Owari no Seraph © Takaya Kagami & Yamato Yamamoto
.
[Pengarang tidak mencari/mendapatkan profit atas pengerjaan hasil karya fanfik ini].
.
Genre Alternatif
Humor, Hurt/Comfort
.
Warning
AU, typo (s), misstypo (s), kesamaan ide (mungkin dan maafken), mpreg (tapi nanti), kalimat italic tanpa tanda petik untuk bahasa hati.
.
. : EXTRAORDINARY FUJODANSHI : .
Serbuk-serbuk bumbu berceceran. Potongan-potongan sayur berhamburan. Ah, tunggu sebentar, yang dipotong itu bukannya bagian yang harus dibuang, ya? Wadah dan mangkuk kecil menggunung di wastafel. Botol likuid perisa tergelimpang sembarang.
Paling buruk adalah kobaran api yang berasal dari wajan panggangan berkat siraman tetes cair anggur guna penikmat rasa. Menyambar telak ke udara. Menjilat. Menghitamkan langit-langit di atasnya. Tinggi sekali berarti, ya. Mengerikan.
Pemandangan terparah. Konter dapur amburadul. Mungkin hanya sekali dalam dua puluh tahun. Dan dulu kejadian serupa pernah terjadi.
Tidak. Tidak. Lebih baik untuk tidak mengingatnya. Karena yang Shinya ingat, dia keracunan setelah diminta sang istri mencicipi masakan buatannya.
Sebelumnya, Shinya sempat berpikir positif jika istrinya dan Mahiru―istri sahabatnya―berduet di dapur akan menghasilkan harmoni, paling tidak dari segi rasa. Tapi melihat suasana dapur nihil dari segi kerapian ibu-ibu yang gemar memasak, masakan mereka berdua pasti sama kacaunya.
Maka dari itu, Shinya segera lekas cabut sebelum intipannya terpindai dan berakhir menjadi pasien salah satu rumah sakit.
"Ah, Guren-ku sayang."
Shinya memaling arah. Justru Guren yang baru turun dari tingkat dua terekam sinyal istri-istri mencari korban.
Sial kau Guren.
"Ya." Mata ungu menemukan istrinya dengan pipi belepotan noda-noda hitam.
Steak gosong dengan cairan kental berbau aneh terhidang di atas piring dengan penataan potongan sayur sama gosongnya―gepeng dan persis seperti penampakan kerak panci. Mahiru menyodorkannya untuk dicicipi.
Belum dicoba, Guren tidak perlu menerka lama, pasti rasanya hancur.
"Err, kenapa tidak pinta Shinya saja?"
Bunyi hentakan keras suara pintu membahana. Berasal dari arah toilet.
Cari aman ya kau, Shinya. Kurang ajar.
"Aku tidak mau sakit perut, cinta. Maksudku, aku sudah kenyang."
Mahiru menggembungkan pipi. "Masa, satu cuil saja tidak mau!"
"Ayolah, Guren-san. Cicipi sedikit saja." Sayuri memohon dengan satu mata mengatup dan jari telunjuk serta ibu jarinya menaut.
"Errr," cari akal, Guren masih mencari akal. Sayang perut, sayang kesehatan, sayang nyawa, "lagi pula, kenapa kalian harus repot-repot memasak? Bukannya acara kita makan malam di luar?"
Sayuri dan Mahiru berpandangan. Kemudian menatap lurus pada Guren lagi.
"Kami hanya mencari kesibukan agar waktu tidak terasa kentara, iya 'kan, Sayuri?"
"Iya. Benar. Sekaligus bermanfaat untuk mengasah keterampilan tangan."
Hah? Alasan tidak berguna.
"Baru jam berapa sekarang, Sayuri?"
"Baru jam satu siang."
"Astaga, ini rekor terbesar kita. Memasak dalam waktu empat jam."
Lalu keduanya heboh sendiri.
Miris. Entah Guren harus ikut heboh atau justru menangis karena istrinya maupun temannya tidak becus dalam hal urusan dapur. Empat jam habis hanya untuk menghasilkan makanan beracun. Sepertinya lab adalah satu-satunya fasilitas yang menjadikan dua wanita ini naik derajat.
