Ia ambil ponsel, menelpon Yoongi.
Deringan kesekian baru diangkat, membuat Namjoon jadi makin sebal.
"Kenapa pesanku tidak dibalas?" Berondong Namjoon dengan intonasi luar biasa sebal. "Jadi makan siang denganku atau tidak?"
"Jadi, Joon. Ini aku sudah di mobil. Bukannya tidak kubalas, tapi aku sedang menyetir."
Namjoon makin merah padam. "Lho, lho, lho? Kau bawa mobil?" Pemuda itu sampai berdiri. Terakhir kali Yoongi membawa mobil ketika mereka makan siang bersama, itu pertanda Yoongi harus cepat-cepat kembali ke rumah sakit. Namjoon tidak hanya sekedar makan siang, dia berencana mengajak Yoongi melepas rindu sebentar. Pekerjaan Yoongi akhir-akhir ini sungguh menyita waktu si pucat itu, sampai-sampai Namjoon jadi tidak teracuhkan.
"Aku harus cepat kembali ke rumah sakit."
Kan!
Namjoon berdecak. "Yasudah. Tidak jadi saja kalau kau malah inginnya cepat-cepat."
"Astaga, Namjoon. Jangan mulai."
"Kau yang mulai, Yoon." Namjoon duduk lagi. "Kalau memang tidak ada waktu, tidak perlu mengajak makan siang bersama. Aku tidak mau makan siang terburu-buru."
"Jadi batal? Serius?"
Namjoon menghela nafas. Antara sebal dan merindukan Yoongi. "Tidak batal. Aku jalan sekarang. Bye, Yoon."
Ia matikan sambungan. Pasien yang ini butuh belaianmu juga, Dok.
###
Namjoon menciumi Yoongi seakan-akan besok Yoongi akan mati. Tangannya sedari tadi berusaha menyusup ke dalam kemeja Yoongi. Mereka sama-sama mendesah penuh nikmat. Bunyi kecipak dari bibir mereka yang bersentuhan memenuhi apartment Namjoon yang sepi.
Yoongi menyudahi duluan cumbuan mereka. "Aku sudah terlambat lima belas menit, Namjoonie. Sudah, ya? Aku boleh kembali, ya?" Pemuda pucat itu memelas menatap kekasihnya. Ia rapikan kemejanya yang kancingnya sudah terbuka semua. Resleting celana bahannya yang sudah turun ia naikan lagi ke tempat semula.
"Sebentar lagi, sayang." Namjoon melesakkan kembali kepalanya di ceruk leher Yoongi, membuat Yoongi melenguh lagi. Tapi raut Namjoon berubah kecewa saat Yoongi menghela kepalanya menjauh. "Yoon..."
"Namjoon-ah, aku sudah terlambat."
"Yooooonnn..." Namjoon masih merengek dengan tampang memelas. Berharap Yoongi luluh.
"Besok lagi ya. Aku sudah benar-benar terlambat." Selepas mengecup singkat bibir pemuda tampannya itu, Yoongi ke kamar mandi, ia keluar dengan dandanan yang sudah rapi. Ia kecup bibir Namjoon sebagai tanda pamit, lalu menghilang di balik pintu.
Namjoon mendengus.
"Punya pacar tapi harus one night stand. Sial sekali nasibku."
###
"Hey, you..."
Merasa di panggil, Namjoon menoleh. Menyerngit ia memperhatikan siapa yang memanggilnya. Sepertinya kenal.
"Hai, lama tidak bertemu."
Namjoon tersenyum sekilas. "Kau?" Ragu-ragu Namjoon membalas sapaannya. Si manis berambut pink. Tidak menyangka bisa bertemu lagi. "Iya, senang bertemu kembali."
"Minum?" Si pink itu menyerahkan segelas wine untuk Namjoon. Namjoon menerima dengan suka cita. "Kau sendirian?"
"Menurutmu?"
Pemuda manis itu tertawa renyah. Suara tawanya sama merdunya dengan desahannya. Namjoon membatin.
"Mau di temani?"
"Boleh."
"Ayo turun."
"Ayo."
Lalu detik selanjutnya mereka sudah sama-sama terbuai dengan permainan DJ. Keduanya bergoyang mengikuti musik, pengaruh alkohol mulai menguasai. Tanpa keraguan, Namjoon memeluk pemuda berambut pink itu. Memeluk dari belakang dengan sangat mesra dan posesif. Keduanya larut dalam permainan musik. Namjoon melesakkan kepalanya ke tengkuk mangsanya. Menciumi, menggigit kecil dan menjilat.
