CHAPTER 1

(BUS)

*Don't forget to read the author's note below*


"Ya! Kim Jongin! Tunggu aku!"

Seorang gadis berambut coklat madu yang panjang dan lurus terlihat berlarian keluar dari rumahnya, melewati pagar nan tinggi menjulang, terus berlari menyusul seorang lelaki tinggi yang kini berjalan santai beberapa langkah di depannya.

Si lelaki yang dipanggil Kim Jongin itu tetap acuh dengan dua buah earphone yang menyumbat dua lubang telinganya. Dua tangannya tersimpan rapi di dalam saku, tak mempedulikan bahwa kini seorang gadis yang lebih pendek darinya sedang bernafas tersengal di sampingnya. Lelaki itu tetap fokus berjalan menuju halte bus yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya.

"Menyebalkan!" gadis itu menghardik. Jemari lentiknya menarik earphone yang menyumbat telinga Jongin hingga terlepas. "Apa susahnya sih menungguku sebentar saja?" lanjutnya.

Jongin tersenyum tipis, namun tetap tak menoleh pada si gadis yang kini mengerucutkan bibirnya imut. "Lain kali jangan mencatok rambut terlalu lama supaya tidak aku tinggal."

Si gadis menghela nafas pelan sembari jemarinya menyisir rambut panjangnya yang berkilauan. "Mencatok rambut setiap pagi adalah kewajiban untukku. Kenapa harus protes?"

"Kalau memang ingin mencatok, harusnya kau bangun lebih awal, Nona Soojung."

Si gadis pemilik nama Soojung itu mendengus kesal. Mana bisa ia bangun lebih awal? Jadwal tidur cantiknya itu terlalu berharga, jadi mana bisa ia korbankan hanya untuk mencatok rambut?

Lagipula lelaki yang saat ini berjalan di sampingnya itu kenapa tak jua mengerti dirinya padahal mereka sudah sangat sangat sangat lama saling mengenal, bahkan selalu menempel satu sama lain untuk waktu yang sangat sangat sangat lama?

Walaupun merasa kesal, tapi Soojung sadar bahwa ini semua memang salahnya. Gadis yang tubuh rampingnya dibalut oleh seragam berwarna coklat tua itu semakin merapatkan tubuhnya pada Jongin, menggamit lengan si pria yang saat ini juga mengenakan seragam yang sama dengannya, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu si pria. "Lain kali jangan meninggalkanku lagi. Jangan pernah meninggalkanku sampai kapanpun," tuturnya lirih, namun terdengar serius.

Jongin sekilas menoleh pada Soojung, bibir tebal pria itu terangkat kecil membentuk senyuman. Tangan besarnya mengacak surai lembut Soojung. "Tidak akan, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

"Ya! Kau merusak tatanan rambutku!" Soojung kembali berteriak kesal, melepas pegangannya pada lengan Jongin, dan membenarkan tatanan rambutnya yang sempat rusak karena ulah Jongin.

Si pria berambut hitam kecoklatan terkekeh pelan. "Rambutmu lebih bagus kalau acak-acakan seperti itu. Lebih natural," ucapnya. "Ngomong-ngomong, kapan kau akan mulai bersikap sopan padaku?"

Alih-alih menjawab pertanyaan si pria tampan, Soojung justru mempercepat langkah kaki rampingnya, berjalan lebih cepat menuju halte bus. Begitu sampai di sana, gadis itu langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi, lalu melipat tangannya di depan dada.

Tak berselang lama, Jongin juga sampai di halte dan memposisikan tubuh tegapnya untuk duduk di samping Soojung.

"Pertanyaan itu lagi? Kau tak pernah bosan, ya?" si gadis berdahi lebar justru balas bertanya.

Jongin mengangkat bahunya cuek, lalu menanggapi, "Kau juga tak bosan untuk selalu bersikap tidak sopan padaku seperti itu."

Sepasang alis tipis Soojung menukik tajam kali ini, berbarengan dengan tubuh kurusnya yang ia hadapkan ke arah Jongin dengan cepat. "Kenapa aku harus bersikap sopan padamu? Memangnya kau itu siapa? Calon suamiku?" tanyanya sinis.