Cari pengecoh lagi. "Apa kalian sudah menelepon anak-anak kita? Nanti mereka lupa kalau kita sudah membuat janji malam ini."
"Oh, benar."
"Hampir saja lupa."
Dua kepala beda warna segera bergegas menjauhi dapur.
Guren mengurut dada. Lega. Khayalan ranjang rumah sakit tertepis seketika.
Chapter 1
MAKAN MALAM
Kilat kamera menawan seorang model bergaya freak. Rambut merah magenta bermodel ombre semakin menajamkan karismanya sebagai pelakon fashion sekalipun ditata berkesan kucai masai. Lengan sekal terpampang nyata dengan kaus singlet melar dan memperlihatkan garis tengah dada. Celana jins belel berhias sobek-sobek pada bagian paha menopang tungkai jenjang. Pada kakinya berbungkus sepatu bepotongan bot berkerah.
Mematung. Dipotret. Berubah posisi dengan gestur baru. Diperangkap kamera. Energik dan tajam. Pose apa pun yang diperagakan selalu sukses membius. Sorot kelereng hijau seolah mampu berkata pada tiap tatapan gaya.
"Oke. Cukup sampai di sini."
Yuuichirou membungkuk hormat pada semua kru. "Terima kasih atas kerja samanya hari ini." Lalu pergi ke ruang ganti untuk bertukar pakaian.
Ketukan Crowley sedikit pun tidak menginterupsi Yuuichirou yang tengah mengagumi dirinya sendiri di pantulan cermin dalam keadaan topless. Perut delapan pak mencetak jantan. Wujud olah fisiknya sebagai publik figur.
Pintu terkuak tanpa titah. Pria gagah muncul hanya sampai muka pintu yang daun papannya terbuka separuh. "Yuu, apa kau mau memadatkan agendamu setelah skuash?"
Yuuichirou masih menatap ketampanannya pada bingkai cermin. Tiap hari entah kenapa jiwa narsisnya kerap berlipat, Yuuichirou merasa selalu bertambah tampan. "Memangnya kenapa?"
"Hok TV memintamu sebagai salah satu bintang tamu variety show."
Beginilah jika grup idola telah memasuki jadwal senggang. Jam terbang tur terakhir sudah dikecap. Kini hanya bersisa masa mereka rehat dari panggung keliling dunia. Entah ke depannya harus meneken kontrak macam apa tergantung pilihan masing-masing personel.
Kenapa baru dihubungi sekarang? Pasti aku jadi bintang tamu cadangan. Nasib.
"Yuu?"
Meski begitu tetap saja tawaran diterima. Yuuichirou berkata pada cerminan dirinya. "Demi penggemar. Baiklah, Crowley, ambil saja."
"Oke."
Sedetik ketika pintu menutup, dering ponsel menyapa. Getar dan suaranya yang seronok barulah berhasil menyita atensi Yuuichirou yang dari tadi hanya berpusat pada pantulan tampan dirinya saja.
"Yuu-chan."
"Iya, Ibu." Yuuichirou seakan malas-malasan menjawab.
"Sudah kaukosongkan agendamu malam ini, 'kan?"
Alis Yuuichirou bertaut. "Err―"
"Lupa, ya, sayang? Oh, tidak apa. Itulah guna Ibumu menelepon. Batalkan semua agendamu, ya. Kita ada acara makan malam keluarga di luar."
"A―" Yuuichirou seakan tidak diberi kesempatan melontar banding.
"Kalau kau tidak datang, kautahu 'kan apa konsekuensinya? Kau tidak akan kuanggap anak selamanya dan namamu akan Ibu coret dari kartu keluarga!" Kecaman bernada lembut.
Koneksi diputus secara sepihak. Ekspresi Yuuichirou melongo setelah mendengarnya.
Tidak ada yang ditakutkan dari ancaman pengusiran. Toh, sudah sepuluh tahun Yuuichirou sudah tidak minta uang jajan pada orangtua. Melepaskan diri dari rumah demi mendaratkan kehidupannya pada titel keartisan. Harta kekayaannya menumpuk. Isi tabungan rekeningnya menggunung. Pun namanya dielu-elukan dalam nada puja. Dan Yuuichirou begini-begini masih sayang keluarga.
