A/N:

Dibuat dalam kondisi hati sedang sangat buruk, saya sendiri merasa part ini gaje.

Terima flame dengan senang hati!


Disclaimer:

Naruto dan segala karakter yang saya pinjam di fic ini adalah milik Masashi Kishimoto

Cerita ini milik saya


WARNING!

Konten dewasa!

Tidak ada nilai moral yang bisa Anda ambil dari fic ini kecuali Anda telah dewasa dan mampu berpikir jernih!

Tapi suka suka Anda lah ya kalau mau membaca hehehe ...


ForgetMeNot09

presents

.

.

.

ENDLESS LUST

.

.

.


Part 6

Hari ini Hinata terlihat sibuk di dalam kamar. Di depannya sebuah laptop sedang ia cermati. Layarnya menampilkan beberapa tab sekaligus. Ada laporan-laporan kriminal yang baru saja dikirim oleh Neji, ada halaman-halaman situs internet tentang informasi yang ia butuhkan dan ada beberapa tab yang diminimalkan berupa foto-foto yang ia butuhkan untuk bekerja.

Di bawah, dekat tempat dirinya duduk, Hinami terlihat asik bermain-main. Herannya meski perempuan, anak itu lebih suka bermain mobil-mobilan. Lihat saja, beberapa takara tomi berserakan di sekitarnya. Kadang saat sedang memperhatikan Hinami, Hinata berpikir, menurun dari siapa sifat itu. Padahal jelas sekali Hinata adalah tipe wanita yang feminin sejak lahir. Berbeda dengan Hanabi yang memang punya sifat tomboi. Masa iya Hinami itu hasil selingkuhan Sasuke dengan Hanabi? Hinata selalu berpikir konyol kemudian menertawakannya. Mana mungkin, dia yang hamil dan dia pula yang melahirkan Hinami.

"Mama."

Suara cempreng khas anak kecil membuat Hinata mengalihkan pikirannya sejenak. Ia melihat Hinami meringis dan memasang tampang seolah kesakitan. Dengan sigap ibu muda itu menghampiri sang anak. Baginya, Hinami adalah segalanya. Jadi, tidak akan ada hal lain yang bisa membuat Hinata mengabaikan Hinami.

"Ada apa, Sayang?"

Hinami memegang perut di balik rok birunya.

"Perut Hinami sakit."

"Hmm? Sepertinya kita harus ke dokter," jawab Hinata lembut.

Ia mengusap perut Hinami dan tersenyum.

"Nanti disuntik?"

Tertawa, Hinata menggelengkan kepala, "Tidak kok, hanya diperiksa dan minum obat rasa jeruk," lanjutnya.

"Mama janji?"

"Janji apa?"

"Tidak akan disuntik?"

Hinata tersenyum. Ia tarik tangan kecil Hinami dan mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking kecil Hinami.

"Janji," tegasnya sembari harap-harap cemas dalam hati.

Semoga saja sakit Hinami bukan sebab penyakit yang membutuhkan pengobatan suntik. Ia tak tahu harus bagaimana jika sang anak mengetahuinya melanggar janji.

Setelah merapikan barang-barangnya, Hinata memasukkannya dalam tas ransel. Kemudian ia menggandeng Hinami keluar.

Hinata melirik jam di pergelangan tangan. Tinggal lima belas menit dari waktu yang dijanjikan orang itu untuk bertemu dengannya. Ada rasa enggan, ada rasa malas, ia tak ingin datang. Namun, sebersit rasa penasaran membuatnya membulatkan tekad untuk menemui orang itu.

Di sisi lain lagi, Hinami saat ini butuh dokter. Tidak mungkin Hinata bertemu dulu dengan orang itu dan membuat Hinami kesakitan sepanjang waktu. Akhirnya, dengan sedikit menyepelekan, ia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit terlebih dahulu.

