I Love My Imoutou
Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto
Pair Naruto x Hinata
Warning! DONT LIKE DONT READ DONT COMMENT
•••
"Kau cantik sekali, Hinata chan." ujar seorang bocah lelaki seraya memasangkan mahkota bunga yang Ia rangkai sendiri pada kepala adik perempuannya dan memberikan kecupan manis pada kening gadis itu.
"Arigatou Naruto Nii." ujar sang adik tersipu malu. Ia lalu berdiri dan dengan langkah sedikit sempoyongan gadis kecil itu berlari menghampiri sosok Ayah dan Ibu mereka yang sedang asyik meminum teh sambil melihat pemandangan manis kedua putra - putrinya tersebut.
"Tou chan, Kaa chan lihat! Naruto Nii membuatkan mahkota bunga ini untukku. Apa aku terlihat cantik?" ujar Hinata sambil memutar - mutar dress-nya, tangannya menunjuk ke arah mahkota yang terbuat dari kumpulan bunga berwarna warni yang bertengger cantik di atas kepala indigo-nya.
"Mahkota itu sangat cocok untukmu, sayang. Kau terlihat seperti seorang putri dari kerajaan dongeng." ucap sang Ibu sambil mengelus kepala putrinya dengan lembut.
"Ya sayang, kau terlihat sangat manis." timpal sang Ayah.
"Tentu saja! Dia kan adikku yang paling cantik sedunia!" Naruto berteriak dari kejauhan. Bocah laki - laki itu tampak begitu bangga dengan pujian yang dilontarkan oleh kedua orang tuanya kepada sang adik.
Gadis cilik itu tersipu malu sekaligus bahagia mendengar kata - kata pujian yang Ia dengar dari mulut manis seluruh keluarganya. Hinata lalu menoleh ke arah sang kakak yang mengacungkan jempol dan cengirannya kepada sang adik.
•••
"Hei Naruto, apa kau sudah mengerjakan PR matematika yang kemarin ditugaskan oleh Kakashi sensei? Aku lupa membuatnya. Boleh aku menyalin catatanmu?" Hinata menautkan kedua tangannya memohon pada kakak kembarnya untuk meminjamkan buku PR padanya.
"Ck, sudah kubilang panggil aku dengan embel - embel Nii san! Dasar tidak sopan! Aku tidak akan meminjamkan apapun padamu! Biar saja kau dihukum!" Naruto memasang kembali earphone-nya dan menyetel musik dengan volume keras, tak menghiraukan omelan - omelan adik kecilnya yang menggerutu tentangnya.
"Kita kan hanya berbeda beberapa menit! Kenapa aku harus memanggilmu Nii san? Lagipula kau tak akan meminjamkan PR-mu padaku kan? Dasar pelit!" Hinata menjulurkan lidahnya panjang.
Dengan berat hati gadis itu kembali duduk dan menenggelamkan wajahnya di atas meja belajarnya. Ia pusing memikirkan nasibnya esok di mana Ia pasti akan menerima hukuman mengerikan oleh guru paling killer se- Konoha High School.
'Aku akan mati.' gumam Hinata dalam hati kecilnya.
Tidak, bukannya Ia terlalu bodoh untuk mengerjakan PR tersebut. Hanya saja, rahasia yang sudah sejak lama Ia simpan bisa - bisa akan terbongkar dalam sekejap mata jika Ia mengerjakan PR matematika itu. Dirinya hanya bisa berharap pada sang kakak agar mau meminjamkan buku itu untuk menutupi kedoknya.
"Ng?" Hinata melirik sejenak saat merasakan ada bayangan yang menutupi wajahnya. Naruto menyodorkan sebuah buku catatan padanya tanpa melirik sekalipun ke arah Hinata.
Seketika rasa bahagia muncul dalam hati gadis indigo itu, Ia hendak meraih buku catatan itu namun; "Ah! Arigatou Na - " Naruto menarik tangannya kembali saat tangan Hinata satu cm lagi akan menyambar buku itu.
Perempatan - perempatan kecil muncul di sekitar dahi gadis muda itu, Ia berusaha mengatur kesabarannya. Ia tak boleh marah atau sang kakak tak akan meminjamkan buku itu sama sekali dan bisa - bisa besok Ia akan disuruh untuk membersihkan kamar mandi sampai Ia lulus oleh guru kejamnya itu.
Tangan Hinata berusaha untuk menyambar buku itu kembali namun dengan cepat sang kakak mengelak, tak membiarkan jari - jari panjang itu menyentuh buku catatannya sama sekali.
"Apa maumu Naruto!" omel Hinata kesal saat merasa dipermainkan oleh saudara kembarnya.
"Kata kuncinya." ujar Naruto datar sembari memutar - mutar buku itu di atas jarinya.