Kenop pintu ruang ganti ditarik. Yuuichirou bergegas mencari sang manajer.
"Crowley! Batalkan tawaran yang tadi! Aku lupa ada janji dengan keluargaku!"
"Tidak akan sanggup aku arungi sendirian,"
"―tidak akan sanggup aku arungi sendirian,"
"Dan bukan waktu yang mendewasakan,"
"Dan bukan waktu yang mendewasakan,"
"Melainkan kalian para sahabat,"
"Melainkan kalian para sahabat,"
"Kerabat, keluarga dan sejawat,"
"Kerabat, keluarga dan sejawat,"
"Hari ini aku hadir dalam kehidupan yang baru,"
"Hari ini aku hadir dalam kehidupan yang baru,"
"Mengukir kisah dengan pasangan hidup,"
"Mengukir kisah dengan pasangan hidup,"
"Untuk nanti aku ajarkan bagaimana caranya,"
"Untuk nanti aku ajarkan bagaimana caranya,"
"Hidup bertahan,"
"Hidup bertahan,"
"Selamat kawan-kawan, aku sayang kalian,"
"Selamat kawan-kawan, aku sayang kalian,"
"Angkat gelasmu, dan bersulang!"
Di tengah-tengah para tamu undangan di sebuah acara pernikahan outdoors, mempelai pria mengangkat gelas wine ke udara. Sebuah pelantang telinga tersembunyi rapat di salah satu lubang pendengarannya. Alat komunikasi yang sengaja dipasang demi memandunya berpidato.
Para tamu undangan mengikutinya, mengangkat masing-masing gelas di tangan sebelum meneguk isinya.
Lepas dari acara menyambut tamu, seorang perencana pernikahan mengamatinya dari jendela dapur bertenda. Tersenyum pada para petugas pencuci piring yang terpana akan kelihaiannya dalam memberikan masukan pada mempelai pria. Mereka berpikir, baik mempelai pria maupun wanita telah latihan secara matang, tanpa mengira bahwa ada seseorang di balik kesuksesan karisma luar biasa para mempelai di belakangnya. Dia adalah Mikaela, sang perancang pernikahan.
"Terima kasih atas tampungannya. Maaf, mengganggu."
Setelan tuksedo pas badan, rambut pirang yang ditata kelimis ke belakang hanya pada bagian sebelah kiri, serta gigi taringnya yang menyembul keluar saat tersenyum membuat para petugas itu merasa kesilauan. Rasa-rasanya makhluk tampan ini yang tampak bersinar melebihi pasangan pernikahan.
Mikaela melipir pergi. Entah kenapa Mikaela seakan terburu keluar dari sana.
Vibra ponsel menjeda. Gawai ditangkupkan pada telinga yang terbebas dari pelantang telinga―alat komunikasinya ketika mengomando mempelai pria.
"Halo, Mama."
"Halo, Mika-chan. Tidak lupa 'kan acara makan malam kita hari ini?"
Pelipis digaruk. Sebenarnya Mikaela lupa karena padatnya jadwal merancang pernikahan. Tapi berhubung mamanya tidak berbicara dengannya empat mata secara langsung, tidak melihat ekspresinya, Mikaela lihai berpura-pura.
"Tentu saja, Mama."
"Kyaa, sayang! Kenapa kau tidak bilang ingin menonton ulang Sekaiichi Tersukoi! Kyaa! Si unyu Hitsu! Kyaa! Si badass Makano!"
"Mama?" Mikaela yakin mamanya sedang tidak bicara dengan dirinya. Pun Mikaela mendengar suara samar dari sebuah pengeras suara.
"Iya, sayang. Aduh Mama shock, Papamu menonton ulang Sekaiichi Tersukoi tidak bilang-bilang."
Mikaela memutar bola mata. Sudah kepala lima, orangtuanya masih saja mengasup tayangan homo.
"Papa dan Mama tunggu, ya. Jangan tidak datang, ya, sayang. Karena Paman Guren dan Bibi Mahiru juga datang, ada Yuu-chan juga, lo, sayang."