Rumah Sakit Osaka tak jauh dari Umeda, hanya sekitar 9 km. Jika beruntung, atau justru sial, ia bisa langsung menuju Umeda setelah selesai memeriksakan Hinami.

Hinami?

Ya Tuhan, masa ia mau membawa Hinami menemui orang itu? Hinata bergeleng-geleng dengan pikirannya. Tidak, ia tidak mau Hinami bertemu dengan orang itu. Atau lebih baik ia tidak usah datang saja?

Drrrttt ... Drrrttt ...

Getaran ponsel di dalam tas menyentaknya. Terburu-buru ia meraih ponsel dan mengangkat panggilan dari sebuah nomor yang rasanya tak asing.

"Halo," sapanya.

"Jangan pernah berpikir sekali pun untuk tidak datang, Hinata."

"Tsk! Dan siapa kau berani mengancamku?"

"Hmm? Kau tahu siapa aku, dan kau tahu apa yang bisa aku perbuat."

Detik itu juga Hinata mematikan telepon. Ia geram, rasanya ingin mencabik-cabik orang itu jika bertemu. Benarkah? Lantas mengapa jantungnya sekarang berdebar tak menentu? Layaknya tabuh genderang yang bertalu?

Sepuluh menit perjalanan dengan kereta, Hinata sampai di stasiun Osaka. Terpaksa ia menggendong Hinami dan berjalan cepat. Suara mengaduh dari bibir kecil sang anak membuat Hinata panik.

"Sabar ya Sayang, sebentar lagi kita sampai," hiburnya.

Beruntung saat ini ia hanya memakai flatshoes, pakaian yang ia kenakan pun cukup kasual. Hinata berlari semampu ia lakukan hingga akhirnya sampai di rumah sakit.

Cukup lama Hinata menunggu giliran. Ia berkali-kali melihat ke jam di pergelangan tangan. Menanti dengan gelisah, sembari mengelus kepala Hinami.

"Hyuuga Hinami."

Panggilan seseorang mengagetkannya. Hinata pun masuk ke ruang dokter.

"Selamat pagi, silakan masuk."

Hinata takjub memandang dokter cantik yang sepertinya sebaya dengan dirinya. Iris mata emerald yang menatap teduh, rambut merah muda yang membingkai kulit wajah yang putih berseri. Dokter itu pula tersenyum menatap Hinami.

"Kenapa, Sayang?"

Dari tanda nama yang menempel di jas putih sang dokter, Hinata tahu nama wanita itu adalah Sakura. Entah mengapa saat mengeja, Hinata merasa jantungnya berdegup kencang.

"Perutnya sakit katanya. Sudah dua hari ini, tetapi kemarin dia menolak untuk dibawa ke sini," jawab Hinata.

Emerald Sakura balik menatap Hinata. Bagai ada sengatan saat pasang iris berbeda warna itu bersirobok. Lalu Sakura mengalihkan pandangan kembali pada Hinami. Wanita itu menatap takjub pada permata kelam yang memandang tajam.

"Kau mengingatkanku pada seseorang," tukasnya.

Hinata tersenyum saat Sakura mengacak-acak rambut gelap Hinami. Ia duduk menunggu sementara Sakura memeriksa keadaan Hinami.

"Dokter sepertinya sedang sedih."

Hinata menutup mulutnya spontan. Ia merasa malu karena sudah mengatakan hal yang mungkin bisa menimbulkan kesalahpahaman. Nyatanya Sakura hanya sejenak terkejut, selanjutnya ia tertawa.

Hinata terpaku. Wanita di hadapannya ini benar-benar anggun. Ia melihat bagaimana Sakura menyelipkan rambut merah mudanya ke belakang telinga.

"Manis," lirihnya.

Sakura tersenyum meski tidak menatap Hinata, "Apa Anda seorang psikolog?"

Hinata menggeleng. Mereka lantas terlibat perbincangan dengan mengabaikan keberadaan Hinami yang kian bosan. Ya, anak kecil pasti akan cepat merasa bosan, terlebih berada di ruangan yang monoton seperti ini.