"Kumohon pinjamkan aku buku PR itu Naruto Nii chan." ucap Hinata malas sambil memutar bola matanya.
"Eits, seperti biasanya. Jika kau ingin meminjam sesuatu dariku maka kau harus - "
Hinata mengepalkan kedua tangannya kesal. Kuku - kuku tajamnya menusuk masuk telapak tangannya. Ia ingin mencakar dan kalau perlu merobek buku siswa dengan ranking nomor 1 se-sekolah itu agar Ia merasakan bagaimana rasanya dihukum oleh Kakashi sensei dan reputasinya sebagai cowok sempurna yang populer itu hancur.
"Mohon pinjamkan aku, Naruto Nii san." Hinata membungkuk ke arah kakak kembarnya.
"Lebih bungkuk lagi, budak!" Naruto menyilangkan kakinya, memukul kepala Hinata dengan harisen dan menekan punggung sang adik yang sedang membungkuk itu dengan bukunya.
'Sial, awas kau Uzumaki Naruto!'
"Tolong pinjamkan aku buku itu!" Hinata setengah berteriak sehingga ucapannya membuat Ibu mereka yang berada tepat di depan pintu dan hendak mengantarkan camilan itu terkejut.
*Brak
"Apa kau lupa mengerjakan PR-mu lagi, Uzumaki Hinata?" tanya sang Ibu dengan nada manis yang dibuat - buat. Hinata bergidik ngeri melihat sang Ibu yang diliputi kemarahan sedangkan kakaknya hanya bisa tertawa geli karena berhasil mengerjai kembarannya yang malas.
"Bu.. Bukan. Aku dan Nii chan sedang bermain drama, Kaa chan." ucap Hinata berusaha mengelak. Keringat dingin mengucur deras membasahi dahinya dan Ia memainkan kedua tangannya, kebiasaannya di saat Ia sedang gugup.
"Itu bohong Kaa chan, Hinata tak mengerjakan PR dan Ia memaksa untuk menyontek catatanku. Bahkan Ia mengancamku." ujar Naruto setengah berbohong.
Hinata menatap ke arah kembarannya itu dengan tatapan tajam bagai burung elang yang sedang mengincar mangsanya. Gadis itu kemudian mendekatkan kedua jari pada matanya dan mengarahkan jari itu pada wajah sang kakak, membuat gestur yang berbunyi; 'Awas kau, lihat saja nanti!'
Sementara Naruto menjulurkan lidahnya, menjawab ancaman Hinata; 'threat level, marshmallow.' bisiknya pelan.
"Hinata, sudah berapa kali Ibu bilang! Kerjakan PR-mu dan belajarlah dengan rajin! Kenapa kau berbeda sekali dengan kakakmu hah?! Padahal kalian berdua kembar, tapi kau selalu membuat masalah dan membuat Ayah dan Ibumu sedih. Berbeda sekali dengan kakakmu." ucapan sang Ibu membuat hati Hinata tertohok.
Bagaimana tidak, Ia tau bahwa Ayah dan Ibunya adalah orang hebat yang memimpin lebih dari satu perusahaan terbesar di Jepang. Belum lagi kakaknya yang selalu sempurna di segala bidang berbeda dengannya yang bodoh dan lamban.
Tidak! Hinata tahu dirinya tidak bodoh dan tidak juga lamban. Ia hanya mengorbankan dirinya, rela untuk diinjak - injak. Dijadikan tangga dan keset demi Naruto agar pemuda itu bisa mencapai puncak.
Gadis itu menitikkan air matanya tanpa Ia sadari. Terbesit sedikit rasa penyesalan dalam hatinya karena Ia begitu bodoh. Kenapa Ia harus menjadi tumbal demi kesuksesan kakaknya?! Namun pemikiran itu perlahan memudar saat Hinata melihat iris shapire sang kakak yang menatapnya sendu.
"Gomenasai Kaa chan, gomen." ucap Hinata, iris lavendernya berkaca - kaca. Hati sang Ibu pun terenyuh melihat putrinya mentikkan air mata, sedangkan Naruto hanya mampu mendecih sebal melihat ulah kembarannya.
"Sudah Hinata, jangan menangis. Maafkan Kaa chan ya. Tidak apa - apa, asal jangan kau ulangi kesalahan itu kembali ya. Kau harus belajar dengan rajin karena putri Ibu kan suatu hari nanti akan mewarisi salah satu perusahaan Ibu. Jadi Kaa chan mau kau jadi pemimpin yang hebat, oke?" ujar sang Ibu lembut sambil membawa putrinya ke dalam dekapannya.
"Iya Kaa chan, gomenasai. Hinata janji tidak akan mengecewakan Kaa chan lagi."