"Hah? Yuu-chan?"
"Kau sudah lama tidak bertemu dengan Yuu-chan, bukan?"
"Halo, Mama? Yuu-chan juga ada, maksudnya?"
Tapi mamanya tetap saja berbicara tanpa menggubris pertanyaan Mikaela. "Sekarang anak itu luar biasa tampan. Mama sudah tidak sabar untuk mengangkatnya sebagai menantu."
"Halo, tunggu, Mama! Maksudnya menantu? Menantu apa, Mama? Aku tidak punya adik!"
"Oh. Lupakan. Saking senangnya menonton Sekaiichi Tersukoi, Mama jadi bicara melantur. Hahahha. Dah, sayang. Harus datang, ya!"
"Halo, Mama, tunggu dulu!"
Tut.
Tut.
Tut.
Ponsel dicenungi. Mikaela mendengus sebal tidak mengerti.
.
. . . * . . .
.
Musik klasik mengalun sebagai latar sebuah ruangan khusus yang sengaja direservasi. Meja bundar besar beralas kain sutra licin putih bersih telah diisi oleh empat orang berpakaian formal. Dua wanita berumur namun masih sangat cantik bergaun sederhana, sementara suami mereka mengenakan setelan jas berwarna senada.
Mikaela datang tepat jam delapan malam. Memberi salam kepada Guren dan Mahiru, tidak lupa juga pada orangtuanya. Acara dekapan dan cium pipi kanan-kiri sesaat dilakukan untuk melepas rindu.
"Wah, Mikaela, kau tampan sekali sekarang." Guren menepuk-nepuk pundak Mikaela. "Sudah lama tidak bertemu ternyata kau sudah setampan ini." Mata ungu memindai cepat dari bawah ke atas.
"Paman Guren juga masih terlihat tampan." Mikaela membalas. Senyum tulus terkembang.
"Oh, tentu saja. Aku mengecat rambutku. Jadi, ubannya tidak kelihatan. Tidak seperti Shinya, rambutnya uban semua."
Semuanya pun tergelak singkat.
Shinya merespon, "Uban ini bawaan dari lahir, bodoh."
Pun semuanya tergelak singkat lagi.
"Ayo, duduk! Jangan berdiri saja!" Guren menyilakan.
Salah satu dari dua kursi kosong Mikaela tempati.
"Kita tunggu Yuu datang dulu, ya!"
"Iya, benar." Mahiru ikut menambahkan. "Aduh, anak itu. Semoga saja dia tidak datang terlambat."
Mendadak Mikaela merasakan ada cubitan kecil di tengah rongga dadanya. Keputusan sepuluh tahun lalu rupanya masih belum bisa diterima sekalipun Mikaela berjuta kali mengatakan bahwa ia sudah ikhlas. Masa lalu tidak patut ditengok apalagi dibahas. Lagi pula, Mikaela sekarang sudah menjadi pria dewasa dan matang dari segi banyak hal. Kenangan pilu? Singkirkan!
Sadar bahwa pandangan biru diarahkan ke jendela lebar terbuka yang menampilkan pemandangan kota Tokyo pada malam hari dengan lampu-lampunya yang menyala bagai titik-titik cahaya, tangannya kemudian digenggam sebentar oleh sang mama yang tepat duduk di samping kanannya. Wajah jelita sang mama ditatap, Mikaela kembali mengulurkan senyum hangat.
Seseorang yang dimaksud muncul tidak sampai lima menit kemudian. Berpenampilan cukup trendi, karena memang statusnya bergentayang di dunia hiburan. Fur coat long slim hitam, bot sebetis dengan hiasan gesper-gesper metalik, serta kacamata hitam bergradasi cokelat, memaparkan kekerenan. Tentu dengan warna rambutnya yang mencolok, ber-ombre merah magenta.
Semua mata tertuju hanya padanya kecuali Mikaela.
"Hai, aku tidak terlambat, 'kan?"
"Tidak kok, Yuu-chan. Sama sekali tidak." Shinya menjawab.
Senada dengan sang ibu. "Iya, Yuu-chan, tidak terlambat."
