Icha and Michi-san Present:
The Girl with One Hope
.
.
.
Naruto dan Highschool DxD bukan milik saya, keduanya adalah karya besar dari Masashi dan Ishibumi
Rate: M
Genre: Adventure, Fantasy, Drama, Romance
Warn: Latar Original. Lolicon (maybe)
Naruto (16) x Hinata (10), Lolicon khan?
.
.
.
The Last Ninja 1
Ada suatu legenda mengatakan,
Kaguya sang Dewi Kelinci berubah jahat dan memerintah dunia dengan kekuatannya yang besar. Kedua anaknya, Hagaromo dan Hamura bertarung mati-matian melawan ibunya untuk menghentikan niat diktator sang dewi. Ketika Kaguya kalah dan dia disegel kedua anaknya, kesalahan penyegelan terjadi dan Kaguya tidak hanya mewariskan Ninjutsu, tetapi Magic dan Teknologi.
'Dongeng itu selalu ayah ceritakan kepadaku sewaktu kecil. Tepatnya ketika umurku di bawah 10 tahun. Dongeng pengantar tidur yang membuatku bermimpi menjadi Kaguya, namun versi baik. Jika saja Kaguya di dongeng tidak berubah jahat, dia pasti masih memimpin dunia ini dengan kekuatannya dan perdamaian akan terjadi. Aku selalu berpikir saat kecil, bagaimana perasaan Kaguya ketika kedua anaknya berbalik melawannya. Apa itu sakit? Bagaimana dengan perasaan kedua anaknya? Apa mereka juga menyesal karena bertarung melawan sang ibu yang berubah jahat?'
Hyuuga Hinata membuka matanya ketika cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamarnya yang bertirai. Ia segera merapikan tempat tidurnya, mandi kemudian menuju ke dapur. Memanaskan air dan memanggang roti tawar, sarapannya pagi itu adalah susu kental hangat dengan sedikit jahe dan roti panggang.
Selesai makan, ia mengunci pintu rumah dari luar dan bersiap-siap menuju kebunnya. Hinata memandang rumah tersebut. Rumah yang indah dan sederhana. Dindingnya dari bata coklat, atapnya dari ubin dan ada sebuah cerobong asap kecil di bagian belakang. Ketika ia pergi menuju kebun, rumah itu kosong. Jika saja ayah dan ibunya masih ada, pasti suasana rumah akan menjadi menyenangkan.
Ayah dan ibu Hinata ditemukan meninggal di ladang mereka dua minggu yang lalu. Seorang petani desa melihat keduanya tergeletak di dekat tanaman-tanaman gandum. Ketika dilakukan pemeriksaan, tidak ada luka dan tidak ada bukti kekerasan. Keduanya meninggalkan Hinata dalam keadaan damai.
Hinata memasang topi bundar berwarna coklat kusam dengan pita merah di atas tepiannya ke kepala lalu memanggul cangkul kecil, bersiap menuju kebun. Walaupun baru berumur 10 tahun, Hinata sangat jago dalam hal berkebun. Sejak berumur 3 tahun, ia dibawa kedua orang tuanya ke ladang. Mereka mempunyai tanaman jagung, gandum dan beras di kebun. Hinata kecil terus memperhatikan kedua orang tuanya bekerja sehingga tanpa sadar gadis kecil itu bisa melakukan pekerjaan ladang karena pengamatan masa kecilnya.
Gadis kecil berambut hitam kebiruan yang panjang dengan potongan rambut ala-hime itu berjalan melewati jalan utama Desa Konoha dengan riang. Sesekali ia menyapa warga desa yang sedang berkebun di ladang mereka.
"Selamat pagi."
"Selamat pagi Hinata-chan."
"Selamat pagi Danzo ojii-chan."
"Selamat pagi Hinata."
Semenjak orang tuanya meninggal, warga Desa Konoha benar-benar perhatian kepadanya. Kala Hinata sedang mencangkul tanah untuk membuat lubang bagi bibit jagungnya, beberapa warga desa datang ke kebunnya dan membantu. Ketika kembali ke rumah saat sore, Hinata diberi banyak sekali makanan. Ada kue manis, roti, tomat segar, labu segar, wortel segar dan sebagainya. Semuanya sangat mengasihani Hinata karena gadis yang baru berusia 10 tahun itu sudah harus hidup sebatang kara.
"Selamat pagi, Hinata-chan."
"Selamat pagi, Hiruzen-jiji, Biwako-baa. Kalian sedang melakukan apa?"
Sarutobi Hiruzen dan Sarutobi Biwako adalah dua warga desa yang paling memberi perhatian kepadanya. Kakek dan nenek baik hati itu selalu membantu Hinata ketika gadis kecil itu di kebunnya. Malamnya mereka selalu mengunjungi Hinata sambil membawa makanan yang sudah dimasak. Jelas saja Hinata sangat menyayangi keduanya. Mereka sudah ia anggap sebagai kakek dan neneknya sendiri.
"Kakek tua ini tidak suka jika ada tanaman selain jagung yang tumbuh di kebunnya. Jadi kami sedang membersihkan gulma di sekitar kebun kami." Biwako menjelaskan perihal mereka.
"Catat Hinata-chan," Hiruzen mengacungkan jempolnya sambil memasang wajah seperti seorang guru. Bibirnya mengatup cerutu besar yang selalu ia hisap saat bekerja "Gulma adalah hama yang perlu dibersihkan dari tanaman produksi. Sekali mereka tumbuh, maka unsur hara di dalam tanah yang sebenarnya untuk tanaman produksi diambil oleh gulma. Tolong diingat. Ketika kami sudah tiada karena usia, kami tidak bisa memberitahumu soal ilmu bertani ini."
"Heeh? Kok aku bingung ya?" Hinata memiringkan kepalanya dengan polos. Ada lambang "?" besar muncul di atas kepalanya.
"Hahaha, sudah kubilang Hiruzen…penjelasanmu terlalu berat untuk anak kecil." Biwako menepuk bahu Hiruzen, berusaha menenangkan suaminya yang tertunduk lesu karena Hinata tidak mengerti perkataannya.
