"Umm—"
Naruto merasakan bibirnya dikecup dengan kasar. Ketika ia mencoba menghindar, Hinata justru menghimpit badannya ke sofa. Lidahnya diajak berdansa. Ritme cepat yang tercipta membuat Naruto sulit mengambil napas. Di luar dugaannya, rupanya Hinata memiliki kekuatan sebesar ini. Bila ia memaksa mendorong lebih kuat, gadis itu bisa terjatuh.
"... Haru—!"
Saliva menetes melalui celah bibir. Napas mereka mengepul di tengah udara dingin.
"Umm ... Haru—!"
Sebuah kecupan panas yang baru pertama ini Hinata berani memulainya. Untuk perempuan seperti dirinya, agresif ialah hal yang tak biasa.
Maafkan aku, Naruto-kun ...
Dengan gaya nakalnya, Hinata merangkak duduk di paha Naruto. Ia menggulung rambut seadanya. Membuat lehernya yang jenjang dan putih terekspos.
Tangan Hinata dengan lembut menuntun jari jemari Naruto yang kekar menyentuh bibirnya. Ia lihat bagaimana pria itu jadi tersipu. Semburat merah jambu terlukis samar di pipinya yang kecokelatan.
"Haruki, apa yang kau lakukan?" Naruto memalingkan pandangan. Berusaha sebisa mungkin menghindari napas Hinata yang terasa hangat saat mencumbu kulit pipinya.
Hinata menarik dagu Naruto agar pria itu terus menghadap ke wajahnya. Sengaja ia sentuhkan hidungnya dengan batang hidung Naruto yang mancung.
"Bukankah ... laki-laki suka yang seperti ini?" bisik Hinata seduktif. Ia kembali menarik jarak, masih dengan memegang tangan kanan pemuda itu.
Perlahan, Hinata mencium telunjuk Naruto. Menciumnya dengan sangat lembut, selembut Naruto yang dulu memperlakukannya dengan sangat hangat. Jari Naruto berbau manis. Seperti permen rasa buah yang sering ada saat malam Helloween. Ia memasukkan jari Naruto serupa lolipop ke dalam mulutnya. Menariknya keluar pelan-pelan, memasukkannya lagi, dan sesaat, membiarkannya di luar untuk dijilati layaknya es krim.
Naruto menutupi pipinya yang memerah dengan tangan kirinya. Ia masih belum mengerti akan situasi ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada Haruki? Apa dia mabuk? Tidak mungkin kan susu membuat seseorang kehilangan kesadaran?
Ketika Naruto hendak menarik tangan kanannya yang diperlakukan tak ubah permen, pemuda itu dikejutkan oleh Hinata yang perlahan meraba dadanya, hingga ke leher. Membuat Naruto merasakan geli teramat sangat, sekaligus ada perasaan aneh yang tiba-tiba menyergap hatinya.
Haruki yang semakin dekat dengannya, mengingatkan ia akan sosok wanita yang memiliki bau tubuh serupa. Wangi lavendel yang selamanya tak mungkin bisa ia lupakan.
"Hinata ..." Naruto mendesis pelan.
Rupanya, Hinata tak mendengar itu. Fokusnya masih pada telunjuk Naruto yang terasa begitu nikmat dalam mulutnya.
Liurnya menetesi jari pria itu hingga pergelangan. Sedikit menjijikkan, tapi ini sangat nikmat baginya. Pipi Hinata bahkan merona pekat. Warna putih porselannya berganti merah muda, yang andai Naruto bisa melihat wajah perempuan itu sekarang, amat kentara manis.
Hinata ganti mengecupi dagu Naruto sampai pipi. Ia memegangi tangan Naruto yang seperti hendak berontak.
"Ha-ruki ... apa kau sadar dengan yang kau lakukan?" Naruto susah payah mengatakannya. Di bawah sana rasanya sempit. Padahal ia tak lagi mengenakan celana jeans.
"Aku tidak mabuk Naruto-kun ..." Hinata terus menciumi pipi Naruto. Kanan dan kiri, bergantian.
"Tapi ... kau sangat aneh bagiku. Seperti ... akh—" Naruto menggigit bibirnya manakala Hinata mengisap lehernya. Sepertinya, perempuan itu hendak menandainya.
"Aku hanya menginginkanmu Naruto-kun, itu saja ..." Hinata dengan lihai membuka kancing piyama Naruto satu per satu. Tak butuh waktu lama, kurang satu menit, dada bidang Naruto dapat Hinata lihat. Kebetulan, Naruto sedang tak memakai kaus dalam.
