Pagi hari milik Baekhyun kali ini terasa berbeda. Ia tak kunjung mengumpulkan nyawa untuk sekedar membuka mata ketika sadar matahari menjemput hari yang baru.

Tak memungkiri segala apa yang telah terjadi. Menganggapnya sebagai mimpi juga sudah seperti kebanyakan cerita ketika apa yang melingkar di sekitar perutnya adalah tangan kokoh yang semalam membuatnya lupa daratan.

Samar tangkapan yang Baekhyun peroleh adalah serupa wajah yang tenang dalam tidurnya. Napas berirama teratur serta lekuk wajah penuh kenyamanan yang membuat bibir Baekhyun menarik sebuah senyum.

Jemari liar Baekhyun menggaris sepanjang hidung lantas berhenti pada bibir. Usakan halus ia berikan, lalu bermain dengan dagu sedikit kasar itu hingga Baekhyun tak lagi peduli dengan rasa gengsi ketika memeluk Chanyeol adalah apa yang ia inginkan.

Sungguh menggelitik bagaimana perasaan ini memainkan perannya. Debar jantung tak usah lagi diprediksi seperti apa. Mereka melompat bahagia, seakan bertemu dengan sebuah kehidupan baru setelah selama ini mati dalam sebuah rasa rindu.

Kenyamanan ini tengah menguliti rindu yang membelenggu. Rasa posesif yang terlalu toxic tak usah diperdebatan karena mereka telah sama-sama mengakui cinta.

Biarkan semua ini memiliki waktu yang lebih lama. Atau kalau bisa selamanya, karena sudah cukup rasanya menjadi pembual sebuah kekuatan ketika hati telah digerogoti rasa cinta yang lapar.

"Jangan dilihat terus, nanti semakin cinta bagaimana?"

Tertangkap basah.

Baekhyun segera memejamkan mata dan menyembunyikan wajah ketika suara parau Chanyeol terdengar.

Selimut yang menutup tubuh mereka Chanyeol naikkan, menutup sepenuhnya tubuh hingga hanya kepala saja yang tersisa sedang di dalam sana sebenarnya dia sedang merengkuh penuh tubuh Baekhyun.

Tangannya sibuk mengusak punggung sempit Baekhyun, bibirnya mengecup puncak kepala sang wanita sedang tangan lainnya meremas bongkahan di belakang yang membuatnya tersenyum lebar.

"Tanganmu!"

"Kenapa, hm?"

"Jangan seperti itu. Ini sudah pagi."

Segera Baekhyun mengenyahkan tangan Chanyeol yang hampir saja merambatkan remasan pada paha. Tapi tak beruntung karena Baekhyun terlalu lemah sedang Chanyeol mendapatkan apa yang ia inginkan.

Tidak cukupkah apa yang terjadi semalam?

Rasa lelah itu bahkan masih tersisa dan belum sepenuhnya tenaga kembali terkumpul.

"Kasurmu sempit. Besok akan ku belikan yang baru. Aku juga tidak suka meja riasmu yang terlalu sederhana. Apa-apaan, kaca saja hanya bisa menjangkau wajahmu."

"Cerewet sekali." Kata Baekhyun sambil mencubit kecil lengan Chanyeol. "Semua ini ku beli dengan uang hasil kerjaku sendiri. Tidak usah mengomentari."

Obrolan itu sebenarnya terjadi untuk menciptakan romansa yang manis. Karena dalam situasi ini, yang paling mereka nikmati adalah bagaimana tubuh saling memeluk dan kasih ini bermandikan madu murni.

Manis.

Sempat terjadi beberapa guyonan yang ringan. Di mana Chanyeol menggelitik Baekhyun yang mulai mengenakan kembali pakaiannya hingga mereka terjatuh lagi ke ranjang untuk sebuah pertukaran tatapan yang syahdu.

Dua lengan Chanyeol memenjara Baekhyun tepat di sisi kanan kiri, kakinya mengapit tubuh wanita itu dan sentuhan halus diberikan pada pipi yang sedikit tirus.

"Sebegitu buruk kah saat kita berpisah? Tubuhmu sangat kurus."

Alih-alih menjawab, Baekhyun justru melingkarkan tangan di sekitar leher Chanyeol dan mengecup ujung hidung lelaki itu.

"Baekhyun,"

"Hm?"