Hinata bekerja setiap hari di kebunnya untuk mengurusi tanaman jagung. Ia belum mampu untuk mengurusi jagung bersama beras dan gandum. Gadis kecil itu memilih jagung karena Hiruzen dan Biwako yang setiap hari membantunya sangat ahli mengurus tanaman tersebut. Hiruzen, dengan cerutu besarnya di bibir, selalu menceritakan kehebatan jagungnya saat ia masih sebagai petani muda dan orang-orang selalu memberikan nilai "A+" untuk kualitas jagung yang ia urus. Cerita-cerita Hiruzen dan candaan Biwako menemani Hinata ketika ia beristirahat di pondok kebunnya. Hal itu membuat kesedihan Hinata atas kematian orang tuanya sedikit menghilang.
Pulang dari kebun saat sore, Hinata disambut puluhan warga desa yang memberikannya berbagai macam makanan.
"Hinata-chan, aku membawamu kue coklat."
"Semangka segar untukmu, Hinata-chan."
"Ini ada cherry, gadis manis."
"Di mana kau mendapatkan cherry itu?!"
Hinata jelas tidak dapat membawa semuanya. Tentu saja Hiruzen dan Biwako langsung membantu gadis kecil itu untuk membawa semua 'hadiah' dari warga desa ke rumah. Malamnya, Biwako dan Hiruzen tidak membawakan Hinata masakan. Mereka bertiga masak bersama di rumah Hinata dan makan malam bersama di sana. Keadaan rumah menjadi sangat menyenangkan.
"Terima kasih Hiruzen-jiji, Biwako-jiji. Terima kasih juga membantuku memasak."
Biwako menggaruk belakang kepalanya "Jangan sungkan Hinata-chan. Karena kau sudah kami anggap…" Biwako memandang sedih ke bawah.
"…Cucu kami." Sambung Hiruzen sambil menghembuskan asap cerutunya. Mata Hinata melebar. Dadanya terasa segar.
"Terima kasih banyaaak jiji, baa-baa…huwaaaa." Hinata menghambur ke keduanya dan memeluk mereka erat. Biwako mengelus kepala gadis kecil tersebut. Dia turut senang melihat air mata kebahagiaan muncul di pipi Hinata.
"Sudah, sudah…jangan menangis lagi. Iya kan, Hiruzen?"
"Hiks…hiks…dipeluk seperti ini oleh Hinata-chan membuatku sedih." Hiruzen menggosok bawah hidungnya yang beringus. Mata Biwako melebar kaget.
"HIRUZEEEN?! KENAPA KAU IKUT MENANGIS JUGA?!"
Malam itu Hinata tidur nyenyak. Dia bermimpi bertemu ayah dan ibunya. Dia menceritakan semua kebaikan warga Desa Konoha kepadanya saat ayah dan ibu meninggalkan dirinya. Hinata sangat senang. Ayah dan ibunya tersenyum lega. Mereka terlihat lega bahwa Hinata telah dijaga orang-orang desa.
Malam itu juga semua warga desa berkumpul di rumah Shimura Danzo, salah satu tetua Desa Konoha yang statusnya dihormati di Konoha, sama dengan Hiruzen. Semuanya berkumpul di sana. Mau yang muda-tua, wanita –pria. Rumah sederhana dari kayu namun berukuran besar itu didatangi warga Konoha, berangsur-angsur hingga penuh. Aula rumah Danzo terlihat dipenuhi warga desa.
"Aku pikir semuanya sudah siap." Danzo terlihat memimpin pertemuan tersebut. Dia melirik ke arah Hiruzen yang berdiri di sebelahnya. Di depan keduanya, berdiri ratusan warga Konoha yang menunggu instruksi.
"Danzo, menurutku kita perlu memikirkan kembali rencana ini."
"Apa maksudmu, Hiruzen?" Danzo memandang wajah ragu Hiruzen "Bukankah kita semua sudah sepakat akan hal ini?"
"Tetapi menurutku, perbuatan yang kita-"
"Tidak. Ini adalah persetujuan bersama, persetujuan semua warga Konoha. Pendapat pribadi ditolak." Danzo memandang semua warga Konoha dan mengangkat kedua tangannya "DENGARKAN, WAHAI WARGA KONOHA! MALAM INI AKAN MENJADI SAKSI PENUMPASAN KITA TERHADAP-"
"D-Danzo-sama, Hiruzen-sama!" seorang pria muda berbadan kekar memasuki ruang aula rumah Danzo dengan wajah tegang "Ada sinyal dari Magic Barrier kita di perbatasan desa! Se-seseorang menyusupi Konoha!"
"Apa?!" Hiruzen meneguk ludahnya "Bisa memasuki wilayah Konoha yang dijaga barrier sihir 3 tingkat? Dia pasti bukan orang sembarangan."
"Kalau begitu, kita sambut dia." Tanggap Danzo dengan suara menggeram.
"Ayah, ibu…apa aku akan baik-baik saja. Walaupun warga desa baik kepadaku hingga sekarang, apa aku baik-baik saja tanpa kalian."
Ayah Hinata mengusap rambut putrinya dengan lembut. Dia tersenyum untuk menenangkan perasaan sang anak.
"Jangan khawatir sayang, kau akan baik-baik saja…"
Ibu Hinata menganggukkan kepala.
"Kau akan baik-baik saja."
Hinata terbangun. Dia mengusap kedua matanya dan memandang sekitarnya dengan linglung. Dia masih berada di dalam kamarnya.
'Tadi ternyata…mimpi ya?'
Suara ribut di luar rumahnya membuat Hinata tersentak kaget. Dia seperti mendengar pintu dari rumah di depannya didobrak atau dihancurkan. Hinata dapat melihat cahaya kuning suram matahari, yang menandakan jam baru saja menunjukkan pukul 5 pagi. Hinata turun dari ranjangnya, sempat merapikan letak selimutnya lalu memakai sweater mungil berwarna coklat hadiah dari ayahnya saat ulang tahunnya yang ke-9 tahun. Dia membuka pintu rumahnya dan melihat pemandangan yang mengerikan.