"Bukan, hanya kebetulan medapatkan anugerah dari Kami-sama untuk bisa membaca air muka seseorang."

Ia mendengar Sakura tertawa. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa yang seolah menyimpan kesedihan di dalamnya.

Dan ametis Hinata membelalak, ia sangka melihat titik bening di sudut mata Sakura.

"Maaf," ucapnya yang semakin membuat Sakura tertawa.

"Bahkan kau bisa melihat sesuatu yang orang lain tak mampu," Sakura menatap lurus pada Hinata, "ya, sepertinya kau benar Nyonya Hyuuga. Aku memang menyedihkan," lanjutnya.

"Bukan menyedihkan, hanya terlihat sedih."

Sakura meminta Hinami untuk merebahkan badan. Tangannya menepuk-nepuk pelan perut bocah itu.

"Aku hanya sedang tidak beruntung, beberapa hari ini suamiku bertingkah aneh."

Dan lantas Sakura menutup mulutnya. Ia mendelik kaget pada ucapannya sendiri.

"Tidak apa-apa, lanjutkan saja jika kau berkenan, Dokter. Kebetulan aku pernah punya pengalaman yang serupa."

Sakura bingung. Ia melirik Hinata dan Hinami bergantian, "Maksudnya?"

Terdengar desahan napas kasar.

"Kau tahu maksudku, Dokter."

Sakura pun mulai bercerita meski dihinggapi keraguan. Siapa Hinata, wanita yang baru saja dikenalnya, tetapi mampu membuat dirinya membuka diri sedemikian?

Tanpa sadar, seiring denting jam bergerak, Sakura menghabiskan waktu untuk membagi cerita. Selaras dengan rintik hujan di luar sana, air mata membasahi pipi Sakura. Dalam waktu itu, baik Sakura maupun Hinata sama-sama lupa bahwa ada seorang bocah yang mendengarkan dengan heran, apa yang sedang mereka lakukan.

...

"Aku tidak akan lama, Tenten-san."

Wanita berambut cokelat itu mengangguk.

"Lama pun tak masalah. Sudah lama aku tidak bermain bersama Hinami."

Hinata berpamitan setelah mencium pipi sang anak. Tujuannya saat ini tentu saja tempat ia dipaksa menepati janji oleh seseorang untuk bertemu. Sebenarnya wanita itu merasa enggan, tetapi ancaman yang dilontarkan laki-laki itu bukanlah sesuatu yang bisa disepelekan.

Hinata berjalan tergesa. Beberapa kali layar ponsel menyala, menandakan ada pesan masuk, ia tak acuhkan. Semakin cepat ia bertemu dengan orang itu, semakin cepat pula urusan beres. Dan setelah itu Hinata tidak ingin lagi ada urusan di antara mereka.

"Rasanya tidak mungkin," gumamnya.

Pipi gembil itu merona merah, tampak semakin merah tertimpa gerimis. Telapak kakinya mulai kebas, ia lelah dan ingin beristirahat. Namun kembali ia mengelak. Sekarang bukan saatnya. Mungkin nanti setelah semuanya beres barulah dia bisa beristirahat.

Matanya menyusuri deretan pertokoan di Nipponbashi. Banyak toko dan kedai berjajar di sana. Berbagai macam barang dipajang. Bentuk dan ragamnya mengundang rasa penasaran dan keinginan untuk memiliki. Kawasan ini memang termasuk salah satu kawasan pertokoan terbesar di Jepang.

Hinata mempercepat langkahnya. Sebuah restoran ramen sederhana berdiri di ujung kawasan ini. Tak ada yang istimewa pun desain tempatnya yang sederhana. Namun orang tahu, Ichiraku adalah tempat makan ramen terenak di seluruh penjuru Osaka. Harga yang terbilang murah juga menjadi salah satu faktor mengapa restoran ini seolah tak pernah lengang.