Tak ada lagi yang mereka katakan ketika Baekhyun merasa candu bersentuhan fisik dengan Chanyeol. Bibirnya melumat halus milik lelaki itu, mengecap kemanisan yang tidak bisa dibandingkan dengan harga apapun lalu menguasai adegan ciuman ini seorang diri.

Chanyeol tak diberi kesempatan untuk mendominasi, dan dia tak begitu mempermasalahkan selama Baekhyun yang melakukannya.

Posisi pun berbalik, Chanyeol harus pasrah berada di bawah dengan Baekhyun yang duduk di atas tubuhnya. Mereka beradu dalam kecapan pagi, tak memperdulikan matahari sudah memanggil untuk beraktivitas dan semakin memperdalam rasa manis yang terjadi.

Baekhyun seperti seorang yang kerasukan. Terlebih Chanyeol mengusap sekitar pinggangnya dan sesekali meremas bongkahan sintal di dada.

Lalu ketika keadaan semakin memanas dan mereka seperti akan memulai kembali adegan panas yang mengerangkan desahan, pintu kamar di ketuk beberapa kali dengan seruan tangis yang menggelegar.

"Mama!"

Itu Naeun.

Baekhyun seketika menjauhkan diri dan menatap pintu itu dengan wajah kebingungan.

"Jika dia bukan gadis kecil yang manis, bisa dipastikan aku akan kesal sejadi-jadinya." Kata Chanyeol sambil membenahi pakaian Baekhyun yang hampir terlepas. "Cepat temui Naeun."

Baekhyun hanya tersenyum kecil untuk pergi menemui gadis kecilnya.

"Sebentar,"

Dia berbalik dan berlari kecil untuk mengecup puncak kepala Chanyeol, lalu turun ke hidung, dan berakhir di pipi.

"Ku buatkan sarapan. Cepat bersihkan dirimu."

.

Suasana di ruang makan sedikit canggung. Andai saja tidak ada Naeun yang terkekeh geli karena Jongin menyuapinya dengan sedikit permainan pada sendok, mungkin orang dewasa yang tersisa akan termangu dalam diam.

Naeun malu-malu meletakkan irisan sayur di piring Chanyeol yang ada di sampingnya.

Gadis kecil itu menatap sedikit ragu, tapi dalam benaknya ingin sebuah kedekatan karena paman dengan wajah tampan itu sedari tadi mencuri pandang pada Mamanya.

"Oh? Kau memberiku ini?"

Naeun mengangguk. "Biar paman sehat."

"Thank you, angel."

"Namaku Naeun, bukan Angel."

Chanyeol hanya mengusak puncak kepala Naeun dan gadis kecil itu merasa bahagia dengan hal kecil seperti ini.

Setidaknya suasana sedikit mencair meski Kyungsoo-Jongin meletakkan rasa canggung pada Chanyeol yang menampakkan kewibawaannya padahal lelaki itu sedang tidak melakukannya. Mereka memiliki ulasan cerita di masa lalu, di mana kehidupan Baekhyun menjadi amat tidak karuan hanya karena seorang lelaki dan sekarang mereka berada dalam satu situasi yang terlampau nyaman.

Sesekali terselip sebuah senyum dari bibir Baekhyun. Menyebutnya sebagai sebuah mimpi sudah terlalu sering dikatakan banyak orang, Baekhyun menganggap semua yang terjadi ini adalah hadiah terindah selama dia hidup. Bagaimana cara Chanyeol mencuri pandang padanya, adalah hal yang ingin Baekhyun abadikan tapi ia sadar keterbatasan manusia yang bisa menganggap itu sebagai kenangan.

Selepas makan pagi yang menghangat karena Naeun tak berhenti berceloteh, Chanyeol pamit undur diri karena ada rapat yang tidak bisa dia hindari nanti siang. Supir pribadinya datang menjemput, dan ketika mobil benar sampai di depan gerbang, ada perasaan memberat yang teramat kuat di benak Baekhyun tapi tak ada yang bisa ia perbuat.

"Sini," Chanyeol menariknya mendekat, memeluk dalam tubuh mungil itu lalu mengecup kecil pundak Baekhyun. Tak peduli bagaimana Naeun berdiri mematung menyaksikan romansa ini, Chanyeol terlalu percaya diri melakukannya seakan di sini hanya ada mereka berdua.

