Nerd in Disguise
By: the autumn evening
Pairing: Sasuke/Sakura
Rating: T
Disclaimer: I do not own Naruto, but the story is mine
Warning: High School-AU. Typos. OOC. Two-Shots.
.
.
Chapter 2
.
.
Saat hidangan utama selesai disantap, Mrs. Uchiha mengeluarkan kue buatannya. Dan bukan kue besar biasa, namun layer cake. Sakura tahu butuh banyak waktu dan tenaga untuk membuatnya. Karena dia juga pernah mencoba membuat layer cake untuk ulangtahun ayah dua tahun lalu. Sayangnya setelah bersusah payah dan mengabiskan banyak waktu, kue Sakura terlihat miring dan menyedihkan.
Kue cokelat Mrs. Uchiha ini terlihat sempurna, dengan frosting cokelat dan stroberi segar berjejer di antara layernya. Sakura tidak bisa berhenti memuji betapa lezat dan cantiknya kue itu. Namun kue itu sepertinya membuat Sasuke semakin marah. Dia memakan kuenya dengan brutal. Serius, siapa yang bisa marah karena kue?
Saat Sasuke makan malam di rumah Sasuke, mereka biasanya bersantai sebentar. Sakura menikmati saat- saat itu, dan selalu sedikit sedih jika sudah waktunya Sasuke pulang. Aturan di rumah Sasuke jelas sangat berbeda. Karena begitu Sakura selesai memakan kue dan membantu membereskan meja, Sasuke mengumumkan bahwa dia akan mengantarkan Sakura pulang ke rumah sekarang.
Semua mengantar mereka ke pintu, dan kini rasanya hampir normal. Sakura mungkin sangat cepat beradaptasi dengan kebiasaan keluarga Uchiha. Ayah Sasuke memberikan coat Sakura, ibunya mengatakan bahwa Sakura akan disambut dengan senang hati kapan saja dia ingin main. Itachi terlihat cukup menghangat dan tidak menakut-nakuti Sakura lagi.
"Maaf tentang keluargaku," kata Sasuke, saat mereka sampai di mobil.
Sakura menatapnya tidak percaya. "Keluargamu baik- baik saja, kelakuanmu yang tidak bisa dipercaya."
Sasuke terlihat tersinggung dan kaget. "Memang apa yang aku lakukan?" tanya Sasuke. Sakura berpikir, dia mungkin pandai dalam matematika, namun bodoh dalam kehidupan.
"Pertama, kau bersikap seperti pertemuan dengan keluargamu adalah hal besar, namun sama sekali tidak membantuku saat Itachi secara tidak langsung mengatakan bahwa dia bisa saja membunuhku dan mengompos mayatku." Sakura menekuk satu jari di susul jari kedua. "Kau tidak mengatakan apapun sepanjang makan malam, membuat aku mengobrol dengan keluargamu sendirian." Sakura menekuk jari tengah "Dan kau makan semua cookies kacang dan menyisakan raisin saja untukku. Aku tidak suka raisin."
"Cara keluargaku memperlakukanmu secara berlebihan itu menggelikan. Ibuku bahkan membuat kue." Sasuke merengut sambil memutar kunci mobil.
"Ya," kata Sakura pelan, sedikit tersinggung. Dia memalingkan kepala menatap kaca mobil. "Kenapa berlebihan padaku, kan?"
"Aku sudah mengatakan agar mereka tidak begitu," geram Sasuke, "Aku tahu hal seperti ini akan terjadi kalau kau datang."
Sakura merasa seperti sedang berdiri di karpet yang ditarik, rasa sangat tidak menyenangkan di perut karena akan jatuh. "Kau tidak mau aku bertemu keluargamu? Apa kau malu hang out denganku?"
"Bukan itu," Sasuke gusar, disusul suara kerikil bergesekan dengan ban mobil.
Perjalanan menuju rumah Sakura hening. Beberapa kali Sasuke menghela nafas, seperti dia marah. Namun dia tidak memiliki alasan untuk itu. Sakura melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Dia sopan, dan tidak memecahkan apapun. Dan sekarang Sasuke marah padanya?
Saat mereka sampai di rumah Sakura, Sasuke turun dan mengantar Sakura sampai ke pintu, seperti mereka baru selesai kencan. Sakura terlalu marah untuk mengapresiasinya.
"Sampai jumpa besok," kata Sakura datar, memasukan kunci ke lubang.
"Tunggu," panggil Sasuke.
Sakura berbalik pelan, tangannya menahan tas di depan dada. Bahu Sasuke turun, tangannya masuk ke saku jaket. Dia berdiri satu tangga di bawah Sakura, membuat tinggi mereka sejajar. Dia tidak lagi terlihat marah.
"Apa?" tanya Sakura saat Sasuke tidak juga mengatakan apapun.
"Aku tidak malu hang out denganmu," Sasuke akhirnya mengatakan. Dia kembali ragu sebelum meneruskan. "Apa kau malu hang out denganku?"
Sakura mengernyit mendengar pertanyaan Sasuke. Karena itu adalah pertanyaan paling absurd yang pernah Sasuke tanyakan.
"Tentu saja tidak," jawab Sakura. "Kau lah yang seharusnya cemas jika tertular ke-nerdy-anku."
"Tertular—" Sasuke merengut.
"Yah, kalau temanmu tahu tentang kita," kata Sakura, membuatnya terdengar seperti ada sesuatu rahasia di antara mereka. Andai saja.
"Teman- temanku tahu," kata Sasuke, terlihat kaget Sakura tidak tahu itu. "Memang menurutku bagaimana aku menjelaskan pada mereka saat aku tidak ikut latihan setiap Senin? Dan kemana aku pergi saat turnamen sains?"
"Entahlah," Sakura mengangkat bahu, dia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.
"Sakura," panggil Sasuke, terlihat putus asa. "Tim basket pergi makan pizza setiap Kamis setelah latihan. Aku kaptennya dan aku tidak ikut selama berminggu- minggu."
Whoa.
Sakura tidak tahu itu. Dia tidak pernah berpikir bahwa Sasuke mungkin meninggalkan sesuatu yang penting agar dapat belajar matematika dengan Sakura. Itu karena Sasuke menyetujui ajakannya begitu saja. Sakura mengira dia tidak mengorbankan apapun kecuali waktu luangnya.
"Aku tidak tahu," Sakura mengakui, semua ini karena dia ingin menang dalam turnamen. "Maaf."
"Bukan itu intinya," Sasuke menghela nafas. "Intinya, semua orang tahu apa yang aku lakukan setiap Kamis saat tidak ikut keluar untuk pizza."
Sakura merasa hangat. "Dan mereka tidak peduli?" tanya Sakura.
"Tidak," Sasuke menggeleng, "Kau tahu apa hobi Naruto? Dia mengoleksi bungkus ramen bekas dan dia suka merajut."
"Hah?" Sakura tidak pernah menyangkanya.
"Ya," kata Sasuke. "Kami sesekali mengejeknya, namun kami memakai kaos kaki rajutannya setiap kali bertanding untuk keberuntungan. Aku ikut klub matematika bukan hal memalukan bagi mereka."
"Begitu ya," Sakura mengangguk.
"Jadi apa kita baik- baik saja?" tanya Sasuke. Dia terlihat cemas.
"Iya, kita baik- baik saja," kata Sakura. Dia masih memiliki banyak pertanyaan tentang keluarga Sasuke. Tentang sikap mereka malam ini—termasuk Sasuke. Namun dia tidak akan membahasnya sekarang.
"Baguslah," kata Sasuke, "ini." Dia menyerahkan plastik berisi cookies dari jaketnya. "Ibu memberikan ini untukmu."