"Oh! Kau ingin aku menjadi calon suamimu? Kau ingin aku cepat-cepat melamarmu, begitu?" Jongin balas bertanya seraya tangannya menoel-noel pipi kurus Soojung. Seringai mesumnya tiba-tiba saja muncul. Menakutkan.

Cepat-cepat Soojung menepis tangan Jongin dari pipinya. "Bermimpi saja kau! Kau pikir aku akan dengan mudahnya menerima lamaranmu?" Mulut gadis itu bisa saja berkata pedas dan tajam, tapi semburat merah muda di pipinya cukup membuktikan bahwa dirinya termakan godaan yang dilontarkan Jongin. Gadis itu terlalu mudah.

Melihat hal itu, Jongin terbahak. "Hey! Kau merona! Ya ampun, Kim Soojung! Bagaimana kau bisa merona hanya karena kakakmu menggodamu, huh?"

Soojung tak kuasa lagi, gadis itu akhirnya memukul bahu si pria dengan brutal. "Dasar lelaki jahat! Kau tahu kalau aku selalu merona setiap kali digoda, tapi kau tetap melakukannya, huh? Rasakan pukulanku ini, Kim Jongin!"

Jongin mengaduh pelan di bawah serangan Soojung. Tapi itu tak lama, karena ujung matanya mendapati sebuah bus berwarna biru mendekat ke arahnya dan berhenti di halte tempat ia duduk. Dengan segera pemuda tinggi itu mengangkat tubuhnya dan berlari menaiki bus.

Soojung tak tinggal diam. Gadis berparas jelita itu ikut berdiri dan berlari mengejar Jongin yang sudah lebih dulu menaiki bus. Adegan pembantaian terhadap saudara itu kemudian dilanjutkan di dalam bus.

Iya, saudara. Kim Jongin dan Kim Soojung adalah sepasang saudara kembar yang dilahirkan pada hari yang sama, jam yang sama, dan dari rahim yang sama hampir delapanbelas tahun silam. Kata ibunya, Jongin terlahir lebih dulu, barulah lima menit kemudian Soojung menyusul untuk melihat indahnya dunia. Oleh karena itu, secara teknis Jongin adalah seorang kakak untuk Soojung.

Tapi Soojung tidak pernah mau memanggil kakak lima menitnya itu dengan sebutan 'oppa'. Ia bilang, mereka terlahir di hari dan jam yang sama, jadi anggap saja kalau mereka seumuran. Soojung tidak ingin Jongin memanipulasi dirinya hanya karena ia seorang adik. Biasanya 'kan yang lebih muda diharuskan menjadi submissive; mau menuruti keinginan yang lebih tua, mau jika harus disuruh-suruh, mau menjadi yang tertindas—itu menurut si bungsu Kim.

Sejak kecil, si kembar tak pernah sekalipun terpisah. Keduanya selalu ditemukan bersama-sama dalam situasi apapun. Tak mengherankan lantaran dari dulu mereka satu sekolah, bahkan satu kelas.

Saat masih kecil, tak ada orang yang mempertanyakan hubungan mereka berdua. Tak ada yang berbisik-bisik ketika melihat sepasang anak kecil yang berjalan bersama sambil saling bergandengan tangan ataupun saling merangkul. Itu wajar, pikir orang-orang.

Namun agaknya kondisi yang kondusif itu berubah saat mereka beranjak remaja. Banyak yang salah paham dan mengusung tanda tanya besar saat melihat bereka jalan berdua sambil bergandengan tangan ataupun saling merangkul.

"Mereka pacaran, ya?"

"Aduh, mereka pasangan yang serasi. Tampan dan cantik."

"Mereka akan jadi keluarga yang sempurna setelah menikah."

Dan banyak bisikan lain yang mereka dengar saat mereka melangkah beriringan.

Tak mengherankan jika mereka berdua menjadi bahan pergunjingan dan membuat banyak orang berburuk sangka. Paras mereka tidaklah serupa. Biasanya sepasang saudara kembar akan nampak seperti pinang dibelah dua, tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Kim bersaudara. Wajah keduanya bahkan tak mirip sama sekali. Wajar, mereka tidak kembar identik.