"Anak pintar, kalau begitu untuk kali ini saja kau boleh meminjam buku PR kakakmu. Naruto, Kaa chan membawakan camilan kesukaanmu. Sisakan juga untuk adikmu ya." Kushina menaruh nampan berisi kue itu ke atas meja.
"Arigatou Kaa chan."
"Belajarlah dengan rajin ya." ujar sang Ibu sebelum menutup pintu kamar kedua anak kembarnya.
Sementara Hinata akhirnya dapat bernafas lega karena mampu terbebas dari amukan Ibunya yang tak kalah seram daripada guru killer-nya di sekolah. Gadis itu kemudian merenggangkan tangannya ke atas. Entah mengapa untuk sesaat perasaannya menjadi tidak nyaman karena sempat merasa ragu akan keputusan yang Ia ambil sembilan tahun yang lalu.
"Air mata buaya." ujar Naruto seraya mendengus kesal.
"Drama queen, penjilat, munafik, pembohong, bodoh, idiot." tambah Naruto. Ia begitu geram melihat kelakuan kembarannya yang malas dan bodoh. Padahal mereka kembar tapi mengapa adik perempuannya itu sangat berbeda jauh dengannya?
Tak hanya dari segi fisik melainkan dari segi kepintaran, kemawasan diri, sikap, kedewasaan dan lain sebagainya. Naruto selalu menjadi nomor satu sementara sang kembaran akan selalu menjadi kebalikannya.
Tak jarang orang - orang mencela betapa tidak beruntungnya keluarga Uzumaki memiliki anak yang tidak berbakat berbeda dari kedua orang tuanya dan kembarannya.
"Wah Kushina, lagi - lagi Naruto berada di peringkat pertama. Luar biasa sekali calon penerus Uzumaki Corp ini."
"Ya benar, kau beruntung memiliki putra sehebat Naruto, Minato san."
"Betul, hanya saja - "
"Seandainya gadis itu tidak lahir maka keluargamu sudah pasti akan menjadi yang sempurna."
"Kasihan sekali Naruto, mengapa Ia mempunyai kembaran yang bodoh seperti itu? Lagipula apa betul mereka kembar? Fisiknya sama sekali tak mirip dengan Naruto."
Ocehan dan cemooh dari orang - orang kepada adiknya memenuhi pikiran Naruto saat ini. Sebenarnya Naruto tahu betul bahwa Hinata bukanlah gadis yang malas apalagi bodoh. Hanya saja pemuda itu tak begitu mengerti, mengapa Hinata rela melakukan hal berat itu hanya demi dirinya?
Menerima hinaan serta celaan yang bahkan tak pantas untuk diterimanya, menggantikan Naruto dan hidup sebagai pecundang yang tak dipandang serta menjadikan dirinya aib bagi keluarga Uzumaki padahal Hinata -lah yang seharusnya patut dibanggakan atas segala prestasi yang diraihnya selama ini.
"Hei bodoh!" Naruto melempar sebuah buku tepat pada kepala Hinata membuat sang gadis menjerit kesakitan akibat ulah kakaknya.
"Apa lagi sih? Tidak cukup ya sudah menghinaku mati - matian? Apa masih kurang hah?!" Hinata menatap ke arah kakaknya sebal. Naruto diam, tak memperhatikan ocehan adiknya.
"Dasar manusia es!" gerutu Hinata sebal. Namun lavendernya membulat kala membaca buku yang dilempar oleh sang kakak ke arahnya.
Buku catatan matematika.
2-3 | Uzumaki Naruto.
"A..." Hinata tak mampu berkata - kata.
"Salinlah, tapi jangan kau ulangi kemalasanmu itu lagi." ujar Naruto datar.
"Arigatou Nii chan!" Hinata turun dari kursinya, melompat ke arah sang kakak dan memeluknya erat.
"Hei lepaskan! Kau berat, dasar babi!" Satu kecupan tiba - tiba mendarat pada kening Uzumaki pirang itu.
"Aku sayang padamu Naruto." ujar Hinata, menatap dengan lembut dan tulus ke dalam iris shapire di hadapannya tersebut. Sontak saja hal itu membuat wajah sang sulung berubah menjadi semerah tomat.
Ia lalu mendorong tubuh mungil sang adik, membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terjelembab di atas lantai.
"Kyaa! Kasar sekali! Apa kau sebegitu bencinya padaku, huh?! Uzumaki Naruto!" teriak Hinata geram.
"Jangan banyak bicara dan lekas kerjakan PR-mu, bodoh! Dan jangan ganggu aku! Aku mau tidur!" Naruto berjalan menuju kasurnya, merebahkan diri dan menyembunyikan dirinya di balik selimut.
'Sial, kenapa aku jadi berdebar - debar begini hanya karena ucapan Hinata?! Dan lagi, bukankah kami sudah sering berbicara dan berpelukan seperti itu?' batin Naruto dalam hati. Tanpa alasan yang jelas, hati sang Uzumaki sulung itu berdebar dengan kencang padahal Ia sudah biasa bersama - sama bahkan sampai mencium sang adik tapi kenapa tadi -
Rasanya begitu berbeda?