Hinata memilih tempat di ujung dan memutuskan untuk menunggu. Ia menolak memesan saat pelayan menghampirinya. Mengeluarkan ponsel dari tas, Hinata mulai membuka aplikasi pesan teks. Ia tatap satu per satu pesan yang belum terbaca, yang ternyata dikirim oleh orang yang sama. Dahinya berkerut. Bibirnya begetar saat matanya menyusur tiap baris kalimat yang terpampang pada layar.

Terlampau serius hingga ia tidak menyadari kedatangan seseorang yang langsung duduk di hadapannya.

"Ehem."

Deheman keras itulah yang membuatnya mendongak. Dan Hinata memasang wajah masam, tak suka akan kehadiran orang itu di sini.

"Apa maumu?"

Ketus, kasar, ia tak peduli. Ia tak lagi menaruh hormat pada sosok yang pernah dipujanya beberapa tahun lalu.

"Kasar sekali. Begitukah kau menyapa suamimu?"

"Mantan," tegas Hinata.

Sasuke terkekeh geli. Ia memajukan badan, meletakkan sepasang sikunya pada meja dan menumpukan dagu pada tangannya. Iris gelapnya menajam, seakan hendak menelan ametis Hinata.

"Apa?"

Rona merah yang mulai menjalari pipinya, membuat Hinata terpaksa menampar pipinya sendiri. Ia mengalihkan pandangannya ke ponsel.

Situasi ini terhenti saat seorang pelayan memberikan buku menu dan meletakkan dua gelas air putih di atas meja.

"Apa kabar?"

Hinata hampir tersedak ludahnya sendiri saat mendengar pertanyaan Sasuke. Ia menjawab tak acuh, "Baik," tanpa mengalihkan matanya.

Kemudian tatapannya memincing, menatap layar ponsel. Ia terdera bingung, pikirannya terpecah antara si pengirim pesan, dengan laki-laki yang baru saja menanyakan kabarnya. Sungguh ia tidak mampu berkonsentrasi.

"Mana anakku?"

Bagai ada petir di siang bolong, pertanyaan itu benar-benar membuat Hinata gerah dan seakan hendak meledak. Ia mendongak dan membulatkan mata ametisnya.

"Anak siapa?"

"Anakku, Hinami."

Hinata mendengus. Ia banting buku menu di atas meja. Merasa tenggorokannya kering, ia menyambar gelas di meja dan meminum airnya hingga habis.

"Kita sudah bercerai, Tuan. Jadi jangan seenaknya menganggap kau masih suamiku, dan Hinami adalah anakmu."

Ekspresi Sasuke sama sekali tidak berubah. Pria itu terlihat serius.

"Kita memang sudah bercerai, Hinata. Namun itu tidak menutup kemungkinan bagi kita untuk menikah kembali bukan?"

Hinata mendelik.

"Dan Hinami tetap anakku. Hubungan darah tidak bisa kau hapus dengan cara apa pun."

Hinata berdiri dengan cepat, inginnya meninggalkan tempat ini. Namun sayang, Sasuke bukanlah tipe pria yang mau mengalah.

"Jangan pergi," lirih Sasuke

Hinata berhenti tepat di samping Sasuke. Ia bergeming. Suasana mendadak hening. Hinata mengepalkan tangannya dan memejamkan mata.

Kenapa?

Kenapa ia selalu lemah pada laki-laki ini?

Laki-laki yang bahkan telah mencampakkannya demi ego pribadi?

Seharusnya saat ini ia terus berjalan dan pulang menjemput Hinami, atau bahkan pergi ke tempat lain. Bukannya diam berdiri seakan-akan menunggu harapan Sasuke mengatakan sesuatu yang bisa mengubah pendiriannya. Yang mampu membelokkan hatinya kembali.

"Maafkan aku, Sasuke," ucapnya.