Jika Soojung memiliki kulit seputih salju, maka Jongin memiliki kulit kecoklatan—tidak sepekat susu coklat, tapi tetap lebih gelap dari kulit adiknya. Jika Soojung memiliki mata bundar yang lebar, maka Jongin dianugerahi mata sipit yang tajam. Jika wajah cantik Soojung dilengkapi dengan sepaket bibir yang tipis, maka wajah tampan Jongin dihiasi oleh bibir yang tebal nan berisi.

Sederet perbedaan dapat ditemukan pada keduanya, sehingga tak heran jika banyak orang tak percaya bahwa mereka sedarah. Tapi mereka tak pernah menghiraukan itu. Mereka adalah sepasang saudara yang lahir dari rahim yang sama dan dibesarkan oleh keluarga yang sama, jadi menjalin hubungan yang seperti itu adalah sebuah hal yang mustahil.

Bus biru yang mengangkut para anak sekolah ataupun juga para pegawai kantor saat ini bergerak melambat, sebelum akhirnya berhenti di sebuah halte yang terletak seratus meter dari sekolah menengah atas yang cukup terkenal di Seoul.

Si kembar Kim turun bersama dengan beberapa siswa lain yang memakai seragam sama. Soojung sesekali masih mendumel, menyumpahi kakak kembarnya yang tak henti menggodanya selama mereka dalam perjalanan ke sekolah.

Jongin dan Soojung sebenarnya berasal dari keluarga kaya raya. Ayah mereka adalah seorang jaksa terkenal di Korea yang juga memiliki sebuah perusahaan besar yang berbasis di pusat kota Seoul—walaupun beliau tidak mengelolanya secara operasional. Ibu mereka adalah putri bungsu seorang mantan menteri yang duapuluh tahun silam menjabat di Korea Selatan. Dari silsilah singkat tersebut dapat terlihat jelas bahwa Jongin dan Soojung berasal dari keluarga terpandang.

Meskipun demikian, keluarga Kim tak serta merta memanjakan putra dan putri mereka. Benar, mereka memang diberikan fasilitas yang super lengkap saat di rumah. Tapi saat di luar rumah—terlebih di sekolah—mereka dididik untuk menjadi anak normal yang tidak mempertontonkan kekayaan maupun kekuasaan mereka. Maka tak heran jika dua remaja tersebut setiap hari menaiki angkutan umum untuk pergi ke sekolah. Tidak ada mobil sport ataupun motor dengan CC besar untuk keduanya.

"Kita melihat papan pengumuman dulu, 'kan?" Soojung bertanya. Seperti biasa, tangannya bertengger manis di lengan Jongin.

Jongin sesaat mengernyit bingung, tapi setelahnya pemuda tinggi itu memukul dahinya pelan. "Oh! Aku hampir lupa kalau ini tahun ajaran baru!"

"Pelupa," ucap sang adik sambil memutar bola matanya. "Kita sudah naik kelas sekarang, jadi kita harus melihat pembagian kelas di papan pengumuman. Aku ingin sekelas denganmu! Tidak mau tahu!"

Jongin hanya menggeleng maklum. Saat ini mereka sudah tingkat 2 di sekolah menengah atas, tapi adiknya itu tetap masih ingin menempel padanya. Maklum saja, sebelum-sebelumnya mereka selalu ditakdirkan untuk berbagi kelas yang sama. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah takdir akan berpihak pada Soojung lagi kali ini?

Tak terasa mereka kini sudah ada di depan papan pengumuman. Namun sayang, belasan kepala berambut panjang mengerubungi papan pengumuman layaknya semut yang ingin berebut gula. Ah! Para gadis berisik itu!

"Jongin, aku tidak bisa melihat!" Soojung memekik sembari membawa tubuh rampingnya untuk melompat-lompat kecil layaknya kelinci. Salahkan saja tubuh gadis itu yang terbilang mungil, kalah dengan tubuh sekumpulan gadis yang ada di depannya.