"Mau check in?"
"Tampan, aku sudah menunggu diajak dari tadi."
Setelah meremas bokongnya dengan gemas, Namjoon menggeret (calon) garapannya itu ke meja kasir.
###
"Oh yes, oh right, baby. Faster..."
Namjoon menggenjot semakin ganas. Ia miringkan tubuhnya, sekali hentak ia balikkan tubuh pemuda yang tadi ia tindih, lalu kembali menyerang dengan gaya spooning, gaya favorit Namjoon.
"Fasteer..."
"Wait, baby..."
"Ohhhh..."
Tidak sampai lima menit keduanya melolong panjang dan jatuh terengah-engah. Namjoon memeluk tubuh ramping didepannya dengan keposesifan dan kemesraan. Ia ciumi bahu putih pemuda manis itu.
"I like you." Namjoon kembali menggerakkan pinggulnya. "You're so hot."
"Wait, baby. Masih pegal."
Namjoon tertawa nakal. "Multi orgasm, baby. Enjoy it..."
"Hhhhh... Shit you! Fasteeerr..."
"My name's Namjoon, Baby."
Namjoon menggenjot lebih cepat. Pijatan-pijatan kecil di bawah sana membuat Namjoon semakin berapi-api.
"Oh, Namjoon-aahhh..."
"Baby-
"Seokjiin... My name's Seokjinnhhh, ohhh..."
###
"Morning, Seokjin-ah." Namjoon mencium hidung bangir Seokjin. "Selamat pagi tukang tidur."
Seokjin tertawa pelan. Ia sudah kehabisan tenaga untuk membalas gurauan Namjoon. "Pagi, Namjoon. Sudah jam berapa?"
Namjoon menoleh ke nakas. Ia lihat jam di ponselnya. "Jam delapan. Masih pagi."
Seokjin tertawa pelan sambil meringis. "Jam sepuluh aku masuk kerja, alamat bolos hari ini. Tulang-tulangku mau lepas rasanya." Seokjin mencubit lengan Namjoon dengan gemas. "Ini semua salahmu, tidak ada puasnya sama sekali."
"Tapi kau suka, kan?" Namjoon menaiki tubuh polos Seokjin. Ia usap-usap rambut pink pemuda itu. "Sudah, bolos saja. Aku juga bolos kerja. Little Namjoon masih minta jatah soalnya."
"Apa?!" Seokjin melotot. Yang benar saja. Walau Namjoon cukup menggairahkan, tapi kan bukan berarti harus tancap-lepas-tancap-lepas semudah itu.
"Tenang, manis. Kita sarapan dulu. Nanti setelah itu kita lanjut lagi." Namjoon kembali melanjutkan sebelum Seokjin itu membantah. "Nanti kuberi bonus."
Barulah Seokjin mengangguk dengan senyum mengembang.
###
"Kerja di mana?" Tanya Namjoon sambil menyuapkan omelet ke mulutnya.
"Di distro. Aku di bagian kasir."
Namjoon manggut-manggut.
"Lalu kau?"
"Di perusahaan iklan."
Seokjin tertawa pelan. "Pantas banyak uang, orang kantoran ternyata. Pasti kau punya jabatan yang lumayan tinggi. Waktu itu saja kau memberiku lima ratus ribu won. Gila, setara gajiku dua bulan."
Namjoon tersenyum saja. Jadi ragu ingin mengatakan bahwa dia adalah CEO di perusahaan itu. "Ya begitulah. Cukup untuk berbagi denganmu."
Mereka tertawa hampir bersamaan.
"Hmmm, sering one night stand?" Tanya Seokjin lagi. Pemuda itu meminum jusnya sampah habis. Kelewat haus gara-gara semalaman dibuat teriak-teriak oleh pemuda tampan di depannya ini.
"Lumayan." Jawab Namjoon cuek. "Kau sendiri?"
Seokjin terdiam sesaat sebelum menjawab. "Lumayan juga."
"Pantas saja kau begitu panas. Sepertinya kau cukup berpengalaman."
Seokjin tersenyum kecil. Ia makan suapan omelet terakhir. "Kau puas?"
"Sangat. Lagi, yah? Sudah selesai kan makannya."