Banyak mayat warga Konoha yang bergelimpangan di jalan. Darah menggenang bagai lumpur sirup Marple, tetapi berbau amis mengerikan. Tangan gadis mungil itu bergetar, dia menutup pintu rumahnya perlahan dan berjalan lambat sambil melihat keadaan di sekelilingnya. Benar-benar kacau.
Tiga rumah yang berada di dekat rumahnya terlihat berantakan. Rumah di depannya terbakar, menimbulkan asap tebal. Bagian pintu depannya terlihat patah. Hinata dapat melihat tubuh manusia tak bergerak di dalam rumah karena tidak ada penghalang pintu lagi. Lampu di dalam rumah itu berkedip-kedip seperti adegan Film Horror.
Hinata menyusuri jalan desa sambil melihat keadaan sekelilingnya. Dia menginjak kerikil tajam dan mengaduh pelan. Hinata baru sadar bahwa dirinya tidak memakai alas kaki. Saat dia mengalihkan pandanganya dari kaki ke atas, seorang wanita berlari ke arahnya dengan wajah ketakutan. Hinata menutup mulutnya. Wanita itu berlari ke arahnya sambil menutup luka di lehernya yang terus mengalirkan darah lewat sela-sela jari.
"To…long aku-" wanita itu ambruk tepat di depan Hinata. Tangan yang menutupi luka di leher itu terkulai, membuat darah segar menggenangi tanah di sekitar kepalanya.
'A-apa yang sedang terjadi?! Kenapa…kenapa…' Hinata jatuh berlutut dengan kedua tangan yang disatukan. Kedua tangan itu bergegar hebat.
'Kenapa…kenapa desaku diserang? Kenapa warga desaku di…di…' air mata membasahi pipi Hinata 'Dibunuh?!'
Hinata berdiri kembali dan berlari menuju pusat desa. Pusat Desa Konoha adalah sebuah taman kecil berbentuk lingkaran yang mana di keempat sisinya ada empat jalan besar yang dibuat dari batako tersusun rapi. Bagian utara menuju pasar desa, bagian selatan menuju perumahan Hinata, bagian barat menuju perumahan lainnya, bagian timur menuju lokasi perkebunan warga. Tepat di simpang empat itu berdiri Gereja desa yang dipimpin Shimura Danzo, salah seorang tetua yang dihormati warga. Dia bersama Hiruzen adalah warga yang paling dihormati di Konoha.
Kenapa? Kenapa? Apa yang sedang terjadi ketika aku tidur?! Bagaimana dengan Hiruzen-jiji?! Biwako-baa?! Yang lainnya?!
Ayah…Ibu…kenapa aku begitu takut?! Aku takut kehilangan orang-orang yang kusayangi! Aku tidak mau mereka hilang seperti kalian!
Itulah yang dipikirkan Hinata kecil. Gadis manis berusia 10 tahun yang malang. Ketika ia sampai di pusat desa, Hinata melihat tubuh Danzo tidak bergerak di depan pintu Gereja. Tangan kanan tuanya terkulai lemas, memegang lemah sebuah tongkat kecil kira-kira sepanjang 30 centimeter.
'Da-Danzo-jiji?! Ti-Tidak…Tidaak!' Hinata menutup wajahnya. Dia menggelengkan kepala dan menangis sesenggukan. Matanya yang beriris putih bersih terlihat seperti tanpa pupil tergenangi air kesedihan tersebut. Dia memandang sekitarnya, berharap itu adalah mimpi buruknya seperti mimpi yang ia alami ketika ayah-ibunya baru saja meninggal, tetapi beberapa kali dia mengerjapkan mata, pemandangan mengerikan itu tidak menghilang.
Banyak tubuh warga desa tergeletak di sekelilingnya dan tidak bergerak.
Tidak bergerak…sama seperti ayah dan ibunya yang tidak dapat bergerak lagi…
"Hina…ta!"
Suara itu?!
Hinata menoleh ke belakang. Dia melihat Hiruzen yang menggendong Biwako dengan gaya bridal berlari ke arahnya dari jalan arah timur. Mata nenek Biwako tertutup. Tangannya menutupi perutnya yang terlihat berdarah, tetapi dadanya terlihat naik-turun dengan lambat. Hiruzen sendiri berlari sempoyongan dengan pelipis kanan yang meneteskan darah pelan.
"Hiruzen-jiji! Ka-kalian selamat! Syu-syukur…" Hinata berlari mendekati kakek tua itu "Aku sangat baha-" Hinata berhenti berbicara, dia melihat wajah Hiruzen berubah sedih dan mulut kakek tua itu bergerak lambat di pandangan matanya.
"Hinata…"
Sebuah kunai menancap tepat di leher belakang Hiruzen dan membuat orang tua itu tumbang, tepat di depan Hinata. Namun suara Hiruzen yang lemah masih terdengar di telinga gadis kecil tersebut.
"Maafkan kami, telah membohongi…" kedua tubuh itu berdebam jatuh ke tanah "…mu!"
Untuk sesaat hanya ada keheningan. Bukan suara diam yang tenang, tetapi suasana tanpa suara yang mencekam.
Tentu saja tubuh gadis kecil itu bergetar hebat. Matanya membesar sempurna dan tidak ada cahaya semangat di iris matanya. Melihat dua orang yang paling ia sayangi tewas tepat di hadapannya memberikan pukulan berat bagi Hinata. Dia melihat mata Hiruzen yang setengah terbuka, tidak ada cahaya kehidupan di sana. Darah mengalir pelan dari belakang lehernya yang masih tertusuk oleh sebuah kunai. Biwako sendiri tidak bergerak sama sekali. Nenek tua itu menutup matanya namun tak akan terbuka kembali. Tangan kanannya yang menutup luka di perutnya terkulai ke tanah dan memperlihatkan luka menganga besar di perut. Hinata mundur dua langkah.