Sependapat dengan Sayuri. "Benar, tidak terlambat. Mika-chan juga baru datang."
Mendengar namanya disebut Mikaela menegakkan pundak. Seinchi pun enggan menoleh pandang pada kemunculan si artis.
Yuuichirou langsung menduduki satu-satunya tempat kosong yang disediakan tepat di sebelah kiri Mikaela.
"Lepaskan dulu jaket dan kacamatamu!" Guren mendadak memukul kepala Yuuichirou dengan garpu. Respon Yuuichirou hanya mengaduh kecil.
"Oh, tidak apa-apa, Guren." Shinya seolah membela. "Mungkin AC-nya yang terlalu dingin. Iya 'kan, Mika-chan?"
Mikaela hanya tersenyum terlampau tipis. Kaku. Entah kenapa ia merasa kikuk.
Sesuai perintah, Yuuichirou melepas jaket bulunya dan meletakkan kacamata di meja. Menengok pada Mikaela dan menyapanya. "Hai, Mika. Lama tidak bertemu."
Mikaela tambah canggung dan mencoba untuk bertingkah senormal biasa. Tetapi senyumnya susah sekali terukir untuk Yuuichirou. Bibir tipis membentuk segaris datar, Mikaela menatap sekilas. "Hai, Yuu-chan. Iya, sudah lama, ya." Dan lekas memindahkan tatapan.
Tentu Yuuichirou pun merasa ada aura kecanggungan yang hinggap di antara jarak ia dan Mikaela. Lamanya hidup di dunia hiburan, Yuuichirou pandai membuang energi negatif. Menanggapi kekikukan itu dengan salam positif penuh kehangatan.
Dua pasang orang tua diam-diam mengawasi. Tidak sulit memahami bahwa Mikaela bersikap kaku terhadap Yuuichirou.
Shinya menggerakkan bibir tanpa kata-kata, membentuk sebuah kalimat; 'Masih marah.'
Guren membalas dengan gerakan serupa; 'Tenang, tenang!'
Sementara Mahiru dan Sayuri hanya mengulum senyum, mendistraksi perhatian Yuuichirou dan Mikaela untuk mengamuflase gelagat dua bapak-bapak ini.
Hidangan utama tersaji. Tenderloin steak dengan siraman saus penggugah selera. Pisau mengiris, garpu menancap, dan sesekali tegukan wine putih sebagai penerjun jalur di kerongkongan.
Lama-lama rasa canggung itu hilang dengan sendirinya. Pun Mikaela sudah tidak begitu anti lagi untuk tidak menatap Yuuichirou. Namun Mikaela cukup terganggu dengan warna rambut Yuuichirou yang kepalang menyala. Jujur, Mikaela lebih suka warna rambut Yuuichirou yang dulu, hitam alami dan apa adanya.
Tidak berbeda dengan Yuuichirou. Ia lebih sering mencuri-curi pandang pada Mikaela. Pria itu tidak terlalu banyak berubah kecuali wajahnya yang datar. Mikaela yang ia kenal dulu adalah pemuda yang gemar mengobral senyum. Tidak sedih, tidak bahagia, saat menangis pun Mikaela tetap tersenyum. Tapi kini lihatlah sekarang. Mikaela seperti orang lain baginya, hanya karena senyum itu tawar untuknya. Yuuichirou sadar mungkin Mikaela masih menyimpan rasa kecewa padanya.
Yuuichirou bahkan sangat berharap Mikaela mengembangkan bibir dan hatinya berseru tiada henti, Ayo, Mika, senyum! Senyum!
Tetapi Mikaela tetap tidak mau senyum-senyum.
"Bagaimana karirmu, Yuu-chan? Masih banyak pekerjaan setelah berakhirnya konser tur?" Shinya bertanya setelah banyak hal random yang mereka bincangkan.
"Tidak terlalu padat. Biasa saja, Paman. Tapi bulan depan aku mulai syuting dorama. Teken kontraknya sudah seminggu yang lalu."
Seketika ekspresi Shinya berubah antusias. Sayuri menciduk pelan perut Shinya dengan siku. "Jangan tanyakan film romantis macam apa, Papa! Yuu-chan tidak mungkin mau main dorama yaoi."