Seokjin mengangguk.
###
Namjoon menyetir sambil bersenandung kecil. Tidak ingat kapan terakhir kali Namjoon sebahagia ini, yang pasti hari ini dia sangat senang. Namjoon membelokkan mobilnya ke perumahan elite. Ia hentikan mobilnya di salah satu rumah yang sangat mewah. Dengan langkah bahagia Namjoon melangkah memasuki rumah.
Ibunya menyambutnya dengan senyuman kerinduan. Beliau memeluk putra semata wayangnya tersebut.
"Eomma begitu merindukanmu, sayang."
Namjoon tersenyum lembut sambil mencium pipi Ibunya.
"Namjoon juga, eomma."
Ibunya mengajak Namjoon ke teras belakang, rupanya di sana sudah ada Yoongi. Jika biasanya Namjoon akan memeluk Yoongi, kali ini Namjoon diam saja dengan tampang kaget.
"Apa yang kau lakukan di sini, Yoon? Tumben?"
Yoongi menyerngit. "Kenapa bertanyanya begitu?"
"Yah kan kau biasanya sibuk." Jawab Namjoon cuek. Ia duduk di samping Yoongi. Sang ibu sudah pamit ke dapur, ingin mengambil minum untuk Namjoon katanya. "Tuan dokter pasiennya kan banyak."
Yoongi tertawa kecil. Ia bergeser duduk lebih dekat ke Namjoon. "Namjoon, jangan begitu. Aku seperti ini untukmu juga."
Namjoon nyaris tersedak tawanya sendiri. "Untukku? Memangnya aku seorang atasan yang harus kau buat senang dengan kinerjamu? Terlalu sering bergaul dengan obat membuatmu jadi aneh yah."
Yoongi cemberut mendengar ucapan Namjoon.
"Punya pacar seperti tidak punya."
"Ayolah, Namjoonieee..." Yoongi berseru manja. Ia peluk lengan Namjoon. "Aku minta maaf. Sekarang kan aku di sini. Kita jalan-jalan?"
"Malas ah. Aku lelah."
"Lelah? Melakukan apa?"
"Lelah karena kerjalah."
Yoongi memicing. "Sejak kapan kerja bisa membuatmu lelah? Kau kan orang yang paling tidak menyukai hal rumit sedunia."
Lelah fucking orang!
Tapi itu hanya ia jawab di dalam hati.
Yoongi sudah kembali ingin bertanya saat ponselnya berdering. Namjoon ingin tergelak begitu mengetahui itu panggilan dari rumah sakit. Yoongi pamit dan menghilang begitu saja. Namjoon mendengus. Ia keluarkan ponselnya, buka memo, tadi dia menulis alamat tempat kerja Seokjin dengan judul apa ya? Namjoon membuka judul memo satu persatu.
Dan ngomong-ngomong, ini kali pertama dia mengetahui lumayan detail tentang partner one night stand-nya. Biasanya Namjoon tidak peduli. Berhubung kemarin Seokjin cukup asik diajak mengobrol (mereka tertawa-tawa sepanjang jalan saat Namjoon mengantar Seokjin pulang), jadi Namjoon memutuskan meminta alamat tempat kerja Seokjin dan meminta nomer telepon Seokjin. Selain partner tidur, Seokjin adalah teman mengobrol yang sangat asik.
Rambut pink-nya juga lucu. Tanpa sadar Namjoon terkekeh sendiri.
"Kenapa tertawa?" Ibunya muncul dengan nampan berisi secangkir teh dan camilan. "Yoongi kenapa pulang?"
"Ada panggilan dari rumah sakit."
Sang ibu duduk di samping Namjoon. Ia berikan cangkir teh satunya untuk Namjoon. "Yoongi selalu sesibuk itu?"
Namjoon mengangguk.
"Kalau sudah berumah tangga, bisa-bisa suami dan anak terlantar kalau begitu."
"Harus cari suami yang sabar berarti."
Ibunya memicing mendengar jawaban Namjoon. "Itu sangat bukan sifatmu sekali, sayang."
"Memang bukan." Jawab Namjoon santai. Nah, ketemu. Dia beri judul pink ternyata. Belum sempat membaca alamatnya, Ibu kembali menanyai Namjoon.
"Namjoon-ah, kalian bertengkar?"
