A/N:

Sebuah entry untuk NHDD tahun ke 7

Murni buah pikiran liar dan hati saya yang sedang tertekan

Silakan jika ada typo atau kesalahan apa pun untuk dikritisi


Disclaimer:

Naruto dan segala karakter yang saya pinjam di fic ini adalah milik Masashi Kishimoto

Cerita ini milik saya


WARNING!

Khusus DEWASA!

Mohon pengertiannya untuk yang merasa masih anak-anak, atau remaja belum cukup umur, atau orang dewasa yang memiliki hasrat tinggi dan belum memiliki penyaluran yang halal, JUST STAY AWAY FROM HERE!

Tidak ada nilai moral yang bisa Anda ambil dari fic ini kecuali Anda telah dewasa dan mampu berpikir jernih!

Jika tidak, saya harus ikut menanggung dosa Anda membaca.


ForgetMeNot09

presents

.

.

.

ENDLESS LUST

(Twoshots)

.

.

.


Part 1

Ia menghentaknya. Terus menderma tenaga yang luar biasa kuat. Tak peduli sama sekali tangisan kesakitan dari gadis yang tak berdaya terhimpit antara kasarnya lapis kayu meja dengan tubuh kekarnya. Tak peduli sama sekali akan napasnya yang seolah berada di ujung sekarat. Ia terengah-engah, ia tersengal-sengal. Tapi sama sekali ia tak acuh. Dorongan demi dorongan ia berikan, hunjaman demi hunjaman ia lepaskan. Gurat lelah tak sedikit pun tampak pada wajahnya. Justru seringai penuh kemenangan mematri, seakan ia terpuaskan akan segala nikmat dari apa yang tengah ia lakukan.

"Ku ... mohon ... hen ...aaahhhhmmpp."

Rintihan gadis malang itu tak ia dengar sama sekali. Atau mungkin telinganya mendengar tetapi tidak pada hatinya. Ia bahkan dengan kejam menyumpal bibir mungil itu dengan bibir kasarnya. Memagutnya penuh intimidasi. Mengisap dengan kekuatan yang tersisa, bahkan menggigitnya. Tak terpuaskan sampai di sini, ia lesakkan lidahnya memasuki rongga mulut sang gadis. Menyusur tiap bentuk gigi gadis itu, seakan ingin menyisakan jejak lidahnya pada tiap kerat barisan tulang putih itu.

"Ahhm ... ahhm ...."

Ia mendengarnya. Tapi sama sekali kehilangan kesadaran, bertanya-bertanya dalam hati, siapakah pemilik desahan teredam itu? Gadis itu? Rasanya tidak mungkin, karena ia tengah menangis kesakitan dalam bungkamannya. Dia sendiri? Rasanya mustahil. Ia tak pernah merasa lemah, selemah ini hingga mampu menimbulkan suara sebagai efek kenikmatan luar biasa yang terima.

Detik demi detik berlalu. Hanya lirih isakan beradu dengan erang penuh kepuasan bergema di ruangan yang gelap itu. Hingga pada suatu sangkala, ia menyerah. Pada apa yang disebut puncak kenikmatan.

"Aaahhhh ..."

Lepas, ia mengulur lepas, setiap beban yang ada pada dirinya. Bersamaan dengan cairan hangat yang mengalir dari ujung organ vitalnya.

Tak ada lagi seringai, hanya tatap sayu dan mengantuk. Meski ia akui ini luar biasa, tetapi hatinya tak munafik. Ia merasakan ada yang kurang dari semua ini. Ia merasakan ada yang salah dari semua ini.

Penuh kekuatan baru ia bangkit. Merapikan kembali pakaiannya yang separuh terbuka dengan mengabaikan keringat yang bisa saja membuatnya terlihat kusut. Pun rambut kuningnya yang telah memanjang kini tergerai tak keruan.

"Aku pergi, terima kasih."

Seperti biasa. Meski berlaku kurang ajar, ia tak pernah melupakan ajaran mendiang kakeknya, untuk selalu mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang telah memberikan keuntungan baginya.

Menyambar tas kerjanya di sudut ruangan kemudian berlalu pergi.

"Ja-jahat ..."

Sayup-sayup ia dengar rintihan penuh kebencian dari bibir gadis itu. Ia tak acuh. Baginya satu kebutuhannya telah tertunaikan hari ini.

Ya.

Hasratnya yang selalu tinggi akan kepuasan seksual.

.

.

Ia tidak mengerti, sudah ke sekian kali ia menolak tetapi tetap saja para laki-laki dewasa itu merayunya. Sungguh tak tahu malu. Bahkan atasannya sendiri sering mendatangi ruangan tempat ia bekerja hanya untuk merayunya, atau sedikit mengeluarkan ancaman untuk membujuknya. Apa tujuan mereka? Tentu saja hanya satu, dan ia tahu pasti apa yang mereka inginkan.

'My body,' gumamnya dalam hati.