Sakura mengambil cookies itu. Plastik bermotif itu dihiasi pita dan berisi peanut butter cookies.
"Maaf sudah makan semuanya tadi," lanjut Sasuke, terdengar sungguh- sungguh.
"Aku maafkan," kata Sakura, memilih untuk menganggap permintaan maaf Sasuke tentang cookies adalah caranya meminta maaf untuk semuanya.
"Sampai jumpa di sekolah," kata Sasuke, tersenyum.
"Iya," Sakura membalas senyumnya dan membawa cookies hadiahnya ke dalam rumah.
.
.
.
Hari berikutnya saat makan siang, Sakura hampir jatuh dari kursi saat Sasuke meletakan nampan di sebelahnya lalu duduk. Sakura menatap Sasuke, lalu isi nampan Sasuke yang penuh. Sasuke mengambil tiga slice pizza, satu sandwich tuna, dua kotak susu plain dan salad buah. Isi nampan Sakura hanya sebuah apel, hamburger dan kentang goreng.
"Kau nyasar?" tanya Sakura, mencari teman Sasuke. Mungkin seluruh teman Sasuke kena flu dan tidak ada yang berangkat kecuali Sasuke sehingga dia terpaksa duduk dengan Sakura. Namun tim basket ada di kafetaria, di meja mereka biasanya. Beberapa menatap Sasuke, ingin tahu, namun tidak ada yang bereaksi berlebihan.
Malahan anggota klub Sains yang kaget. Saat Sakura melirik teman- teman di mejanya, kebanyakan membuka mulut tidak percaya, kelihatan bingung.
"Boleh minta kentangnya?" tanya Sasuke, seperti dia duduk di meja Sakura adalah sesuatu yang normal. Sasuke seperti sedang memberi pernyataan bahwa dia tidak malu bergaul dengan Sakura.
Sakura melindungi kentang gorengnya. "Tidak boleh," jawabnya menarik nampan lebih dekat.
"Oke," kata Sasuke, sebagai gantinya malah mengambil apel Sakura.
Hari selanjutnya, Sasuke kembali duduk di meja Sakura, namun kali ini Naruto ikut bergabung. Naruto mendudukan diri di sebelah Hinata yang mukanya sudah semerah tomat yang sedang Sasuke kunyah.
Pada aktifitas klub sains di hari Senin, bukannya pulang seperti biasa, Sakura berencana mengajak seluruh anggota klub pergi untuk makan pizza. Saat dia mengungkapkan idenya, Sakura mengira Sasuke mungkin tidak ingin pergi, atau merasa bahwa hang out dengan klub sains membosankan jika dibandingkan dengan klub basket. Namun Sasuke terlihat menikmatinya. Dia duduk di antara Sakura dan Shikamaru dan ikut mengobrol dengan mereka. Dia bahkan mengobrol dengan Ino yang akhirnya percaya bahwa Sasuke tidak memiliki motif jahat. Itu semua membuat hati Sakura menghangat.
Saat semua slice pizza dan sederet junkfoods lain tersapu bersih dari meja, Sasuke memaksa untuk membayar semuanya, menggunakan kartu kredit dari dompetnya. Kalau saja Sakura tidak melihat seberapa besar mansion Uchiha, dia mungkin akan merasa bersalah. Karena tagihan mereka pasti banyak.
Saat mereka meninggalkan restoran setelahnya, Sasuke meraih lengan Sakura dan menghentikannya. Membiarkan teman mereka berjalan mendahului. Setelah mereka berdiri berdua saja di tempat parkir, Sasuke bertanya, "Ini ide siapa?" dia mengedikan bahu ke arah restoran. Sakura tahu dari wajah Sasuke kalau dia sudah tahu jawabannya.
"Aku." Sakura melengkungkan senyum. "Aku pikir kau mungkin kangen keluar untuk sekedar makan pizza dengan—" dia hampir mengatakan 'teman-temanmu' namun menyadari mungkin lebih baik dia meneruskan dengan "teman setimmu."
"Iya, kau benar," Sasuke mengakui. Sasuke tidak mengatakan bahwa ini bukan tim yang dia inginkan, dan Sakura menyukurinya. "Kau tidak perlu repot- repot" Lanjut Sasuke.
"Aku tahu," kata Sakura, "tapi ini menyenangkan, dan bukan hanya untukmu. Kita semua harus hang out sesekali."
"Aku menikmatinya," ujar Sasuke. Dia meraih tali ransel Sakura dengan jarinya dan menarik gadis itu mendekat. Senyumnya lembut dan membuat jantung Sakura berdebar. Mereka berdiri saling memandang dalam waktu yang cukup lama. Sakura berharap dia tidak berdiri begitu dekat dengan Sasuke karena kedekatan ini membuat dia ingin melakukan sesuatu yang menggelikan.
Beruntung sebelum Sakura mendapatkan kesempatan untuk mempermalukan diri lebih jauh—seperti mencium Sasuke! karena demi tuhan, wajah mereka sudah sangat dekat—sorot lampu mobil mengarah pada mereka, membuatnya melompat menjauh.
"Ayo, sebelum kita tertabrak," ajak Sasuke, mendorong tubuh Sakura dengan lembut menuju mobilnya. "Ayahmu tidak akan pernah memaafkanku kalau itu terjadi."
.
.
.
Pada hari Rabu, saat mereka duduk menyandar santai di sofa sakura, Sasuke mengatakan dia tidak bisa belajar bersama besok karena ada urusan keluarga.
Mereka biasanya bertemu sesuai jadwal dan selalu menang saat turnamen sains. Besok adalah pertemuan untuk bagian mereka—matematika. Tinggal satu pertandingan lagi maka mereka akan bisa bertanding di regional. Sakura bahkan belum berani memikirkan maju ke tingkat nasional.
"Sebagai gantinya, kita bisa bertemu hari Sabtu kalau kau mau," Sasuke menawarkan, tangannya sibuk memencet remote, mengganti channel. "Aku tidak sibuk."
Sakura ragu. Dia biasanya menghabiskan setiap Sabtu dengan Ino, walaupun akhir- akhir ini Ino selalu dengan Sai setiap Sabtu. Mungkin tidak apa- apa jika Sakura melewatkan Sabtu depan. Ino mungkin akan mengerti.
"Boleh," putus Sakura, "tapi jangan terlalu awal."
"Jam delapan bagaimana?" tanya Sasuke, lalu tertawa saat Sakura melotot dan memukul paha Sasuke keras dengan bantal.
Mereka akhirnya setuju untuk bertemu pada jam sebelas, yang menurut Sakura masih terlalu awal di akhir pekan. Namun ternyata keluarga Uchiha suka bangun pagi meskipun hari Sabtu untuk melakukan hiking—ugh. Jadi Sasuke tidak pernah merasakan betapa menyenangkannya hanya berbaring di atas tempat tidur sampai siang.
Sakura belum siap menghadapi pesona full-force Sasuke di awal pagi saat pemuda itu datang dibalut jaket kulit hitam khas bad boy, dengan henley putih dan celana jeans belel dan rambut fresh sehabis mandi. Sakura mulai bertanya- tanya sejak kapan dia terpesona dengan jaket kulit dan rambut hitam mencuat membingkai sebuah wajah tampan? Namun setidaknya dia tahu siapa yang bertanggungjawab atas perubahan tipe idealnya.
Mereka menghabiskan dua jam mengerjakan latihan soal—dua jam yang sangat lama bagi Sakura, yang terus memikirkan bagaimana rasanya menyandar di bahu tegap Sasuke—sebelum Sasuke mengatakan dia ingin makan sesuatu. Mereka pergi ke sebuah cafe di pinggir kota. Sakura menyadari ini adalah kali pertama mereka keluar hanya berdua saja.
