Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it
Pairing : SasuFemNaru
Rated : T
Warning : Gender switch, OOC, OC, typo(s)
Genre : Romance, Fantasy, Drama
Note : Dilarang menjiplak, menyalin, mengklaim dan mempublikasikan cerita-cerita milik saya di tempat lain tanpa seizin dan sepengetahuan saya. Yang bandel saya kutuk ngejomblo seumur hidup! Thx!
Maaf untuk typo(s) yang nyempil di sana-sini.
Selamat membaca!
Healer Princess
Bab 8. Sebuah Kesepakatan
By : Fuyutsuki Hikari
Itachi tidak bisa membayangkan apa yang akan dikatakan keduanya jika tahu alasan dibalik kesediaan Sasuke dan Naruto untuk menikah. Mungkin ibunya yang saat ini tengah menangis penuh haru setelah Tsunade mengungkapkan niatnya akan merasa dikhianati, atau sebaliknya, ibunya akan tetap bersyukur karena Tian menakdirkan putra bungsunya untuk menikah dengan Naruto walau dengan jalan yang sedikit diluar akal sehat.
Putra pertama keluarga Uchiha itu mendesah, begitu panjang, seolah ingin mengeluarkan beban yang bercokol di dalam hatinya. Ia masih duduk di kursinya, menikmati teh yang disajikan para pelayan yang kini sudah mulai mendingin.
Sesekali Itachi melirik pada Naruto yang berdiam di dalam raga Sasuke. Mungkin ini hanya perasaannya saja, tapi Itachi merasa gadis remaja itu memaksakan diri untuk terlihat antusias. Ah, siapa yang bisa menyalahkan Naruto? Pikir Itachi. Adik Kyuubi itu memiliki alasan kuat untuk bersedih karena harus menikah dengan pria yang dibencinya. Namun, disisi lain dia tidak memiliki pilihan karena nyawanya dan nyawa banyak orang tengah dipertaruhkan saat ini.
"Aku merasa tidak enak karena permintaan cucuku membuat putra bungsumu harus menikah terlebih dahulu dari kakaknya." Ucapan Tsunade membawa Itachi kembali dari lamunan panjangnya. Kini tatapan semua orang tertuju padanya.
"Tidak masalah," katanya. Dengan lihai Itachi memberikan senyum terbaiknya sembari meletakkan cawan teh di atas meja. Ia meninju pelan bahu adiknya yang duduk tepat di sampingnya. "Akan menjadi dosa besar jika kita tidak segera menikahkan sejoli yang tengah dimabuk cinta," tukas Itachi. Ada nada humor terselip dalam suaranya saat ia mengatakannya.
Tsunade dan Mikoto tertawa renyah, keduanya mengangguk dengan semangat, sedangkan Fugaku yang sejak tadi belum mengatakan apa pun ikut mengangguk, samar. Walau terlihat tak acuh, Fugaku tidak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya karena mimpinya untuk menyatukan keluarga Uchiha dan Namikaze akan segera terwujud melalui pernikahan Sasuke dan Naruto.
"Aku akan segera memanggil pendeta untuk mencari hari baik," kata Fugaku, angkat bicara. Tsunade dan Mikoto mengangguk setuju mendengarnya. "Bagaimana dengan persiapannya?" tanyanya setelah jeda sejenak. "Jika pernikahan dilangsungkan sebelum keberangkatan Sasuke, maka kita tidak memiliki banyak waktu untuk menyiapkan pesta besar."
Tsunade mengibaskan tangan dengan gerakan anggun di depan wajah dan menjawab, "Tidak perlu pesta besar," katanya, "kita bisa mengadakan pesta besar setelah mereka kembali."
Ia menjeda untuk mengambil napas panjang, tatapannya menerawang. "Masalah gaun pengantin, cucuku akan mengenakan gaun pengantin milik mendiang ibunya."
Pernyataan Tsunade menohok hati Naruto. Gadis remaja itu menundukkan kepala, menatap jemari tangannya yang saling bertaut di atas pangkuan. Hal itu membuatnya sedih karena pada hari pernikahannya bukan dirinya yang akan menggunakan gaun pengantin milik ibunya, tapi Sasuke. Kenyataan itu membuat air matanya menetes, dan dengan cepat ia memalingkan muka, mengelap air mata itu sebelum orang-orang menyadarinya.