Yuuichirou terkekeh. "Tidak. Bukan berarti aku antipati terhadap kisah percintaan sesama jenis. Jika saja ada tawaran main dorama Boys Love aku pasti akan terima asalkan jangan ada adegan ranjang."
Pisau mengiris Mikaela berbunyi menyapa dasar piring dengan nyaring. Ujung garpu ditusukkan, irisan daging dikunyah penuh arogan. Bukannya dulu kau pernah beradegan ranjang denganku saat SMA? Siapa yang memerjakaiku sampai aku tidak bisa berdiri seharian? Sudah berubah jadi hetero ya kau, Yuu-chan?!
"Kalau dituntut adegan ciuman dengan sesama pria, bagaimana?" Shinya penasaran.
Berpikir sedetik. "Tidak masalah."
"Kalau adegan ciumannya harus ciuman lapar seperti kehausan, melahap, melumat penuh nafsu, bergumul lidah sampai basah?" Sang istri, Sayuri, ikut-ikutan bertanya panjang tanpa jeda napas.
Tiba-tiba Mikaela jeri sendiri mendengar kedua orangtuanya memberondong pertanyaan.
Yuuichirou berpikir beberapa detik. Ia harus profesional. "Juga tidak masalah."
"Huaaa, Yuu-chan keren! Iya 'kan, Papa?!"
"Iya, Mama."
"Anakku memang keren! Anakku memang keren!" Mahiru membanggakan diri.
"Keren seperti Ayahnya." Guren ikut narsis.
"Yuu-chan keren ya, Mika-chan?" Sayuri bertanya dengan menyentuh lengan putranya. Berkata dari hati ke hati.
Mikaela dengan sangat terpaksa berkata. "Iya, keren." Padahal Mikaela ingin sekali muntah.
Keren apanya? Warna rambutnya sengak begitu!
Bola mata biru diputar diam-diam.
"Oh iya, Yuu. Apa kautahu pekerjaan Mikaela?" Guren mereguk seteguk anggur putih setelah bertanya.
Menggeleng. "Tidak tahu. Kerja apa memangnya?"
Mahiru menjawab. "Perancang pernikahan."
"Oh, WO."
Tidak terima, Mikaela seperti harus memberi klarifikasi. "Perancang pernikahan berbeda dengan Wedding Organizer." Untuk kali ini Mikaela telah sanggup menatap lama wajah Yuuichirou.
Sesaat mata hijau terlena akan indahnya paras pria di sampingnya ini, terutama di bagian matanya. Pantulan dirinya di dalam cermin tadi siang seolah kalah. "Oh, beda, ya. Maaf, aku tidak tahu." Yuuichirou menutupinya dengan gigitan pelan daging yang tertusuk di garpu.
Kesal. Mikaela kesal. Ia merasa seakan Yuuichirou tengah mengejeknya.
"Berapa pernikahan yang telah kautangani?" Yuuichirou balik bertanya lagi.
Wajah sang artis ditatap kembali. "Entahlah, sudah banyak sekali."
"Kalau begitu, pernikahanku nanti kau yang atur, ya."
"Boleh saja, tapi kaucari pasangan dulu, ya."
Merasa tergelitik. "Kecil mencari pasangan untukku. Aku 'kan tampan." Yuuichirou tersenyum jahil.
Dalam hatinya Mikaela merasa jijik. "Baik, Mister Tampan. Kalau sudah ketemu beritahu aku agar pernikahanmu segera aku tangani. Untukmu aku beri potongan harga tiga puluh persen."
Dua pasutri tersenyam-senyum. Dua putera mereka sudah mulai mengakrabkan diri.
"Jadi, kau belum punya pasangan, Yuu-chan?" tanya Sayuri.
"Belum." Yuuichirou menjeda sebentar untuk menelan lumatan daging. "Aku dan personel Seraph lain terlalu mencintai penggemar. Tidak ada waktu untuk mengkhususkan salah satu di antara mereka. Karena bagi kami semua penggemar adalah spesial. Sama rata."
Guren, Mahiru, Shinya dan Sayuri saling berpandangan.