Pelayan yang memberikan buku menu pada mereka muda, cantik dan terang-terangan flirting dengan Sasuke. Sakura mencoba untuk tidak memelototinya secara terang- terangan. Walau tidak ada efeknya, karena pelayan cantik itu bahkan tidak menganggap keberadaan Sakura. Dia mungkin berpikir Sakura adalah adik Sasuke. Sakura menggigit cheeseburger dengan kesal dan mencoba untuk tidak merengut.
Sasuke bersikukuh untuk membayar makanan Sakura juga, lalu mengajak Sakuar menonton film. Mereka menghabiskan beberapa menit di tempat parkir. Sakura sibuk browsing di ponselnya mencari film bagus yang sedang tayang. Film yang mereka berdua sama- sama ingin lihat baru tayang satu jam lagi, namun Sasuke sepertinya tidak keberatan menunggu. Sasuke tidak terlihat ingin buru-buru pulang dan meninggalkan Sakura untuk menghabiskan akhir pekannya melakukan hal yang mungkin lebih menyenangkan. Sakura tidak bisa memercayai keberuntungannya.
Mereka memutuskan menunggu jadwal tayang film dengan berjalan tanpa tujuan di mall. Sakura membeli beberapa permen dan memakannya sepanjang jalan. Mereka masih terlalu awal saat pada akhirnya memasuki theater. Hanya duduk berdua menunggu film mulai, berdebat tentang topping pizza. Sasuke menolak keras memakan pizza apapun dengan topping yang berasal dari tumbuhan, kecuali saus tomat.
"Pizza jamur itu enak, Sasuke" Sakura berkeras.
"Tidak seenak itu kalau kau punya kakak yang selalu memberikan ide visual tentang di mana jamur- jamur itu tumbuh," Sasuke menggelengkan kepala bergidik.
Sasuke memasukan segenggam popcorn ke mulut. Wadah popcorn mereka kosong bahkan sebelum film berputar.
.
.
.
Sakura memasang sabuk pengaman sesampainya mereka di mobil Sasuke setelah film selesai.
"Jangan membukanya di mobilku," ancam Sasuke saat dia melihat Sakura mengambil satu bungkus permen M&M dari jaketnya.
"Santai, aku akan berhati- hati," kata Sakura. Namun tentu saja dia menumpahkan butiran permen itu ke seluruh pemukaan mobil Sasuke. Beberapa jatuh di pangkuan Sakura, sebagian besar menggelinding ke bawah kursi dan menghilang di celah antara kursi dan karpet alas yang mungkin tidak bisa diraih.
Tidak ada suara di dalam mobil. Sakura menatap celah sempit di mana banyak permen yang masuk ke sana, seperti dia berharap untuk memutar waktu agar seluruh permen itu dapat masuk kembali ke wadah. Itu tidak berhasil.
"Aku bahkan tidak bisa membayangkan," bisik Sasuke pelan, "apa yang akan terjadi kalau kau tidak 'berhati- hati'" dia membuat kutipan di udara dengan jarinya.
"Hey, kau membersihkan remahan muffin waktu itu dengan sangat baik," Sakura mencoba menghibur. Seluruh permen yang ia jatuhkan bahkan tidak terlihat, kecuali kalau kau membungkuk ke bawah kursi atau membuka karpet atau semua celah- celah di dalam mobil. "Permennya bahkan tidak kelihatan sekarang."
Sasuke tidak mendengarkannya, terlalu sibuk membenturkan kepalanya ke stir.
.
.
.
Perjalanan pulang tertunda karena mereka harus berhenti di tempat cuci mobil di sisi lain kota. Kata Sasuke mereka memiliki vakum super bersih, dan mobilnya Harus dicuci di sana. Harus—dengan huruf H kapital. Suara permen yang terhisap vacuum membuat Sakura ingin tertawa, namun dia lebih tahu kalau dia tidak boleh menertawakan tentang ini di hadapan Sasuke.
Saat mereka sampai di depan rumah Sasuke, Sakura mengira Sasuke akan berhenti dan menurunkannya di sana. Namun dia memasukan mobil ke halaman rumah dan mematikan mesin, yang artinya dia akan ikut masuk dan main sebentar. Melihat jari Sasuke yang memutar kunci, Sakura seketika mengingat kilasan adegan pertama kali Sasuke mengantarnya pulang. Saat Sakura menyerahkan kertas coretan Sasuke, Sasuke juga sedang bergerak meraih kunci.
Itu berarti Sasuke berniat mematikan mobilnya dan ikut masuk ke rumah dan hang out dengan Sakura. Sasuke ingin hang out dengannya, atau setidaknya ingin mencobanya, kala itu.
"Kau mau turun, atau kau masih punya sekantong coklat untuk ditumpahkan?" tanya Sasuke saat menyadari Sakura masih duduk di sana.
"Tidak hari ini," kata Sakura, membuka pintu dengan bibir tersenyum lebar. Sasuke mengikuti di belakangnya.
.
.
.
Mereka maju ke tingkat Regional.
Bahkan dengan sangat mulus.
Sakura sangat senang. Dia tidak tidur semalaman dan merayakan dengan makan dua box pizza dan berkaleng- kaleng soda dengan Ino. Dia masih dapat merasakan efek gula yang ia konsumsi sampai minggu malam.
Wajah murung Sasuke di hari Senin-lah yang membuat gelembung kebahagiaan Sakura pecah. Turnamen Sains Nasional akan diadakan di Berkeley pada hari Sabtu pagi minggu ini. Namun Sasuke ada pertandingan basket Jumat malam di LA. Dan bukan pertandingan basket biasa—kejuaraan daerah. Kalau mereka menang, mereka akan maju ke tingkat nasional, sama seperti klub sains. Sasuke adalah kapten basket, dia tidak mungkin tidak ikut pertandingan.
Mereka sedang memikirkan solusinya—ditemani Oreo dan susu. Semua anggota tim akan pergi ke Berkeley pada hari Jumat siang dan menginap di hotel. Namun Sasuke tidak bisa ikut bersama mereka karena jumat malam dia masih harus berada di LA.
Registrasi mulai jam sembilan pagi, kompetisi mulai jam sepuluh. Mereka harus meninggalkan LA sangat awal agar bisa sampai di Berkeley tepat waktu. "Aku akan menyetir ke sana Sabtu pagi, sebelum fajar" kata Sasuke, seperti menyetir jarak jauh sebelum kompetisi adalah hal biasa.
Keluarga Uchiha tidak bisa ikut mengantar karena mereka memiliki agenda sarapan bersama kolega perusahaan dan penggalangan dana hari itu. Mereka baru bisa ke Berkeley siang harinya. Ayah Sakura mungkin juga akan ikut menonton mereka, namun Sakura tidak tahu jadwal ayahnya.
"Aku akan berangkat bersamamu," kata Sakura seketika. Dia sudah membayangkan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi. Seperti Sasuke yang ketiduran, atau mobil mogok di jalan, atau badai salju. Walau Sakura tidak bisa menahan badai salju, setidaknya dia bisa melakukan sesuatu jika hal buruk terjadi. Jika berangkat dengan Sasuke, setidaknya dia tidak perlu cemas sepanjang malam memikirkan apa yang mungkin terjadi.
"Kau menginap di sini saja Jumat malam." Sakura memutuskan, agar dia bisa membangunkan Sasuke. Setidaknya kecemasan tentang terlambat karena telat bangun teratasi.