"Jadi kita tidak perlu mengkhawatirkan masalah gaun pengantin," sambung Tsunade.
Fugaku tercenung, masih segar dalam ingatannya saat sahabatnya—mendiang Minato mengatakan dengan penuh kebanggaan jika kedua putrinya akan menikah dengan gaun milik ibu mereka. Ingatan itu membuatnya tersenyum miris, Fugaku memejamkan mata, mengatakan dalam hati jika impian sahabatnya akan menjadi nyata.
"Kalau begitu, besok pagi aku akan menemani Anda menghadap raja untuk meminta izin," kata Fugaku memutus keheningan yang sempat menggantung di dalam ruangan beraroma kayu manis itu. Tsunade mengangguk, setuju. "Aku harap raja memberi restu untuk pernikahan ini."
"Aku akan menjelaskannya dengan hati-hati," ujar Tsunade. Ekspresi dan nada bicaranya berubah serius. Bukan hal mudah untuk meyakinkan raja, terlebih untuk hal yang berhubungan dengan Naruto—salah satu cucu perempuan favoritnya. Tsunade mendesah, terdengar berat, "Jika beliau sudah memberikan restu, kita bisa tenang," tutupnya.
.
.
.
Mikoto tidak bisa menyembunyikan kecemasannya saat melihat gerak-gerik aneh putra bungsunya. Siang ini suaminya masih berada di istana untuk meminta izin pada raja bersama Tsunade, maka terpaksa ia menarik paksa putra sulungnya untuk keluar dari dalam ruang kerja untuk ikut bersamanya.
"Ada apa, Bu?" tanya Itachi saat ibunya menarik ujung lengan bajunya. Mereka berjalan cepat melewati lorong pendek dan berbelok ke arah taman belakang menuju sebuah bangunan kokoh yang berfungsi sebagai ruang doa. "Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan ..."
Itachi langsung menelan kembali kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya saat Mikoto menoleh dan memberinya tatapan tajam penuh peringatan. Susah payah ia menelan air liurnya, mulutnya ditutup rapat. Akan jadi masalah besar jika ibunya marah, batin Itachi.
"Lihat!" bisik Mikoto. Ia membuka sedikit pintu ganda ruang doa untuk mengintip ke dalamnya. Itachi mengambil satu langkah ke depan untuk mengintip ke dalam ruang doa. "Adikmu berada di sana sejak tadi pagi dan belum keluar hingga sekarang," lapor Mikoto masih berbisik.
Itachi tidak langsung menjawab. Ia menutup pintu ruang doa itu pelan, seolah takut mengganggu kekhusyuan ibadah Naruto. "Lalu kenapa, Bu?"
Mikoto membelalakkan mata dan menjawab, "Sejak kapan adikmu rajin beribadah?" Wanita itu langsung menutup mulut dengan telapak tangannya saat menyadari nada bicaranya yang tinggi. Ia kembali menarik lengan baju putra sulungnya untuk menjauh dari tempat itu. "Sepertinya adikmu takut jika raja tidak mengizinkan rencana pernikahannya dengan Naruto."
Itachi bisa menangkap nada kesedihan dalam suara ibunya. Ia menoleh lewat bahu, menatap pintu ruang doa yang tertutup. Orang yang berada di dalam ruangan itu bukan Sasuke, tapi Naruto. Namun, apa yang bisa ia katakan pada ibunya?
"Sebaiknya kau pergi ke istana."
Kening Itachi ditekuk dalam. "Untuk apa?" tanyanya, tidak mengerti.
"Bantu ayahmu dan Nyonya Tsunade untuk meyakinkan raja," jelas Mikoto, sungguh-sungguh. "Cepat pergi, atau aku tidak akan membukakan pintu rumah untukmu!" ancamnya membuat Itachi terpaksa pergi ke istana untuk menyusul ayahnya.
Sementara itu di dalam ruang doa, Naruto memejamkan mata erat, kedua tangannya menyatu di depan dada. Air matanya jatuh, membasahi kedua pipinya.
"Tian, aku berjanji tidak akan bicara sembarangan lagi. Mohon dewa memaafkan kesalahanku dan mengembalikan rohku pada ragaku yang sebenarnya," gumamnya, sedih. "Aku akan berbakti pada negara, pada nenekku dan mengabdikan diri untuk kesejahteraaan rakyat. Aku berjanji akan menekan egoku dan menekan diri dari nafsu keinginan," sambungnya, suaranya sedikit gemetar.