Hinata melepaskan tangan dari genggaman Sasuke. Namun hanya selangkah ia pergi sebelum tubuhnya limbung dan ia terjatuh ...

Terjatuh tepat di pelukan Sasuke.

"Tepat waktu."

Sasuke menyeringai tipis, mata hitamnya melirik segelas air putih yang baru saja diminum oleh Hinata.

...

Suasana kamar itu tak ubahnya seperti kapal pecah. Pakaian berserakan di mana-mana, entah kotor atau bersih. Piring bekas makanan semalam juga dibiarkan saja, beberapa bahkan dikerumuni kawanan semut.

Sementara di atas ranjang, seorang pria duduk bermalas-malasan. Selain karena udara dan hawa yang dingin menusuk tulang, ia memang sedang tidak punya mood untuk melakukan apa pun. Matanya sayu, dikelilingi lingkar hitam yang tebal, pertanda ia tak bisa tidur dalam malam-malam belakangan.

Satu hal yang tak berubah sejak perbincangannya dengan Kiba, adalah ponsel yang tak pernah lepas dari genggamannya. Naruto menatap bolak balik ponsel itu, berharap mendapatkan balas atas pesan teks yang ia kirimkan hari lalu. Namun sepertinya takdir belum berpihak padanya. Tak ada satu pun balasan yang ia terima.

"Apakah ia masih takut denganku? Padahal aku sudah menyusun kata sesopan mungkin," racaunya.

Entah kenapa, mendadak ego pria itu terkalahkan oleh rasa penasaran yang membuncah. Sedikit rasa terima kasih kepada Kiba, sebab pria itulah yang menyadarkannya.

"Setidaknya aku harus mendapatkan jawaban tentang keanehan sikapku. Jika setelah itu dia tidak mau tahu lagi, aku tidak peduli."

Naruto bangkit dari ranjang dan memakai pakaiannya asal-asalan. Hanya selembar kaus oblong dan celana jeans hitam. Tak lupa jaket jingga dengan tudung yang menutupi hampir seluruh kepalanya.

Dengan tergesa ia meninggalkan rumah. Setelah memastikan keadaan jalanan sepi, ia mulai melangkah. Sengaja ia berjalan kaki, berkilo-kilo rela ia tempuh demi menghindari angkutan umum. Alasannya tentu sederhana, ia ingin meminimalisir kontak dengan orang lain yang bisa mengancam kerahasiaannya kapan pun.

Pria itu mengikuti insting. Meski tahu jika yang ia lakukan ini beresiko berakhir konyol, Naruto tak acuh. Yang penting, ia memercayai nalurinya. Waktu setengah hari ia habiskan untuk berjalan hingga sampai di kota. Sesekali saja ia mendongak untuk memastikan bahwa ia melewati jalan yang menurutnya benar. Hingga kaki membawanya menyusuri deretan pertokoan yang menjual aneka figur anime. Sempat mata safir itu terhenti, menatap penuh rasa penasaran pada sosok remaja yang berkerumun di toko tersebut. Apa sih bagusnya figur-figur itu? Bergerak pun tidak bisa. Tidak seperti robot keluaran terbaru yang bisa digerakkan hanya dengan menekan dan memutar tombol remote control.

Ia tertawa, menertawakan kebodohan remaja-remaja itu. Lalu pandangannya beralih ke sudut jalan. Di mana sepasang remaja berseifuku tengah bercumbu mesra. Naruto menggelengkan kepala.

Puk

Ia menepuk punggung si remaja laki-laki hingga nyaris jatuh menimpa kekasihnya. Naruto tertawa saat remaja itu mengumpat. Lantas mengacungkan jari tengahnya, "Cari tempat yang sepi, Bajingan cilik," ujarnya di tengah tawa.