Sakura juga dapat menemani Sasuke selama lima jam perjalanan menuju Berkeley.
.
.
.
Mr. Kakashi setuju dengan rencana itu. Guru tampan itu terlihat lega dia tidak kehilangan salah satu anggota paling potensial mereka. Keluarga Uchiha juga setuju. Saat makan malam hari Rabu, ayah Sakura mengatakan bahwa beliau bisa mengantarkan Sasuke dan Sakura, lagipula dia juga berencana untuk pergi menonton. Sakura yakin itu hanya karena ayahnya membayangkan Sakura akan tergeletak bersimbah darah akibat Sasuke yang ugal- ugalan dengan mobilnya. Haha. As if. Sasuke tidak akan membiarkan apapun terjadi pada mobil kesayangannya.
Namun Sakura sudah terlanjur memikirkan betapa menyenangkannya melakukan perjalanan berdua saja dengan Sasuke. Dia sedikit kecewa mendengar ayahnya akan ikut bersama mereka. Padahal ini akan jadi kali pertama bagi Sakura keluar dari LA dengan seseorang yang bukan ayahnya. Dia sudah membeli banyak snack dan membuat playlist di iPodnya. Dia akan bepergian dengan Sasuke dengan mobil mewahnya. Berdua saja.
Syukurnya, Sakura tidak pernah menyiakan kejeniusannya.
"Ibu Ino sedang mencari tumpangan untuk pergi hari Sabtu pagi," Sakura mengatakannya dengan santai, "Dia ingin ikut menonton, tapi harus lembur di rumah sakit dan baru pulang jam tujuh pagi."
"Mrs. Yamanaka?" tanya ayahnya, seperti Ino punya ibu yang lainnya saja. Ayah terlihat bimbang antara tetap berkendara dengan Sakura dan Sasuke atau menghabiskan waktu dengan Mrs. Yamanaka yang cantik.
"Beliau pasti lelah, karena lembur semalaman. Mungkin tidak aman jika menyetir sendiri," Sasuke menambahkan, melirik Sakura dengan mulut masih sibuk mengunyah.
"Mrs. Yamanaka mungkin lelah," Ayah setuju, "Hmm."
Terkadang ayahnya memang semudah itu.
.
.
.
Jumat malam, Sakura dan ayahnya pergi ke pertandingan basket Sasuke. Ini adalah pertandingan pertama yang mereka hadiri. Sakura tidak pernah menonton Sasuke bertanding sebelumnya. Lima menit berlangsung, Sakura mengutuki dirinya karena tidak lebih awal menonton Sasuke bermain. Pemuda bersurai hitam itu sangat kompeten, dan lengannya sangat menakjubkan tanpa balutan jaket atau t-shirtnya. Sakura dapat merasakan matanya bersinar melihat permainannya.
"Wow, dia hebat," komentar ayah, mengunyah popcorn.
"Iya," Sakura setuju, berharap wajahnya tidak menunjukan terlalu banyak. Dia semakin menyadari rasa sukanya pada Sasuke dan dia tidak mau seorangpun tahu hal itu.
Permainan berlangsung sangat ketat, membuat Sakura mengigit kuku geregetan. Skor berkejaran sampai detik terakhir, Sasuke memasukan tiga poin dan membuat tim mereka memenangkan pertandingan. Seluruh stadium bersorak sorai. Ayah melemparkan lengan ke udara dan berteriak. Sakura merasakan wajahnya mungkin bisa terbelah karena senyumnya yang terlalu lebar.
Penggemar tim Sasuke berlari menuju lapangan, membuat Sakura dan ayahnya ikut maju. Penonton hiruk pikuk bersorak dan berpelukan. Dia melihat keluarga Sasuke—orang tuanya dan Itachi mencoba melewati kerumunan. Sakura mengikuti para Uchiha.
Saat mereka akhirnya menemukan Sasuke, pemuda itu sedang bergerombol dengan teman satu timnya. Poninya lepek karena keringat, sisa rambutnya berantakan. Sasuke untuk pertama kalinya tersenyum sangat lebar, mengeluarkan kebahagiaan sampai membuat mata Sakura memanas.
Banyak orang memeluk Sasuke, meneriakan rasa bangga, atau melakukan high-five, membuat keluarga Uchiha membutuhkan sedikit lebih lama untuk sampai. Saat mereka sudah berhadapan dengan Sasuke, mereka berpelukan seperti teletubies. Mr. Uchiha menepuk punggung Sasuke, Itachi mengacak rambutnya dan Mrs. Uchiha mencium pipi Sasuke. Sakura diam, tiba- tiba tidak yakin apakah dia seharusnya ikut turun ke lapangan. Dia merasa canggung dan sedikit asing. Dia juga tidak tahu di mana ayahnya berada.
Sakura berniat pergi menjauh saat Sasuke melihatnya. Sasuke memanggil nama Sakura dan mulai membelah kerumunan menujunya, senyumnya semakin lebar. Sakura melangkah melewati dua cheerleader, tiba- tiba ingin segera sampai pada Sasuke. Saat mereka sudah berhadapan, Sasuke meraih Sakura dan memeluknya, mengangkat tubuh yang lebih kecil itu dan memutarnya di udara.
Sakura tidak keberatan mendapat perlakuan seperti kekasih Sasuke di adegan film remaja. Dia merangkul leher Sasuke erat untuk berpegangan saat Sasuke memutar tubuh mereka. Wajahnya menempel pada pipi Sasuke yang berkeringat. Mereka berdua tertawa.
Sasuke akhirnya berhenti, tubuh Sakura meluncur turun sepanjang tubuh Sasuke. Kaosnya sedikit terangkat , tangan Sasuke masih memegang pinggulnya, tangan Sakura masih melingkari leher Sasuke. Mereka saling pandang beberapa saat. Sakura merasa seperti tidak bisa berpaling dari mata bersinar Sasuke.
"Permainan yang hebat, Sasuke," ayah Sakura berkata, muncul entah dari mana untuk menepuk pundak Sasuke. Sasuke dan Sakura melepaskan diri dan digantikan dengan pelukan Ayah Sakura. "Aku bangga padamu," katanya. Walau susah untuk membedakannya, karena wajah Sasuke sudah berkeringat dan kemerahan, namun Sakura pikir Sasuke merona.
Saat ayah Sakura melepaskannya, teman satu tim Sasuke datang dan menggendong Sasuke ke udara, meneriakan yel-yel tim.
"Sampai jumpa nanti!" Sasuke berteriak pada Sakura. Gadis merah muda itu mengangkat kedua ibu jari alih- alih menjawab dengan teriakan.
Saat kerumunan sudah berkurang menuju pintu keluar, Sakura melihat keluarga Uchiha berjalan tidak jauh dari mereka. Maka dia mengenalkan ayahnya pada orangtua Sasuke, Itachi entah menghilang ke mana. Mereka terlihat senang pada akhirnya dapat berjumpa. Sakura berjalan di belakang ketiga orang dewasa itu, mencoba tidak mendengarkan apa yang mereka obrolkan. Walau dia mendengar 'anak yang baik' beberapa kali.
Seseorang dibalut pakaian cheerleader menyenggol bahunya. Saat dia menoleh, dia melihat Karin—salah satu teman di gerombolan Sasuke—berdiri di sana.
"Hai," sapa Sakura, "gerakan yang bagus," puji Sakura. Padahal dia bahkan tidak memperhatikan para cheerleaders sama sekali. Matanya hanya tertuju pada Sasuke.
"Terimakasih. Aku senang melihatmu datang," katanya, nadanya ketus, seperti marah karena Sakura menonton.
"Aku boleh datang menonton kalau aku mau," Sakura menjawab.