"Hati-hati, okay."

"Aku akan menghubungimu."

Ya, Baekhyun senang dengan perkataan sesederhana itu. Ia menggantungkan banyak harapan tentang dia yang akan diberi kabar setiap jam; atau setidaknya ketika waktu makan siang yang jelas-jelas luang.

Tapi apa yang dilakukan Chanyeol sungguh di luar dugaan. Tak ada dering telfon yang sampai di ponsel Baekhyun, pesan pun tidak. Jarak semakin meretas rasa gelisah yang tidak tahu harus berdasar pada apa.

Baekhyun berusaha memaklumi dengan menyibukkan diri. Semakin ia berusaha menepis banyak prasangka, semakin dekat pula bisikan setan yang mengatakan "Siapa dirimu berani mengharap kabar dari Chanyeol? Upik abu!"

Oh, itu sungguh mengganggu..

Baekhyun yakin Chanyeol tak akan seperti itu. Mereka sudah sejauh meregang kenikmatan di pangkal paha dan ucapan cinta terdengar amat istimewa melalui pandangan mata.

Apapun itu Baekhyun tak ingin memperburuk sangka. Tapi di minggu pertama setelah perpisahan mereka dan berlanjut tak ada kabar yang datang, Baekhyun mulai berpikir tentang sia-sianya sebuah penantian. Dia mulai berpihak pada bisikan setan, membiarkan virus kecewa di setiap denyut nadinya dan tak begitu peduli ketika kesakitan hati mulai mengerahkan pasukan.

Semangat hidup berkurang beberapa persen, rasa lapar tak datang sekalipun Baekhyun melewatkan makan siang dan makan malam. Ia terlalu sibuk melamun, mempertanyakan pada batinnya sendiri kemana Chanyeol sekarang. Meski tak ada jawaban yang di dapat, Baekhyun tetap melakukannya hingga dia merasa lelah untuk menunggu saat sudah menginjak minggu kedua.

Sepagi itu di hari minggu yang tak begitu indah—bagi Baekhyun. Semalam dia terlibat pertengkeran sengit dengan batinnya sendiri, mengelak rasa risau untuk mengembalikan tidur berkualitasnya yang terenggut telak.

Tak akan ada yang peduli bagaimana pakaiannya terlihat, pun dengan rambut yang ia kuncir asal menggelung hingga anak rambut liar meramaikan wajahnya yang belum tersentuh air. Baekhyun menyiram beberapa tanaman yang sempat ia tanam dengan Naeun, tapi mendadak niat itu lenyap ketika sepasang kaki tinggi berbalut sepatu sport berwarna merah tengah ada di depan gerbang.

Mari jangan menerka ini mimpi karena Baekhyun terlalu dewasa dengan kesadarannya.

Ini nyata, dan Baekhyun bingung menentukan sikap ketika rasa bahagia perlahan datang sedang kemuakan sudah terlanjur menjilat logikanya.

Lelaki itu berdiri dengan dosa yang tak pernah mengikuti, tersenyum seperti dua minggu belakangan tak pernah ada yang kurang lantas melipat tangan di dada seakan dia paling tahu dengan semua kecamuk perasaan Baekhyun.

Sial!

Kekesalan itu berujung pada Baekhyun yang bersikap dingin dengan hanya satu senyum kecil, langkah kaki terlalu malas menghampiri dan berujung dengan Baekhyun yang mengabaikan kehadiran lelaki itu.

"Hei,"

Entahlah maksudnya apa dengan sapaan itu serta senyumnya yang menawan. Tak menampik jika Baekhyun sangat suka dengan senyum itu, tapi dia sudah berada di ujung kemelut rasa kesal dengan tidak adanya penjelasan yang segera diberikan.

Sungguh kekanakan dua manusia ini. Apa salahnya menagih penjelasan tanpa ada adegan dramatis merajuk, atau pihak lain yang datang dengan rentetan alasan mengapa dua minggu ini seperti tertelan api neraka.

"Iya aku tahu kau sedang marah. Bibirnya tolong jangan terlalu meruncing, terlalu pagi untuk menggemasnya."

Lihat? Masihkah diperlukan rentetan kata kain usang seperti itu ketika Baekhyun memiliki sisi remaja pada dirinya dalam hal merajuk?