"Aku berjanji tidak akan meremehkan orang lain lagi," cicitnya. Suara gadis remaja itu semakin tersendat saat mengatakannya. "Aku ingin mengenakan gaun milik ibuku saat menikah," mohonnya, parau. "Mohon Tian mengabulkan permintaanku."
Naruto terdiam sejenak, ber-kowtow sebanyak tiga kali sebelum kembali berdoa hal yang sama berulang kali hingga suaranya nyaris habis.
.
.
.
Duduk sendiri di depan cermin perunggu,
menatap sosok diri nampak asing di mata.
Bukan riasan ini yang seharusnya melekat,
tapi apa daya berteriak pun percuma.
Di luar musik pernikahan mulai terdengar,
menyaru bersama tawa bahagia keluarga mempelai.
Diri berharap semua hanya sebuah mimpi,
esok terbangun meratap kenyataan dan terhempas.
.
.
.
"Bisakah kau memasang sebuah senyuman?" Pertanyaan Itachi membuat Naruto terbangun dari lamunan panjangnya. Kamar Sasuke yang ditempati oleh wanita itu kini didominasi oleh warna merah, khas pengantin dengan aroma mawar mendominasi. "Kau tidak terlihat seperti seorang pengantin," sambung Itachi.
Ia menjeda, menatap bayangan Naruto lewat kaca perunggu. Sebuah helaan napas berat dilepas Itachi saat ia menarik sebuah kursi kosong lalu mendudukinya tepat di samping kanan sang mempelai. Ujung jubah mewah yang dikenakannya gemerisik saat ia berjalan. "Kau terlihat seperti seorang tahanan yang akan dieksekusi."
Hening.
Itachi kembali mendesah, lebih berat kali ini. Ia terdiam, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ayolah, bukankah kau yang memiliki ide untuk menikahi adikku?" ujarnya, setengah berbisik. "Lalu kenapa kau harus bersedih?"
Naruto tidak langsung menjawab. Mungkin alasannya akan terdengar kekanakkan di telinga Itachi, tapi pada akhirnya ia menjawab, "Karena aku tidak bisa menggunakan gaun milik ibuku di hari pernikahanku."
Itachi mengerjapkan mata. Ia sudah membuka mulutnya untuk memberi penghiburan, tapi dengan cepat putra sulung keluarga Uchiha itu mengatupkan mulutnya kembali. Kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya mendadak hilang. Itachi kehilangan kata-kata, terlihat bingung harus memulai dari mana.
Naruto tersenyum miris lalu mendongakkan kepala, menatap langit-langit kamar Sasuke untuk menghalau air mata yang hendak memberontak untuk keluar. "Aku ingin menggunakan gaun milik ibuku saat menikah," akunya. Ia mengangkat bahunya tak acuh dan berkata, "Sayangnya hal itu hanya tinggal mimpi."
"Kau bisa menggunakannya setelah kembali ke ragamu," balas Itachi, serius. Perasaannya melembut, ia merasa bersimpati pada gadis remaja yang terduduk di sampingnya. Mimpi itu seharusnya sangat mudah dilaksanakan, tapi untuk Naruto mimpi itu justru sulit untuk direalisasikan. "Percayalah, kau pasti bisa kembali ke tubuhmu, dan saat itu terjadi, kau akan kembali menikah dengan mengenakan gaun ibumu."
Naruto menoleh, dan tersenyum saat bertanya, "Dengan siapa aku akan menikah saat itu?"
"Tentu saja dengan Sasuke," jawab Itachi yakin. "Kenapa kau harus bertanya?"
"Sasuke?" beo Naruto. Tatapannya menerawang jauh, senyum tipisnya terlihat dipaksakan. "Sasuke tidak menyukaiku, begitupun sebaliknya. Saat kami kembali ke tubuh kami masing-masing kami akan berpisah."
"Itu terserah kalian," sahut Itachi tanpa ada niat untuk melarang atau menggurui. Apa pun keputusan yang diambil Sasuke dan Naruto akan selalu dihormatinya. "Namun, kita tidak akan pernah tahu takdir apa yang telah dituliskan untuk kita, 'kan?"