Takut. Ngeri. Dan sangat amat sedih.
Apa yang sebenarnya terjadi di desanya?!
"Ada sebuah legenda mengatakan,"
Hinata mendengar suara itu berasal dari sosok yang berdiri di hadapannya. Sosok yang membelakangi cahaya matahari saat sedang terbit.
"Ootsuki Kaguya meninggalkan 3 warisan untuk manusia. Ninjutsu, Magic dan Teknologi."
Pria itu memutar kunai di tangan kanannya kemudian memasukkannya kembali ke dalam jubah hitamnya yang tidak di-resleting. Rambutnya pirang, matanya biru, ada 3 garis di kedua pipinya dan untuk sesaat Hinata melihat matahari suram adalah wajah pria itu.
"Jadi kau adalah Ninja Terakhir itu ya? Ternyata bocah-ttebayo."
~The Girl with One Hope~
Apa yang Hyuuga Hinata harapkan ketika dirinya terbangun dari tidur?
Pagi yang indah, sarapan, kemudian pergi ke kebun. Disapa para warga desa ketika pergi dan disapa kembali ketika ia pulang dari ladang. Mendapatkan kue, biskuit, sayuran dan buah-buahan segar merupakan nilai tambah bagi keinginan Hinata. Hanya saja setelah ayah dan ibunya meninggal, Hinata hanya ingin kehidupan normalnya yang damai dan penuh senyuman itu tidak akan pernah hilang.
Sekarang pukul 6 pagi. Biasanya ia sudah mulai memanaskan air jam segini. Bersiap meminum susu manis hangatnya, dengan tambahan jahe maupun madu. Ketika ia menutup kepalanya dengan topi bundarnya dan menenteng cangkul di bahu kecilnya lalu berjalan menuju ladang, para warga desa akan mengucapkan
"Selamat pagi, Hinata-chan." Tentu saja dia akan membalasnya "Selamat pagi juga, Jii-chan…Baa-chan…Danzo-jiji."
"Hi-Hiruzen-jiji…Bi-Biwako-baa…" Hinata jatuh terduduk di depan kedua tubuh renta tersebut. Air mata mengalir deras dari kedua matanya "Ji-jiji…Baa-Baa…Baa-chan…jangan, jangan tinggalkan aku." Suara Hinata sedikit hilang, serak, lalu hilang kembali karena ditelan kesedihan "Ti-tidak. Aku tidak mau sendirian…"
Tentu saja kedua tubuh itu tidak bergerak.
"Aho ka?" sebuah kunai muncul menantang di depan wajah Hinata. Gadis kecil itu langsung melompat mundur ke belakang. Memandang pria berambut kuning itu dengan tatapan takut dan marah, walaupun ketakutan lebih memenuhi hatinya. Jantung Hinata berdebar. Dia pasti akan menjadi korban terakhir dari pembunuh dingin tersebut. Pembunuh yang menghabisi warga desanya tanpa sisa.
"Si-siapa kau?! Kenapa…kenapa…kenapa kau membunuh warga desa?!" suara Hinata kembali. Kini lebih kuat, berani namun keberanian itu karena amarah. Diiringi jatuhnya air mata dari pelupuk matanya, alis Hinata bertaut membentuk ekspresi marah.
"KENAPAAAA?!"
Suara kecil itu melengking dalam keheningan Konoha.
"Karena warga desa ini seharusnya dibunuh."
Tentu saja Hinata terkejut dengan jawaban tersebut. Karena warga desa ini seharusnya dibunuh. Jawaban macam apa itu?! Alasan seperti apa itu?! Hinata memandang wajah tan tersebut. Mata biru pria itu menatap Hinata dengan angkuh.
"K-kau tidak menjawab pertanyaanku!"
"Aku sudah menjawabnya-ttebayo."
"A-aku tidak mendapatkan jawaban!" Hinata menundukkan kepalanya. Untuk sesaat, terjadi keheningan di antara keduanya "Bunuh aku."
"Eh?!"
"Bunuh aku."
Pria itu terdiam. Alis kanannya naik, menandakan dia kebingungan dengan kata-kata yang keluar dari gadis berusia 10 tahun tersebut.
"Tolong bunuh aku!"
Tidak ada jawaban.
"A-apa permintaanku tidak jelas?! Tolong bunuh aku!"
Pria itu memegang bahu kanan Hinata, membuat gadis kecil itu terlonjak kaget, menepis tangan si pria yang memegang bahunya dan mundur beberapa langkah dengan wajah ketakutan.
"Memang tidak jelas-ttebayo. Kenapa aku harus membunuhmu?"
Kenapa harus membunuhku?! Itu sama saja dengan jawabanmu tadi! Karena warga desa ini seharusnya dibunuh?! Kenapa mereka harus dibunuh?! Kenapa kau bertanya bahwa membunuhku adalah keharusan?! Seolah-olah kau tidak mau membunuhku?! Batin Hinata berperang hebat. Disertai kebencian, mata indahnya memandang wajah pria itu dengan gusar.
"Kau lihat perbuatanmu? Apa makna kehidupanku sekarang? Semua orang yang sering berinteraksi denganku sudah kau bunuh. Bagaimana aku hidup sekarang? Apa yang akan aku lakukan?" suara Hinata kembali terisak "Kau pikir manusia dapat hidup sendiri? Pa-padahal orang tuaku baru saja meninggal…aku sendirian ketika masih berumur 10 tahun. Warga desa yang menjagaku juga telah tiada, apa yang harus aku lakukan sekarang?" Hinata mengusap kedua matanya "Le-lebih baik aku mati saja."
"Tentu saja, emosi seorang bocah belum stabil, seharusnya aku pahami itu."
Hati Hinata panas mendengar kata-kata pria tersebut. Dia tidak peduli, sekuat apapun pria ini…dia akan menyerang dan mengeluarkan semua amarah yang tersimpan di dalam hati.