Sebuah tangan melingkar di sekitar perut Baekhyun saat ia menyiram tanaman dengan wajahnya yang begitu datar. Pelukan yang hangat memberi sedikit lelehan pada bekunya sikap Baekhyun. Meski tak ditunjukkan secara nyata, wanita itu sempat kelabakan dengan dirinya yang berdebar ketika berkontak fisik dengan Chanyeol.

"Ada yang marah." Bisik Chanyeol dari belakang. Sesekali ia mencium perpotongan leher Baekhyun, membuat wanita itu sedikit mengerangkan kekesalan guna menutupi rasa sukanya pada kedekatan ini.

"Bagus jika menyadarinya."

"Makin manis."

Lelaki ini, tidakkah cukup dengan berjuta pesona yang melekat dan tidak meletakkan hal bagus lainnya di tutur kata?

Baekhyun terlalu lemah untuk mengabaikan karena dia sudah terhangkit virus yang mendebarkan hatinya. Terkesan begitu mudah, dan memang seperti itulah efek dari virus yang Baekhyun derita.

Perlakuan manis Chanyeol merembet dengan makin eratnya pelukan. Penjelasan yang semula diharapkan kini berubah haluan menjadi rasa nyaman yang sialnya meluner kemana-mana.

Nyatanya bahagia memang seperti ini. Terlebih semua itu sudah di dasari oleh rasa cinta, hal yang butuh dituntut menjadi tak lagi penting asal kedekatan bisa terjalin dan rindu mulai terobati.

Baekhyun membalikkan badan, melupakan kucuran air yang mengalir dan melingkarkan tangan di sekitar leher lelaki itu. Bibirnya mengerucut, tak butuh waktu lama semua itu terbungkam karena Chanyeol mengaiskan decakan lidah di sana dan menggendong layaknya koala untuk masuk ke dalam rumah.

Sempat terhenti saat keduanya menutup pintu dan Baekhyun paham apa yang Chanyeol khawatirkan. "Jongin, Kyungsoo dan Naeun sedang pergi ke rumah Ayah Jongin."

Beruntunglah Chanyeol pagi itu. Tapi dia tak terburu membuat Baekhyun kembali mendesah karena percayalah dia sebenarnya memiliki gairah dipangkal paha, tapi lebih dari itu dia menginginkan waktu berkualitas dengan si wanita.

Wanitanya.

Tubuh Baekhyun di bujurkan perlahan di atas sofa dengan peraduan bibir yang masih melekat. Chanyeol menunjukkan kuasa, cukuplah Baekhyun diam di bawah dan hanya perlu membalas dengan tempo yang sama cepatnya dan biarkan Chanyeol bergerilya di sekitar leher.

Ceruk leher putih nan menggemaskan itu ia beri tanda. Sebuah kemerahan melingkar dengan diameter tak begitu diperhitungkan, tidak perlu mengukur berapa kelilingnya karena mereka hanya peduli dengan bakaran gairah daripada bekasnya.

Beralih sedikit ke bawah, Chanyeol menyukai tekstur payudara yang kenyal dan dibalut kaos kebesaran itu. Tangannya merambat liar, mengusap perlahan hingga berhasil mengeluarkannya dari kain berenda itu lalu bermain sedikit pada putting dengan kuku.

Chanyeol suka cara Baekhyun mendesah. Desisan itu terdengar sangat indah; memicu tindakan berlebih untuk mengganti kuku dengan lidah.

Lalu ketika semua semakin menunjukkan gairah dan tak ada yang bisa menghentikan, Chanyeol membuat timing cukup mengesalkan bagi Baekhyun.

Bagaimana bisa lelaki itu menarik diri di saat Baekhyun sudah menyerah dengan kesadaran?

Sepagi ini, berada di bawah lelaki tampan yang menguasai hatinya, lalu berkontak fisik yang memacu gairah, tiba-tiba terhenti tanpa kejelasan kecuali senyum yang merekah.

Jangan ditanya seberapa kesal, Baekhyun kembali mengerucutkan bibir dan Chanyeol menengahi semua itu dengan bijak.

Dia mendekat pada telinga Baekhyun, mengecupnya sebentar lalu berbisik, "Masih pagi, tidak enak melakukannya di jam seperti ini. Bisa sabar kan untuk menunggu malam?"