Pemandangan Soojung si kelinci itu tak pelak membuat Jongin terkikik kecil. Lelaki yang lima menit lebih tua mengabaikan rengekan adiknya, memilih untuk fokus pada papan pengumuman di depannya. Beruntung tubuh tingginya yang mencapai seratus delapanpuluh dua sentimeter tidak dapat disaingi oleh gadis-gadis bawel di depannya. Jadilah dengan mudah ia bisa membaca papan pengumuman. "Kim Soojung, kelas 2-1," tuturnya santai.

"Sungguh?" Mata bulat Soojung semakin membulat sempurna mendengar penuturan sang kakak. "Lalu bagaimana denganmu? Kita satu kelas, 'kan?"

Jongin kembali mengalihkan pandangan ke papan pengumuman setelah mendengar pertanyaan adik kembarnya. Mata elangnya kembali memindai papan pengumuman yang berjarak dua meter darinya—untung saja matanya tidak minus. Begitu ia menemukan namanya, ia menghela nafas—berpura-pura kecewa. "Kim Jongin, kelas 2-2."

Ekspresi Soojung berubah kusut mendengarnya. "Kita tidak sekelas, ya?" bisiknya lesu.

Jongin mengangguk dan segera menyeret adiknya menjauh dari kerumunan. "Tidak apa-apa, kita bisa bertemu saat istirahat," hiburnya. "Lagipula, kau tidak bisa selamanya bergantung padaku. Kau harus memiliki teman lain."

Soojung masih diam. Sungguh, harapannya pupus karena Jongin mendapat kelas yang berbeda dengannya. Nanti ia harus mengobrol dengan siapa saat di kelas? Ia harus mencontek siapa saat ulangan? Siapa yang akan membangunkannya saat ia tertidur di kelas? Membayangkan itu semua membuatnya bergidik. Ia tak akan mampu bertahan tanpa Jongin, pikirnya.

Tak terasa, kini mereka sudah sampai di depan kelas 2-1, kelas Soojung.

"Masuklah," pinta Jongin.

Tapi Soojung tetap belum bergeming, gadis itu masih menatap Jongin dengan tatapan ala anak kucing yang kehilangan induknya, membuat Jongin menghela nafas dan memegang bahu sempitnya erat. "Kelas kita bersebelahan, jadi kita bisa sering bertemu. Apa yang kau takutkan, hm? Aku akan selalu ada untukmu."

Kali ini Soojung yang menghela nafas. Tangan kurusnya melepaskan dua tangan Jongin dari bahunya. "Baiklah," bisiknya pelan. "Tapi kita akan makan siang bersama 'kan nanti?"

Jongin mengangguk. Ia sudah berbalik dan bersiap untuk berjalan menuju kelasnya jika saja suara teriakan Soojung tidak menahan langkahnya.

"Aku akan merindukanmu!"

Pemuda itu tidak berbalik pada Soojung. Ia hanya tersenyum kecil dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

Saat ia memasuki kelasnya, tempat itu sudah dipenuhi oleh teman-temannya yang sibuk mengobrol atau mungkin berkenalan satu sama lain. Beberapa wajah asing—yang tidak ia ketahui namanya—juga ada di dalam kelasnya.

Kelas baru, teman baru, penyesuaian baru. Iya, ia harus kembali beradaptasi dengan seluruh suasana baru. Bukan hal yang sulit. Sifatnya yang cenderung acuh membuatnya mudah untuk menyesuaikan diri. Toh ia tak harus repot-repot memikirkan orang lain selain dirinya, 'kan?

"Kim Jongin!"

Seseorang yang duduk di sudut kanan ruangan meneriakkan namanya dengan lantang. Suara khasnya bahkan membuat suasana kelas hening untuk sesaat, sebelum akhirnya keramaian kembali menyapa. Mind your own business, mungkin itu prinsip mereka.

Jongin tersenyum simpul melihat sosok pria berambut hitam yang kini melambai penuh semangat ke arahnya. Dengan santai pemuda Kim itu berjalan mendekati sosok yang dikenalnya itu.