•••
"Hei bangun, kita akan terlambat." Naruto mengguncang pelan tubuh mungil sang adik yang masih setia mendekap dalam selimut hangatnya.
"Ngh, lima menit lagi."
"Bangun sekarang atau kubunuh kau ttebayou! Dasar pemalas!" Naruto menarik kasar selimut yang menyelimuti tubuh adik perempuannya. Naruto paling tidak tahan melihat pemalas dan Ia benci orang yang malas.
Namun sayangnya Ia malah harus menghabiskan enam belas tahun masa hidupnya untuk tinggal bersama dengan gadis dengan tingkat kemalasan nomor satu di dunia. Setidaknya itu sebelum Hinata memutuskan untuk menjadi pemalas seperti sekarang ini.
"Iya - iya, bunuh saja aku kalau berani, dasar kakak bodoh." ujar Hinata sebal. Gadis itu bangun, mengusap matanya dan memberikan kecupan pada pipi kanan sang kakak. Membuat Naruto mengusap pipinya sambil mengomel tak jelas pada sang adik.
"Hinata! £#$×%×^#*^€×#." Kali ini wajah Naruto tersipu merah bukan karena malu, melainkan karena menahan amarah. Bagaimana pun juga Naruto mengidap gangguan OCD yang membuatnya tak tahan dengan sesuatu yang tidak sempurna.
Apalagi dicium oleh sang adik yang baru saja bangun dari tidur panjang dengan iler dan kuman dan bau, ah sudahlah.
"Itu hukuman, karena kau sudah membangunkanku." Hinata kemudian turun untuk sarapan dengan selimut yang masih menempel pada badannya.
•••
"Ohayou Kaa chan, Tou chan." Hinata duduk di meja makan dengan penampilan yang masih sangat berantakan.
"Ohayou Hinata." ujar sang Ibu ramah. Sementara sang Ayah tak begitu merespon.
Kushina kemudian menyodorkan segelas susu dan roti panggang dengan selai kacang yang menjadi favorit Hinata ke hadapan gadis itu.
"Arigatou Kaa chan." Hinata menikmati sarapannya dengan lahap tanpa begitu mempedulikan soal tata krama dan table manner yang berlaku pada keluarganya, membuat sang Ayah menatap jijik ke arahnya.
"Perbaiki cara makanmu, Hinata. Kau makan bagai pengemis dan orang tak berpendidikan di luar sana. Benar - benar memalukan." ujar sang Ayah ketus.
"Baik, Tou san." Hinata berusaha untuk tetap tersenyum. Sementara dari kejauhan, Naruto melihat dengan jelas perlakuan sang Ayah pada sang adik yang membuat hatinya pedih.
Kepalanya sedikit berdenyut nyeri kala mengingat suatu memori di mana Ia yang duduk di posisi Hinata saat itu. Naruto menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja saat itu Ia tak berkata kasar pada Hinata. Jika saja Ia tak terlahir dengan kelainan yang menyiksanya saat ini, maka Hinata tak akan menjalani hari - harinya yang bagaikan neraka seperti sekarang ini.
•••
"Ohayou Tou san." sapa Naruto.
"Ohayou. Bagaimana sekolahmu? Apakah ada kendala? Apa kau sudah memikirkan tentang tawaranku?" ujar Naruto. Entah mengapa jika hal itu menyangkut putranya, Minato terlihat begitu hidup. Sangat berbanding seratus enam puluh derajat dibanding dengan saat bersama Hinata.
"Entahlah, aku belum memutuskannya." ujar Naruto datar. Shapire-nya bertemu tatap dengan iris lavender milik Hinata. Gadis itu kemudian menyunggingkan senyumannya lalu berdiri.
"Aku sudah selesai. Terima kasih atas makanannya." Mengundurkan diri lebih awal dari meja makan selalu menjadi kebiasaan gadis itu.
Hinata tak ingin menjadi penghalang maupun pembatas atas hubungan keluarganya yang selalu tak merasa nyaman jika gadis itu ada di dekat mereka.
'Kau baik - baik saja Hinata, kau kuat. Dan ingat, bahwa kau melakukan semua ini demi Naruto.' Hinata mengusap sudut matanya.
Berusaha untuk tegar tidaklah buruk. Lagipula, cukup dengan melihat wajah bahagia Naruto saja Hinata sudah puas, meski Ia harus menahan dan memendam rasa sakit itu untuk selamanya.
[•••]
つづく
14.10.17 ©Yuki Hime
A.N :
Special khusus untuk SyanataChan ❤
Versi Remake dari I love my imotou