Baekhyun berdecak, dia menyubir kecil pinggang lelaki itu lantas bangun untuk membenahi pakaiannya.

"Apa bedanya pagi atau malam?"

"Tentu beda, sayang. Jadi, bersabarlah dan tunggu perbedaan seperti apa yang ku katakan."

Ingin marah, tapi terlalu kekanakan.

Jika tidak marah—ah, sudahlah. Baekhyun sedang memiliki hormon cukup bagus hingga ia begitu mengharap aksi erotis bersama Chanyeol sepagi ini.

"Sudah makan?" Tanya Baekhyun sambil berjalan menuju ke dapur. "Aku hanya memiliki roti dan kopi jika kau belum makan."

"Apa saja yang layak untukku. Asal itu buatanmu, aku tidak masalah."

"Ku taburi racun kalau begitu."

"Ku pastikan kau akan menangis paling keras jika racun itu membunuhku."

"Benar. Sepuluh poin untuk Tuan Park!"

Kedunya terkekeh geli.

Baekhyun terlihat lincah meski hanya berkutat dengan pemanggang roti dan kepulan asap minuman berwarna hitam pekat itu. Keseriusannya mengundang mata Chanyeol untuk mengamati lekat dari kejauhan bersama dagunya yang ia sanggah dengan telapak tangan.

Begini rupanya memiliki sebuah kesenangan mata. Bukan bahagia karena persetujuan kerjasama yang menguntungnyan jutaan dollar, tapi seorang wanita dengan cara sederhananya menyiapkan makanan.

.

Pernahkah terpikir untuk menyerah?

Tidak, Nyonya Park tak memiliki itu meski ia amat sangat tahu putranya memiliki kemauan sekeras apapun.

Dari balik pintu mobil yang berhenti di sebuah rumah, Nyonya Park mengeratkan tangan penuh kebencian saat melihat Chanyeol berkontak fisik dengan wanita itu. Bibirnya tak memiliki kata apapun meski amarah sudah meluap di kerongkongan.

Kenapa semua kembali bermasalah dengan mereka?

Tidakkah cukup apa yang terjadi pada putra pertamanya sebagai harga yang harus di korbankan untuk memutus kesialan ini?

Masih teringat jelas di pikiran Nyonya Park bagaimana putra sulungnya meregang nyawa karena rasa depresi yang mendalam. Pengharapannya akan sosok pengganti dan pemimpin perusahaan musnah sudah ketika si sulung memilih menyayat nadi daripada bernafas untuk bertahan. Semua karena satu kejadian yang merusak psikologis hidupnya. Kejadian yang membuat mentalnya hancur lantas malu dan memilih mengurung diri sebagai kelanjutan dari hidupnya.

Seandainya malam itu Nyonya Park tak mengabaikan panggilan dari si sulung, mungkin bisa terselamatkan semuanya. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan begitu banyak lagi istilah yang pantas disebutkan di sini setelah si sulung mendapat pelecehan.

Terkutuklah lelaki yang membekap Yoochun, si sulung kesayangan keluarga Park. Dia mengedepankan nafsu, menghentak pada kenikmatan yang ia miliki seorang diri tanpa pernah tahu jika Yoochun mengerang kesakitan. Alkohol jahanam menguasai segalanya, memporak-porandakan kesadaran dan menarik Yoochun asal ke sebuah kamar untuk disetubuhi.

Lelaki jahanam itu, tak pernah ada yang mempermasalahkan bagaimana orientasi seksualnya berlangsung, tapi setidaknya gunakan logika untuk menyaring siapa saja yang pantas dijadikan pelampiasan. Dan Yoochun, lelaki malang itu terkubur dalam kepasrahan, terlampau sakit pada anus serta hati ketika ia dilecehkan. Dia merasa kotor, hina dengan segala kata tak pantas sedang menghujam dirinya, lalu mati seperti sebuah pilihan terakhir agar keluarga tak malu dengan dirinya.

Keluarga mengikhlaskan Yoochun dengan segala dendam pada si Byun yang masih tersisa. Harapan mereka ada pada Chanyeol, si bungsu yang digadang akan menjadi pewaris tunggal. Mereka menjaga Chanyeol seperti sebuah permata, tak boleh ada yang menyentuh dan merusak. Semua yang terbaik diberikan pada Chanyeol, fasilitas super VVIP tak luput dari hidupnya, tapi keluarga Park seperti diberi ujian serupa yang hampir saja merenggut nyawa Chanyeol.