"Aku tidak tahu kalau aku sekelas denganmu lagi, Oh Sehun," tukasnya sembari mendudukkan tubuhnya di bangku yang terletak persis di sebelah kiri bangku Sehun—lelaki yang tadi memanggilnya.

"Sudah kuduga." Sehun memutar bola matanya malas. "Ngomong-ngomong, mana Soojung? Biasanya kalian lengket seperti upil dan tembok."

Tangan Jongin terangkat dan memukul pelan bahu Sehun. "Analogimu menjijikkan," ucapnya. "Dan, aku tidak sekelas dengannya. Ia di kelas sebelah."

"Sungguh? Keajaiban macam apa ini? Bukankah kalian selalu sekelas selama ehm... duabelas tahun? Lalu kenapa sekarang tiba-tiba takdir memisahkan kalian? Oh, aku kaget."

Jongin tak menimpali. Tentu saja Sehun tahu bagaimana hubungan Jongin dan Soojung sudah seperti benalu dengan inangnya. Tidak, bukan berarti simbiosis yang terjadi adalah simbiosis parasitisme. Itu tadi hanya sebuah analogi. Bagaimanapun juga, Jongin selalu beranggapan bahwa mutualisme lah yang terjalin antara ia dan Soojung.

Ia mengenal sehun sejak mereka berada di sekolah dasar. Sehun adalah siswa pindahan yang pindah ke kelasnya saat mereka kelas lima. Mulai saat itu, Sehun menjadi sahabat dekat Jongin—walaupun terkadang harus berebut dengan Soojung. Maka tak heran jika lelaki berkulit putih pucat itu mengenal Jongin—dan juga Soojung—luar dalam, bahkan tahu jika sepasang anak kembar itu selalu sekelas sejak jaman prasejarah—eh maksudnya prasekolah.

Jongin tak membalas perkataan sahabatnya sampai bel masuk berbunyi. Beberapa siswa yang baru datang terlihat berjalan menuju bangku kosong dengan tergesa, takut-takut jika nanti guru mereka datang dan memberikan poin karena mereka terlambat. Ini masih hari pertama, belum saatnya mengoleksi digit demi digit dalam kolom poin pelanggaran siswa.

Saat itulah telinga Jongin menangkap bisikan lirih dari dua siswi yang duduk di depannya.

"Sial, kita harus sekelas dengan si anak koruptor, ya?"

"Iya, jangan sampai ia menjadi bendahara kelas, bisa-bisa nanti uang kas kita dikorupsi oleh anak itu."

"Ayahnya saja dipenjara sampai belasan tahun, berarti korupsinya sangat banyak, 'kan? Kita harus berhati-hati, pasti jiwa-jiwa korupsi yang dimiliki oleh ayahnya menurun juga padanya."

"Kau benar, kita harus mengamankan dompet kita mulai sekarang."

Jongin mengernyit heran, sedikit penasaran pada topik pembicaraan yang diangkat oleh dua gadis centil di depannya. Tapi memang pada dasarnya Jongin itu cuek, makanya ia mengakhiri rasa ingin tahunya itu dengan sedikit mengangkat bahu, kemudian kembali memfokuskan pandangan ke depan kelas.

Tak berselang lama, seorang guru laki-laki memasuki kelas. Usianya mungkin memasuki kepala empat, masih belum terlalu tua, tapi entah mengapa mampu menguarkan aura yang cukup mengayomi. Tipe-tipe guru favorite di sekolah. Guru yang akan dengan mudah menghafal nama siswanya karena bisa dengan cepat menjalin hubungan akrab dengan mereka.

"Selamat pagi, semuanya," sang guru memberi salam yang segera dibalas secara serentak oleh para muridnya. "Perkenalkan, saya adalah wali kelas 2-2, dan nama saya adalah Park Jungsoo. Mulai hari ini, saya yang bertanggung jawab atas kelas kalian. Jika ada masalah ataupun yang lainnya, kalian bisa melapor kepada saya. Mengerti?"