Ada penolakan dari pria itu saat Hinata mencoba menurunkan piyamanya. Wajar saja, suhu udara di akhir musim gugur memang sangat dingin, meski hal kontradiksi sebenarnya sedang terjadi dengan badannya sendiri. Naruto ... merasa sangat panas.
"Tu-turunlah. Tidak sepantasnya kita melakukan ini."
Hinata tak peduli. Ia tak mau dengar dan malah memeluk pinggang Naruto lebih erat.
"Tak mau. Aku sudah lama menginginkannya." Ujar wanita itu dengan manja.
Tak ayal, hal tersebut membuat Naruto terkejut. Bagaimana bisa seorang Haruki berkata demikian? Tujuannya tinggal di sini bukan untuk penelitian seks kan?
Spontan, Naruto mendorong Hinata. Ia masih memegangi lengan kanan dan kiri Hinat agar perempuan itu tak terjungkal ke bawah.
"Aku serius, Haruki!" nada bicara Naruto kali ini lebih tinggi.
"Aku tidak mengerti kenapa kau tiba-tiba begini. Kau biasanya tak seagresif ini, bahkan saat kita tidur satu kamar di penginapan waktu itu. Ada apa denganmu?!" bahu Hinata terguncang akibat gerakan tangan Naruto. Wanita itu tertunduk. Mimik mukanya perlahan berubah.
"Kau ... ada apa dengan isi kepalamu? Apa kau semakin gila pada penelitianmu dengan ingin mencoba berhubungan seks bersama pria buta? Apa yang kau pikirkan?!"
"Kau pikir kami akan pasif dan diam seperti manekin? Tidak, Haruki. Yang namanya laki-laki tetap berbahaya. Kami punya insting yang tak kalian miliki—"
"Bukan itu!" potong Hinata sedikit berteriak. Kata-katanya kembali tercekat di tenggorokan seolah tak mau keluar.
"... lalu apa?" nada bicara Naruto memelan.
Terdengar isak seketika itu. Hinata mengusap bulir yang membasahi pipinya dengan punggung tangannya. Perempuan itu merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Apa yang baru ia lakukan?
Pelan, Hinata turun dari pangkuan Naruto.
"Haruki?"
"Maaf ... maafkan aku!" isaknya membuat suaranya terdengar lirih. Hinata kembali menyeka air matanya. Kali ini, menggunakan lengannya. "maafkan aku!"
Naruto menghela napasnya dan terkesan berat. Ia meraba-raba angin, berusaha mencari bahu Hinata. Namun ... yang ia dengar kemudian adalah suara kaki berlari semakin menjauh ke belakang.
"... Haruki?"
Hinata berlari ke kamarnya. Air matanya terus mengalir seolah ia memiliki persediaan air mata yang sangat banyak.
Blam!
Pintu kamar dibanting dengan kasar. Hinata menguncinya dari dalam. Ia berlari menuju ranjang. Menghempaskan tubuh mungilnya ke kasur, dan membenamkan wajahnya pada bantal.
"Agggrrrrrr!" Hinata berteriak. Ia merasa sangat, sangat, sangat bodoh! Setelah ini, ia harus bagaimana? Apa yang harus ia lakukan?
Ia bingung. Dia benar-benar belum siap untuk mengakui dirinya adalah Hinata. Namun di lain pihak, ia juga tak mau bila Naruto justru mengetahui hal tersebut dari Tenten. Di The Shound of Evening yang kedua, gadis berambut cokelat itu pasti akan datang lagi sebab pria bertato segitiga di pipi yang datang bersamanya dulu juga lolos babak kedua. Sementara, pagelaran itu akan berlangsung besok. Hinata tidak tahu lagi. Mungkin dia akan meninggalkan pesan suara dan keluar dari rumah ini diam-diam.
"Agrrrrrr ..." teriakannya tenggelam dalam spons empuk yang menampung tumpahan kesedihannya.
.
.
Re: Andante
Bagian 10
.
.
Tokyo Dome
Tepuk tangan meriah menyambut ketiga dewan juri masuk ke dalam aula besar, di mana penonton duduk membentuk setengah lingkaran menghadap panggung utama. Tempat duduk masih sama. Dibuat berundak untuk mempermudah spektator yang menyaksikan dari belakang.