Chanyeol menerima pelecehan serupa saat usianya masih belasan. Dia menangis, tak peduli bagaimana seharusnya seorang lelaki bersikap, kesakitan hatinya membeludak dan dua kali lipat dirasakan oleh nyonya Park. Melaporkan semua ini pada yang berwajib sudah dilakukan, tapi tak pernah membuat jera si Byun yang semakin bergairan menggagahi bocah lelaki.

Sejak saat itu Nyonya Park tak ingin kecolongan. Chanyeol benar disembuhkan dengan segala cara, datang ke psikolog atau apapun sudah dilakukan dan beruntung si bungsu kesayangan nyonya Park memiliki kekuatan lebih tangguh menghadapi ini semua.

Bertahun-tahun membentuk Chanyeol menjadi lelaki tangguh, wibawa sudah seperti hal wajib yang harus ia bawa, kisah buruknya saat masih di usia belasan seperti sudah terkubur waktu. Tak sudi jika mereka mendengar tiap jengkal tentang si Byun meski lelaki lanjut usia itu berkeliaran mengganggu keluarga Park. Entah apa yang ia harap lagi, dan entah apalagi yang akan ia perbuat pada keluarga Park.

Nyonya Park memiliki banyak pion untuk menghentikan si tua Byun. Dia tak begitu khawatir, karena dalam situasi sekarang ada hal lain yang harus ia khawatirkan.

Bukan tentang grafik naik turun perusahaan.

Bukan pula tas keluaran terbaru yang hanya tersedia 5 di seluruh dunia.

Melainkan tentang putra bungsunya. Putra yang ia didik dengan banyak kewibawaan tengah menjalin kasih dengan seorang wanita.

Bukan tahta yang dipermasalahkan.

Apalagi harta.

Tapi kenapa harus dengan keturunan si Byun?

Nyonya Park harus mencari cara untuk semua ini.

.

Tiga perempat perjalanan sudah terlewati. Chanyeol mengemudi dengan kebahagiaan yang terpampang sempurna. Senyumnya merekah, sudut bibirnya tak berhenti menarik ke atas dan semua itu membuat hatinya bebas berbahagia pula

Berbeda dengan eksistensi di sampingnya. Sedari tadi diam dengan kecemasan yang terlihat. Berkali melihat ponsel di tangan, lantas membuang pandangan ke luar jendela, ada yang memberat yang membuatnya tak bisa menyeimbangkan kebahagiaan Chanyeol.

"Ada apa, hm?"

Baekhyun hanya bisa menatap kecil, tak enak hati mengatakan jika di belakang ia terlalu berat meninggalkan Naeun. Gadis kecil itu meronta dalam tangis saat Chanyeol berpamitan akan mengajak Baekhyun pergi ke suatu tempat. Jongin dan Kyungsoo sekuat hati menenangkan, tapi Naeun terlanjur mellow dengan dirinya ketika mobil Chanyeol melaju meninggalkan mereka.

"Naeun?" Tebak Chanyeol dan Baekhyun mengangguk kecil. Sebelah tangannya yang tak memegang kendali ia ulurkan untuk mengusak puncak kepala Baekhyun. "Kita hanya akan pergi sebentar."

"Dia pasti menangis sangat keras saat ini."

"Ada ayah dna ibunya."

"Kau hanya tidak tahu bagaimana Naeun jika menangis."

"Pasti sangat lucu."

"Chanyeol…" Chanyeol terkekeh geli, ia lantas membelokan mobilnya di suatu tempat dengan kerindangan yang sempurna.

"Kita sudah sampai."

Baekhyun masih diam, dia tak tega merusak acaranya hari ini dengan Chanyeol tetapi hati terlalu berat mengingat Naeun.

Melihat semua itu, Chanyeol mengambil ponsel Baekhyun dan menghubungkan pada seseorang. Tak sampai 5 detik, video call itu menampil seorang gadis kecil tengah tertawa terbahak dengan seperangkat mainan di sekitarnya.

Seketika Baekhyun terbelalak, gadis kecil kesayangannya tidak berada dalam tangis yang ia bayangkan melainkan tawa renyah yang menyenangkan.