"Lalu kenapa sejak kemarin tidak menonton?" tuduh Karin, "Ada pertandingan setiap minggu, tahu."
Sakura mengedikan bahu. "Aku tidak begitu suka basket," katanya. Lagipula pertandingan selalu diadakan hari Jumat malam, waktu dia hang out dengan Ino. Selain itu, siapa yang mau kembali ke sekolah malam Jumat dan mengurangi jatah akhir pekan?
"Tapi Sasuke suka," lanjut Karin, menekankan nama Sasuke.
Sakura memiringkan kepala, memikirkannya. Sasuke tidak pernah mengatakan apapun tentang pertandingannya atau memintanya datang sebelumnya. Sakura juga tidak pernah memikirkannya. Permainan kali ini spesial, maka Sakura memutuskan untuk datang.
"Apa maksudmu dia ingin aku datang menonton permainannya?" tanya Sakura, dia tidak pernah berpikir sampai ke sana.
"Menurutmu?" Karin balik bertanya sambil memutar bola mata.
"Apa masalahmu?" Sakura merasa sebal. "Sasuke mungkin tidak peduli kalau aku di sini atau tidak." Walau Sakura tahu tidak demikian. Barusan Sasuke senang melihatnya bahkan memeluknya.
Karin berjalan mundur di depan Sakura, memaksa Sakura berhenti agar tidak menabraknya. Gadis berambut merah itu melipat kedua tangan di dada, "Dengar," katanya, suaranya rendah. "Kau mungkin tidak berpikir ini adalah hal besar, tapi Sasuke sangat sulit untuk membuka diri. Kau harusnya bersyukur mendapatkannya."
"Aku bukan pacarnya," Sakura menjelaskan, "Aku hanya..." dia mencari kata yang tepat, "teman belajar matematikanya."
Karin memutar bolamata, seperti berharap petir menyambarnya. Atau Sakura. Mungkin Sakura. Dia menggumam 'idiot' pada Sakura.
"Aku tidak mengerti apa yang coba kau sampaikan," kata Sakura.
Karin menatapnya putus asa, "Pikirkan sendiri, Sasuke bilang kau sangat pintar." Katanya sebelum pergi diiringi rok mini dan rambut yang mengayun seiring dengan langkahnya.
.
.
.
Sakura sudah menyiapkan tempat tidur untuk Sasuke, sprei dan selimut baru saat Sasuke datang ke rumahnya. Rambut hitam legamnya masih basah dan harum parfum yang terlalu banyak. Sakura akan membuang botol parfum Sasuke segera setelah pemuda itu tidur.
Segera setelah Sasuke melewati pintu, dia memeluk Sakura. Seperti yang biasa Sasuke lakukan setelah mereka menang di turnamen. Sakura mendapatkan dua pelukan malam ini. Sasuke masih terbawa euforia kemenangannya, membuat dia terlihat semakin tampan. Dia terlihat lebih bahagia dan lebih muda dari biasanya. Dia juga sangat kelaparan.
"Ya ampun, di perutmu ada vaccum cleanernya?" tanya Sakura, duduk di meja dapur melihat Sasuke memakan tiga slice pizza dingin dan mendorongnya dengan segelas susu. Padahal sebelumnya Sakura sudah menghangatkan chicken wings dan lasagna untuknya.
Sasuke tidak menjawabnya, terus saja mengunyah.
"Karin bicara padaku tadi," kata Sakura, tidak begitu yakin ini saat yang tepat untuk membahasnya. Namun dia merasa bersalah.
"Benarkah," respon Sasuke datar, tangannya meletakan pizza kembali ke piring. Sasuke seperti sudah tahu kalau dia tidak akan menyukai ke mana percakapan ini berakhir.
"Maaf aku tidak pernah datang ke pertandinganmu sebelumnya," kata Sakura. Sasuke terlihat terkejut dengan kalimat Sakura. "Maksudku, kalau kau ingin aku datang ke pertandinganmu, maaf karena aku tidak pernah datang. Kalau kau tidak peduli tentang itu, itu berarti aku baru saja mengatakan hal bodoh. Dan ini salah Karin."
Sasuke menatap piringnya, tidak menjawab dan itu cukup bagi Sakura untuk menyimpulkan.
"Kalau aku tahu kau ingin aku di sana, aku pasti datang," Sakura memberitahu.
Sasuke meneguk kembali susu dalam gelasnya sebelum menatap Sakura, "Kau tidak suka basket," ujarnya.
"Memang," Sakura mengakui, "tapi aku menyukaimu."
Sasuke menunduk dan tersenyum. "Terimakasih sudah datang malam ini," katanya, lalu mengambil kembali pizzanya.
"Kita sebaiknya tidur," Sakura menguap. Mereka harus bangun pukul empat dini hari besok. Jika dia membiarkan Sasuke duduk di dapur lebih lama lagi, tidak akan ada makanan tersisa untuk sarapan mereka.
"Oke," setuju Sasuke, dia mengambil satu buah pisang sambil keluar dapur.
Sakura menggosok gigi, dan mengganti baju. Setelah Sasuke keluar dari kamar mandi, Sakura sudah berada di bawah selimut. Mereka akhirnya memutuskan untuk tidur di ruang tengah demi menghindari kesiangan—karena tidur di atas ranjang selalu membuat Sakura malas bangun. Sakura gugup, tidak pernah ada yang tidur satu ruangan dengannya selain Ino.
Sakura memasang alarm di ponselnya sampai Sasuke membaringkan badan di atas kasur busa di hadapan sofa yang Sakura tiduri. "Mana ponselmu?" tanyanya. "Apa sudah atur alarm?"
Sasuke mendudukan diri di sisi kasur yang paling dekat dengan Sakura. "Ini," dia memberikan ponselnya untuk Sakura cek. Pemuda bersurai hitam itu memeluk kedua lututnya dan memandangi Sakura yang tengah mengecek setting alarmnya.
"Oke, sudah," Sakura mengangguk dan menyerahkan kembali ponsel Sasuke yang kemudian dia letakan di meja, bersebelahan dengan ponsel Sakura.
Sakura memiringkan tubuh dan menyandarkan kepala di lengannya. Sasuke tengah menatapnya, dia menatapnya balik, menunggu. Sasuke seperti ingin mengatakan sesuatu.
Sasuke membersihkan tenggorokan, "Kau siap untuk besok?" tanyanya.
Ah, ternyata itu, pikir Sakura. "Iya. Kau?"
"Sepertinya," Sasuke mengangguk, "kau guru yang baik."
"Tidak juga," Sakura tersenyum lebar, "kau yang jenius."
Sasuke mengangkat bahu, matanya cerah menatap Sakura, bibirnya melengkunkan senyum lembutnya. Membuat Sakura sulit bernafas.
"Benar," Sakura meyakinkan. Dia sangat ingin maju ke regional. Namun seiring berjalannya waktu, kompetisi menjadi prioritas kedua setelah menghabiskan waktu dengan Sasuke. Sasuke adalah pria yang baik, kalau kau sudah mengenalnya.
Sakura tidak akan menyangkal bahwa kesempatan dapat menghabiskan waktu dengan Sasuke adalah kemenangannya yang sesungguhnya. Setelah musim turnamen sains berakhir, mereka tidak akan punya alasan untuk hang out lagi. Sakura diam- diam berharap Sasuke masih menyempatkan waktu untuknya. Di akhir tahun ajaran, Sasuke akan lulus, mungkin akan meninggalkan LA untuk kuliah. Sakura mungkin tidak akan melihatnya lagi setelah itu. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya, karena itu membuatnya sedih.