"Hah?" Namjoon menoleh ke Ibunya. "Apa, yang kau katakan, eomma?"
"Kalian bertengkar? Kau dan Yoongi bertengkar?"
Namjoon menghela nafas berat.
"Yoongi terlalu sibuk, eomma. Aku jadi berfikir ulang tentang rencana pernikahan kami. Sekarang saja dia sudah tidak perhatian denganku, apalagi nanti."
Sang ibu menatapi anak semata wayangnya yang tanpa ia sadari sudah tumbuh menjadi pria dewasa. Janggut dan kumis tipis itu semakin menegaskan bahwa anaknya bukan lagi si kecil Namjoon yang takut pada kecoa. Namjoon sudah dewasa, Namjoon sudah matang.
"Eomma juga berpikir begitu." Ibu menghela nafas pelan. "Sejujurnya eomma ingin kau memiliki pasangan yang biasa saja, bukan pekerja karier. Yang bisa mengurus dirimu, yang bisa memahami dirimu. Walau pun pekerja karier, tapi yang wajar-wajar saja, yang tidak terlalu menyita waktunya."
Namjoon termenung mendengarkan ucapan Ibunya. Dia juga ingin pasangan yang begitu.
"Hmmm, eomma ada calonnya sih."
"Oh ya? Siapa?"
"Anaknya teman eomma." Ibunya terdiam sebentar.
"Dan tapi?"
Ibu menatap Namjoon, lalu beliau menghela nafas pelan. "Tapi dia sudah pernah menikah dan suaminya sudah meninggal."
Namjoon terhenyak sesaat.
"Suaminya meninggal tahun lalu. Gagal ginjal." Ibunya seakan paham apa yang ada di pikiran Namjoon. "Tidak punya anak, kau tenang saja. Mau berkenalan dulu?"
Namjoon berpikir sebentar. Anggap saja dia sedang menyenangkan Ibunya, jadi Namjoon mengangguk.
"Sebentar ya." Ibu masuk dan tak lama keluar lagi membawa sebuah kartu nama. Ia berikan kepada Namjoon. "Ini alamat butiknya. Kau temui saja. Kebetulan butiknya khusus butik pakaian pria, kau datang ke sana pura-pura saja ingin beli pakaian."
Namjoon manggut-manggut. Ia baca alamat di kartu nama itu.
"Dia biasanya di kasir. Anaknya manis sekali. Pipinya chubby." Ibu meneguk teh bagiannya. Tiba-tiba beliau menepuk paha Namjoon. "Rambutnya pink. Iya, rambutnya pink. Jadi mudah mengenalinya."
Namjoon melotot mendengar ucapan Ibunya. Pink? Butik pakaian pria?
"Namanya, eomma?"
"Seokjin."
Kan!
###
Namjoon melangkah masuk ke dalam distro. Ia di sambut seorang satpam. Namjoon tersenyum kecil lalu melangkah memasuki bagian dalam distro. Pemuda itu celingak-celinguk. Di mana Seokjin? Dimana si rambut pink itu?
"Hei, kau."
Namjoon menoleh kaget. Ia dapati Seokjin yang sedang tertawa kecil.
"Kau benar-benar datang. Sebegitu ketagihannya dengan tubuhku?" Seokjin mengedipkan mata dengan gaya yang sangat centil.
Namjoon tersenyum kecil. Ia perhatikan Seokjin dari atas ke bawah ke atas lagi. Benar kata Ibunya, Pemuda di hadapannya ini luar biasa manis. Pipi chubby dan bibir tebalnya, begitu seksi.
"Kau sedang sibuk?" Tanya Namjoon.
"Tidak juga. Shift-ku nanti siang."
Dalam hati Namjoon tertawa. Duh, pintar juga akting pemuda rambut pink ini. Sudah jelas-jelas distro ini miliknya.
"Kau sendiri tidak bekerja? Berkeliaran begini. Kalau kau dipecat, nanti malah tidak bisa membayarku lagi." Lalu Seokjin tertawa.
Namjoon ikut saja saat Seokjin mengajaknya ke bagian belakang distro. Bagian belakang ada cafetaria kecil khusus untuk karyawan distro. Mereka duduk di meja dekat aquarium.
"Atasanmu tidak marah melihat kita duduk-duduk begini?"
Seokjin mengibaskan tangannya. "Atasanku jarang ke distro. Dia seringnya ikut suaminya travelling."