Tak ia pungkiri, ia memang memiliki tubuh yang indah. Segala bentuk dari ujung rambut hingga ujung kaki, kesempurnaan ada pada dirinya. Seringkali ia menjadi bahan kedengkian atau iri hati bagi teman-teman wanita di kantor tempatnya bekerja. Bisik-bisik tak mengenakkan, atau bahkan gosip-gosip murahan tentang dirinya yang lacur, silih berganti melewati telinganya.

Ia tak peduli, sudah terlampau biasa menghadapi hal seperti ini. Dahulu saat ia masih mengenyam bangku pendidikan, sering berbagai pelonco ia terima dari kakak kelas yang merasa iri akan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya. Padahal saat itu ia masih pemalu. Ia bahkan sengaja memakai seragam yang kebesaran demi menutup lekuk tubuhnya yang memang sangat indah, tetapi membuat dirinya tidak mampu percaya diri. Alasannya? Klasik.

Hanya karena salah seorang siswa senior di sekolah itu, yang kebetulan digandrungi oleh kaum hawa di sekolahnya, menyatakan cinta padanya. Terang saja ia menjadi sasaran bully-an para gadis kesetanan itu.

Namun, seiring waktu berlalu, ia tumbuh menjadi wanita yang percaya diri. Ia menyadari tak ada yang salah dengan tubuhnya. Ia justru mensyukuri anugerah Tuhan tersebut. Ia tak lagi mau memakai pakaian yang terlalu kedodoran. Semakin ia bertambah usia, semakin matang pemikirannya. Ia kini merasa bebas dengan apa yang dimiliki. Ia kini tak peduli tentang perkataan orang tentang dirinya yang disebut jalang. Ia memakai pakaian apa pun yang ia inginkan. Tak ada lagi yang mampu melarangnya dalam hal ini.

Dengan balutan pakaian kerja yang membentuk jelas lekuk tubuhnya dan menampilkan jenjang kakinya, ia merasa tak ada yang salah. Ketika lontaran demi lontaran kotor ia terima, ia diam kemudian berlalu.

Bagi dirinya selama ia menjaga dengan baik apa yang menjadi prinsipnya, apa yang ia anggap benar, maka ia tak lagi peduli apa yang ada dalam pikiran orang lain.

"Jadi Hinata-san, bagaimana dengan tawaranku?"

Wanita itu tersentak dari lamunan panjangnya. Bola mata ametisnya melirik dingin pada sosok laki-laki berambut kuning panjang yang tengah menatapnya penuh intensi.

Hinata tersenyum tanpa ekspresi.

"Sudah saya katakan berapa kali Deidara-san. Saya menolaknya."

"Sayang sekali, padahal saya berencana membicarakan perihal kenaikan jabatan untukmu."

Hinata mendengus dalam hati tetapi tatapannya seolah tak peduli.

"Saya tidak butuh naik jabatan secepat itu, Deidara-san. Cukup saya bekerja dengan normal, pekerjaan saya beres, dan Anda memberikan apa yang menjadi hak saya dengan semestinya termasuk jika itu saatnya saya naik jabatan."

Lugas. Tepat pada sasaran. Itulah tipikal seorang Hyuuga Hinata.

Oh, jangan remehkan nama keluarga di depan nama kecilnya. Hyuuga bukan keluarga kaya, keluarga politisi atau keluarga pejabat apa pun. Namun, seluruh warga Jepang tahu benar siapa itu Hyuuga. Salah satu keluarga bangsawan istana pada masa lalu, Hyuuga yang agung, Hyuuga yang memimpin penolakan terhadap restorasi Meiji, Hyuuga yang mencipta kebanggaan melekat pada diri rakyat Jepang di masa lalu.

Meski saat ini situasi tak lagi sama, Hyuuga tetaplah dipandang sebagai keluarga yang terhormat. Dengan segala warisan leluhur yang melekat, termasuk kemampuan beladiri khas yang menjadi salah satu alasan kepercayadirian Hinata.

"Ugh baiklah. Sungguh sangat disayangkan," ujar Deidara sedikit bergidik.

"Deidara-san."

Panggilan Hinata seketika memberikan semangat baru lagi bagi Deidara, ia berpikir Hinata akan menerimanya kali ini.

"Ya?"

"Ada yang membutuhkan kenaikan jabatan saat ini."

"Hah?"

Hinata mengarahkan telunjuk tangannya ke arah depan, pada seorang wanita berambut merah panjang yang tengah menatap benci padanya.

"Uzumaki Karin."

.

.

"Jadi?"

"Hmm?"

"Untuk apa kau memanggilku kemari, Naruto?"

Yang dipanggil kini terdiam. Menatap segelas kopi panas di atas meja putih, tempat yang sama ia menyandarkan kaki. Kepul asap rokok dari teman sebelah sedikit mengganggu sebenarnya, tapi terpaksa ia pura-pura tidak keberatan. Ia membutuhkan saran dari temannya itu.

"Kau akan tetap diam seperti itu?"

"Diam dulu, Bodoh! Asap rokokmu menggangguku."

"Oh, jadi seorang PRIA sepertimu enggan merokok?"

"PRIA tidak akan merokok, Inuzuka! Kau tahu rokok bisa memperburuk kualitas spermamu."