Para siswa menjawab dengan serentak. Ah, Jongin tahu wali kelasnya ini. Dulu beliau pernah masuk ke kelasnya saat salah seorang guru absen. Kalau tidak salah, beliau mengajar mata pelajaran Biologi. Yang Jongin tahu, guru itu lumayan supel dan ramah, tidak galak seperti beberapa guru yang ada di sekolah itu.

"Baik, untuk satu jam pertama ini memang dikhususkan untuk pertemuan dengan wali kelas. Kita akan menyusun struktur organisasi kelas, serta membagi jadwal piket yang akan kalian gunakan selama satu tahun ke depan. Untuk struktur organisasi, sementara kita akan memilih ketua, sekretaris, dan juga bendahara terlebih dahulu. Posisi yang lain bisa kita tambah seiring berjalannya waktu. Nah, untuk posisi ketua kelas, adakah yang ingin mencalonkan diri?"

Suasana kelas mendadak hening mendengar pertanyaan wali kelas mereka. Aduh, mereka malas untuk urusan seperti ini. Jika saja posisi ketua yang ditawarkan adalah Ketua Parlemen, maka sudah pasti banyak orang berbondong-bondong untuk mencalonkan diri. Jelas, posisi prestisius itu tentu sangat diimpikan oleh banyak orang.

Tapi lain halnya dengan ini. Ini hanya posisi ketua kelas, sama sekali tidak ada sisi prestisiusnya. Terlebih, tidak ada reward untuk posisi itu. Yang ada, sang ketua kelas hanya akan mendapat rasa lelah yang bertubi karena ulah bandel para bawahannya.

"Ssst... Jongin... Kim Jongin..." bisikan lirih dari sebelah kanannya membuat Jongin menoleh. Tentu saja itu ulah Sehun.

"Ada apa?" balasnya jutek walaupun dengan berbisik.

"Coba tebak," si pemuda berkulit pucat kembali berbisik. "Aku baru saja mengupil dan menempelkannya di tembok sebelahku. Upil dan tembok, mengingatkanku pada dirimu dan Soojung."

Wajah Jongin memerah karena amarah. Kurang ajar, bagaimana bisa sahabatnya itu membicarakan hal laknat macam itu di kelas? Seperti menjadi sebuah kebiasaan yang sudah dihafalnya di luar kepala, Jongin segera mengangkat tangan kanannya, berniat untuk memukul bahu Sehun keras-keras, tetapi—

"Bagus! Ternyata ada yang bersedia mencalonkan diri, ya?"

—suara Guru Park menginterupsi. Membuat Jongin mengalihkan atensi ke depan kelas. Betapa terkejutnya ia karena kini sang guru sedang menatapnya sambil tersenyum manis. Dan saat itu ia baru menyadari bahwa tangan kanannya masih terangkat di udara.

Terkutuk kau, Oh Sehun!


Waktu istirahat makan siang sudah tiba, dan satu persatu penghuni kelas berhamburan meninggalkan ruangan yang terasa sumpek itu.

Hal itu berbeda dengan Jongin dan Sehun yang masih berada di kelas. Rupanya si pria Kim masih ngambek pada sahabat jahilnya. Sejak tadi sahabatnya meminta maaf padanya, tapi sama sekali tidak digubris.

"Ayolah, Jongin, aku benar-benar tidak sengaja," kembali pemuda bermarga Oh itu membujuk Jongin supaya memaafkannya.

"Tidak sengaja apanya?" Jongin akhirnya mau buka suara. "Kau sudah hafal kebiasaanku sejak dulu. Kalau aku merasa kesal, aku pasti akan mengangkat tanganku dan memukulmu. Kau tadi sengaja memancing amarahku, 'kan? Kau menjebakku!"

Kali ini Sehun terkekeh. Memang benar, lelaki itu sengaja menjebak Jongin. Ia tidak memiliki niat buruk dengan mengumpankan Jongin untuk menjadi calon ketua kelas—dan akhirnya benar-benar terpilih. Ia hanya ingin sahabatnya itu sedikit mengubah dirinya supaya tidak terlalu acuh pada sekitar. Itu saja.