Naruto tidak menjawab. Sebuah tepukan pelan mendarat di bahu kanannya. Wanita itu melirik sekilas lalu mengangguk pelan. Naruto bahkan tidak menolak saat Itachi menyapukan jemarinya untuk menghapus air mata di pipinya.
"Jalan apa pun yang akan kalian ambil di masa depan, aku akan mendukungnya."
"Janji?"
Itachi mengangguk. "Janji," bisiknya. Ia mengulum sebuah senyuman dan bicara setelah terdiam beberapa saat. "Sekarang tersenyum, dan bersikaplah seperti seorang mempelai yang tengah berbahagia! Jangan membuat tamu undangan curiga," tukasnya. "Pernikahan ini tidak boleh menimbulkan gosip di kalangan bangsawan, mengingat sulitnya kami meyakinkan raja agar kau bisa segera menikah dengan Sasuke."
Naruto terkekeh dan mengangguk semangat. "Tenang saja," balasnya sembari menepuk dadanya pelan. "Aku akan memainkan peranku dengan sangat baik."
.
.
.
Upacara pernikahan pun diselenggarakan dengan sangat meriah di kediaman keluarga Uchiha. Mempelai pengantin datang dengan sebuah kereta kuda mewah, diiringi oleh para pemain musik pernikahan, seorang mak comblang dan barang-barang hantaran yang begitu banyak dan mewah.
Sore ini dengan langkah tertata Sasuke memasuki aula keluarga Uchiha dimana upacara pernikahan akan dilangsungkan. Mikoto dan Tsunade tidak kuasa menahan air mata mereka saat memepelai perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah terang berjalan tenang menuju altar di mana mempelai pria sudah berdiri menunggu.
Upacara pun dilangsungkan sesaat setelah Sasuke berdiri di samping Naruto. Untuk kesekian kalinya hati Naruto mencelos karena Sasuke yang mengenakan gaun milik ibunya, bukan dirinya. Namun, dengan cepat ia memupus perasaan itu. Naruto menggelengkan kepala pelan, berusaha memusatkan konsentrasi untuk melaksanakan upacara pernikahan ini.
Keduanya memberi hormat pada Tian dan Di, pada leluhur, pada orang tua lalu memberi hormat satu sama lain. Arak pun dituangkan, keduanya bersulang, melingkarkan tangan dan meneguk isi cawan hingga tandas.
Petasan dinyalakan setelah upacara pernikahan selesai digelar. Sang mempelai wanita langsung dimasukkan ke dalam kamar pengantin sementara mempelai pria tinggal sejenak untuk menyapa para tamu undangan dan menjamu mereka.
Gelak tawa dan alunan musik membuat kediaman keluarga Uchiha yang biasanya sepi menjadi gegap gempita. Kediaman itu diliputi oleh kebahagiaan dan suka cita tiada tara karena pernikahan ini berhasil menyatukan dua keluarga; Uchiha dan Namikaze.
Fugaku yang terkenal tidak suka minum pun memutuskan untuk mabuk malam ini. Ia berkata; kapan lagi bisa meluapkan suka cita jika bukan hari ini? Para tamu undangan begitu antusias, mereka ikut larut dalam kebahagiaan tuan rumah, sementara di sisi lain sang mempelai pria diperkenankan untuk masuk ke dalam kamar pengantinnya.
Jantung Naruto berdetak sangat cepat saat langkah kakinya semakin membawanya dekat ke tempat Sasuke berada. Ia menelan dengan susah payah, sementara mak comblang yang berdiri di sampingnya terkekeh penuh arti, berpikir jika mempelai pria malu-malu karena akan bertemu dengan pengantinnya.
"Jangan terlalu memaksa," bisik mak comblang berusia tujuh puluh tahun itu. Rambut putihnya digelung rapi di atas kepala dengan hiasan rambut dari giok hijau yang terlihat memesona. Ia mengibaskan sapu tangan suteranya tepat di depan wajah Naruto. "Kau harus bersikap lembut, karena istrimu akan merasa sakit untuk pertama kalinya."
Dewa, Naruto ingin muntah mendengarnya. Bulu kuduk wanita itu berdiri dengan cepat. Ia melirik ke arah pintu kamar pengantin yang masih ditutup rapat, lalu menoleh pada mak comblang yang tertawa renyah dibalik sapu tangan suteranya.