Seorang pembawa acara tampak mulai berbincang-bincang, mengajak para penonton berinteraksi. Tak lupa ia mengabsen siapa saja nama pianis yang akan tampil dalam laga panas malam ini. Setidaknya, ada 10 pianis yang lolos sampai babak kedua.
Lampu panggung menyorot grand piano yang kali ini berwarna putih. Kemudian, lampu ruangan dimatikan. MC lalu memanggil peserta pertama yang hendak tampil.
Seorang wanita berparas cantik tampak anggun dalam balutan dress berwarna merah muda. Potongan terbuka di bagian punggung menampilkan kesan seksi dan centil. Terlebih dulu, gadis itu memberi penghormatan kepada para tamu yang datang.
Tepuk tangan meriah menggema. Seseorang meneriakkan nama campuran Jepang-Eropa kepada gadis itu. Bila dilihat dari wajah, sepertinya ia memang bukan asli keturunan negeri ini. Melainkan perkawinan dua negara.
Atmosfer mulai hening ketika sang pianis duduk pada kursi putih sewarna grand piano di hadapannya. Tangannya mulai menekan tuts. Memainkan lagu yang sudah membuat merinding sejak not pertama.
Love Story dari Richard Clayderman. Lagu ini begitu lembut, romantis, tetapi juga terdengar sedih dalam waktu bersamaan. Iramanya serupa lagu orang yang sedang patah hati. Penghayatan sang pianis juga begitu baik. Perpindahan notnya berjalan mulus. Gadis ini, sepertinya sudah terbiasa mengikuti resital.
.
"Uzumaki-san?"
Naruto menengadahkan kepala saat namanya dipanggil dengan formal oleh suara yang cukup familier di telinganya.
"Ternyata benar kau!" imbuh lelaki itu, yang kemudian duduk di samping Naruto.
"Taruho?" Naruto pun rupanya masih ingat bagaimana suara pria berkacama teman Kazahana ini. Tidak aneh kalau dia juga ada di sini sekarang, karena sama-sama berhasil lolos ke tahap dua.
"Uzumaki-san, sendirian saja?" lanjut Taruho bertanya.
Naruto mengangguk. Karena dia memang sendirian sekarang.
...
Hujan turun lagi ketika waktu menginjak dini hari. Udara terasa begitu dingin. Suara gemeresik daun yang saling bergesekan, juga nyaring nyanyian kodok menjadi satu rangkaian simfoni alam yang dimainkan oleh Tuhan.
Hati Hinata gelisah. Perasaannya tak bisa tenang. Kepalanya terus berpikir dan itu membuatnya tidak bisa tidur.
Saat ia memejam, bayangan hal yang ia lakukan tadi selalu datang bak mimpi buruk; membuatnya langsung terjaga dan membelalak merutuki dirinya yang hampir memerkosa seorang pria buta.
Hinata menyesal lantaran tak berpikir panjang. Naruto pasti sangat marah kepadanya.
"Naruto-kun, aku tidak sengaja melakukannya. Aku—" Hinata lagi-lagi menghapus rekaman suaranya. Entah ini yang kali keberapa. Padahal, ia tak sedang menatap pria itu secara langsung, tetapi keberaniannya benar-benar menciut bila ingat kesalahan fatal yang ia lakukan tadi.
Akhirnya, dictaphone tersebut ia letakkan kembali. Dulu, saat masih tinggal bersama, dengan alat perekam suara ini Naruto meninggalkan pesan untuknya. Biasanya saat pagi-pagi sekali ketika pria itu harus keluar dan ia belum bangun.
Hinata menyelingkap poninya ke atas. Helaian lavendelnya menerobos di sela-sela jari tangannya.
Ia menghempaskan punggungnya ke kasur. Tangannya meraih dictaphone, mencoba benda itu sekali lagi.
"Naruto-kun, aku ...
"... sungguh-sungguh minta maaf."
.
Jam weker berbunyi kencang tepat di samping telinganya. Yang seketika menariknya dari alam mimpi pada kesadaran penuh yang membuat kepalanya sedikit pusing. Naruto meraih jam itu dari meja di samping sofa tempatnya tidur. Kurang hati-hati, Naruto justru menjatuhkan jam tersebut.
Menurunkan kaki dari sofa, Naruto lantas mengambil jam itu untuk mematikannya. Ia selalu menyetel alarm tepat di pukul 6 pagi. Namun sepertinya ada seseorang yang sedikit mengubahnya. Saat ia membuka tirai jendela, terasa matahari sudah naik sepenggalah. Kehangatan yang seperti ini tak mungkin ia dapat di jam 6 pagi. Kemungkinan, pukul 7 atau 8.