Sehun sebenarnya ingin mengelak dakwaan Jongin, tapi ia urungkan begitu matanya menangkap sosok yang sangat familiar memasuki kelasnya.

"Kim Jongin!" sosok itu berteriak nyaring, berhasil menyita atensi Jongin.

Kim Soojung, ternyata gadis itu yang berteriak. Anak itu datang di saat yang tidak tepat. Jongin masih bad mood karena si setan Oh Sehun.

"Ada apa?" akhirnya si pemuda berkulit kecoklatan menimpali panggilan adiknya.

Tapi respon Jongin yang sangat datar itu menghadirkan ekspresi tak suka di wajah Soojung. "Kenapa kau bertanya begitu? Kau tadi sudah berjanji untuk makan siang bersamaku. Kau lupa, ya?"

Tidak, Jongin tidak lupa. Hanya saja, ia sedang tidak berhasrat untuk pergi ke kantin dan menikmati makanan lezat yang biasanya disajikan oleh bibi kantin. Tapi meskipun suasana hatinya saat ini sedang sangat keruh karena ulah seorang pria jahil bernama Oh Sehun, ia juga tidak mungkin menolak ajakan Soojung karena tadi pagi ia sudah berjanji dengan adik kesayangannya itu. Lagipula kalau ia sampai menolak, Soojung bisa memilih untuk mogok makan dan berakhir di ranjang rumah sakit karena asam lambungnya naik lagi.

"Aku tidak lupa," jawabnya sembari memasukkan buku terakhirnya ke dalam tas. "Ayo pergi," sambungnya. Kali ini ia sudah berdiri dan bersiap untuk meninggalkan ruang kelas. Sehun juga sudah bersiap padahal tak ada yang mengajaknya.

Tiga orang itu akhirnya berjalan bersama keluar kelas. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, mata Jongin mendapati seorang gadis berambut hitam panjang sedang menikmati bekal makan siangnya di sudut kelas. Menikmati menu santap siangnya itu tanpa ada seorang pun di sampingnya.

Siapa gadis itu? Sejak kapan gadis itu ada di sana? Dan, kenapa gadis itu memilih untuk makan bekal di kelas dibanding dengan makan di kantin?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Jongin, tapi tak ada satupun yang mendapatkan jawaban. Dan Jongin pun tak mau ambil pusing mencari jawaban karena itu semua bukanlah urusannya.

To be continued...


Glad's note:

Annyeong~ akhirnya aku publish nih story barunya! Total FF ini akan punya 15 chapter dan jumlah words per chapternya dijamin lebih dari 3000 kata. FF ini bakalan penuh drama terutama di chapter2 akhir. I've warned you, ya... jadi jangan protes buat yang nggak suka drama2 ala sinetron. Waks~~

Sub judul yang dipakai di FF ini adalah nama benda ataupun setting tempat yang ada di setiap chapternya. Jadi sedikit ngasih clue gitu tentang hal2 apa aja yang bakal dibahas di setiap chapternya.

Perlu ditekankan bahwa FF ini adalah KaiSoo yang merupakan akronim dari Kai dan Kyungsoo, bukan Kai dan Soojung. Jadi walaupun di awal2 FF ini banjir moment Kai sama Soojung, tapi dijamin moment KaiSoo yang sesungguhnya bakal membludak seiring berjalannya waktu. Jadi, jangan protes dulu, ok?

Oh iya, terimakasih untuk semua respon positif yang udah diberikan untuk FF Melted. Jujur, aku nggak pede waktu awal2 publish FF itu. Soalnya aku kan udah lama nggak publish dan tiba2 publish lagi, jadi kirain bakal dapet respon yang negatif gitu. Tapi ternyata enggak. Ah... terharu. Dan maaf ya, aku nggak bisa bikinin sequel buat FF Melted, belum ada niatan lagi buat nulis FF. FF yang ini aja aku cuma lanjutin draft tahun kemarin yang waktu itu cuma kurang 20% aja mungkin. So... mohon dimaafkeun, yes?

Okay, cukup sekian cuap2nya. Selamat membaca! Ini spesial buat kalian!