Tiba di depan sebuah restoran, perutnya mendadak berbunyi. Wajar saja, sejak pagi tadi ia belum menelan sekeping pun makanan. Hanya air putih yang memenuhi lambungnya saat ini, dan asam lambung tentu saja.

Naruto mendesah kasar. Ia mendongak, membaca papan nama restoran saja sudah membuat nyalinya menciut. Pasti hanya orang-orang kaya yang makan makanan dari tempat semewah ini. Lagipula di sana pasti tidak ada ramen.

Naruto mengabaikan teriakan lapar perutnya dan lanjut berjalan. Sampai sekepul uap panas menyambangi hidungnya. Ia memejam, terpaku pada wangi makanan ini. Makanan kesukaannya.

"Ramen," teriaknya tertahan.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang teralih perhatian sebab kelakuan anehnya baru saja. Setelah meyakinkan diri, Naruto masuk ke kedai tersebut. ia sengaja memilih bangku tengah, sebab bangku ujung dan tepi selalu menjadi pusat perhatian bagi pengunjung pun orang yang sekadar berlalu lalang.

Hanya butuh waktu sepuluh menit, seporsi ramen jumbo telah tersedia di mejanya. Naruto tersenyum sembari mengelus perutnya, "Kau akan kenyang sebentar lagi."

Lantas netra safirnya membola, tepat ketika sendok ramen menyentuh bibir kasarnya.

"Dia ..."

Ia meletakkan sendok itu kembali ke mangkuk, berdiri berniat menghampiri. Sebelum niat itu gagal sebab ada pria lain yang mendekati wanita itu. Seorang pria tampan dengan rambut hitam kelam. Naruto mengerutkan dahi, berpikir tentang kemungkinan siapa laki-laki itu.

Melihat keduanya bercakap-cakap, seakan ada sesuatu yang membuat dadanya sesak. Ya, meskipun di sana, sang wanita tampak tak acuh bahkan tidak suka dengan keberadaan pria itu. Dikuasai rasa penasaran, Naruto menggeser duduknya. Inginnya berpindah ke kursi lain yang lebih dekat, apa daya kursi itu telah ditempati. Sehingga inilah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan.

Ia tidak bisa mendengar jelas dari sini. Meskipun telinganya cukup tajam, dalam keadaan lapar seperti ini ia bisa kehilangan sensitivitasnya. Yang ia tangkap hanya ketika pria itu mengatakan "suami".

Deg

Ada perasaan tidak suka saat ia mendengarnya. Apa benar pria itu suami wanita itu? Menghadapi kenyataan bahwa wanita itu telah bersuami, membuat Naruto meradang.

"Sialan! Apa yang aku pikirkan? Tentu saja dia telah bersuami, jelas-jelas dia cukup berpengalaman saat kami melakukan seks," teriak sebuah suara yang Naruto kenali sebagai suaranya sendiri.

Namun ekspresi marah wanita itu menunjukkan bahwa hubungan mereka tidak baik-baik saja saat ini.

Mata biru Naruto berkilat marah tatkala ia melihat sang pria tengah melakukan sesuatu pada minuman Hinata, saat Hinata lengah. Pikirannya berprasangka, sesuatu yang buruk tengah terjadi. Naruto enggan bergerak, sebab ia tidak yakin apakah yang ia lihat sama dengan yang ia sangkakan. Terlebih, bertindak ceroboh hanya akan merugikan dirinya sendiri yang masih berstatus buronan.

Naruto melihat Hinata yang berdiri dan akan pergi, lalu terhenti sebelum terjatuh di pelukan pria itu.

"Sialan! Ini pasti pengaruh minuman itu," rutuknya.

Entah mendapat firasat dan keberanian dari mana, Naruto mengikuti langkah pria yang sedang menggendong Hinata. Ia tetap menjaga jarak agar tidak ada yang curiga dengan apa yang ia lakukan. Namun cukup untuk mendengar pria itu berkata pada pelayan.

"Istriku sepertinya kelelahan, aku akan membawanya pulang."