"Wah, asik kalau begitu. Bisa ena-ena setiap hari."
"Kau benar." Seokjin menerawang sesaat. "Pasti mereka sangat ahli, kan setiap hari praktek."
Namjoon tertawa kecil. Feeling Namjoon mengatakan, Seokjin sedang mengenang dia dan suaminya dulu. Dia sedang menceritakan dirinya sendiri.
"Bisa mencoba berbagai gaya setiap hari." Imbuh Namjoon.
Seokjin menepuk lengan Namjoon. "Duh, pikiranmu itu." Ia tertawa mengambang. "Iya juga sih. Suaminya itu fotografer, jadi sering dapat job di luar negeri. Asik, kan? Bisa sering-sering jalan dengan suami. Jadi menambah kemesraan. Honeymoon setiap hari."
Namjoon mendengarkan dengan seksama. Dia semakin yakin bahwa yang ia dengar sekarang ini adalah short story tentang si rambut pink ini. Tentang masa-masa indah dengan mendiang suaminya.
"Belum punya anak ya?" Tanya Namjoon hati-hati.
Seokjin menatap Namjoon, pemuda itu menggeleng sambil tersenyum. "Kudengar mereka sedang menunda dulu. Soalnya mereka berpacaran hanya sebentar, lalu langsung menikah. Jadi pacaran pasca menikah. Jadi belum mau punya anak dulu mungkin."
Sampai suamimu meninggal dan kau menjadi depresi seperti ini. Lanjut Namjoon dalam hati. Mungkin Seokjin sangat terpukul sampai-sampai Seokjin melarikan diri ke club malam dan menjadi pelaku one night stand.
Ponsel Seokjin berdering. Ia keluarkan dari sakunya.
"Sebentar ya, Namjoon." Seokjin mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo Bibi Kim? Iya, aku sedang di distro. Ada apa?"
Namjoon menunduk dan terkaget. Bibi Kim? Ibu Namjoon, kah?
"Serius?" Suara Seokjin memekik kaget. "Yah, jangan sekarang, Bibi. Aku malu. Aku belum siap." Kali ini suara Seokjin melirih. Seokjin pamit pada Namjoon dan melangkah jauh sampai Namjoon tak lagi bisa mendengar suara Seokjin.
Dari mejanya Namjoon melihat Seokjin berbicara sambil menggigit-gigit kukunya. Seokjin terlihat sangat gugup. Tanpa sadar Namjoon menikmati pemandangan yang sedang dilihatnya. Seokjin yang gugup begitu ternyata lebih menarik.
Apa dia harus mempertimbangkan tawaran Ibunya? Lalu bagaimana dengan Yoongi?
Si dokter manis yang ia cintai dari setahun lalu atau pemuda berambut pink yang bisa membuatnya tahan bercinta selama berjam-jam?
Seokjin kembali dengan tampang kaku dan pucat pasi. Seakan darahnya sudah habis. "K...Kau anak Kim Taeyeon?"
Namjoon mendadak tegang. Tadi benar-benar Ibunya yang menelpon? Astaga, Ibunya tadi mengatakan apa saja pada Seokjin?
"Ja...jadi kau sudah tahu aku siapa?"
Namjoon ingin mengangguk, tapi refleks motoriknya seakan tidak berfungsi saat ini. Jadi Namjoon hanya diam memandangi Seokjin.
Dari arah pintu masuk cafetaria, ketegangan selanjutnya menyusul. Munculnya Yoongi di sana membuat Namjoon semakin membeku.
Yoongi yang belum menyadari keberadaan Namjoon dengan santainya menghampiri Seokjin dan bercipika-cipiki. Barulah saat ia akan duduk, ia menyadari yang di hadapan Seokjin itu adalah Namjoon.
"Loh Namjoonie, apa yang kau lakukan di sini?" Kening Yoongi mengkerut, ia beralih menatap Seokjin. "Hyung, kau kenal Namjoon?" Yoongi lalu berdehem. "Terlepas dari kalian kenal atau tidak, aku saja yang mengenalkan kalian. Hyung, ini pacarku, Kim Namjoon. Sayang, ini kakak iparku, Min Seokjin. Seokjin hyung ini istrinya mendiang Jaehwan hyung. Jadi, bagaimana kalian bisa kenal? Ceritakan padaku."