"HYAAAAAH!" Hinata kecil maju menyerang pria itu dengan tangan mungil terkepal. Pria itu menghilang dari hadapannya dan ia merasakan lehernya dihantam sesuatu. Kegelapan menyelimuti pandangan Hinata dan dia merasakan jatuh ke jurang tanpa cahaya.
Hyuuga Hinata membuka kelopak matanya. Dia berjingit ketika cahaya sore matahari mengenai retina matanya. Suara khas api yang memakan kayu membuat Hinata benar-benar sadar. Dia dapat merasakan panas api di kulitnya. Di depan Hinata terpampang pemandangan kobaran api besar yang menyelimuti Desa Konoha.
"Ko-Konoha terbakar?!"
"Ya. Aku yang membakarnya."
Hinata menoleh ke kanan. Pria yang membunuh warga desa berdiri beberapa langkah di sisi kanannya sambil melempar-lempar sebuah permata berwarna merah di tangan kanannya. Hinata dan pria itu sedang berada di depan desa, yang mana pos penjaga desa sedang terbakar hebat dimakan si jago merah.
"Meninggalkan desa yang dipenuhi mayat akan membuat masalah baru. Bau bangkai, bakteri, penyakit…jadi aku memutuskan untuk membakar mayat-mayat tersebut."
"Aku memutuskan…?! K-kau benar-benar bukan MANUSIA!" Hinata berjalan mendekati pria itu dan mengarahkan kepalan tangan kanannya ke dada pria tersebut. Tinjuannya tertangkap dengan mudah. Pria itu memandang datar Hinata.
"Inikah kekuatan dari The Last Ninja? Aku datang jauh-jauh dari Vaexjoe untuk menjemputmu dan mendapatkan hasil yang mengecewakan. Benar-benar…"
Mata Hinata melebar. Suatu reflek terkejut karena mendengar kata "Menjemput" dari pria misterius itu. Tetapi karena kemarahannya kepada lelaki tersebut, Hinata menjawabnya dengan sengit.
"Ma-maaf jika aku mengecewakan. Tetapi untuk penjahat sepertimu-"
"Tidakkah kau terkejut ketika aku menyebutmu "The Last Ninja", nona kecil yang manis?"
"Hah?" Hinata memasang wajah kaget. Dia mengibaskan tangan kanannya yang digenggam pria itu. Gadis itu memandang lelaki berambut pirang dengan penasaran.
"Sebelum aku bercerita, izinkan aku melempar batu permata Element Magic yang terakhir ini ke gerbang desa," pria itu berjalan beberapa langkah melewati Hinata dan melempar batu permata berwarna merah yang ia mainkan tadi ke gerbang Desa Konoha. Permata itu menampilkan percikan kecil ketika meyentuh tanah lalu meledak, menghasilkan kobaran api yang cukup besar.
"Permata itu adalah alat Magic. Permata Element Magic ada lima jenis, hm…atau kau bisa menyebutnya tipe. Yang berwarna merah dan kulempar tadi adalah tipe api, lalu ada tipe air, tanah, udara dan petir. Ada lima-ttebayo." Pria itu membuat tanda lima jari sambil tersenyum, bagi Hinata, senyuman bodoh.
"Kau menyebut kata "lima" lima kali…" Hinata terdiam sejenak, lalu memandang pria itu kembali "Magic? Se-sepertinya pernah dengar?"
Pria itu menganggukkan kepala "Legenda warisan Ootsuki Kaguya. Ehem…sebelumnya, perkenalkan, aku Uzumaki Havenz Zain Namikaze Dwezbrencksky Qoille Naruto. Kau bisa memanggilku Naruto atau U-H-Z-N-D-Q-N. silahkan pilih mana yang enak untuk diucapkan."
'Na-nama macam apa itu?' Hinata menghela napas kesal "A-aku akan panggil Naruto-kun saja."
"Kun?" Naruto menyeringai tipis "Kau sopan sekali nona kecil. Namamu?"
"Hyuuga Hinata." Jawab Hinata lugas. Mata Amethyst indahnya memandang tajam Naruto.
"Keturunan asli ya…" Naruto menepuk-nepuk kedua telapak tangannya. Gayanya seperti habis membersihkan sebuah gudang industri.
Jika Hinata deskripsikan, Naruto adalah seorang pria berwajah tampan dengan rambut jabrik kuning, mata biru indah, 3 garis kucing di kedua pipinya dan berkulit tan. Tinggi Hinata hanya mencapai bawah rusuk pria tersebut. Naruto mengenakan jubah hitam panjang hingga mata kakinya. Jubah itu tidak diresleting sehingga kaos dalamnya yang berwarna senada terlihat. Ada kalung berlian panjang berwarna hijau tergantung di lehernya. Pria itu mengenakan kaos tangan dengan ujung jari terbuka dan sepatu boot hitam sebetis. Di kedua pahanya terdapat tempat pistol yang terikat. Di punggungnya ada sebuah pedang yang dimiringkan sedikit ke kanan. Hinata dapat melihat ada 8 kantong kain yang terikat di ikat pinggang Naruto, masing-masing 4 di kiri dan 4 di kanan. Entah apa isinya. Tambahan, Hinata tahu ada banyak kunai, pisau dengan ujung pegangan yang membulat dan berlubang di tengahnya, di balik jubah hitam tersebut. Ikat pinggang kulit berwarna coklat dengan lambang pusaran di tengah pinggang terpampang jelas. Jika dideskripsikan, Naruto itu…keren.
"Kita mulai dari sistem dunia kita," Naruto memandang kobaran api yang merubuhkan gerbang Desa Konoha "Ada 3 anugerah utama yang diwariskan Dewi Kelinci kepada manusia pasca ia disegel kedua anaknya, Ootsuki Hagormo dan Ootsuki Hamura…yakni Ninjutsu, Magic dan Teknologi."
"Eh? Jadi itu tidak sekedar dongeng?!"