"Mereka semua jenius," Kata Sasuke, alisnya terangkat.
"Iya, tapi tidak ada yang setampan kau," Sakura tersenyum lebar.
"Menurutmu begitu?"tanya Sasuke, sedikit terlalu lama untuk dapat dianggap candaan. Nadanya ringan, namun ada sesuatu yang tidak dapat dideskripsikan di sana. Sakura tidak seharusnya membuat candaan yang terlalu jujur.
"Tapi kau tidak semenawan aku," sahut Sakura, mencoba meneruskan candaan lain. "Tapi jangan khawatir, aku tidak akan mengatakan pada siapapun kalau kau ikut klub Sains hanya untuk mendekatiku."
Sasuke terdiam, namun wajahnya merah merona seperti kepiting, seperti baru saja tertangkap basah.
"Memang iya?" Sakura terperangah.
"Bukan hanya untuk bisa dekat denganmu," sanggah Sasuke buru-buru. "Aku suka ada di tim. Aku suka Shikamaru dan Sai tidak begitu buruk. Tapi..." dia berhenti, mengigit bibir bawahnya, pandangannya menunduk. Sakura tidak pernah melihat Sasuke begitu tidak yakin.
"Tapi apa?" tanya Sakura, dengan sisa udara yang masih ada di paru- parunya. Dia masih mencoba mencerna apakah ini sungguh terjadi.
"Namun menghabiskan waktu denganmu adalah salah satu alasannya." Sasuke ragu sebelum menatap Sakura. "Kau adalah alasan utamaku, di awalnya."
Ya Tuhan, pikir Sakura. Karin benar. Sasuke menyukainya! Sasuke menganggapnya lebih dari sekedar partner sains.
"Saat itu kau sudah menyukaiku?" tanya Sakura. Dia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Memang, dia berharap sesuatu yang lebih, seperti yang ada di film- film, namun dia tidak pernah bermimpi Sasuke sudah menyukainya sejak awal. Itu tidak pernah melintas di angannya.
"Iya. Sebenarnya aku—aku kira kau mau mengajaku kencan, saat pertama aku mengantarmu pulang," Sasuke mengakui, terlihat malu.
"Dan aku malah mengajakmu ikut klub sains. Ya tuhan..." Sakura menggeram, menepuk dahinya. Itu cukup menjelaskan kenapa Sasuke terlihat marah saat itu. Sasuke pasti sangat kecewa, kalau dia sudah mengharapkan Sakura mengajaknya kencan dan Sakura malah mengajaknya ikut klub sains.
"Kenapa kau tidak mengajakku kencan saja?" Sakura ingin tahu. "Aku yakin begitulah biasanya. Orang yang lebih rupawan dan populer mengajak si Nerd pecundang kencan."
"Kau bukan pecundang," Sasuke merengut.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku."
"Aku ingin," jawab Sasuke, wajahnya kembali merah. "Aku duduk di belakangmu di kelas belajar mandiri selama berminggu- minggu. Mencoba mengumpulkan keberanian untuk menyapamu."
Sakura menggeleng tidak percaya mendengar informasi itu. "Aku kira kau ingin membunuhku dengan tatapan mematikanmu?"
Sasuke terlihat sebal. "Tatapanku tidak mematikan," katanya sambil memberikan satu tatapan mematikan pada Sakura. Sasuke pasti sangat menyukainya, karena dia bahkan tidak berhasil memelototi Sakura.
"Kau sudah jatuh pada pesonaku rupanya," ejek Sakura.
"Mungkin." Sasuke menunduk sebelum menatap Sakura lagi, wajahnya penuh harap. "Apa aku boleh menciummu?" tanyanya, sudah menyondongkan badan mendekat.
"Sekarang?" Suara Sakura tercekat.
"Ya, sekarang," jawab Sasuke, sudut bibirnya terangkat. Dia sangat dekat, Sakura dapat melihat mata gelap Sasuke menghisapnya. "Atau kau ingin aku menciummu di depan seluruh kafetaria?"
Lutut Sakura lemas memikirkannya. Sasuke mendekat pelan dan menyentuh lengan Sakura di bawah selimut, hangat dan yakin.
Mungkin Sakura memang pandai dalam matematika namun bodoh tentang hidup.
Sudah jelas bahwa mereka sempurna untuk satu sama lain.
"Aku pikir ciuman yang pertama cukup untuk kita berdua saja," ujar Sakura. Dia mendudukan diri dan menyandarkan berat badannya pada kedua siku, bibir mereka bertemu. Nafas beraroma mint dari pasta gigi saling berbagi. Sakura baru menyadari bahwa dia tidak pernah mencium siapapun sebelum ini dan seharusnya itu membuatnya gugup. Namun Sasuke mengarahkannya, menangkup wajah Sakura di tangannya dan menarik dagunya agar membuka. Lidahnya panas dan lembut.
Rasanya seperti otak Sakura mencair, dia ingin mencium Sasuke seperti ini selamanya. Namun tidak lama setelah itu dia mendengar langkah kaki ayahnya di lantai dua dan melepaskan diri. Menyumpah di dalam hati—sial sial sial—dia mematikan lampu, kegelapan seketika memenuhi ruangan. Sakura membaringkan tubuh dan menarik selimut sampai ke dagu. Di sampingnya, dia mendengar Sasuke bergerak, mungkin melakukan hal yang sama.
Langkah kaki ayahnya berhenti di ujung anak tangga, dia mungkin mengira mereka sudah tidur karena dia membalikan tubuh untuk kembali ke kamarnya.
Jantung Saura berdegup ribuan kali satu menit. Dia tidak tahu apakah ini karena ciuman dengan Sasuke atau karena hampir ketahuan mencium Sasuke. Mungkin keduanya. Matanya sudah terbiasa dalam gelap dan dia dapat melihat sekeliling karena cahaya dari lampu jalan yang merembas di celah tirai.
Kepala Sasuke terangkat, "Sini," bisiknya, tubuhnya menggeser memberikan ruang untuk Sakura berbaring di sebelahnya. Dengan senang hati Sakura menurut. Kasur busa yang cukup empuk, Sakura mencoba mengatur posisi tubuhnya di bawah selimut yang membungkus mereka berdua. Tubuh bersentuhan, wajah hanya berjarak beberapa inchi.
Tidak ada suara dari arah kamar ayahnya. Yang dapat dia dengarkan adalah desiran darahnya sendiri. Tangan Sasuke meraih tangannya di bawah selimut, menyatukan jemari mereka menjadi simpul.
Sakura tidak pernah berpegangan tangan dengan orang lain sebelumnya. Kecuali saat dia masih kecil dan harus bergandengan tangan agar tidak terpisah dari orang dewasa. Namun ini berbeda. Bahkan elusan ibu jari Sasuke di punggung tangannya membuat paru- paru Sakura terasa menyempit.
"Apa kita adalah sepasang kekasih sekarang?" tanya Sakura. Dia tidak dapat melihat wajah Sasuke, namun dia merasakan pandangan penuh damba pria itu.
"Aku harap begitu," jawab Sasuke, tangannya meremas tangan Sakura. "Aku sudah berusaha keras membuatmu melihatku dan berpikir kalau aku tidak bodoh."
"Aku tidak berpikir kau bodoh," Sakura menyangkal. Walau dia pernah mengatakan pada Ino bahwa Sasuke hanya mengandalkan ototnya.
Sasuke mendengus dan menyenggol lutut Sakura. "Kau mengataiku tidak berotak di depan wajahku," kata Sasuke. "Sebelum kau meminta tumpangan padaku, aku kira kau benci aku."