Naruto bangkit dari kursinya.
"Haruki ...?" ia memanggil gadis itu. Biasanya perempuan itu sudah sibuk membuat keributan di dapur saat ia terbangun. Namun hari ini, ia tidak mendengar keributan apa pun dari sana.
Entah kenapa, Naruto merasa kosong kala menyadari panggilannya tak ada jawaban.
"Apa semalam aku terlalu keras pada Haruki?" lirihnya bermonolog.
Tapi, bukankah gadis itu sosok yang ceria dan sudah terbiasa dengan ucapan kasar serta sifat dinginnya?
"Haruki?" Naruto memanggil nama gadis itu sekali lagi. Dan hasilnya ... hanya suara angin yang menjawab.
"... dia pergi?"
Meraba-raba dinding, Naruto hendak melangkah ke kamar mandi. Hari ini ia ada acara yang sangat penting; The Shound of Evening. Ia tak boleh terlambat untuk mengikuti kompetisi ini.
Namun hatinya tetap merasa tak tenang. Sampai di depan pintu kamar mandi, akhirnya ia memilih untuk berbalik arah berjalan menuju kamar Hinata.
Gadis itu tak mungkin pergi tanpa bilang-bilang, kan?
.
Ketukan di pintu Naruto ulang sampai beberapa kali. Akan tetapi tetap tak ada yang menjawab. Naruto lantas memutar knop pintu itu.
"Haruki, aku masuk ya ..." ia meminta izin lebih dulu. Siapa tahu Haruki memang berada di dalam, tapi sedang tak ingin bertemu dengannya.
"Haruki?" Naruto berjalan pelan-pelan. "... Haruki, kau di sini kan?" langkahnya terhenti manakala kakinya terasa menyentuh sesuatu. Gundukan tebal dan lembut. Sepertinya itu selimut yang terjatuh.
Naruto kemudian memungutnya. Badannya agak membungkuk. Tangannya masih meraba-raba. Ia tahu posisi ranjang tak jauh lagi.
Saat ia merasakan tepian ranjang dengan tangannya, Naruto lantas duduk dan meletakkan selimut yang terjatuh tadi.
Benar-benar tak ada orang. Jika gadis itu masih di sana, maka, suara napasnya paling tidak akan terdengar. Ini benar-benar hening. Yang artinya, dia benar-benar pergi.
Iris pucat Naruto tampak tertuju pada lantai keramik putih yang menjadi ubin di kamar itu. Entah apa yang ia bayangkan dalam penglihatan gelapnya. Dari wajahnya, ia terlihat sedikit terkejut dan ... murung.
Apa aku terlalu keras pada Haruki?
Naruto merasa bersalah, meski biasanya ia berkata bakal mengusir perempuan itu.
Isak Haruki semalam, bahkan masih terngiang di telinganya sampai sekarang.
Kenapa dia menangis?
Jika sedang tidak sadar, bukankah harusnya ia tak memiliki perasaan?
...
Tepuk tangan meriah mengakhiri permainan lelaki kecil berusia 13 tahun yang menjadi peserta termuda dalam kontes ini. Seperti permainannya pada babak pertama, G Minor Bach yang ia bawakan hari ini pun sukses membius seluruh penonton yang hadir dalam lagu dengan tempo cepat yang menggambarkan kesedihan. Terdengar seperti Lou Ni sendiri yang bermain. Irama menyayat hati itu turut membuat salah seorang juri memberikan standing applause-nya.
.
"Biar kuperbaiki sedikit dasimu." Tenten menata kembali penampilan Kiba sebelum naik ke atas panggung. Dasinya sedikit longgar, jadi gadis berambut cokelat yang kali ini membiarkan rambutnya terurai itu bermaksud mengencangkannya.
Di ruang tunggu masih ada banyak orang. Termasuk Tenten yang bisa melihat di mana Naruto duduk dari posisinya sekarang.
"O-oi, kau terlalu kuat menariknya!" karena terlalu fokus pada Naruto, Tenten jadi lupa bila ia sedang memperbaiki posisi dasi kiba. Lelaki itu nyaris saja tercekik.
"Ma-maaf ..."
"Tuan Inuzuka, kali ini giliran Anda." Seorang pemandu acara memanggilnya dari balik pintu ruang tunggu.