Dan kekeh tawa dari pemuda berambut cokelat tak bisa dielak lagi. Butuh waktu sekian detik untuk laki-laki Inuzuka itu menghentikan tawanya dan berbicara.

"Seperti kau akan membuat anak saja dengan cairan yang selalu kau buang sia-sia pada setiap korbanmu itu."

Naruto bergeming. Sesekali ia meneguk air putih dalam gelas yang sedang ia genggam.

"Ada alasan lain mengapa aku tidak suka merokok, Kiba."

"Apa? Kau tidak kuat mengisapnya?"

Kembali Kiba tergelak mendengar pernyataannya sendiri.

"Itu bisa membuatmu tidak perkasa lagi."

Bagai satu tamparan telak, ucapan Naruto membuat Kiba sontak bungkam. Wajah laki-laki tampan itu pucat pasi.

"Benarkah?"

Giliran Naruto menyeringai.

"Kau baru tahu?"

"Sialan!"

Deru mobil berkecepatan tinggi sejenak memberikan jeda pada percakapan aneh keduanya.

"Jadi? Apa masalahmu?"

Naruto menghela napas dalam. Matanya terpejam.

"Aku merasa ada yang aneh.

"Hm?"

"Kau tahu dulu aku seperti tidak pernah terpuaskan dengan menikmati tubuh jalang-jalang itu."

"Ya, makanya aku sarankan kau memilih yang masih bersegel."

"Kuturuti saranmu."

"Lantas?"

"Awalnya memang terasa berbeda. Nikmat luar biasa. Tapi terlalu lama, sekarang seperti tak ada bedanya dengan dulu."

Kiba terdiam. Ia tampak berpikir sejenak.

"Mungkin kau bosan?"

Naruto menggeleng.

"Tidak! Rasanya hasratku selalu bertambah setiap kali aku selesai melakukan seks. Seolah tak ada satu pun yang mampu memuaskanku."

"Kau gila!"

"Ya, kau benar."

"Lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Terus mencari. Aku tidak bisa tidak harus menemukan penyaluran setiap hari atau aku akan gila.

"Tapi kau memang sudah gila."

"AKU AKAN LEBIH GILA JIKA TIDAK MELAKUKANNYA, INUZUKA!"

Naruto berteriak kesal. Sebelah kakinya menendang kursi yang kosong di sebelah kursi yang ia duduki.

"Tapi Naruto ..."

"APA?"

Kiba menatap kasihan pada sahabat kecilnya.

"Kau seorang buronan sekarang."

Naruto tersentak sebelum akhirnya terduduk lemas.

Sementara Kiba hanya menatap iba pada sang kawan. Ia tahu benar bagaimana jalan hidup Naruto karena mereka selalu bersama. Ia menyaksikan sendiri bagaimana sang ibu meregang nyawa di tangan ayahnya, ia yang hampir menjadi pembunuh ayahnya jika saja sang kakek tidak segera datang dan memungutnya. Lalu Naruto diasuh oleh kakeknya yang memang sudah tenggelam dalam dunia kegelapan. Kemudian sang kakek meninggalkannya saat ia menginjak bangku sekolah menengah.

Naruto yang kehilangan arah dan sumber kehidupan, mulai tanpa sengaja ikut melangkah dalam kegelapan. Segala profesi hitam ia jabani demi mampu menghidupi diri. Bertemu dengan Kiba pada satu ketidaksengajaan. Naruto menjadi kurir obat-obatan terlarang yang mengantarkan barang haram tersebut pada Kiba. Kemudian keduanya lebih sering menghabiskan waktu bersama. Berteman dengan Kiba semakin membuat Naruto tenggelam jauh. Kiba pulalah yang memperkenalkan Naruto pada kenikmatan seks, sama sekali tidak menyangka jika akan seperti ini akibatnya. Sama sekali di luar dugaan ketika Naruto lebih banyak menumpahkan emosinya dengan berhubungan seks. Dan Kiba benar-benar menyesal ketika mengetahui kini laki-laki dengan mata biru itu menjadi pecandu seks.

Pecandu seks yang sama sekali tak memperhatikan faktor lain. Berbeda dengan Kiba yang lebih sering menggunakan jasa pelacur di beberapa rumah bordil, Naruto tak peduli jika yang ia jadikan korban adalah gadis-gadis lugu yang tak bersalah, hanya demi mendapatkan kepuasan pribadi. Tanpa menyadari, akibat berkepanjangan dirinya yang kini menjadi buronan pihak kepolisian.

Naruto tak pernah menyentuh barang haram semacam obat-obatan adiktif, pun hanya sekadar seteguk minuman keras atau sebutir rokok, ia enggan. Alasannya hanya satu, ia ingin menjaga tubuhnya tetap sehat, demi menuntaskan hasrat seksualnya yang melebihi manusia normal. Seperti saat ini.

"Kau mau menolongku, Kiba?"

"Apa?"

"Carikan aku gadis lagi!"

Dan Kiba hanya mampu mendesah kesal.

.

.

.

TBC