Sakura tidak meminta tumpangan pada Sasuke hari itu, tapi dia membiarkannya, karena ada kesalahpahaman yang lebih besar. "Aku tidak pernah memanggilmu tidak berotak."
"Iya," Sasuke bersikeras, dan dia terlihat sangat yakin. "Saat kau hampir mendorongku ke kolam."
"Oh, itu..." Sakura menelan ludah. Dia berharap Sasuke tidak mengungkitnya. Dia sudah mengeblok ingatan bahwa Sasuke pernah membullynya. "Aku tidak ingat mengatakan itu, tapi kelakuanmu memang tidak berotak saat itu."
Mulut Sasuke terbuka tidak percaya."Hey, aku tidak begitu!" dia protes.
Apa hubungan mereka akan berakhir bahkan sebelum dimulai? Namun Sakura tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia melepaskan tangan Sasuke dan mendudukan diri, matanya memelototi Sasuke di kegelapan. "Kau membullyku. Dan itu adalah minggu pertamaku di SMA."
Sasuke mengeluarkan suara sebal dan ikut duduk. Dia meraih belakang leher Sakura dan membuat gadis itu menatap matanya. "Sakura, aku tidak membullymu. Aku mencoba menghentikan Suigetsu. Tasmu pasti sudah berakhir di kolam renang kalau aku tidak menangkapnya. Lalu kau malah berteriak dan mencoba mendorongku."
"Kau mencoba membantuku?" itu kabar baik. "Aku tidak menyadarinya. Aku kira kau bersekongkol dengannya."
Sasuke menggeleng kuat, "Tidak, Sakura. Apa kau pernah lihat aku melakukan sesuatu seperti itu? Misalkan aku mau pun, ibu pasti akan membunuhku."
Itu mungkin benar. Dia juga tidak pernah melihat Sasuke melakukan hal buruk pada siapapun di sekolah. Dia terlihat mengintimidasi, namun sesungguhnya Sasuke selembut marshmallow.
"Aku juga tidak memelototimu di kelas," Sasuke menambahkan, "aku berharap itu membuatmu menyapaku, tapi kau selalu mengabaikanku."
"Itu insting mempertahankan diri," Sakura menjelaskan. "Kau selalu terlihat terganggu. Aku pikir kau benci semua orang, termasuk aku."
Namun sekarang dia tahu, semakin Sasuke terlihat marah, semakin dia menyembunyikan sesuatu. Dia mencoba menyembunyikan bagaimana perasaan dia pada Sakura.
"Aku tidak terganggu," Sasuke bersikeras, "Aku menyukaimu. Sangat. Kenapa tidak bisa dipercaya?"
"Hmm, aku biasanya target bully," Sakura mengedikan bahu, "Aku culun, kurus dan canggung..."
"Saat itu kau baru limabelas tahun, " Sasuke menginterupsi, "aku juga canggung saat limabelas tahun."
Sakura tidak yakin tentang itu, tapi terserah.
Sasuke mendekat, menggesekan bibirnya dengan Sakura sebelum mundur agar dapat melihat gadis merah muda itu dengan baik. "Ada sesuatu tentangmu,"kata Sasuke lembut. "Aku seketika memperhatikanmu di kelas belajar mandiri dan aku... ingin mengenalmu. Aku juga suka menatapmu." Dia menyentuh wajah Sakura dengan jemarinya, ujung hidung Sakura, bibir atasnya, tulang pipi, leher jenjang, dan rambut merah mudanya. Seperti Sakura adalah sesuatu yang indah dan mudah pecah.
Sasuke menyukainya. Dalam pengalaman Sakura, orang biasanya terlalu dangkal untuk dapat melihat melewati batas julukan kutu buku dan baju tidak kerennya. Namun Sasuke bisa menyadari keberadaannya, sejak pertama kali melihat Sakura. Sakura merasa bersalah sudah menilai Sasuke dari penampilannya selama ini. Sasuke pria yag baik, Sakura sangat beruntung.
"Aku percaya padamu," Sakura menelan ludah, "Apa kita bisa kembali ciuman lagi?"
"Iya," jawab Sasuke, terdengar lega." Tangannya meraih bagian depan kaos Sakura untuk menariknya sampai bibir mereka bertemu.
Sakura mengerti bagaimana cara berciuman dengan cepat. Dia tahu bagaimana seharusnya menggerakan bibir, di mana seharusnya lidahnya. Sasuke mengarahkan wajahnya, jarinya menahan dagu Sakura lembut. Mereka terus berciuman, Sakura rebah di kasur lantai, setengah tubuhnya tertindih Sasuke. Tangannya memeluk sebagian punggung Sasuke saat pria itu menjelajahi lehernya.
"Aku sangat suka wangimu," Sasuke menggeram, membuat Sakura tidak tahu harus merespon seperti apa. Sasuke sepertinya tidak mengharap respon, karena dia terus mengigit kecil leher Sakura. Sakura tidak tahu apakah orang lain biasanya menggunakan giginya sebanyak Sasuke, tapi Sakura menikmatinya. Ibu jari Sasuke menemukan jalan melewati bagian bawah kaos Sakura. Dia membuat lingkaran kecil di pinggulnya dengan ibu jarinya saat bibirnya mengulum leher Sakura. Sakura berdoa Sasuke terus melakukan itu.
Sakura menenggelamkan wajahnya ke pundak Sasuke dan berharap ayahnya tidak menemukan mereka seperti ini. Dia mencoba menahan suara 'Ya Tuhan' yang mencoba keluar dari bibirnya namun pada akhirnya desahan kecil terdengar. Sasuke seketika menahan suara Sakura dengan ciuman.
Saat Sakura memutuskan untuk menghentikan aksi mereka, dia sudah ada di atas tubuh Sasuke. Kaosnya sudah tidak berbentuk. Dia dapat merasakan Sasuke sangat keras di bawahnya. Sakura tidak ingin melakukan lebih dari ini. Dia baru saja mendapatkan ciuman pertamanya tadi, walaupun dia menginginkannya, memikirkan menyentuh Sasuke lebih jauh membuatnya takut.
"Tidak apa- apa kan kalau kita berhenti?" tanya Sakura, menyembunyikan wajah merahnya di dada Sasuke. Dia tidak tahu apa yang sudah pernah Sasuke lakukan sebelumnya, tapi jelas Sasuke lebih berpengalaman. Dia lebih tua, dan dengan wajah seperti miliknya, Sasuke mungkin memiliki banyak kesempatan untuk melakukan banyak hal.
"Iya, tentu saja," jawab Sasuke, tangannya mengelus punggung Sakura menenangkan. "Begini tidak apa-apa?"
"Tidak apa- apa," kata Sakura, mengelus tengkuk Sasuke, membuat pria itu mengangkat pinggulnya.
Mereka hanya berpelukan, Sakura menyukai sensasi perut mereka yang bersentuhan.
"Apa kau pernah melakukannya?" tanyanya pada Sasuke, tidak bisa menahan penasaran.
"Ya," jawab Sasuke setelah beberapa saat ragu, "kau?"
Sakura mendengus keras, membuat Sasuke mengangkat kepala.
"Kita tidak akan melakukan apapun yang tidak membuatmu nyaman," kata Sasuke, mencium pelipis Sakura. "Aku tidak buru- buru. Ini cukup bagiku."
"Aku juga, terimakasih." kata Sakura, mereka diam beberapa saat sebelum Sakura memecahkan keheningan.
"Kenapa keluargamu memperlakukanku seperti itu kemarin?"
Sasuke mendesah, "Aku pernah punya pacar yang sedikit psikopat. Dia pernah mengancam membunuh orangtuaku."