"Kau, Mika-chan, sudah punya pacar?" Kali ini Mahiru yang bertanya.
"Tidak ada, Bibi." Mikaela tanpa malu mengatakan. Untuk apa gengsi kalau memang singel. "Aku terlalu sibuk bekerja. Tidak ada cukup waktu mencari kekasih."
Sayuri, Shinya, Mahiru dan Guren saling berpandangan sesi dua.
"Baguslah kalau begitu." Kalimat itu diucapkan Mahiru terlampau kecil. Saking kecilnya mungkin Yuuichirou dan Mikaela pun tidak mendengar.
Hingga saatnya dua pasangan tua ini harus mengoarkan sesuatu. Guren berdehem memulai kata. "Ehem. Sebenarnya kami sengaja mengatur jadwal makan malam ini karena ada hal yang ingin kami sampaikan pada kalian."
Sepasang mata zamrud dan sepasang mata lazuardi memerhatikan.
"Katakan saja, Yah." Yuuichirou meminum gelasnya.
Sementara Mikaela hanya mengangguk.
Tanpa banyak hening panjang, Mahiru yang melanjutkan. "Kami akan menikahkan kalian."
Proot …
Likuid anggur yang terkulum Yuuichirou tersembur secara spontan. Beruntung Guren yang tepat berada di seberang sigap menamengi wajahnya dengan piring kosong.
"Tidak bisa."
Kata penolakan menginterupsi semua pasang mata. Untuk sejenak semua orang heran berlipat, sebab kalimat protes tanpa nada berlebih itu diucapkan dengan ekspresi yang begitu datar. Seluruh atensi tersumbu pada pelontar kata, yakni Mikaela.
Mikaela menggeleng. Memberi sanggahan dengan nada yang berkesan masih hormat. "Aku menolak menikah satu acara dengan Yuu-chan. Kami pasti punya konsep pernikahan yang berbeda. Maaf, Paman, Bibi, Papa, Mama, aku menolak." Dan lanjut menyantap potongan daging yang mulai mendingin.
Bukan apa-apa, tapi Mikaela sudah memutuskan untuk lebih, lebih, dan lebih menjauhkan diri dari pacar pertama dan sudah menjadi mantannya itu setelah acara makan malam ini.
Yuuichirou melongo. Paham Mikaela berbeda dengan pahamnya. Dan Yuuichirou yang memilih salah anggapan. "Benar. Aku setuju dengan Mika. Lagi pula, dua pernikahan dalam satu acara bagiku kurang efektif. Aku ingin menikah dengan gayaku sendiri. Pesta yang glamor, mewah dan meriah. Pasti berbeda dengan style yang diinginkan Mika. Tidak bisa disamakan."
Sesungguhnya itu bukan alasan yang dibuat-buat selain karena Yuuichirou berusaha tebal muka sekalipun pemahaman salahnya tidak diungkapkan. Tapi semburannya barusan tidak bisa menutupi fakta bahwa ia memang sempat terkejut.
Yuuichirou mencicip gelasnya sembari melirik Shinya dan si pirang secara bergantian.
"Tunggu. Aku rasa kalian salah mengerti." Shinya mencoba lebih menjelaskan. Mahiru dan Sayuri mengangguk cepat. "Maksud kalian kami nikahkan bukan dalam artian bahwa akan ada dua pernikahan dalam satu acara. Tapi kalian berdualah yang menikah. Berbagi kehidupan dan banyak hal."
Alis pirang terangkat sebelah menatap papanya. Benar-benar bingung. "Maksud, Papa?"
Tangan Shinya bermain di udara. "Ya, kau dan Yuu-chan yang menikah sebagai pasangan hidup sampai mati."
Proot …
Yuuichirou kembali memuncratkan cecair anggur dari dalam mulutnya. Dan sialnya kali ini Guren tanpa persiapan. Wajahnya ternoda semburan sang anak.
Betul 'kan kalau telingaku tidak salah mencerna?!
Bersambung
Gaje? Iya dong! Kan masih bersambung. Sekarang saya lagi pengen nulis yang MC-MC. Thanks, buat yang udah baca.
-Snaw-