###
Seokjin sedikit menahan nafas saat Namjoon menarik tancapannya. Pemuda manis itu bergeser dan membenamkan wajahnya di dada Namjoon. Tubuhnya dipeluk Namjoon erat-erat. Kali ini mereka melakukan tanpa pengaruh alkohol dan kesuntukan. Kali ini mereka melakukan dengan kesadaran penuh. Sama sadarnya dengan saat kemarin Namjoon mengaku pada Yoongi bahwa ia mengenal Seokjin karena Seokjin adalah kliennya. Tidak mau memperkeruh suasana, Seokjin mengiyakan saja. Syukurlah Yoongi percaya dengan mudahnya.
Tadi mereka janji bertemu di apartement Namjoon, entah atas dasar apa. Awalnya mengobrol, lalu tiba-tiba begitu saja mereka sudah di atas ranjang. Entah Namjoon yang terlalu mudah naik gairahnya, entah Seokjin yang masih saja melihat sosok Jaehwan di diri Namjoon.
Sebulan lalu, saat ia pertama kali bertemu dengan Namjoon di bar, Seokjin seperti melihat reinkarnasi Jaehwan. Potongan rambut Namjoon, postur tubuhnya, senyumannya, sama seperti Jaehwan. Tanpa sadar Seokjin menghampiri Namjoon dan mereka terlibat one night stand. Cara Namjoon bermain pun hampir sama seperti Jaehwan. Berapi-api.
"Apa yang kau pikirkan, hmm?" Namjoon menyampirkan rambut yang menutupi mata Seokjin.
Seokjin mendongak menatap Namjoon. Sekilas ia kecup bibir pria itu. "Jika kita ketahuan oleh Yoongi bagaimana, ya?"
Namjoon menggidikkan bahunya. Seolah tak acuh.
Seokjin kembali membenamkan mukanya di dada Namjoon. "Kau memakai lotion bayi ya?"
"Bagaimana kau tahu?"
"Jaehwan pakai itu juga. Katanya harumnya lembut, jadi dia suka."
Namjoon terkekeh kecil. "Sebegitu miripnya aku dan mendiang suamimu, ya?"
Seokjin melepaskan pelukannya, ia duduk bersandar di kepala ranjang. Ia tahan selimut sebatas dada. Pemuda itu mengangguk.
"Nyaris semuanya."
Namjoon ikut duduk. "Jika kau sebegitu tidak bisanya melupakan suamimu, kenapa kau malah ikut one night stand?"
"Aku sudah terlanjur maniak. Jaehwan tidak pernah absen menyetubuhiku. Jadi saat dia tiba-tiba pergi, aku kelabakan."
Namjoon diam menatapi Seokjin.
"Sampai aku bertemu denganmu. Kau mirip sekali dengan Jaehwan, jadi aku terpikirkan untuk one night stand denganmu." Seokjin tertawa kecil. "Dan sialnya aku semakin ketagihan. Tiap malam aku menunggumu di bar itu dengan harapan kita bisa doing it lagi."
"Tunggu, tunggu, setelah Jaehwan, aku yang tidur denganmu?" Tanya Namjoon kaget. Anggukan Seokjin membuat Namjoon menahan napas.
Seokjin menatap Namjoon, ia merangkak naik ke pangkuan Namjoon. Ia kalungkan tangannya di leher Namjoon.
"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?"
"Kesepakatan apa?"
Ia telusuri rahang Namjoon dengan jemarinya. "Kita jadi partner sex satu sama lain. Jika kau ingin, temui aku. Begitu juga sebaliknya."
Namjoon tersenyum misterius, tentu saja ia sangat tertarik dengan kesepakatan yang diajukan Seokjin. Sejauh ini Seokjin begitu memuaskannya di ranjang.
"Tapi jangan sampai ada yang tahu. Terutama Yoongi dan Bibi Kim. Di depan mereka kita biasa-biasa saja. Dan kita melakukannya jangan di tempatmu atau di tempatku. Kita booking hotel saja, biar aman."
"Silahkan kau atur kesepakatannya, aku tinggal tanda tangan." Lalu Namjoon mencium Seokjin dan permainanpun kembali dilanjutkan.
Sambil berusaha menyatukan diri lagi, Namjoon tiba-tiba saja ingin mengganti kenangan Jaehwan dengan dirinya.
Kalau lebih dari partner sex, apa kau keberatan, Jaehwan-sshi?
.
.
.
FIN... (?)