Sakura mengangkat kepala seketika, "Apa? Kau bercanda?" Sasuke tidak terlihat bercanda.
"Tidak sama sekali." Sasuke menggeleng.
"Kenapa?"
"Ibu dan Ayah tidak setuju karena dia lebih tua, dia marah besar dan yah... sisanya biar menjadi sejarah."
Ya tuhan, Sasuke mengencani psikopat!
"Aku jadi sedikit paham dengan kelakuan Itachi. Dan kenapa orangtuamu sangat baik padaku."
"Maaf tentang itu," Sasuke mengernyit, "dan maaf karena saat itu aku menyebalkan. Aku tidak suka mereka terlalu mengkhawatirkanku. Itachi takut aku salah memilih lagi, dan orangtuaku takut aku tidak akan berkencan lagi. Jadi mereka sedikit berlebihan."
"Sedikit," ulang Sakura, "aku senang karena saat itu aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa aku tahan dengan tekanan mereka."
"Mereka semua menyukaimu. Orangtuaku senang bertemu denganmu dan karena aku bersama dengan seseorang yang seumuran. Aku tidak memberitahu siapapun tentang mantanku sebelum semuanya menjadi semakin kacau."
"Aku tidak punya rencana untuk membunuh keluargamu," Sakura menghibur.
"Terimakasih," kata Sasuke datar.
"Sama- sama,"
Mereka tidak lanjut mengobrol setelah itu. Sasuke mengelus leher Sakura dengan ibu jarinya, membuat Sakura menggumam nyaman.
"Kita harus tidur," bisik Sasuke. Sakura tahu bahwa Sasuke masih keras namun pemuda itu mengabaikannya.
"Kau benar," bisik Sakura. Dia hangat dan mengantuk, elusan Sasuke mengantarkannya tidur.
"Hey, " panggil Sasuke, sebelum Sakura benar- benar tertidur. "Boleh aku lihat koleksi kerajinan tanganmu dan ayahmu?"
"Tentu saja."
.
.
.
Alarm Sakura berbunyi dua detik sebelum alarm Sasuke. Mereka berdua meraih ponsel masing- masing dalam gelap.
"Saatnya bangun," kata Sakura setelah mematikannya, namun dia malah menyandarkan kepala di pundak Sasuke.
"Iya," Sasuke setuju. Di luar masih hitam pekat.
"Tapi kita harus bangun. Ada tim yang harus kita tendang bokongnya."
"Hmmm." Adalah resepon Sasuke. Sakura dapat merasakan 'morning wood' Sasuke menyentuh pahanya. Sakura menggesek tubuhnya pelan, penasaran. Sasuke seketika menekan pantat Sakura. Suara geraman tertahan di tenggorokannya membuat Sakura merinding.
Lalu Sakura mendengar ayahnya membuka pintu kamar, dia bersyukur dengan handle yang berderit. Sasuke melepaskannya dan mendesis, "Sial! Ayahmu!" namun Sakura sudah berdiri dan memposisikan diri di sofa, di bawah selimut.
Sasuke melemparkan bantal kepada Sasuke, mengenai wajahnya. Saat ayah Sakura sampai di ujung tangga, "Kalian sudah bangun?"
"Yap!" jawab Sakura. Dia bangun, bantal masih di pelukannya sebelum menyalakan lampu. Dia melihat Sasuke menggeram dan menarik selimut menutupi wajah.
"Aku mandi dulu kalau begitu," ujar Sakura.
.
.
.
Di tengah perjalanan menuju Berkeley, Sakura mengambil sebungkus chip dari ranselnya. Cemilan pagi.
Sebelum dia sempat membukanya, Sasuke mengambil dan membuangnya ke luar jendela.
.
.
.
Sakura hampir pingsan karena gugup di turnamen. Sasuke menenangkannya dengan dua batang cokelat dan ciuman- ciuman lembut.
"Kita menang," gumam Sakura di bibir Sasuke. Turnamen sudah berakhir dan kemenangan mereka membuat Sakura terbang. Sasuke menahan tubuh Sakura dengan memeluknya.
Mereka berpelukan di ruangan dekat kamar mandi, merayakan berdua saja. Perayaan yang melibatkan lidah dan bibir. Orangtua mereka ada di lobi dengan orang dewasa lain, mereka akan makan malam bersama untuk merayakan kemenangan setelah ini.
Sasuke membawa ujung hidungnya sepanjang tulang rahang Sakura. "Mmm. Kita menginap semalam lagi sebelum pulang, berjaga-jaga," ujarnya di telinga Sakura, tangannya memeluk pinggul gadis itu. Suaranya terdengar lebih dalam dari biasanya, membuat kuduk Sakura berdiri.
"Ya," Sakura setuju.
Sasuke bergerak untuk menciumnya lagi, namun segera memundurkan tubuh, memberi jarak pada tubuh mereka saat mendengar suara langkah kaki mendekat. Ternyata hanya pegawai hotel yang berjalan melewati mereka tanpa melirik.
"Ternyata," dengus Sasuke. Sakura memasukan jarinya ke saku jaket Sasuke untuk menariknya lebih dekat. Dia menemukan sepotong kertas di sana.
"Apa ini?" tanyanya, mengambilnya, kemudian menyadari bahwa itu adalah selembar kertas yang memulai semua ini. Sasuke membawanya sepanjang waktu.
Sakura membukanya dan merapikannya di dada Sasuke agar dia bisa melihatnya lagi. Kalau Sasuke tidak menjatuhkan ini, mereka mungkin tidak akan berada di sini sekarang. Sakura berterimakasih pada kertas ini. Dia melihat kembali rumus matematika Sasuke, gambar hiu, tulisan nama Sasuke dengan huruf gotik. Dan kali ini, dia mengenali gambar lain di sana, tampak belakang kepala seseorang.
Itu adalah Sakura.
"Ini aku," kata Sakura, menatap gambar itu.
Dia tidak menyadarinya saat pertama kali, tapi kali ini dia tahu. Sakura sedang menghadap sedikit ke samping, hanya sedikit wajahnya yang terlihat. Sudut bibir yang terbuka kecil dan hidung yang sedikit lancip di bagian atas jelas miliknya. Rambut sebahunya, telinga, leher dan bahu kecil yang terbungkus sweater tua yang tidak juga rela untuk dia buang. Sasuke menggambarnya dengan detail, bahkan hingga tahi lalat di bawah telinganya. Dia mungkin menghabiskan waktu lama menggambar detailnya.
Dia kembali menyadari sesuatu.
"Itulah kenapa kau terlihat khawatir saat aku menemukan kertas ini." Kata Sakura, menatap mata terhibur Sasuke. Dia dapat merasakan jantung Sasuke berdetak di bawah tangannya. "Kau tidak takut aku melihat rumus matematikamu dan menganggapmu nerdy, kau takut aku melihat gambar diriku."
"Ya," jawab Sasuke, bibirnya tersenyum saat dia mempertemukannya dengan bibir Sakura sekali lagi, pelan dan manis. "Dari awal, semua adalah tentangmu."
.
.
.
End.
.
.
.
AN: Wow. Makasih untuk respon positif di cerita satu ini, Eve nggak nyangka lho~
Jadi semangat buat ngetik tahu, kalau kalian suka, semoga ini sesuai ekspektasi :')
Jadi kalian suka yang klise begini? haha Noted.
Dan kenapa harus nunggu hari ini sih? Karena hari ini Eve ulangtahun ceritanya #kampungan
What's next? Ada ide?
Anyway, Terimakasih sudah membaca.
Kritik, saran dan pendapat silahkan sampaikan lewat review.
-with cherry on top-
.the autumn evening.