"Mama!"

"Baby,kau sudah tidak menangis?" Tanya Baekhyun.

Naeun menunjukkan Barbie di tangan kanan kirinya, ia juga sibuk memberitahu sang Mama beberapa pakaian Barbie serta pernak-pernik lainnya.

"Naeun, terima kasih pada paman Chanyeol." Itu suara Kyungsoo.

Baekhyun melihat Chanyeol, dan lelaki itu hanha mengedikkan bahu santai.

"Paman! Terima kasih!" Teriak Naeun histeris yang kemudian ia lepas dari layar untuk kembali sibuk dengan mainan barunya.

Tak ada yang perlu Baekhyun khawatirkan lagi ketika panggilan diakhiri. Naeun tak menangis dan dia bisa tersenyum kecil lalu menarik Chanyeol dalam pelukan tangannya.

"Bagaimana aku harus berterima kasih padamu, hm?" Tanya Baekhyun.

"Hanya nikmati waktu bersamaku. Jangan khawatirkan apapun karena aku biaa mengatasinya."

Ya, itu saja yang perlu Baekhyun. Dia hanya perlu melangkah ringan bersama Chanyeol; menikmati segala keindahan yang ia yakin harus dibayar mahal.

Baekhyun hanya perlu menuruti semua yang Chanyeol beri sebagai fasilitas di waktu mereka berdua kali ini. Dia mengiyakan segala hal meski sebenarnya berlebihan, tapi tak ia permasalahkan mengingat lelaki itu terlihat bahagia melakukannya.

Hal pertama yang mereka lakukan adalah menuju restauran karena jam makan siang sudah tiba. Baekhyun tak banyak mengenal makanan di daftar menu, dia meminta Chanyeol memesankan apapun yang sekiranya bisa diterima lidahnya.

Semilir angin menemani waktu mereka kali ini. Rambut Baekhyun terkadang menari dengan liar, membuatnya beberapa kali harus menahan dengan sedikit kepayahan karena sebelah tangannya memegang sendok.

Sebenarnya tak masalah hal itu terjadi, yang menjadi masalah adalah ketika Chanyeol pergi dari tempatnya dan berdiri di belakang Baekhyun untuk mengikat sekaligus rambut wanita itu.

Hampir saja Baekhyun menanyakan apa Chanyeol bisa, dia terburu diam saat benda kecil melingkar di sekitar leher dengan kemilau putih yang indah. Kesadarannya masih mencaritahu, tapi ia terburu membeku dan meminta penjelasan pada Chanyeol tentang kalung ini.

"Jangan ditolak, aku susah payah memilih yang cocok dengan dirimu." Bisik Chanyeol dari belakang.

Baekhyun kembali bertanya pada Tuhan tentang kebahagiaan ini. Haruskah ia mendapatkan yang berlebih? Perbuatan baiknya tak begitu banyak tapi Tuhan memberikan feedback yang sungguh luar biasa besar.

Debaran hati seperti bermain lincah dalam memeriahkan kebahagiaan Baekhyun. Dia tak berhenti mengembangkan senyum, berkata dalam hati jika semua ini adalah mimpi maka jangan bangunkan Baekhyun. Tapi ini sebuah kenyataan, realita yang sedang melambungkannya ke angkasa dan hanya tinggal menunggu kapan waktu untuk jatuh—Baekhyun tak benar mengharapkan itu. Terlalu rumit untuk kembali bersedih sedang kebahagiaan ini ia anggap sebagai hadiah atas kesabarannya.

Selepas menikmati makan siang, Chanyeol mengajak Baekhyun berjalan santai di tepi pantai. Tak banyak orang di sana, dan mereka juga tak begitu peduli ketika dua sejoli dimabuk asmara ini saling bergandengan tangan. Chanyeol menjadi pihak yang cukup agresif dengan menggenggam erat tangan Baekhyun. Dia bahkan menautkan jari, menyelipkan proteksinya pada Baekhyun agar tidak terlalu jauh dalam menyeimbangi langkahnya.

"Aku punya coklat." Kata Baekhyun sambil mengambil sesuatu di dalam tas kecilnya. "Hanya satu, tapi aku ingin membaginya denganmu."

"Kau membawanya dari rumah?"

Baekhyun menggeleng, "Chef di restauran yang memberiku sewaktu aku kembali dari toilet."