"Cepat masuk!" kata wanita tua itu sembari mendorong pintu ganda kamar yang tertutup rapat. Ia berdecak, mengerling jail saat Naruto bergeming di tempatnya, terlihat enggan untuk masuk ke dalam kamar. "Jangan khawatir, rasa malumu akan segera hilang setelah kalian bersama beberapa waktu," ujar mak comblang, kembali salah mengerti. "Cepat masuk!" tekan wanita tua itu. Kali ini ia mendorong punggung Naruto, sedikit memaksa hingga akhirnya sang mempelai masuk ke dalam kamar pengantinnya.
Naruto menoleh ke belakang saat pintu kamar ditutup rapat dari luar. Ia terlihat sangat tegang, keringat membasahi keningnya. Dengan hati-hati ia berjalan, melewati lorong pendek lalu berbelok menuju ranjang pengantinnya.
Kedua mata wanita itu terbelalak, mulutnya terbuka lebar saat ia melihat mempelainya tengah duduk di atas kursi dengan satu kaki diangkat ke atas. "Apa yang kaulakukan?" pekik Naruto, heran.
Sasuke mengangkat satu alis dan menjawab tanpa ekspresi, "Makan malam."
"Aku tahu, tapi kenapa kau membuka penutup kepalamu?" tanya Naruto, terlihat kesal. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi, ekspresinya sangat galak saat menatap Sasuke.
"Apa yang kau harapkan?" desis Sasuke. Ia menggigit apel merah, mengunyah cepat dan menelannya. "Aku menunggu kedatanganmu dengan sikap malu-malu di atas ranjang?"
Naruto tidak menjawab.
"Apa kau lupa jika aku seorang pria?" desis Sasuke, tajam. Ia memasang ekspresi dingin saat berkata, "Aku tidak akan melakukan hal itu karena hal itu seharusnya dilakukan oleh mempelai wanita."
Ia menjeda untuk meletakkan apelnya di atas meja. "Dalam pernikahan ini aku suamimu, walau pada kenyataannya aku berada di dalam tubuhmu. Apa kau mengerti?"
Naruto tidak menjawab.
"Jiwa kita boleh tertukar, tapi tugas dan tanggung jawab kita tetap pada tempatnya," sambung Sasuke, datar. "Apa pun yang terjadi ke depannya, aku tidak akan melepasmu, Naruto."
"Apa maksudmu?"
Sasuke menyeringai. "Apa kau sudah lupa prinsipku?"
Kening Naruto ditekuk dalam mendengarnya. Ia tidak tahu prinsip mana yang dimaksud oleh Sasuke karena pria itu memiliki banyak prinsip yang terkadang tidak bisa dipahami oleh Naruto.
"Aku menikah sekali seumur hidup."
Tawa Naruto pecah mendengarnya. Ia memukul-mukul pelan permukaan meja hingga Sasuke terganggu dibuatnya. "Kau pasti akan melupakan prinsip itu setelah jatuh cinta pada wanita lain," ejeknya sembari menunjuk ke arah Sasuke. Naruto terus tertawa, ia meletakkan kepala di atas meja. Sekuat tenaga Naruto berusaha untuk menghentikan tawa yang nyaris membuat perutnya kram. "Aku berani bertaruh kau akan mencampakkanku setelah menemukan pujaan hatimu."
"Kenapa kau sangat yakin?" ujar Sasuke. Kedua matanya menyipit sinis.
"Karena aku mengenalmu, Uchiha Sasuke," jawab Naruto setelah tawanya berhenti. Wanita itu balas menatap lekat mempelainya. "Pasti akan sangat mudah bagimu melepasku setelah kau menemukan tambatan hatimu."
Sasuke menaikkan satu alisnya tinggi. "Berani bertaruh?"
Naruto mengendikkan bahu, ringan. "Kenapa tidak?"
"Jika ucapanmu tidak terbukti, kau harus menjadi ibu dari anak-anakku, terus berada di sampingku walau pun kau tidak mencintaiku."
Naruto memutar kedua bola matanya, jengah. Kenapa terdengar sangat menguntungkan untuk Sasuke? Batinnya.
"Lalu bagaimana jika ternyata aku menang?"
Sasuke tersenyum tipis lalu mencondongkan tubuh ke depan hingga Naruto menarik punggungnya ke belakang. "Kita akan membahasnya nanti, karena aku yakin kau tidak akan pernah menang dariku, Uchiha Naruto."
.
.
.
TBC
#WeDoCareAboutSFN