Pertanyaan terkejut Hinata dibalas gelengan santai Naruto "Dari ketiga warisan itu, Ninjutsu adalah kekuatan dasar manusia di dunia ini. Magic dan Teknologi dikhususkan kepada orang-orang dan keturunannya yang memiliki warisan tersebut. Namun setelah Hagoromo mengambil alih untuk memimpin dunia ini, dia lebih mementingkan Ninjutsu ketimbang 2 warisan ibunya. Setelah ia wafat, keturunan penguasa dunia ini terus memfokuskan kepada Ninjutsu sehingga 2 bangsa lainnya iri."
"Ba-bangsa?"
Naruto menganggukkan kepala "Kita sebut saja bangsa. Ada bangsa Ninjutsu, bangsa Magic dan bangsa Teknologi. Nah…keturunan penguasa dunia yang baru ternyata lebih menyukai Magic dan Teknologi daripada Ninjustu, itu memberikan angin segar bagi dua bangsa tersebut. Akhirnya mereka memiliki kebebasan untuk menghapus bangsa Ninjutsu dari dunia ini."
Hinata terkejut dengan cerita yang Naruto sampaikan. Ia ingin tahu, lebih ingin tahu lanjutannya…
"Bangsa Ninjutsu, yang lebih sering disebut Ninja akhirnya habis. Tiga tahun terakhir kami menganggap mereka hanya sekedar dongeng. Namun setelah mendapatkan informasi bahwa keluarga ninja terakhir, keluarga Hyuuga, ada di Desa Konoha, Chasseurs, kelompok tempatku bekerja menugaskanku untuk menyelamatkanmu dan membawamu ke Vaexjoe."
"Menyelamatkan…ku? Ke-kenapa aku harus diselamatkan?"
Naruto mendekatkan wajahnya dengan wajah Hinata. Membuat gadis berusia 10 tahun itu sedikit takut. Hinata mundur dua langkah menjauhi Naruto.
"Tahukah kau bahwa desa tempat kau tinggal adalah Desa para Magician."
"Desa para Magi…cian? Konoha adalah desa para Magician?"
"Ya." Naruto menganggukkan kepala "Magician adalah sebutan untuk Bangsa Magic. Sama dengan Ninja untuk Ninjutsu."
"Lalu kenapa-?!"
"Bukankah sudah jelas!" nada tinggi Hinata dipotong teriakan tegas Naruto "Bukankah sudah jelas Hyuuga Hinata, mereka mengetahui bahwa keluargamu adalah keluarga Ninja. Para Magician membenci para Ninja. Mereka berencana membunuhmu malam tadi."
"Eh?!"
Bukan hanya "Eh" di mulut. Tentu saja shock itu muncul di hati Hinata. Warga desanya yang baik ingin membunuhnya?
"Saat aku sedang dalam perjalanan menuju ke sini, aku mendapat kabar bahwa ayah dan ibumu telah tewas. Ayah-ibumu bukan meninggal dengan damai, mereka dibunuh. Tepatnya diracuni. Aku tahu kebiasaan para petani yang saling membantu dan makan bersama ketika jam istirahat bekerja. Mereka akan makan bersama di pondok mereka bersama petani yang membantu mereka. Boleh kutebak bahwa petani yang sering membantumu adalah suami istri Sarutobi?"
"Hi-Hiruzen-jiji dan Biwako-baa yang…yang membunuh ayah dan i-ibu? Ti-tidak mungkin…tidak-"
"Mereka sendiri yang menceritakannya kepadaku. Mereka adalah dua warga yang terakhir kubunuh. Rencana pembunuhan keluargamu dirancang oleh Shimura Danzo, pemimpin Gereja desamu. Hiruzen dan Biwako yang mempunyai kemampuan sosial tinggi menjadi ekskutornya. Mereka mengatakan sendiri kepadaku bahwa sup daging yang mereka makan bersama ayah dan ibumu sudah dicampur Ramuan pelemah antibodi yang menyerang sel T tubuh. Alhasilnya mereka tewas karena racun. Pemeriksaan dilakukan pihak desa bukan? Tentu saja hasil sebenarnya ditutupi mereka, kau tidak boleh tahu,"
"Tetapi kenapa mereka tidak membunuhku dari dulu jika mereka berencana membunuh keluarga Hyuuga?!"
Suara Hinata meninggi kembali. Penuh amarah dan kebimbangan.
"Sebelum ayahmu meninggal. Ia mengaktifkan Kekkai penjaga yang ada di tubuhmu untuk menjagamu dari serangan warga desa. Hebatnya, kekkai itu terhubung dengan fuin peledak di semua tubuh warga. Jika mereka menyerangmu dan mengganggu kekkai penjaga tersebut, maka fuin peledak di tubuh warga desa aka aktif lalu BANG…tubuh warga Konoha akan meledak. Ayahmu memang seorang Ninja yang hebat."
Hinata tidak dapat berkata apa-apa. Hatinya terlalu perih untuk mempercayai kebenaran ini. Senyuman ramah warga Desa Konoha adalah senyuman…munafik?
"Kekkai penjaga itu tidak aktif saat kau tidur. Namun ayahmu mempersiapkan jutsu yang membuatmu selalu bermimpi buruk. Hal tersebut yang membuat kau selalu terjaga saat awal-awal kematian ayah dan ibumu bukan?"
Hinata akui, kata-kata Naruto benar. Tiba-tiba sentakan muncul di kepalanya.
"Jadi, semalam saat aku bermimpi…bermimpi indah?"
Naruto menganggukkan kepala "Sarutobi Hiruzen menceritakan kepadaku bahwa masakan yang berikan kepadamu tiap malam berisi zat yang dapat membuat Jutsu Mimpi Buruk milik ayahmu melemah. Zat itu dapat mengganggu bagian Posterior Cortical Hot Zone pada otakmu. Malam itu adalah malam puncak di mana zat yang mengganggu Posterior Cortical Hot Zone-mu cukup untuk menekan Jutsu Mimpi Buruk dari ayahmu sehingga kau bermimpi indah…" mata Naruto menajam "…Dan kau terlelap dalam tidurmu."