Pemuda itu pun bergegas ke sana.
Saat Kiba berjalan keluar, atensi Tenten kembali pada Naruto. Ia penasaran, kenapa Naruto hanya seorang diri? Di mana Hinata? Bukankah di babak pertama mereka terlihat bersama-sama?
...
"... aku sungguh-sungguh minta maaf."
Menghela napas cukup berat, Hinata meletakkan dictaphone tersebut di atas bantal.
Setelah percobaan yang cukup panjang—bahkan ia sampai merangkai dulu kalimatnya di atas kertas, akhirnya Hinata berhasil merekam suaranya. Air matanya masih menetes sesaat setelah tombol record ia matikan.
Ia benar-benar tak bisa tidur. Masalah ini membuatnya sepenuhnya terjaga sampai tak sadar waktu sudah bergulir di pukul 5 pagi.
Hinata menyeka air matanya. Wajahnya begitu sendu. Pelupuknya terlihat tebal dan menghitam.
Ia melangkah tak berdaya menuju almari, berniat mengambil ransel besar untuk kembali menyimpan seluruh baju-bajunya. Ketika memegang almari berwarna putih tersebut, hatinya terasa nyeri. Ia akan meninggalkan rumah ini sebentar lagi, yang artinya, berhenti menjadi mata Naruto.
Tangannya perlahan-lahan menyusuri almari yang setiap jengkalnya mengingatkan ia pada kebersamaannya dengan Naruto dulu. Saat pemuda itu belum buta, sampai sekarang ia tak bisa melihat.
Hinata menggigit bibirnya dalam-dalam. Lututnya lemas, seolah tak kuat menahan berat tubuhnya yang hanya 45 kilogram. Dengan tangan yang bergetar, Hinata memungut satu per satu pakaiannya yang sudah tertata rapi di almari. Memasukkannya ke dalam tas besar dan akan ia bawa pulang.
Tak sempat berganti baju, sebatas mengenakan sweater abu-abu miliknya agar tak kedinginan di perjalanan nanti. Ia menutup pintu kamarnya, sebelum menyeret tasnya keluar dengan sisa tenaga yang masih ada.
Di ruang tengah langkahnya terhenti. Begitu lelap pemuda itu tertidur sampai tak menyadari kehadirannya.
Senyum tipis kembali terulas di bibir Hinata. Ia mengusap rambut lelaki itu, "Naruto ..."
Perhatiannya, berpindah pada jam weker di atas nakas. Hinata lantas mengambil jam tersebut. Biasanya, Naruto menyetelnya berbunyi pada pukul 6. Naruto kelihatan kelelahan. Lagipula kontes The Shound of Evening baru digelar pukul 7 malam nanti. Hinata pikir, tak apa bila ia menggeser sedikit alarmnya.
"Kau harus istirahat yang cukup agar penampilanmu nanti malam maksimal, Naruto." Hinata mengucap itu dengan masih membelai lembut rambut lelaki yang ia kasihi. Ia menarik selimut Naruto yang jatuh ke lantai.
"... dingin kan?" lantas menyelimutkannya ke tubuh pria itu.
Air mata Hinata jatuh (lagi). Beberapa detik ia memandangi isi rumah ini sekali lagi. Terasa beraaat sekali. Namun, ini keputusan yang ia ambil. Tetap di sini atau tidak, kenyataan tidak akan pernah bisa mengubah apa pun. Ia akan tetap dibenci Naruto. Ya, dia memang pecundang. Tidak berani menghadapi kemarahan Naruto langsung, atau lebih tepatnya, tak mau kehilangan Naruto dari penglihatannya. Jika dia pergi sekarang, setidaknya, Hinata tetap tahu bila Naruto masih tinggal di sini.
Hinata membungkukkan badannya. Menundukkan wajah, memangkas jarak dari paras tampan Naruto. Bibir yang semalam ia kecup itu, Hinata usap sekali lagi. "Naruto ..." ia mencium pipi dengan tanda tiga garis itu. "selamat tinggal ..."
.
.
.
Bersambung
Terimakasih untuk semua readers yang sudah menanti cerita ini. Bahkan ada yang bilang sampai mengulang membacanya beberapa kali. Maaf begitu lama update. Hehehe ...
Untuk versi yang ada lagu dari pianonya, dan yang pengen lihat cover resminya, bisa cek akun wattpad Kim ya, @kimonoz
Selamat membaca