"Makan sendiri saja. Aku tidak suka coklat."

Terkadang Chanyeol seperti Naeun yang merajuk, tapi terlalu lucu untuk dikatakan seperti bocah ketika fisik Chanyeol sungguh gagah.

"Baiklah, akan ku makan sendiri."

Baekhyun benar menghabiskan semua itu sendiri dan membuat Chanyeol mengernyit tidak suka. Atau sebut saja itu kecemburuan. Dia tidak menyukai cara Baekhyun menikmati sesuatu pemberian orang lain di depan matanya tapi terlalu sadar jika semua ini candaan.

Maka dari itu, untuk membalas semua ini Chanyeol menarik Baekhyun untuk mundur dan menghimpitnya di antara pohon kelapa.

Si mungil terkesiap, terlebih ketika Chanyeol tiba-tiba mencium bibirnya sangat lembut lalu menarik diri setelah beberapa detik.

"Oh?" Ibu jarinya mengusak bibir Baekhyun, "Ku kira ini sisa coklat, ternyata bukan. Sebuah tanda lahir yang manis."

"Bilang saja kau mencuri kesempatan."

"Tidak. Ku kira ini memang coklat, tapi ternyata tanda lahir."

Berada sedekat ini dengan Chanyeol membuat Baekhyun tak kuasa untuk tidak mengalungkan tangan di leher lelaki itu. Ia begitu menikmati bagaimana matahari sore di belakang Chanyeol mendegradasi visual lelaki itu.

Kesempurnaan fisik menghabiskan sisa ruang hati Baekhyun karena tempat utama adalah hal-hal yang tak pernah bisa ia deskripsikan mengapa bisa secinta ini dengan Chanyeol.

Memang benar, tak pernah ada yang bisa tahu kenapa mencintai seseorang bisa sedalam ini. Alasan kebaikan dan perhatian yang diberikan hanya serupa bubuk MSG, karena sebenarnya semua itu tak ada alasan karena mencintai itu dengan hati yang tak butuh penjelasan.

Sedikit membingungkan, memang. Tapi jika ingin merasakan semua itu, maka coba cintai seseorang benar dengan hati tanpa embel-embel apapun. Maka jawaban yang akan ditemui adalah serupa seperti Baekhyun memiliki perasaan itu pada Chanyeol.

Mereka terlalu kalut dalam perasaan masing-masing hingga berbagi ciuman sudah seperti hal yang harus dilakukan. Decak lidah, saliva saling tertukar, serta pejaman mata menjadi pengiring sore hari yang begitu nikmat.

Lumatan sedang mereka kejar seperti sebuah perlombaan. Ketika Chanyeol mengecap bibir atas, maka Baekhyun akan menyesap bibir bawah Chanyeol dengan tempo sama terburuhnya.

Tak mereka pedulikan bagaimana oksigen juga dibutuhkan untuk bernapas, mereka hanya mengambil sesekali lalu kembali larut dalam basahnya sebuah ciuman. Tangan Chanyeol menarik pinggang wanitanya, tak membiarkan ruang tersisa untuk memberi mereka jarak.

Lalu ketika semua terasa terpuaskan dengan ciuman masing-masing, merasa bahagia karena bisa saling memiliki, Chanyeol memulai kemanisannya dengan menumpu tubuh di atas lutut.

Drama kolosal akan dimulai, tapi mereka tak peduli dengan istilahnya. Terlebih Baekhyun, dia menerka semua seperti yang selalu ada dalam film dan Chanyeol merealisasikan itu dengan sebuah kotak kecil yang ia ambil dari saku.

Tak ada perkataan apapun sejauh ini, mereka terlalu dewasa untuk saling mengerti hingga akhirnya terucap,

"Aku mencintaimu, untuk sekarang dan seterusnya. Sampai aku mati tak akan pernah berubah. Bisa kau buktikan semua itu dengan menjadi pendamping hidupku. Sudikah kau, Baekhyun?"

.

.

.

Tbc

Basyud : eaaakkk tebece eaaaakkk… wkwkw, astaga gatau kenapa ngerasa ini drama banget but I love it! Skuy skuy! Ah chanbaek maahh bikin makin cintaaa..

Btw, makasih yaaa udah baca. Saranghae poollllll muaahh…