Mereka akan membunuhku ketika aku berada dalam tidur…
Tidak mungkin. Hiruzen-jiji, Biwako-baa…Hinata jatuh terduduk kembali. Dia menutup wajahnya, kembali menangis ditemani suara decitan kayu yang semakin habis dilalap api. Naruto memandang iba gadis kecil tersebut. Dia berjalan mendekatinya lalu jongkok di depannya.
"Hyuuga Hinata, berapa usiamu sekarang?"
Beberapa detik Hinata tidak menjawab, lalu membuka wajahnya. Matanya terlihat sembab.
"Sepuluh tahun."
Naruto menghela napasnya.
"A-aku tidak punya siapa-siapa lagi. A-aku…"
Naruto memeluk gadis itu. Membuat Hinata terkaget-kaget dengan sikap Naruto.
"Aku berumur 16 tahun." Naruto menutup matanya dengan anggun "Dan kau masih mempunyaiku-ttebayo."
"Eh?"
Naruto teringat percakapannya dengan Hiruzen dan Biwako saat ia mencoba membunuh mereka subuh tadi.
-Alur kembali mundur, dengan kata lain Flashback-
"Jadi kau anggota Chasseurs yang diutus untuk membawa Hinata-chan dari Konoha." Hiruzen tiba-tiba tersenyum, jelas membuat Naruto kaget dengan senyuman kakek tua tersebut.
"Ya."
"Terima kasih sudah datang." Biwako menggenggam kedua tangannya "Sebenarnya kami berdua menunggu kedatanganmu anak muda."
"Eh? Apa maksud kalian berdua, oy Jiji?! Baa-baa?! Bisa jelaskan perkataan kalian!"
"Kami tidak sanggup menentang keputusan desa yang sudah bulat memutuskan untuk membunuh Hinata-chan. Tetapi kami berdua…kami berdua tidak menginginkannya. Dia sudah kami anggap cucu, cucu yang kami sayangi," air mata mulai muncul dari mata Biwako "Kami berdua adalah ekskutor dari rencana pembunuhan Keluarga Hyuuga. Kami berdua bersedia melakukannya karena hanya kami yang bisa membantu Hyuuga Hiashi menyelamatkan putrinya."
"Apa maksudnya…aku benar-benar tidak mengerti-ttebayo."
"Setelah mengetahui bahwa Keluarga Hyuuga adalah keluarga terakhir Ninja di dunia ini, secara rahasia semua warga desa melakukan rapat untuk menentukan tindakan Desa Konoha sebagai Desa para Magician terhadai keluarga Ninja yang ada di desa. Semuanya setuju untuk membunuh Keluarga Hyuuga. Kami setuju, tetapi tidak di hati kami. Satu-satunya cara untuk memberi tahu kepada Hiashi bahwa status bangsa keluarganya diketahui Konoha dan mencari cara menyelamatkan keluarganya adalah menjadi ekskutor, karena ekskutor langsung berinteraksi dengan keluarga Hyuuga," Hiruzen terdiam sejenak, kemudian melanjutkan kebenaran "Kami pun memberi tahu beliau dan istrinya. Saat kami ingin memberi bantuan kepada keluarga Hyuuga keluar dari desa ini, Hiashi menolaknya. Dia memilih mati bersama istrinya namun dapat menyelamatkan sang anak."
"Dan…? Kematian Hyuuga Hiasi dan istrinya merupakan rencana kalian bersama Hiashi?" tanya Naruto. Dia mulai mengerti kebenaran yang diungkap Hiruzen. Kakek tua itu menganggukkan kepala.
"Sebelum meninggal, Hiashi telah memasang Kekkai penjaga di tubuh anaknya, sekaligus penjaga kekkai itu sendiri yakni Jutsu Mimpi Buruk yang aktif ketika ia meninggal. Hiashi dan istrinya rela mengorbankan nyawa demi anaknya, juga demi kami. Jika kami diketahui membantu keluarga Ninja kabur, maka status kami akan di-Examination, atau dengan kata lain, kami keluar dari Bangsa Magic."
"Kalian akan dibunuh oleh warga Konoha juga…" Naruto melihat iba kedua orang tua itu. Mereka memasang tampang suram. Beban berat yang tidak patut ditanggung orang uzur seperti mereka.
"Malam ini sebenarnya dosis zat yang mengganggu Jutsu Mimpi Buruk Hiashi sudah sempurna, tetapi kami tidak melakukannya. Hinata-chan pasti masih bisa terjaga. Kami berusaha tetap menjalankan tugas kami sebagai ekskutor sekaligus melindungi Hinata-chan. Jadi…kedatanganmu yang ditunggu-tunggu merupakan penebusan dosa kami karena menuangkan racun kepada Hiashi dan istrinya."
"Bukankah mereka menginginkan hal tersebut-ttebayo?"
Biwako terisak "Kau benar, anak muda. Tetapi rasa bersalah ini masih bersarang di hatiku dan hati Hiruzen. Jadi mohon…satu saja permintaan kami sebelum kau membunuhku dan membunuh suamiku."
"Buat aku meminta maaf di depan Hinata-chan sebelum kunaimu menusuk leherku. Biarkan kata maafku hanya beberapa detik di dengar Hinata-chan dan Hinata-chan tidak perlu mencari tahu, apa arti dari permintaan maaf itu. Jika perlu, katakan kepadanya bahwa kami adalah ekskutor yang membunuh ayah dan ibunya, juga ekskutor yang ingin membunuhnya."
"Oi Jiji…bukankah itu berlebihan?! Kau adalah Magician yang baik-"
"Aku mohon kepadamu nak," Hiruzen menghidupkan cerutu besarnya. Naruto terkejut dengan sikap kakek tua tersebut "Izinkan aku menghisap cerutuku untuk terakhir kalinya…"
-Flashback End-
Kepulan asap yang menutupi wajah Hiruzen membuat Naruto kembali ke waktu yang sekarang. Pelukannya kepada Hinata semakin erat, seerat dia menutup rahasia Hiruzen dan Biwako dari Hinata.