Dan pelayan itu hanya tersenyum.

Naruto terus mengikuti hingga pria itu memasukkan Hinata ke dalam mobil dan ia pun melajukan mobil itu.

Tanpa pikir panjang, Naruto menyetop sebuah taksi dan memintanya mengikuti mobil itu.

Dalam hati ia mengucap doa atas tindakan cerobohnya, "Semoga aku selamat."

...

Seberkas cahaya matahari yang masuk di sela tirai penutup jendela kamar, membangunkannya. Ia tertegun sejenak, matanya mengedarkan pandangan demi menemukan informasi di mana dirinya berada saat ini. Tertegun dan terdiam, yang mampu ia lakukan. Tempat ini cukup ia kenal, dulu. Jauh beberapa tahun silam, saat ia masih menjadi seorang Uchiha.

Uchiha?

"Sialan!"

Ia berteriak dan sontak bangun terduduk. Namun pandangannya nyalang menyadari kondisi tubuhnya yang polos dan hanya berbalut selimut putih tebal. Ia mengintip ke dalam.

"Aku sudah tidak perawan!"

Pikirannya masih belum sepenuhnya terkumpul.

"Ah aku memang sudah tidak perawan, dasar bodoh! Lalu mengapa aku bisa ada di sini?"

Kepalanya terasa sakit ketika ia berusaha mengingat apa yang terjadi. Hingga semua memori terkumpul dan ia disadarkan pada kenyataan yang menyakitkan.

Air matanya meleleh. Dadanya terasa sesak. Semua menyakitkan. Apa lagi ini? Apa lagi yang menimpanya kini?

Ia menangis dalam gugu. Bahunya bergetar menahan segala emosi yang beradu. Antara marah dan sedih karena merasa ia tak mampu berbuat apa-apa. Sampai sebuah suara yang teramat tidak ingin ia dengar, justru menyapanya.

"Sudah bangun?"

Hinata masih terdiam. Ia terlalu larut dalam tangisannya.

"Apa yang kau inginkan?"

Ia bertanya meski hatinya tak pernah mengharapkan jawaban. Sebab apa pun yang keluar dari bibir pria ini pasti akan menyakitinya.

"Apa maksudmu, Sayang?"

Sasuke bergerak naik ke ranjang, dipeluknya Hinata yang masih menangis. Tentu Hinata menolak, ia mendorong tubuh laki-laki itu. Namun sayang, ia kalah kuat. Sasuke memaksanya untuk tinggal dalam dekapan.

"Katakan apa maumu?"

"Apa aku tidak boleh menggauli istriku sendiri?"

"Mantan, Sasuke! Kau lupa kita sudah bercerai?"

Sasuke tersenyum, diusapnya rambut indigo Hinata dengan lembut.

"Kita akan segera rujuk."

Hinata mendorong tubuh Sasuke. Wanita itu menatap tajam pada sang pria, menuntut sebuah penjelasan.

"Setelah kau mencampakkanku bertahun-tahun? Dan kini kau memintaku kembali? Untuk apa?"

"Kau lupa yang kita lakukan semalam? Itu benar-benar panas," bisik Sasuke parau.

"Aku tak sadarkan diri, Sasuke, jangan menipuku!"

Sasuke berdiri, ia berjalan mendekati meja rias dan mengambil sebuah amplop cokelat besar darinya. Kemudian melemparkannya kepada Hinata.

"Tanda tangani itu!"

Hinata mendecih. Melirik pada amplop itu pun tidak. Ia berdiri dan mengumpulkan pakaiannya.

"Aku mau pulang."

Sasuke tertawa.

"Tanda tangani itu, atau Hiashi-san akan menemukan kenyataan bahwa putrinya telah berkhianat, bercinta dengan mantan suaminya sendiri."

Hinata membelalakkan mata melihat Sasuke mengacungkan sebuah kepingan CD.

.

.

.

TBC