'Maafkan aku gadis kecil,' Naruto dapat merasakan bahunya basah 'Setidaknya kau akan aman hingga sampai ke Vaexjoe.'
Bahu yang basah karena air mata seorang gadis ninja terakhir.
Naruto dan Hinata meninggalkan Desa Konoha yang hancur terlalap api. Mereka melaju di jalanan dengan motor jenis Road Bike berwarna hitam yang dikendarai Naruto. Motor itu membelah angin di jalanan yang lengang sambil ditemani siluet sunset yang indah dari balik pegunungan.
Hinata memeluk pinggang Naruto dengan erat. Hatinya masih terpukul dengan kebenaran yang Naruto ceritakan.
"Ayah…apa Hagormo dan Hamura tidak menyesal karena telah bertarung melawan ibunya. Bukankah mereka keluarga?"
Air mata itu terbang indah dari pipi Hinata, membentuk kilatan air yang ditimpa kilauan jingga cahaya sunset.
"Kadangkala hubungan keluarga bisa retak karena perbedaan, Hinata-chan. Namun ingatlah, bahwa orang yang tidak memiliki hubungan darah denganmu bisa menjadi orang yang kau percayai. Hubungan bisa terbentuk dari berbagai hal."
Hinata menutup matanya. Dia menahan tangisannya. Pelukannya di pinggang Naruto semakin erat. Anggota Chasseurs itu melirik sejenak ke belakang, kemudian kembali fokus ke depan.
The Last Ninja adalah seorang gadis yang memiliki satu harapan di hatinya. Walaupun perihnya kehidupan telah dirasakan sang gadis.
The Last Ninja 1, END
Author Note:
Terima kasih kepada Icha yang mau meminjamkan akunnya untuk mengupload karyaku ini. Semenjak membaca fic-fic Icha, terutama Love The Enemy, Naruto, You're Smart or Stupid dan MSB, aku telah jatuh cinta sama Pair NaruHina. Dengan segala permintaan kepada Icha untuk menjadikan akunnya sebagai pelepas dahaga imajinasiku tentang NaruHina, maka release-lah fic sederhana ini.
Cerita ini tidak terlepas dari fic-fic bertema Fantasy, juga fic-fic besar seperti To The End of The World dan karya Rifuki juga Galerian. Konsep chapter pertama terinspirasi dari Anime Kami-sama no Inai Nichiyoubi.
Oh ya, jadi fic ini menceritakan dunia pasca Kaguya disegel kedua anaknya. Namun karena kesalahan, bukan hanya Ninjutsu yang Kaguya wariskan kepada manusia, tetapi ada Magic dan Teknologi. Jadi ada tiga kemampuan yang dimiliki manusia di fic ini, yakni Ninjutsu, Magic dan Teknologi.
Ninjutsu, Magic dan Teknologi bisa dibilang kemampuan atau kekuatan manusia, ada 3 bangsa sesuai kemampuan yang mereka dapat dari warisan Kaguya.
-Ninja untuk bangsa yang menggunakan Ninjutsu
-Magician untuk bangsa yang menggunakan Magic
-Dan untuk bangsa Teknologi, nama bangsanya akan diungkap di Chapter 2.
Tujuan Naruto sendiri membawa Hinata menuju Vaexjoe (sebuah nama kota. Nama macam apa ini?!) dan melindunginya dari bahaya karena Hinata adalah The Last Ninja yang diburu.
Aku harap tujuan dari fic ini tersampaikan, jika ada yang kebingungan tanya saja lewat Review atau PM. Oh ya, aku tidak mengharapkan review tetapi alangkah baiknya memberikan saran jika ada sesuatu yang kurang dari fic ini.
Fic ini akan update tiap hari Senin/Selasa. Yah…ficnya tidak akan berpuluh-puluh chapter seperti fic Icha lainnya, aku targetkan 20 chapter akan selesai.
Sebelum aku tutup, di bawah ini ada Glosarium sedikit tentang beberapa kata di fic ini yang perlu dijelaskan, jadi…selamat membaca dan bye bye…
Ttd. Michi
Glosarium
Vaexjoe. Kota asal Naruto. Di kehidupan nyata, nama kota ini memang ada. Kota ini adalah kota dari Negara Swedia. Kotanya indah, dikelilingi danau-danau dan dijuluki "The Green City" atau kota hijau karena masih asri dengan hutannya.
Chasseurs. Nama kelompok tempat Naruto bekerja, juga yang mengutus Naruto untuk menjemput dan menjaga Hinata. Katanya diambil dari bahasa perancis yang artinya "Pemburu".
Examination. Orang-orang yang dikeluarkan dari bangsanya karena pengkhianatan maupun kesalahan besar. Jika Hiruzen dan Biwako ketahuan membantu keluarga Hyuuga, maka mereka akan di-Examination dan boleh dibunuh bangsanya sendiri. Penjelasan akan lengkap di chapter 2.
Road Bike. Jenis motor yang menemani Naruto dan Hinata dalam perjalanan. Bayangkan saja Naruto dan Hinata menaiki Yamaha Vixion, karena Yamaha Vixion adalah tipe motor berjenis Road Bike.
Posterior Cortical Hot Zone. Bagian belakang otak yang diteliti sebagai pengatur mimpi manusia ketika tidur dengan cara memancarkan panas di bagian sana.
Sel T. Sel imun pada tubuh. Tolong buka Buku Biologinya ^-^
Next: The Last Ninja 2
"Naruto-kun, k-kau tahu soal Aleppo?" /"Bi-bisa kau ceritakan?"/"Hmm…bagaimana ya? Aleppo adalah kota yang indah. Tetapi rata-rata bangunan rumahnya berbentuk kotak. Sungguh unik dan lucu. Di sana kau akan banyak menemukan buah Kurma."/ "Satu hal yang penting tentang Aleppo. Itu adalah Kota yang semua penduduk aslinya adalah Orang-Orang Examination."